Loading AI tools
film Jepang tahun 2008 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Departures (Jepang: おくりびと , Hepburn: Okuribito, "orang yang mengantar") adalah film drama Jepang tahun 2008 yang disutradarai oleh Yōjirō Takita dan dibintangi oleh Masahiro Motoki, Ryōko Hirosue, serta Tsutomu Yamazaki. Film ini bercerita mengenai seorang pria muda yang kembali ke kampung halamannya setelah gagal berkarir sebagai pemain selo dan akhirnya tersandung ke dalam pekerjaan sebagai nōkanshi—pengurus ritual pemakaman tradisional Jepang. Ia menjadi sasaran prasangka dari orang-orang di sekitarnya, termasuk dari istrinya, karena tabu sosial yang kuat terhadap orang-orang yang berurusan dengan kematian. Akhirnya ia memperbaiki hubungan antarpribadi tersebut melalui keindahan dan kemuliaan dari pekerjaannya.
Departures | |
---|---|
Sutradara | Yōjirō Takita |
Produser | Yasuhiro Mase Toshiaki Nakazawa |
Ditulis oleh | Kundō Koyama |
Pemeran | |
Penata musik | Joe Hisaishi |
Sinematografer | Takeshi Hamada |
Penyunting | Akimasa Kawashima |
Perusahaan produksi | Tokyo Broadcasting System Amuse Soft Entertainment Asahi Shimbun Dentsu Mainichi Broadcasting System Sedic Shochiku ShoPro TBS Radio & Communications |
Distributor | Shochiku |
Tanggal rilis |
|
Durasi | 130 menit |
Negara | Jepang |
Bahasa | Bahasa Jepang |
Pendapatan kotor | $70 juta[1] |
Ide untuk menggarap Departures muncul setelah Motoki, yang terpengaruh dengan upacara pemakaman yang dilihatnya di sepanjang sungai Gangga ketika berkunjung ke India, mulai membaca secara luas mengenai topik kematian dan menemukan sebuah buku berjudul Coffinman. Ia merasa bahwa cerita ini dapat diadaptasi ke dalam sebuah film, dan pengerjaan Departures dapat diselesaikan satu dekade kemudian. Karena adanya prasangka oleh orang Jepang terhadap mereka yang menangani pemakaman, distributor enggan untuk merilisnya—hingga film tersebut memenangkan nominasi utama yang mengejutkan di Festival Film Dunia Montreal pada Agustus 2008. Film tersebut dirilis di Jepang pada bulan berikutnya, yang kemudian memenangkan Penghargaan Akademi untuk Film Tahun Ini dan menjadi film domestik terlaris pada tahun itu. Kesuksesan terus berlanjut hingga puncaknya pada tahun 2009, ketika film ini menjadi film Jepang pertama yang memenangkan Penghargaan Akademi untuk Film Internasional Terbaik.[a]
Departures mendapatkan ulasan positif, dengan situs web Rotten Tomatoes menampilkan peringkat penerimaan sebesar 80% dari 108 ulasan untuk film ini. Para kritikus memuji humor film tersebut, keindahan upacara pemakaman, dan kualitas akting, namun beberapa orang mempermasalahkan prediktabilitas dan sentimentalitas yang terang-terangan. Para pengulas menyoroti berbagai aspek, terutama pada hadirnya kemanusiaan yang dibawa oleh kematian dan bagaimana hal tersebut dapat memperkuat ikatan keluarga. Kesuksesan Departures menyebabkan pembangunan tempat-tempat wisata di lokasi yang berhubungan dengan film tersebut dan peningkatan minat pada upacara pemakaman, serta adaptasi cerita dalam berbagai media, termasuk manga dan drama panggung.
Daigo Kobayashi (Masahiro Motoki) kehilangan pekerjaannya sebagai pemain selo ketika orkestra tempat ia bekerja ditutup. Ia dan istrinya Mika (Ryōko Hirosue) kemudian memutuskan untuk pindah dari Tokyo ke kampung halamannya di Yamagata, mereka tinggal di rumah masa kecilnya yang ditinggalkan ketika ibunya meninggal dua tahun sebelumnya. Rumah tersebut memiliki bagian depan berupa kedai kopi yang dahulu dijalankan oleh ayah Daigo, sebelum ia melarikan diri bersama dengan seorang pramusaji ketika Daigo berusia enam tahun. Sejak saat itu keduanya tidak pernah berhubungan lagi. Daigo membenci ayahnya dan merasa bersalah karena tidak dapat merawat ibunya dengan baik. Ia masih menyimpan "batu bertulis"—batu yang konon menyampaikan makna melalui teksturnya—yang diberikan ayahnya bertahun-tahun sebelumnya.
