Loading AI tools
perusahaan asal Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
PT Eagle High Plantations Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: BWPT) yang bergerak di bidang usaha perkebunan dan pemrosesan produk-produk dari kelapa sawit.[3]
Publik | |
Kode emiten | IDX: BWPT |
Industri | Perkebunan, Agribisnis |
Didirikan | 6 November 2000 |
Kantor pusat | Noble House, Lantai 12 Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. E 4.2 No. 2 Mega Kuningan, Jakarta, Indonesia[1] |
Tokoh kunci | Henderi Djunaidi (Direktur Utama) Abed Nego (Komisaris Utama)[2] |
Produk | kelapa sawit |
Karyawan | 16.037 (keseluruhan) 19 (inti) (2021)[1] |
Induk | PT Rajawali Capital International (Rajawali Corpora): 37,70% FIC Properties Sdn. Bhd. (FGV Holdings Berhad): 37,70%[1] |
Situs web | www |
Perusahaan awalnya didirikan dengan nama PT Bumi Perdana Prima Internasional di tanggal 6 November 2000.[3] Akar dari perusahaan ini bisa ditarik ke bisnis perkebunan milik pengusaha asal Bangka Belitung bernama Budiono Widodo, yang mengawali bisnis sawitnya sebanyak 722 ha di bawah PT Bumilanggeng Perdanatrada pada tahun 1996 di Kotawaringin Barat, Kalimantan Utara dengan modal Rp 30 miliar. Belakangan, bisnis ini diambilalih oleh anaknya, Tjipto Widodo yang menyehatkan bisnis kelapa sawit keluarga yang saat itu sedang sekarat. Bumi Perdana Prima sendiri awalnya hanya merupakan perusahaan pengolahan kelapa sawit milik keluarga Widodo, yang saat itu berkapasitas 45 ton/jam dan didirikan dengan uang pinjaman BNI.[4][5]
Bisnis ini kemudian berkembang dengan sejumlah perusahaan lainnya seperti PT Wana Catur Jaya Utama, PT Adhayaksa Dharmasatya, PT Bumihutani Lestari, PT Sawit Sukses Sejahtera, PT Satria Manunggal Sejahtera dan PT Agrolestari Kencana Makmur yang dimiliki dengan cara akuisisi atau didirikan sendiri. Tjipto lalu mereorganisasi perusahaan-perusahaan itu sebagai anak usaha dari PT Bumi Perdana Prima Internasional sebagai perusahaan induk, yang pada pertengahan 2000-an totalnya sudah memiliki lahan sawit seluas 15.000 ha dan pabrik pengolahan sawit berkapasitas 105 ton/jam.[4][5] Nama PT Bumi Perdana Prima Internasional kemudian diganti menjadi PT BW Plantation pada 3 Desember 2007.[6] Nama "BW" sendiri diambil dari nama Budiono Widodo, sedangkan kepemilikannya saat itu ada di bawah PT Surya Cipta Sejahtera dan PT Cahaya Cipta Global.[7] Tjipto sendiri menjabat sebagai Presiden Komisaris, sedangkan Abdul Halim Ashari (profesional) menjadi Presiden Direktur.[8][9] Fokus usaha BW Plantation lebih ke perkebunan sawit dan pengolahannya ke CPO saja karena Tjipto melihatnya lebih menguntungkan.[4]
Pada tanggal 27 Oktober 2009, BW Plantation mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (go public) sebagai emiten ke-8 yang melakukan IPO di tahun tersebut,[10] dengan melepas 1,2 miliar lembar (30%) sahamnya ke publik yang ditawarkan dengan harga Rp 550. Pasca-IPO yang meraih dana Rp 666,054 miliar ini, kepemilikan BW Plantation terdiri dari PT BW Investindo 38,89%, Fendalton Investments Pte. Ltd. 23,33%, PT Wahana Platinum Indonesia 3,89%, PT Mitra Energi Global 3,89% dan sisanya publik. Dana IPO tersebut, direncanakan mayoritas digunakan untuk penanaman sawit baru.[11] Terkecuali Fendalton (kepanjangan tangan LGT Group, sebuah bank asal Lichtenstein), tiga perusahaan tersebut adalah milik keluarga Widodo. Meskipun ukuran perusahaan ini masih kecil (kapitalisasi pasar-nya hanya Rp 4,1 triliun, terkecil kedua di BEI dari emiten kelapa sawit serta lahan yang ditanam dan dimiliki hanya sebesar 46.048 dan 90.582 hektar), namun perusahaan ini mengklaim kapitalisasi pasarnya akan meningkat (menjadi US$ 1 miliar dalam 4 tahun kedepan),[12] seiring peningkatan produksi 10-30% pada tiga tahun berikutnya, dibanding tahun 2010 sebesar 95.000 ton CPO. Pertumbuhan ini disebabkan karena usia muda pada kebun sawitnya, bibit yang unggul dan adanya fasilitas, teknologi dan manajemen yang adaptif. Pada kuartal-III 2010, BW Plantation mencatatkan produksi 270.563 ton kelapa sawit.[5][13] Ekspansi penanaman sawit juga terus dilakukan, dimana pada 2009 telah ditanam 14.000 ha dan 2010 telah ditanam 10.600 ha.[8]
