Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kekaisaran Partia atau Kekaisaran Wangsa Arsak[9] adalah adidaya politik dan kebudayaan di Iran pada zaman Klasik.[10] Negara bangsa Iran ini disebut Kekaisaran Wangsa Arsak karena didirikan pada abad ke-3 pra-Masehi oleh kepala suku Parni yang bernama Arsak,[11] dan dikenal dengan nama Kekaisaran Partia karena didirikan di Partawa (bahasa Yunani: Παρθία, Partia),[12] daerah di kawasan timur laut Iran yang direbut Arsak dalam perang pemberontakan melawan Kekaisaran Wangsa Seleukos. Kala itu, Partawa adalah salah satu daerah kesatrapan yang dibawahi wangsa Seleukos, dan satrapnya bernama Andragoras. Mihrdat I memperluas wilayah kekuasaan wangsa Arsak dengan merebut daerah Mada dan Mesopotamia dari wangsa Seleukos. Pada masa kegemilangannya, wangsa Arsak berdaulat atas wilayah luas yang membentang dari daerah hulu Sungai Efrat di tengah kawasan timur Turki sekarang ini, sampai ke kawasan timur Iran. Karena terletak di Jalur Sutra, yang menghubungkan Kekaisaran Romawi di kawasan Mediterania dengan Kekaisaran Wangsa Han di Tiongkok, Kekaisaran Partia pun menjadi salah satu pusat kegiatan dunia usaha dan perdagangan.
Kekaisaran Partia | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
247 SM–224 M | |||||||||
Keseluruhan wilayah yang pernah dikuasai wangsa Arsak | |||||||||
Ibu kota | Tisfon,[1] Ahmadan, Komis, Susa, Nisa, Arsak, Raga | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Yunani (bahasa resmi),[2] Partawa (bahasa resmi),[3] Aram (basantara)[2][4] | ||||||||
Agama | |||||||||
Pemerintahan | Monarki Feodal[6] | ||||||||
Syahansyah | |||||||||
• 247–211 pra-Masehi | Arsak I (pertama) | ||||||||
• 208–224 Masehi | Ardawan IV (terakhir) | ||||||||
Legislatif | Dewan Bangsawan | ||||||||
Era Sejarah | Zaman Klasik | ||||||||
• Didirikan | 247 SM | ||||||||
• Dibubarkan | 224 M | ||||||||
Luas | |||||||||
Pada tahun 1 Masehi[7][8] | 2.800.000 km2 (1.100.000 sq mi) | ||||||||
Mata uang | Dirham | ||||||||
| |||||||||
Bangsa Partia mengadopsi banyak sekali unsur kesenian, arsitektur, kepercayaan, maupun alat-alat kebesaran dari aneka kebudayaan yang hidup dan berkembang di wilayah kedaulatannya, yakni kebudayaan Persia, kebudayaan Helenistik, dan bermacam-macam kebudayaan daerah asli Iran. Selama kira-kira setengah dari umur Kekaisaran Partia, wangsa Arsak mengadopsi unsur-unsur kebudayaan Yunani, tetapi lambat laun tradisi-tradisi asli Iran kembali mengemuka. Para penguasa dari wangsa Arsak menyandang gelar "syahansyah" (raja diraja) untuk mencitrakan diri mereka sebagai ahli-ahli waris Kekaisaran Wangsa Hakhamanis. Kerajaan-kerajaan lokal di Iran memang mereka jadikan kerajaan bawahan, tetapi andaikata wangsa Hakhamanis masih berkuasa, kerajaan-kerajaan tersebut bakal dijadikan daerah-daerah kesatrapan dengan satrap-satrap yang diangkat langsung oleh pemerintah pusat, sekalipun pemerintahannya bersifat otonom. Wangsa Arsak juga mengangkat sejumlah kecil satrap untuk mengepalai daerah-daerah yang kebanyakan berlokasi di luar Iran, tetapi daerah-daerah kesatrapan tersebut tidak seluas dan sekuat daerah-daerah kesatrapan wangsa Hakhamanis. Sesudah wilayah kekuasaan wangsa Arsak bertambah luas, pusat pemerintahan dipindahkan dari Nisa ke Tisfon di tepi Sungai Tigris (sebelah selatan kota Bagdad sekarang ini). Meskipun demikian, beberapa situs lain juga pernah dijadikan ibu kota Kekaisaran Partia.
Musuh-musuh pertama bangsa Partia adalah wangsa Seleukos di sebelah barat dan orang Skit di sebelah utara. Ketika berusaha memperluas wilayah ke sebelah barat, bangsa Partia harus berperang melawan Kerajaan Armenia, dan akhirnya harus pula berhadapan dengan Republik Romawi. Kekaisaran Partia maupun Republik Romawi berusaha menarik raja-raja Armenia menjadi pengikut mereka. Bangsa Partia berhasil mengalahkan Marcus Licinius Crassus dalam Pertempuran Haran pada tahun 53 pra-Masehi, dan berhasil merebut Syam (kecuali kota Tirus) dari bangsa Romawi antara tahun 40 dan tahun 39 pra-Masehi. Marcus Antonius memimpin aksi serangan balasan terhadap bangsa Partia, meskipun keberhasilan aksi ini pada umumnya tercapai tanpa kehadirannya, yakni pada saat dipimpin oleh wakilnya, Ventidius. Beberapa Kaisar Romawi, atau panglima-panglima yang mereka angkat, berusaha menginvasi Mesopotamia dalam perang-perang Romawi-Partia yang berlangsung selama beberapa abad berikutnya. Bangsa Romawi berulang kali berhasil merebut kota Selefkia dan kota Tisfon, tetapi tidak mampu mempertahankannya. Perang perebutan takhta yang berulang kali timbul di antara ahli-ahli waris wangsa Arsak terbukti lebih merusak stabilitas negara daripada invasi bangsa asing. Kekaisaran Partia akhirnya tumbang ketika Ardasyir, penguasa kota Istakhr di daerah Parsa, memberontak melawan wangsa Arsak dan berhasil menewaskan Ardawan IV, raja terakhir dari wangsa Arsak, pada tahun 224 Masehi. Ardasyir mendirikan Kekaisaran Wangsa Sasan yang menguasai seluruh Iran dan hampir seluruh kawasan Timur Dekat sampai ditumbangkan kaum Muslim pada abad ke-7 Masehi. Meskipun demikian, wangsa Arsak masih tetap lestari melalui cabang-cabangnya, yakni wangsa Arsak Armenia, wangsa Arsak Iberia, dan wangsa Arsak Albania Kaukasus.