Daigo menemukan lowongan pekerjaan untuk "membantu keberangkatan". Ia mengira jika pekerjaan tersebut pasti berhubungan dengan agen perjalanan, sehingga ia langsung pergi ke kantor Agen NK untuk melakukan wawancara. Daigo mendapat penjelasan dari sekretaris kantor, Yuriko Kamimura (Kimiko Yo), bahwa ia akan bertugas mempersiapkan jenazah untuk dikremasi dalam upacara yang dikenal sebagai pemakaman. Meskipun enggan, Daigo langsung dipekerjakan dan menerima uang muka dari bos barunya, Sasaki (Tsutomu Yamazaki). Daigo merahasiakan tugas sebenarnya dari pekerjaannya itu dari Mika.
Tugas pertamanya adalah membantu pemakaman seorang wanita yang meninggal di rumah dan tidak ditemukan selama dua minggu. Ia dilanda mual dan kemudian dipermalukan oleh orang-orang di dalam bus ketika pulang kerja karena mencium aroma yang tidak sedap pada dirinya. Untuk membersihkan dirinya, ia mengunjungi pemandian umum yang sering ia kunjungi ketika masih kecil. Pemandian umum tersebut dimiliki oleh Tsuyako Yamashita (Kazuko Yoshiyuki), ibu dari salah satu teman sekelas Daigo semasa sekolah dahulu.
Seiring berjalannya waktu, Daigo mulai merasa nyaman dengan profesinya ketika ia menyelesaikan sejumlah tugas dan mendapatkan rasa terima kasih dari keluarga almarhum. Meskipun ia menghadapi pengucilan sosial, Daigo menolak untuk berhenti, bahkan setelah Mika memutuskan untuk meninggalkannya kembali ke rumah orang tuanya di Tokyo karena menemukan DVD pelatihan yang menunjukkan tugas Daigo. Teman sekelas Daigo semasa sekolah sekaligus anak dari pemilik pemandian umum, Yamashita (Tetta Sugimoto) bersikeras agar ia mencari pekerjaan yang lebih baik dan sejak saat itu, Yamashita menghindari Daigo dan keluarganya.
Setelah beberapa bulan, Mika kembali dan memberitahukan bahwa ia hamil. Ia bersikeras agar Daigo menemukan pekerjaan yang bisa dibanggakan oleh anak mereka kelak nanti. Selama perdebatan dengan istrinya, Daigo menerima panggilan untuk memakamkan Nyonya Yamashita. Daigo mempersiapkan jenazahnya di depan keluarga Yamashita dan Mika, yang mengenal pemilik pemandian umum tersebut. Upacara tersebut membuatnya dihormati oleh semua orang yang hadir, dan Mika berhenti untuk bersikeras agar Daigo mengganti pekerjaannya.
Beberapa waktu kemudian, Daigo diberitahukan soal kematian ayahnya. Daigo mengalami perasaan amarah yang hebat dan memberi tahu yang lain di kantor NK bahwa ia menolak untuk berurusan dengan tubuh ayahnya. Ayah Daigo merasa malu karena telah lama meninggalkan putranya sendiri, Yuriko menceritakan hal tersebut kepada Daigo agar dapat mengubah pikirannya. Daigo mencaci maki Yuriko dan bergegas keluar hingga menenangkan diri dan berbalik. Ia pergi bersama Mika untuk melihat jenazah ayahnya. Daigo tidak dapat mengenalinya pada awalnya, hingga merupakan merasa kesal ketika pengurus pemakaman setempat ceroboh dengan jenazahnya. Ia bersikeras untuk mendandaninya sendiri, dan ketika melakukannya ia menemukan batu bertulis yang ia berikan kepada ayahnya, dipegang erat-erat pada tangan jenazah ayahnya itu. Kenangan masa kecil mengenai wajah ayahnya kembali kepadanya, dan setelah ia menyelesaikan upacara, Daigo dengan lembut menekan batu bertulis tersebut di perut Mika yang sedang hamil.