Dalam perkembangannya, BW Plantation tercatat memiliki 89.648 ha kebun sawit, yang berlokasi di Kalimantan Tengah, Timur dan Barat.[14][15] Di tahun 2013, perusahaan ini berekspansi dengan akuisisi 95% saham PT Bumi Sawit Utama yang memiliki perkebunan sawit 6.000 ha di Kalimantan Barat seharga 23,7 miliar,[16] dan mencatatkan di kuartal pertama tahun tersebut peningkatan produksi kelapa sawit dari 31.011 ton menjadi 40.026 ton.[17] Untuk ekspansi, di tanggal 8 April 2013, BW Plantation juga telah mendapatkan kredit Rp 722 miliar dari BRI.[18]
Namun, di tahun ini (tepatnya pada 12 Desember 2013), juga terjadi pelepasan saham oleh beberapa pemegang saham BW Plantation, seperti Fendalton Investments Pte. Ltd. dan PT Mitra Energi Global yang menjual sahamnya kepada Matacuna Group yang berbasis di British Virgin Islands senilai 558,3 juta (12,9%) saham dengan harga Rp 605,8 miliar.[19] Terkuak kemudian bahwa Matacuna merupakan lengan salah satu konglomerasi di Indonesia, Rajawali Corpora.[20] Di bulan September 2014, tercatat Rajawali sudah memiliki 21,54% saham, dari Matacuna dan beberapa pemegang saham lain yang baru dibelinya, menjadikannya pemegang saham terbesar kedua setelah pengendali PT BW Investindo (35,11%).[21]
Setelah masuknya Rajawali, pihak BW Plantation mengumumkan rencana akuisisi Golden Eagle Holdings Pte. Ltd., anak usaha Green Eagle Palm Ltd., yang juga dimiliki oleh Rajawali Corpora senilai Rp 10,53 triliun. Dengan akuisisi ini, diperkirakan lahan sawit BW Plantation akan menjadi lebih dari 419.000 ha dari hanya 94.000 ha saat itu.[22] Selain itu, kapasitas pabrik pengolahannya juga akan menjadi 2 juta ton/tahun, lahan tertanam menjadi 147.000 ha dan produksi CPO perusahaan menjadi 307.000 ton/tahun.[20] Golden Eagle Holdings sendiri merupakan perusahaan kelapa sawit yang sudah berdiri sejak 2011, awalnya merupakan kongsi Rajawali dengan Louis Dreyfus Commodities Asia Pte. Ltd., anak usaha Louis Dreyfus Company, Prancis.[23] Namun, belakangan Louis Dreyfus keluar dari kerjasama itu pada Juli 2014 setelah seluruh sahamnya dibeli Rajawali.[20] Golden Eagle tercatat memiliki lahan di Papua, Kalimantan Selatan, Barat dan Tengah yang memperkerjakan 2.000 orang dengan kapasitas produksi 100.000 ton minyak sawit.[24] Hingga akhir Juni 2014, Golden Eagle memiliki aset Rp 6,96 triliun serta 66.750 ha kebun sawit dan cadangan di daerah lain seperti Jambi, Sumatera Barat, dan Sulawesi, yang total keseluruhannya mencapai 196.000 ha.[25] Belakangan, luas lahan milik Golden Eagle Holdings juga ditambah dengan akuisisi lahan sawit lainnya milik Rajawali sebesar 129.000 ha di bulan Agustus 2014.[20]
Akuisisi itu rupanya diiringi dengan proses rights issue yang dianggap terbesar kedua saat itu di Indonesia - senilai Rp 10-11 triliun.[20] Dalam transaksi yang tuntas pada Desember 2014 ini, Rajawali (lewat PT Rajawali Capital International) menjadi pengendali baru BW Plantation dengan kepemilikan 74%, mengambilalih sahamnya dari beberapa pemegang saham lama.[26][27] Rajawali kemudian juga menempatkan orangnya di kursi Komisaris Utama menggantikan Tjipto Widodo.[28] Pembelian 100% saham Golden Eagle Holdings Pte. Ltd. kemudian selesai dilakukan pada 24 Desember 2014, dimana dari dana hasil rights issue yang mencapai Rp 10,8 triliun, sekitar Rp 10,5 triliunnya digunakan untuk akuisisi perusahaan tersebut.[29] Sisa dananya sendiri, diperkirakan akan digunakan untuk modal kerja.[30] Akuisisi ini membuat posisi BWPT naik sebagai perusahaan publik yang memiliki lahan sawit terbesar kedua di Indonesia. Seiring pengambilalihan perusahaan ini oleh Rajawali dan backdoor listing usaha sawitnya, pada 27 November 2014, nama PT BW Plantation Tbk resmi berganti menjadi PT Eagle High Plantations Tbk.[31] Eagle High menjadi konsolidasi bisnis kelapa sawit Rajawali yang sudah digarap grup ini sejak 2000-an. Pasca-akuisisi ini, Eagle High Plantations menargetkan produksi CPO perusahaan naik menjadi 350.000 ton, kapasitas pabrik pengolahan menjadi 385 ton/jam (yang akan menjadi 550 ton/jam seiring penyelesaian pabrik di Papua, Kalimantan Timur, Tengah dan Barat pada 2016) serta menganggarkan belanja modal Rp 1,3 triliun.[32] Tercatat, landbank Eagle High pasca transaksi diatas mencapai 425.000 ha, dengan 67%-nya ada di Kalimantan, 9% di Papua, 19% di Sulawesi dan 5% di Sumatra, dengan 152.000 ha-nya sudah ditanami kelapa sawit.[33]