Jika dibandingkan dengan jumlah peninggalan tertulis wangsa Sasan maupun wangsa Hakhamanis, peninggalan tertulis bangsa Partia sangatlah langka, baik yang ditulis dalam bahasa Partawa, bahasa Yunani, maupun bahasa-bahasa lain. Selain dari lauh-lauh beraksara paku, pecahan-pecahan ostrakon, piagam-piagam batu, kepingan-kepingan dirham, dan sejumlah naskah perkamen yang kebetulan sintas, sebagian besar sejarah bangsa Partia hanya diketahui dari peninggalan-peninggalan tertulis bangsa-bangsa lain, terutama karya-karya tulis sejarah peninggalan bangsa Yunani dan Romawi, tetapi ada pula keterangan dari catatan sejarah Tiongkok yang dilatari niat wangsa Han untuk membentuk persekutuan melawan konfederasi Xiōngnú.[13] Menurut pandangan para sejarawan, karya-karya seni rupa Partia merupakan sumber sahih dalam usaha memahami aspek-aspek kemasyarakatan dan kebudayaan bangsa Partia yang tidak diuraikan dalam peninggalan-peninggalan tertulis.
Sebelum mendirikan Kekaisaran Partia, Arsak I adalah kepala suku Parni, salah satu suku kuno bangsa Iran di Asia Tengah, dan salah satu suku pengembara yang tergabung dalam konfederasi Daha.[14] Mungkin sekali suku Parni adalah masyarakat penutur bahasa Iran Timur, berbeda dari bahasa Iran Barat Laut yang dituturkan penduduk daerah Partawa ketika itu.[15] Partawa adalah salah satu provinsi di kawasan timur laut Iran pada zaman Kekaisaran Wangsa Hakhamanis maupun Kekaisaran Wangsa Seleukos.[16] Sesudah merebut Partawa, suku Parni mengadopsi bahasa yang dituturkan di Partawa dan menjadikannya bahasa resmi pemerintahan. Bahasa Partawa dipertuturkan bersama-sama bahasa Pahlawa, bahasa Aram, bahasa Yunani, bahasa Babel, bahasa Sogdia, dan berbagai macam bahasa lain di wilayah yang kelak ditaklukan wangsa Arsak.[17]
Alasan wangsa Arsak menetapkan tahun 247 pra-Masehi sebagai tahun pertama pemerintahannya tidak dapat diketahui secara pasti. David Bivar menyimpulkan bahwa tahun 247 pra-Masehi adalah tahun lepasnya daerah Partawa dari kekuasaan wangsa Seleukos akibat pemberontakan Andragoras, satrap yang diangkat wangsa Seleukos sendiri. Dengan demikian, Arsak I "memajukan awal masa pemerintahannya" sampai pada waktu lepasnya Partawa dari kekuasaan wangsa Seleukos.[18] Meskipun demikian, Vesta Sarkhosh Curtis berpendapat bahwa tahun 247 pra-Masehi dipilih hanya karena merupakan tahun pengangkatan Arsak menjadi kepala suku Parni.[19] Homa Katouzian[20] dan Gene Ralph Garthwaite[21] berpendapat bahwa tahun 247 pra-Masehi dipilih karena Arsak menaklukkan Partawa dan mengusir pejabat pemerintah wangsa Seleukos dari daerah itu pada tahun tersebut, tetapi Vesta Sarkhosh Curtis[19] dan Maria Brosius[22] menegaskan bahwa Andragoras baru dikalahkan Arsak pada tahun 238 pra-Masehi.
Pengganti Arsak I tidak diketahui secara jelas. David Bivar[23] dan Homa Katouzian[20] berpendapat bahwa pengganti Arsak adalah Tiridat I, yang kemudian hari digantikan putranya, Arsak II, pada tahun 211 pra-Masehi. Meskipun demikian, Vesta Sarkhos Curtis[24] dan Maria Brosius[25] berpendapat bahwa Arsak II adalah pengganti Arsak I. Menurut Vesta Sarkhosh Curtis, peralihan tampuk pemerintahan dari Arsak I ke Arsak II terjadi pada tahun 211 pra-Masehi, sementara Maria Brosius menganggap peristiwa tersebut terjadi pada tahun 217 pra-Masehi. David Bivar menegaskan bahwa tahun 138 pra-Masehi, tahun terakhir masa pemerintahan Mihrdad I, adalah "tahun pemerintahan pertama yang dapat dipastikan dari sejarah Kekaisaran Partia."[26] Beragamnya pendapat mengenai pokok bahasan tersebut maupun pokok-pokok bahasan lain terkait sejarah Kekaisaran Partia mendorong David Bivar untuk menyusun dua daftar kronologis raja-raja wangsa Arsak yang diterima para sejarawan.[27] Sejak abad ke-2 pra-Masehi, para penguasa Partia mulai mengaku-ngaku sebagai keturunan Raja Persia dari wangsa Hakhamanis, Artahsasta II (memerintah 404-358 pra-Masehi).[28]
Wangsa Arsak memanfaatkan masa-masa invasi Mesir ke kawasan barat wilayah wangsa Seleukos yang dilancarkan Ptolemeos Everietis (memerintah 246–222 pra-Masehi) untuk mengukuhkan kekuasaan mereka atas daerah Partawa dan Warkana. Konflik dari tahun 246 sampai tahun 241 pra-Masehi antara wangsa Seleukos dan wangsa Ptolemeos yang dikenal dengan sebutan Perang Suriah III ini juga dimanfaatkan Satrap Diodotos I untuk memberontak dan mendirikan Kerajaan Yunani-Bahlika di Asia Tengah.[22] Diodotos II, Pengganti Diodotos I, menjalin persekutuan dengan Arsak untuk melawan wangsa Seleukos, tetapi Arsak harus mundur untuk sementara waktu dari Partawa akibat serangan Seleukos II (memerintah 246–225 pra-Masehi).[29] Sesudah beberapa lama hidup tersingkir bersama suku pengembara Apasiak, Arsak melancarkan serangan balasan dan merebut kembali daerah Partawa. Antiokhos Agung (memerintah 222–187 pra-Masehi), pengganti Seleukos II, tidak mampu membendung serangan Arsak karena angkatan bersenjatanya sedang sibuk memadamkan pemberontakan Satrap Molon di daerah Mada.[29]
Antikos Agung melancarkan aksi militer besar-besaran untuk merebut kembali Partawa dan Bahlika pada tahun 210 atau 209 pra-Masehi. Ia gagal mewujudkan niatnya, tetapi berhasil menyepakati perjanjian damai dengan Arsak II, yang kemudian dianugerahi gelar "raja" (bahasa Yunani: βασιλεύς, basileus) sebagai imbalan kepatuhan kepada Antiokhos Agung selaku atasannya.[30] Kekaisaran Wangsa Seleukos tidak dapat lebih jauh mencampuri urusan daerah Partawa karena terkendala invasi Republik Romawi dan kekalahan wangsa Seleukos di Magnesia pada tahun 190 pra-Masehi.[30] Friyapita (memerintah sekitar 191–176 pra-Masehi) menggantikan Arsak II, dan kemudian hari digantikan oleh Frahat I (memerintah sekitar 176–171 pra-Masehi). Frahat I memerintah daerah Partawa tanpa campur tangan wangsa Seleukos.[31]
Frahat I tercatat memperluas wilayah kekuasaan wangsa Arsak sampai ke Gerbang Aleksander dan menduduki daerah Apamea. Lokasi daerah tersebut tidak diketahui.[32] Usaha terbesar wangsa Arsak untuk memperbesar kekuasaan maupun wilayah kedaulatan berlangsung pada masa pemerintahan adik sekaligus pengganti Frahat I, Mihrdat I (memerintah sekitar 171–132 pra-Masehi),[25] tokoh yang dibanding-bandingkan Homa Katouzian dengan Koresy Agung (wafat 530 pra-Masehi), pendiri Kekaisaran Wangsa Hakhamanis.[20]
Hubungan wangsa Arsak dengan Kerajaan Yunani-Bahlika memburuk sepeninggal Diodotos II, ketika angkatan bersenjata Mihrdat I merebut dua eparkia Kerajaan Yunani-Bahlika yang kala itu diperintah oleh Efkratides I (memerintah sekitar 170–145 pra-Masehi).[33] Mihrdat I selanjutnya menyasar wilayah wangsa Seleukos. Ia menginvasi daerah Mada dan menduduki kota Ahmadan pada tahun 148 atau 147 pra-Masehi. Daerah Mada tidak berdaya untuk melawan karena wangsa Seleukos baru saja memadamkan pemberontakan yang dipimpin kepala daerah Mada, Satrap Timarkos.[34] Sesudah berjaya di Mada, Mihrdat I menaklukkan kota Babel di daerah Mesopotamia, tempat Mihrdat I memerintakan penerbitan uang logam di kota Selefkia pada tahun 141 dan menggelar upacara naik takhta secara resmi.[35] Pada saat Mihrdat I mundur ke Warkana, angkatan bersenjatanya menundukkan Kerajaan Elimais dan Kerajaan Karakene serta menduduki kota Susa.[35] Sampai dengan saat itu, wilayah kekuasaan wangsa Arsak telah luas membentang sampai ke Sungai Sindhu.[36]
Meskipun kota Komis adalah ibu kota pertama Kekaisaran Partia, Mihrdat I juga membangun istana di kota Selefkia, Ahmadan, Tisfon, maupun kota yang baru ia dirikan, Mihrdatkert (Nisa, Turkmenistan), tempat makam raja-raja wangsa Arsak dibangun dan dirawat.[37] Istana di Ahmadan menjadi tempat tinggal utama raja-raja wangsa Arsak selama musim panas.[38] Tisfon mungkin baru resmi dijadikan ibu kota pada masa pemerintahan Godarz I (memerintah sekitar 90–80 pra-Masehi).[39] Menurut Maria Brosius, Tisfon dijadikan tempat pelaksanaan upacara penobatan raja-raja wangsa Arsak sekaligus kota yang mewakili seluruh daerah di wilayah Kekaisaran Partia.[40]
Wangsa Seleukos tidak dapat segera membendung invasi wangsa Arsak karena Panglima Diodotos Trifon mengobarkan pemberontakan pada tahun 142 pra-Masehi di Antiokhia, ibu kota Kekaisaran Wangsa Seleukos.[41] Meskipun demikian, pada tahun 140 pra-Masehi, Demetrios Nikator mampu melancarkan invasi balasan ke wilayah Kekaisaran Partia di Mesopotamia. Mula-mula wangsa Seleukos mampu memetik kemenangan, tetapi akhirnya dikalahkan wangsa Arsak. Demetrios Nikator tertangkap dan digiring ke Warkana. Mihrdat I memperlakukan Demetrios Nikator dengan sangat baik, bahkan mengawinkan si tawanan dengan anaknya, Putri Rodoguna.[42]