Hanya beberapa bulan setelah akuisisi tersebut, Rajawali sukses mengundang FGV Holdings Berhad, perusahaan milik Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (FELDA, BUMN Malaysia) untuk menjadi investor di Eagle High. Pada 12 Juni 2015, Rajawali dan FGV mengumumkan kesepakatan dimana FGV akan membeli 37% saham Eagle High (senilai US$ 680 juta) dan 95% bisnis gula milik Rajawali.[33] Pada 23 Desember 2016, transaksi yang mencapai Rp 6,9 triliun (US$ 505,4 juta) tersebut resmi dilakukan, meskipun banyak analis di Malaysia melihat transaksi itu "kemahalan" (dihargai Rp 774/lembar saham) dibanding saat Rajawali dahulu membeli BW Plantation dan harga saham Eagle High saat diperdagangkan yang mencapai Rp 74, belum lagi masalah-masalah yang bisa muncul seperti kondisi FELDA yang sejak 2013 mulai memburuk,[34] serta kondisi keuangan Eagle High yang masih belum stabil.[35] Pembelian ini rupanya terkait dengan politik: bahwa Perdana Menteri Malaysia saat transaksi itu dilakukan adalah Najib Razak, rekan dekat pemilik Rajawali (dan Eagle High), Peter Sondakh.[36][37] Akibatnya, sejak pemerintahan Najib jatuh di tahun 2018, makin banyak seruan untuk melepaskan saham FELDA dalam opsi put option kepada Rajawali dan meminta grup itu mengembalikan dana pembelian 37% saham Eagle High.[38][39][40]
Di luar polemik masuknya FGV tersebut, sebenarnya masih ada perkembangan menarik lain tentang Eagle High. Pada tahun 2016 misalnya, perusahaan menargetkan ekspansi pabrik pengolahan sawitnya di Papua dan Kalimantan.[41] Selain itu, tercatat beberapa anak usaha perusahaan ini juga telah memperoleh serfitikat ISPO pada 2018.[42] Pada tahun itu juga, perusahaan berhasil mencatatkan untung setelah merugi sejak 2015, dikarenakan produksi tandan buah segar yang naik 33%,[43] mencapai 1,80 juta ton. Produksi CPO dan palm kernel juga naik 24% dan 29% menjadi 383.000 ton dan 63.000 ton.[44] Namun, tekanan yang belakangan dihadapi, juga membuat perusahaan tidak melakukan ekspansi dan fokus pada 140.000 ha lahan sawit yang sudah ditanam secara efisien dan efektif.[45] Baru-baru ini, Eagle High juga melepas sejumlah anak usahanya. Pada 16 April 2021, telah dilepas PT Angrolestari Kencana Makmur dan PT Bumi Sawit Utama,[46] PT Prima Cipta Selaras di bulan November 2021,[47] dan PT Sawit Sukses Sejahtera di tanggal 16 Maret 2021[48] kepada pihak ketiga sebagai bentuk efisiensi dan untuk pembiayaan pembayaran utang.[49]
Saat ini, Eagle High Plantations Tbk bergerak di industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang ada di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Total luas lahan perkebunan yang berlokasi di ketiga pulau tersebut mencapai 116.000 hektar (masing-masing 2.000, 102.000 dan 2.000 ha), sedangkan kapasitas 8 pabrik kelapa sawit yang dimiliki perusahaan ini sebesar 2,5 juta ton tandan buah segar per tahun. Pabrik ini mengolah kelapa sawit menjadi CPO (minyak sawit mentah) dan inti sawit. Eagle High mencatat total produksi TBS sebesar 1.018.715 ton dan CPO sebesar 231.754 ton pada tahun 2021. Di tahun tersebut, perusahaan ini mencatatkan pendapatan Rp 2,9 triliun (naik 34%), namun merugi Rp 1,43 triliun dan aset menurun 20% menjadi Rp 12,04 triliun.[1] Untuk meningkatkan kinerjanya, perusahaan akan fokus pada optimalisasi dan produktivitas sumber daya yang ada, sehingga pendapatan naik dua digit.[50]
Kepemilikan saham saat ini dikuasai oleh PT Rajawali Capital Internasional (Rajawali Corpora) 37,7%, FIC Properties Sdn. Bhd. (37%), dan publik (25,3%).[51]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.