Antiokhos Sidetes (memerintah 138–129 pra-Masehi), adik Demetrios Nikator, mengambil alih tampuk pemerintahan wangsa Seleukos dan mengawini istri abangnya, Kleopatra Tea. Sesudah mengalahkan Panglima Diodotos Trifon, Antiokhos Sidetes melancarkan kampanye militer pada tahun 130 pra-Masehi untuk merebut kembali Mesopotamia, yang ketika itu merupakan bagian dari wilayah Kekaisaran Partia di bawah pemerintahan Frahat II (memerintah sekitar 132–127 pra-Masehi). Sesudah Indates, panglima Partia, mengalami kekalahan di tepi Sungai Zab Besar, timbul pemberontakan lokal yang menewaskan wali negeri Partia di Babel. Antiokhos Sidetes berhasil menaklukkan Babel dan menduduki Susa, tempat ia menerbitkan uang logam.[43] Setelah pasukannya bergerak memasuki daerah Mada, Partia pun mengajukan tawaran damai. Antiokhos Sidetes tidak bersedia berdamai sebelum wangsa Arsak mengembalikan seluruh daerah yang sudah mereka rebut selain daerah Partawa, membayar upeti dalam jumlah besar, dan melepaskan Demetrios Nikator. Frahat II membebaskan Demetrios Nikator dan memulangkannya ke Suriah, tetapi menolak memenuhi tuntutan-tuntutan yang lain.[44] Pada musim semi tahun 129 pra-Masehi, rakyat Mada memberontak melawan Antiokhos Sidetes karena pasukannya menghabiskan sumber-sumber daya di desa-desa daerah Mada selama musim dingin. Ketika Antiokhos Sidetes sedang sibuk memadamkan pemberontakan, pasukan utama Partia menyerbu Mada dan menewaskan Antiokhos Sidetes dalam pertempuran. Jenazahnya dibawa pulang ke Suriah dalam sebuah peti mati dari perak, putranya dijadikan sandera di Partia,[45] dan putrinya dijadikan salah seorang gundik Frahat II.[46]
Meskipun Kekaisaran Partia berhasil merebut kembali daerah-daerahnya di sebelah barat, ancaman lain muncul di sebelah timur. Pada tahun-tahun 177–176 pra-Masehi, konfederasi suku-suku pengembara, Xiōngnú, mengusir suku pengembara Yuèzhī dari kampung halamannya di daerah yang sekarang menjadi Provinsi Gānsù di Kawasan Barat Laut Tiongkok;[47] Orang Yuèzhī kemudian bermigrasi ke Bahlika sehingga mempersempit ruang gerak suku-suku Saka (orang Skit). Orang Saka terpaksa berpindah semakin jauh ke barat dan menginvasi daerah perbatasan timur laut Kekaisaran Partia,[48] sehingga memaksa Mihrdat I untuk mundur ke Warkana sesudah menaklukkan Mesopotamia.[49]
Beberapa suku Saka bergabung dengan pasukan Frahat II yang dikerahkan untuk menghadapi Antiokhos Sidetes. Meskipun demikian, mereka datang terlambat sehingga tidak ikut terlibat dalam peperangan. Ketika Frahat II menolak membayar upah mereka, orang Saka pun memberontak. Frahat II berusaha mengatasi masalah ini dengan mengerahkan para mantan prajurit Kekaisaran Wangsa Seleukos, tetapi prajurit-prajurit tersebut malah berkhianat dan menyeberang ke kubu Saka.[50] Frahat II maju melawan angkatan bersenjata gabungan orang Saka dan mantan prajurit Seleukos, tetapi ia gugur dalam pertempuran.[51] Sejarawan Romawi Iustinus melaporkan bahwa pengganti Frahat II, Ardawan I (memerintah sekitar 128–124 pra-Masehi) juga bernasib sama ketika berperang melawan suku-suku pengembara di sebelah timur. Menurut laporan Iustinus, Ardawan I tewas dibunuh orang Tokhari (diidentifikasi sebagai orang Yuèzhī), tetapi David Bivar yakin bahwa Iustinus keliru menganggap orang Saka sebagai orang Tokhari.[52] Mihrdat II (memerintah sekitar 124–91 pra-Masehi) kemudian hari merebut kembali daerah-daerah yang dicaplok orang Saka di Sakastan.[53]
Sesudah wangsa Seleukos mundur meninggalkan Mesopotamia, wali negeri Partia di Babel, Himeros, menerima perintah dari istana untuk menaklukkan Kerajaan Karakene yang kala itu diperintah oleh Hispaosines, penguasa kota Karaks Spasinu. Ketika Himeros gagal menunaikan tugasnya, Hispaosines menginvasi Babel pada tahun 127 pra-Masehi, dan menduduki kota Selefkia. Meskipun demikian, pada tahun 122 pra-Masehi, angkatan bersenjata Mihrdat II mengusir Hispaosines dari Babel dan memaksa Karakene menjadi kerajaan bawahan Kekaisaran Partia.[55] Sesudah Mihrdat II memperluas wilayah kedaulatan Partia semakin jauh ke sebelah barat dengan menduduki Dura-Evropos pada tahun 113 pra-Masehi, timbul konflik dengan Kerajaan Armenia.[56] Angkatan bersenjata Partia mengalahkan sekaligus menumbangkan kekuasaan Raja Armenia, Rtawasda I pada tahun 97 pra-Masehi. Putra Rtawasda I, Tigran, dibawa ke Partia sebagai sandera. Kemudian hari, Tigran menjadi Raja Armenia dan dikenal dengan sebutan Tigran Agung (memerintah sekitar 95–55 pra-Masehi).[57]
Kerajaan India-Partia, yang meliputi Afganistan dan Pakistan sekarang ini, menjalin persekutuan dengan Kekaisaran Partia pada abad pertama pra-Masehi.[58] Menurut David Bivar, kedua negara memandang satu sama lain sebagai mitra sejajar.[59] Ketika menghadap Wardan I (memerintah sekitar 40–47 Masehi) di istana Partia pada tahun 42 Masehi, filsuf Yunani Apolonios diberi pengawalan pasukan kerajaan dalam perjalanannya menuju Kerajaan India-Partia. Begitu Apolonios sampai ke Taksasila, ibu kota Kerajaan India-Partia, kepala pasukan pengawal Partia membacakan surat resmi dari Wardan I (mungkin ditulis dalam bahasa Partia) kepada seorang pejabat India yang langsung memperlakukan Apolonios dengan sangat ramah.[58]
Menyusul perjalanan diplomasi Zhang Qian ke Asia Tengah pada masa pemerintahan Kaisar Wǔ (memerintah 141–87 pra-Masehi), rombongan perutusan dari Kekaisaran Wangsa Han menghadap Mihrdat II pada tahun 121 pra-Masehi. Rombongan perutusan tersebut membuka hubungan dagang resmi dengan Partia lewat Jalur Sutra tetapi tidak berhasil menjalin persekutuan militer untuk melawan konfederasi Xiōngnú sebagaimana yang mereka harapkan.[60] Kekaisaran Partia memetik keuntungan besar dari pajak jual beli sutra yang dipungut dari kafilah-kafilah dagang Erasia. Sutra merupakan barang mewah termahal yang diimpor bangsa Romawi.[61] Mutiara juga termasuk barang mahal yang diimpor dari Tiongkok. Sebaliknya Tiongkok membeli rempah-rempah, minyak wangi, dan buah-buahan dari Partia.[62] Wangsa Arsak juga mengirim hadiah berupa satwa-satwa eksotis ke istana wangsa Han. Pada tahun 87 Masehi, Pakur II mengirim beberapa ekor singa dan kijang persia kepada Kaisar Zhāng (memerintah 75–88 Masehi).[63] Selain sutra, barang-barang yang dibeli saudagar-saudagar Romawi dari Partia adalah besi dari India, rempah-rempah, dan kulit samakan halus.[64] Kafilah-kafilah dagang yang melintasi wilayah Partia membawa wadah-wadah kaca buatan Asia Tengah dan sesekali juga wadah-wadah kaca mewah buatan Romawi ke Tiongkok.[65] Saudagar-saudagar Sogdia, yang menuturkan salah satu bahasa rumpun Iran Timur, menjadi pedagang-pedagang perantara utama dalam usaha jual beli sutra antara Partia dan Kekaisaran Wangsa Han di Tiongkok.[66]
Keberadaan Kekaisaran Kusyana yang didirikan orang Yuèzhī di kawasan utara India berdampak baik terhadap keamanan perbatasan timur Kekaisaran Partia.[67] Oleh karena itu sejak pertengahan abad pertama pra-Masehi, pemerintah Kekaisaran Partia memusatkan perhatiannya pada usaha mengamankan perbatasan barat, khususnya dari ancaman bangsa Romawi.[67] Setahun sesudah Mihrdat II menundukkan Armenia, Lucius Cornelius Sulla, Prokonsul Kilikia, menggelar pertemuan dengan diplomat Partia, Orobazus, di Sungai Efrat. Keduanya sepakat untuk menjadikan Sungai Efrat sebagai batas antara wilayah Partia dan wilayah Romawi, meskipun beberapa sejarawan berpendapat bahwa Lucius Cornelius Sulla hanya berwenang meneruskan keinginan pihak Partia kepada pemerintah pusat di Roma.[68]
Kesepakatan ini dilanggar pada tahun 93 atau 92 pra-Masehi, ketika Partia berperang di Suriah melawan seorang kepala suku bernama Laodike bersama sekutunya, Raja Suriah dari wangsa Seleukos, Antiokhos Efsebis (memerintah 95–92 pra-Masehi), yang gugur dalam pertempuran.[69] Ketika, Demetrios Efkairos, salah seorang raja terakhir dari wangsa Seleukos, mencoba mengepung Beria (kota Halab sekarang ini), Partia memberikan bantuan militer kepada warga kota itu sehingga mampu menggagalkan aksi pengepungan.[69]
Mihrdat II digantikan oleh putranya, Godarz I (memerintah 91–87 atau 80 pra-Masehi).[70] Godarz I memerintah pada kurun waktu yang disebut para sejarawan sebagai "Abad Kegelapan Partia" karena ketiadaan informasi mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di Partia pada kurun waktu tersebut, selain dari informasi tentang beberapa masa pemerintahan raja-raja yang tampaknya saling tumpang tindih.[71][72] Sesudah Werod II naik takhta sekitar tahun 57 pra-Masehi, barulah urut-urutan pemegang tampuk pemerintahan Partia kembali dapat diketahui secara jelas.[72] Sistem monarki yang terpecah-belah semacam ini melemahkan Partia, sehingga membuka pulang bagi Tigran Agung, Raja Armenia, untuk menganeksasi wilayah Partia di kawasan barat Mesopotamia. Daerah yang dianeksasi Tigran Agung baru dapat direbut kembali pada masa pemerintahan Sanatruk (memerintah sekitar 78–69 pra-Masehi).[73]
Ketika Perang Mihrdat III meletus, Mihrdat VI, Raja Pontos (memerintah 119–63 pra-Masehi), salah seorang sekutu Tigran Agung, meminta bantuan Partia untuk melawan bangsa Romawi, tetapi Sanatruk menolak mengulurkan bantuan.[74] Ketika Panglima Lucullus memimpin angkatan bersenjata Romawi memasuki ibu kota Kerajaan Armenia, Tigranakert, pada tahun 69 pra-Masehi, Mihrdat VI dan Tigran Agung meminta bantuan Frahat III (memerintah sekitar 71–58 pra-Masehi). Partia sekali lagi menolak mengulurkan bantuan, dan sesudah bangsa Romawi berhasil merebut Tigranakert, Frahat III dan Lucullus meneguhkan kembali kesepakatan untuk menjadikan Sungai Efrat sebagai batas antara wilayah Partia dan wilayah Romawi.[75]
Tigran Muda, putra Tigran Agung, gagal merebut takhta Kerajaan Armedia dari ayahnya. Ia melarikan diri dan meminta suaka dari Frahat III. Atas bujukan Tigran Muda, Frahat III maju mengepung Artasyat, ibu kota baru Kerajaan Armenia. Ketika usaha pengepungan ini gagal, Tigran Muda sekali lagi melarikan diri, dan kali ini meminta suaka dari Pompeius, Panglima Romawi. Ia berjanji akan menjadi pemandu jalan bagi Pompeius di wilayah Armenia, tetapi akhirnya diberangkatkan ke Roma sebagai sandera sesudah Tigran Agung menyatakan kesediaannya untuk berpihak kepada Republik Romawi.[76] Frahat III menuntuk Pompeius menyerahkan Tigran Muda kepadanya, tetapi tidak dikabulkan. Karena tuntutannya tidak dikabulkan, Frahat III menginvasi Kordiene (kawasan tenggara Turki). Menurut dua seumber tertulis Romawi yang saling bertentangan, Konsul Lucius Afranius berhasil memaksa Partia untuk mundur dengan kekuatan militer (menurut salah satu sumber) atau jalan diplomasi (menurut sumber yang lain).[77]
Frahat III tewas dibunuh putra-putranya, Werod II dan Mihrdat IV. Werod II selanjutnya berbalik melawan Mihrdat IV dan memaksanya mengungsi dari Mada ke Suriah, daerah jajahan bangsa Romawi.[78] Aulus Gabinius, Prokonsul Suriah, berusaha membantu Mihrdat IV dengan mengerahkan pasukan ke Sungai Efrat, tetapi harus menarik kembali pasukannya untuk membantu Ptolomeos Avlitis (memerintah 80–58 & 55–51 pra-Masehi) memadamkan pemberontakan di Mesir.[79] Meskipun tidak dibantu bangsa Romawi, Mihrdat IV berhasil menduduki Babel, dan menerbitkan uang logam di Selefkia sampai tahun 54 pra-Masehi. Pada tahun itu, panglima bawahan Werod II, yang hanya dikenal dengan nama keluarganya, Suren, merebut kembali Selefkia dan menghukum mati Mihrdat IV.[80]
Marcus Licinius Crassus, salah seorang dari ketiga triumviri pertama, yang ketika itu menjadi Prokonsul Suriah, menginvasi Partia pada tahun 53 pra-Masehi dalam rangka membantu Mihrdat IV.[81] Pada saat angkatan bersenjata Romawi bergerak menuju Haran, Werod II menginvasi Armenia, sehingga Rtawazda II (memerintah 53–34 pra-Masehi) tidak dapat mengirimkan pasukan Armenia untuk membantu Marcus Licinius Crassus. Werod II membujuk Rtawazda II untuk menjalin persekutuan dengan jalan menjodohkan Putra Mahkota Partia, Pakur II (wafat 38 pra-Masehi), dengan salah seorang saudara perempuan Rtawazda II.[82]
Suren mengerahkan sepasukan prajurit yang seluruhnya berkuda untuk melawan Marcus Licinius Crassus.[83] 1.000 orang katafrak (prajurit bersenjata ganjur) dan 9.000 orang prajurit pemanah berkuda yang dipimpin Suren kalah jumlah sekitar empat banding satu dari angkatan bersenjata yang dipimpin Marcus Licinius Crassus, yang terdiri atas tujuh legiun Romawi dan auxilia (pasukan non-Romawi), sudah termasuk pasukan berkuda asal Galia dan pasukan pejalan kaki bersenjata ringan.[84] Dengan 1.000 ekor unta pengangkut barang, angkatan bersenjata Partia menjamin ketersediaan anak panah yang dibutuhkan pasukan pemanah berkudanya.[84] Pasukan pemanah berkuda menerapkan siasat "panah Partia", yakni pura-pura mundur untuk memancing musuh keluar dari persembunyian, kemudian berbalik menghujani mereka dengan anak panah. Siasat yang dipadukan dengan penggunaan busur rakitan di medan datar ini mampu menghancurkan pasukan pejalan kaki yang dikerahkan Marcus Licinius Crassus.[85]
Sesudah pihak Romawi kehilangan sekitar 20.000 prajurit yang tewas, 10.000 prajurit yang tertawan, dan kurang lebih 10.000 prajurit yang kabur, Marcus Licinius Crassus terpaksa melarikan diri ke pinggiran wilayah Armenia.[86] Dengan angkatan bersenjata Partia di belakangnya, Suren mendekati Marcus Licinius Crassus dan menawarkan kesempatan berunding yang diterima si Panglima Romawi. Meskipun demikian, Marcus Licinius Crassus tewas dibunuh salah seorang perwira bawahannya. Si perwira curiga bahwa kesempatan berunding hanyalah jebakan dan berusaha menghalangi si panglima saat memacu kudanya menuju perkemahan musuh.[87] Kekalahan Marcus Licinius Crassus di Haran merupakan salah satu kekalahan terparah dalam sejarah bangsa Romawi.[88] Kemenangan Partia mengukuhkan reputasinya sebagai negara yang mampu menciutkan nyali Republik Romawi, kalau bukan sama kuat dengan negara besar itu.[89] Dengan membawa pengikut, tawanan perang, maupun barang-barang berharga yang dijarah dari bangsa Romawi, dan menempuh jarak sekitar 700 km (430 mil), Suren akhirnya tiba di Selefkia, tempak kemenangannya dirayakan dengan meriah. Tak lama kemudian, Suren dihukum mati atas perintah Werod II, yang khawatir ambisi besar Suren kelak akan menumbangkan kekuasaan wangsa Arsak.[88]
Didorong oleh kemenangannya dalam perang melawan Marcus Licinius Crassus, Partia mencoba merebut daerah-daerah kekuasaan Romawi di Asia Barat.[90] Putra Mahkota Pakur I dan Panglima Osakes menyerbu daerah Suriah sampai ke Antiokhia pada tahun 51 SM, tetapi dipukul mundur oleh Gaius Cassius Longinus, yang menyergap dan menewaskan Osakes.[91] Wangsa Arsak memihak Pompeius ketika berperang melawan Iulius Caesar, bahkan mengerahkan pasukan untuk memperkuat angkatan bersenjata anti-Caesar dalam Pertempuran Filipi pada tahun 42 pra-Masehi.[92]
Quintus Labienus, panglima yang setia kepada Cassius dan Brutus, berperang di pihak Partia melawan Triumviratus II pada tahun 40 SM. Tahun berikutnya, ia menginvasi Suriah bersama-sama Pakur I.[93] Triumvir Marcus Antonius tidak dapat memimpin usaha membendung invasi Partia karena harus berangkat ke Italia untuk menghadapi saingannya, Octavianus, dan pada akhirnya berunding dengannya di Brundisium.[94]
Sesudah Provinsi Suriah diduduki pasukan Pakur I, Labienus memisahkan diri untuk menginvasi Anatolia, sementara Pakur I dan panglimanya, Barzafarnes, menginvasi jajahan Romawi di Syam.[93] Mereka berhasil menundukkan semua permukiman di pesisir Laut Tengah sampai ke Ptolemais (sekarang Akko, Israel), kecuali kota Tirus.[95] Di Yudea, angkatan bersenjata Yahudi pro-Romawi yang dipimpin Imam Besar Hirkanus II, Fasael, dan Herodes kalah melawan Partia dan sekutu Yahudinya, Antigonus Matatias (memerintah 40–37 pra-Masehi). Antigonus Matatias kemudian naik takhta menjadi Raya Yudea, sementara Herodes melarikan diri ke bentengnya di Masada.[93]
Meskipun meraih keberhasilan besar, Partia disingkirkan dari Syam dalam waktu singkat dengan serang balasan Romawi. Publius Ventidius Bassus, salah seorang perwira bawahan Marcus Antonius, mengalahkan dan menewaskan Quintus Labienus dalam Pertempuran Gerbang Kilikia (sekarang Provinsi Mersin, Turki) pada tahun 39 pra-Masehi.[96] Tk lama kemudian, satu pasukan Partia di Suriah di bawah pimpinan Panglima Farnapates dikalahkan Publius Ventidius Bassus dalam Pertempuran Celah Amanus.[96]
Pakur I terpaksa mundur dari Suriah. Ketika kembali ke Suriah pada musim semi tahun 38 pra-Masehi, ia harus menghadapi Publius Ventidius Bassus dalam Pertempuran Gunung Gindaros di sebelah timur laut Antiokhia. Pakur I gugur dalam pertempuran, sementara pasukannya mundur ke daerah seberang Sungai Efrat. Kematian Pakur I menyulut krisis suksesi di Partia. Werod II memilih Frahat IV (memerintah sekitar 38–2 pra-Masehi) menjadi putra mahkota yang baru.[97]
Begitu naik takhta, Frahat IV menyingkirkan pesaing-pesaingnya dengan membunuh maupun menghukum buang saudara-saudaranya sendiri.[98] Monaeses, salah seorang saudara Frahat IV, meminta suaka dari Marcus Antonius dan berhasil membujuknya untuk menginvasi Partia.[99] Pada tahun 37 pra-Masehi, Marcus Antonius mengalahkan Antigonus Matatias, Raja Yudea sekutu Partia, dan menggantinya dengan Herodes selaku raja-pengikut Romawi.
pada tahun 36 pra-Masehi, ketika Marcus Antonius memimpin pergerakan pasukannya menuju Teodosiopolis, Rtawazda II, Raja Armenia, sekali lagi menyeberang ke kubu Romawi dengan mengirim bala bantuan kepada Marcus Antonius. Kerajaan Media Atropatene (sekarang daerah Azerbaijan, Iran]]), yang kala itu diperintah oleh sekutu Partia, Rtawazda I, diserang Marcus Antonius, dengan niat merebut Praaspa, ibu kota Media Atropatene yang kini tidak diketahui lokasinya. Meskipun demikian, Frahat IV menyergap detasemen belakang dari pasukan Marcus Antonius, menghancurkan pelantak raksasa yang disiapkan untuk aksi pengepungan Praaspa, kemudian menelantarkan prajurit-prajurit detasemen tersebut begitu saja.[100]
Pasukan Partia mengejar dan menggerogoti kekuatan pasukan Markus Antonius yang lari ke Armenia, sehingga kekuatan tempur yang berhasil sampai ke Suriah sudah sangat menipis.[101] Mrcus Antonius menjebak Rtawazda II dengan janji persekutuan melalui ikatan perkawinan. Rtawazda II ditawan pada tahun 34 pra-Masehi, dan diarak dalam pawai olok-olok yang digelar Marcus Antonius di Aleksandria, Mesir.[102] Rtawazda II akhirnya dihukum mati Kleopatra VII, Ratu Mesir.[103][104]
Marcus Antonius berusaha menjalin persekutuan dengan Rtawazda I, Raja Media Atropatene, ketika hubungan baiknya dengan Frahat IV sedang terganggu. Upaya ini tidak dituntaskan ketika Marcus Antonius dan pasukannya meninggalkan Armenia pada tahun 33 pra-Masehi guna menghindari invasi Partia di saat-saat Octavianus menyerang pasukannya di wilayah barat.[104] Sesudah kekalahan dan peristiwa bunuh diri Marcus Antonius dan Ratu Kleopatra VII pada tahun 30 SM,[105] Artasyes II, sekutu Partia, naik takhta menjadi Raja Armenia.
Jika dibandingkan dengan Kekaisaran Wangsa Hakhamanis, maka pemerintahan Kekaisaran Partia tampak sebagai pemerintahan yang terdesentralisasi.[106] Salah satu sumber sejarah asli Partia menyingkap bahwa tata pemerintahan daerah-daerah yang diawasi pemerintah pusat di Kekaisaran Partia sangat mirip dengan tata pemerintahan daerah di Kekaisaran Wangsa Seleukos. Kedua-duanya menerapkan tiga jenjang hierarki daerah. Daerah tingkat marzbān, xšatrap, dan dizpat di Kekaisaran Partia mirip dengan daerah tingkat satrapia, eparkia, dan hiparkia di Kekaisaran Wangsa Seleukos.[107] Kekaisaran Partia juga mencakup sejumlah kerajaan bawahan yang bersifat semiotonom, antara lain Kerajaan Iberia, Kerajaan Armenia, Kerajaan Atropatene, Kerajaan Gordiene, Kerajaan Adiabene, Kerajaan Edesa, Kerajaan Hatra, Kerajaan Mesene, Kerajaan Elimais, dan Kerajaan Parsa.[108] Para penguasa negara bagian menjalankan pemerintahan di wilayah masing-masing dan mencetak uang sendiri yang berbeda dari uang kekaisaran yang dicetak oleh lembaga percetakan uang kekaisaran.[109] Menurut Brosius, kenyataan yang sama juga terjadi pada zaman wangsa Hakhamanis, yang juga membawahi beberapa negara kota, dan bahkan daerah-daerah kesatrapan yang jauh dari pusat dan bersifat semimerdeka, tetapi menurut Brosius tetap "mengakui kedaulatan tertinggi raja, membayar upeti, dan menyediakan dukungan militer".[110] Meskipun demikian, para satrap Partia memerintah wilayah yang lebih kecil, dan mungkin tidak begitu bergengsi dan berpengaruh seperti wilayah-wilayah yang dulu diperintah satrap-satrap Hakhamanis.[111]
Uang dirham Yunani, yang lazimnya terbuat dari perak,[112] termasuk pecahan empat dirham, digunakan sebagai mata uang standar di seluruh wilayah Kekaisaran Partia.[113] Raja-raja wangsa Arsak mendirikan percetakan uang logam di kota Komis, kota Seleukos, dan kota Ekbatana.[40] Mereka juga mungkin sekali mendirikan percetakan uang logam di Mihrdatkert (Nisa).[24] Sejak Kekaisaran Partia berdiri sampai dengan keruntuhannya, jarang ada keping dirham cetakan Partia yang beratnya kurang dari 3,5 gram dan lebih dari 4,2 gram.[114] Keping-keping pecahan empat dirham cetakan pertama Partia, dengan berat kurang lebih 16 gram, muncul sesudah Mihrdat I menaklukkan Mesopotamia, dan secara khusus dicetak di Seleukos.[115]
Jenis pakaian yang biasa dikenakan orang Partia bila sedang mengendarai hewan tunggangan tampak pada arca perunggu seorang bangsawan Partia yang ditemukan di Syami, Provinsi Khūzestān. Arca setinggi 1,9 meter (6 kaki) ini tampak mengenakan jaket, tunik, ikat pinggang, celana panjang longgar berlipit-lipit, sabuk kaki, dan diadem atau ikat kepala.[116] Pakaian semacam ini lazim terlihat pada gambar-gambar relief uang logam Partia dari pertengahan abad pertama pra-Masehi.[117]
Arca-arca berpakaian khas Partia telah ditemukan dalam kegiatan ekskavasi di situs Hatra, Irak. Arca-arca tersebut tampak mengenakan baju khas Partia (qamis), dipadu dengan celana panjang, dan terbuat dari bahan yang halus dan bercorak.[118] Kalangan bangsawan Hatra meniru tatanan rambut bob, tutup kepala, dan tunik dengan ikat pinggang yang dikenakan kaum bangsawan di lingkungan pusat pemerintahan wangsa Arsak.[119] Paduan baju dan celana panjang juga dikenakan oleh raja-raja wangsa Arsak, sebagaimana yang tampak pada gambar-gambar sisi ekor uang logam Partia.[120] Paduan baju dan celana panjang Partia juga diadopsi di Tadmur, Suriah, demikian pula frontalitas khas Partia dalam seni rupa.[121]
Patung-patung perempuan dari golongan masyarakat kaya tampak mengenakan jubah luar berlengan panjang, baju, kalung, anting-anting, gelang, dan tutup kepala yang disemati perhiasan.[122] Baju mereka yang berlipit-lipit dikencangkan dengan peniti di salah satu pundak.[119] Salah satu jenis tutup kepala mereka adalah tengkuluk yang terjela ke punggung.[119]
Sebagaimana yang tampak pada uang-uang logam Partia, tutup kepala raja-raja Partia terus berganti dari waktu ke waktu. Uang-uang logam keluaran terawal memuat gambar raja-raja Partia mengenakan baslik (bahasa Yunani: κυρβᾰσία, kirbasia), songkok lunak dengan bagian yang menjuntai pada pelipis.[123] Baslik mungkin dibuat meniru bentuk tutup kepala satrap pada zaman wangsa Hakhamanis maupun bentuk topi lancip yang tampak pada relief-relief dari zaman wangsa Hakhamanis di Behistun dan Parsa.[124] Pada uang-uang logam keluaran awal masa pemerintahannya, Mihrdat I digambarkan mengenakan baslik, tetapi pada uang-uang logam yang dikeluarkan menjelang akhir masa pemerintahannya, ia tampak mengenakan diadem kerajaan khas Helenistik.[125] Mihrdat II adalah raja Partia pertama yang digambarkan mengenakan tiara bertatahkan permata dan mutiara, yakni jenis tutup kepala yang lazim dikenakan raja-raja wangsa Arsak menjelang tumbangnya Kekaisaran Partia, dan yang dikenakan pula oleh raja-raja wangsa Sasan.[126]
Sebagai negara yang menoleransi perbedaan budaya dan keyakinan, Kekaisaran Partia mengadopsi bahasa Yunani menjadi bahasa resmi, walaupun bahasa Aram tetap menjadi lingua franca-nya.[2] Bahasa-bahasa asli Iran seperti bahasa Partawa, bahasa Persia Pertengahan, dan bahasa Akad juga digunakan.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.