Pemakaman Jepang umumnya dilakukan dalam tata cara ritual agama Buddha.[2] Saat mempersiapkan pemakaman, tubuh jenazah dibasuh dan rongga-rongga tubuh ditutupi dengan kapas atau kain kasa. Ritual pemakaman (disebut nōkan, bermakna keberangkatan), seperti yang digambarkan Departures jarang dilakukan, dan hanya dilakukan di daerah pinggiran.[3] Upacara ini tidak memiliki aturan baku, tetapi umumnya melibatkan ahli pemakaman profesional (disebut nōkanshi),[b] yang mempersiapkan tubuh jenazah, memakaikan pakaian putih, dan kadang kala memakaikan riasan wajah. Lalu jenazah diletakkan di atas es kering dalam peti mati, bersama dengan barang pribadi yang diperlukan dalam perjalanan menuju akhirat.[4]
Terlepas dari pentingnya ritual kematian, orang yang sudah meninggal dianggap tidak suci dalam budaya tradisional Jepang karena segala sesuatu yang berhubungan dengan kematian dianggap menjadi sumber kegare (kotoran). Setelah bersentuhan dengan jenazah, seseorang harus menyucikan diri melalui ritual penyucian.[5] Orang-orang yang bekerja dekat dengan jenazah, seperti pengurus pemakaman, dianggap tidak suci, dan selama zaman feodal mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan kematian menjadi burakumin (orang yang tidak tersentuh), dan dipaksa untuk tinggal di dusun mereka sendiri dan didiskriminasikan oleh masyarakat luas. Meskipun terjadi pergeseran budaya sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868, stigma kematian masih memiliki kekuatan yang cukup besar dalam masyarakat Jepang, dan diskriminasi terhadap mereka yang tidak tersentuh terus berlanjut.[c][6]
Hingga tahun 1972, sebagian besar kematian ditangani oleh keluarga, rumah duka, atau nōkanshi. Pada tahun 2014, sekitar 80% kematian terjadi di rumah sakit, dan persiapan jenazah sering dilakukan oleh staf rumah sakit; dalam kasus tersebut, keluarga sering tidak melihat jenazah sampai dimakamkan.[7] Sebuah survei pada tahun 1998 menemukan bahwa 29,5% dari penduduk Jepang percaya adanya kehidupan setelah kematian, dan 40% lainnya penasaran akan hal itu; kalangan yang paling banyak mempercayainya berasal dari kaum muda. Kepercayaan akan adanya jiwa (54%) dan hubungan antara dunia yang hidup dan yang mati (64,9%) juga sesuatu yang umum.[8]
Pada awal tahun 1990-an, Motoki yang berusia 27 tahun dan temannya berkunjung ke India; sebelum berangkat, ia membaca buku Momento Mori karya Shin'ya Fujiwara (bahasa Latin untuk "ingatlah bahwa engkau akan mati").[9] Ketika berada di India, ia mengunjungi Varanasi, di mana ia melihat sebuah upacara di mana jenazah dikremasi dan abunya diapungkan di Sungai Gangga.[10] Menyaksikan upacara kematian tersebut dengan berlatar kerumunan orang yang sibuk menjalani hidup mereka sangat mempengaruhi Motoki.[9] Ketika ia kembali ke Jepang, ia membaca banyak buku mengenai kematian, dan pada tahun 1993, ia menulis sebuah buku mengenai hubungan antara hidup dan mati: Tenkuu Seiza–Hill Heaven.[d][11] Salah satu buku yang ia baca adalah Coffinman: The Journal of a Buddhist Mortician yang merupakan otobiografi dari Shinman Aoki. Motoki mengatakan bahwa ia merasakan misteri dan kedekatan erotisisme dengan profesi yang ia rasa memiliki persamaan dengan dunia perfilman.[e][12]
Pendanaan untuk proyek film ini sulit diperoleh karena adanya tabu terhadap kematian, dan tim produksi mencoba untuk mendekati beberapa perusahaan sebelum Departures akhirnya disetujui oleh Toshiaki Nakazawa dan Yasuhiro Mase.[13] Menurut sutradara film, Yojiro Takita, pertimbangan dalam mengambil tema kematian untuk film ini adalah usia para kru: "kita sampai pada titik tertentu dalam hidup kita di mana kematian merayap menjadi unsur di sekitar kita".[14] Kundō Koyama diminta untuk menulis naskahnya, menjadi pengalaman pertamanya untuk menulis naskah layar lebar; sebelumnya ia hanya menulis naskah untuk televisi dan pertunjukan panggung.[15] Takita, yang memulai karirnya dalam genre film merah muda sebelum memasuki dunia perfilman arus utama pada tahun 1986 dengan Comic Magazine,[f] mengambil peran sebagai sutradara pada tahun 2006, setelah produser Toshiaki Nakazawa memberi draf pertama naskah kepadanya.[16] Dalam wawancara selanjutnya, ia menyatakan, "Saya ingin membuat film dari sudut pandang seseorang yang berurusan dengan sesuatu yang begitu universal namun dipandang rendah, dan bahkan didiskriminasi."[17] Meskipun ia mengetahui mengenai upacara pemakaman, ia sama sekali belum pernah melihat prosesinya.[3]
Produksi Departures memakan waktu selama sepuluh tahun, dan karya tersebut akhirnya hanya diadaptasi secara tidak sempit dari Coffinman;[18] revisi naskah selanjutnya dikerjakan secara kolaboratif oleh para pemain dan tim produksi.[19] Meskipun aspek keagamaan dari pemakaman penting di karya sumbernya (Coffinman), film tersebut tidak memasukkannya. Hal tersebut dikarenakan pembuatan film diselesaikan di Yamagata dan bukan di prefektur Toyama, rumah Aoki, yang menyebabkan ketegangan antara staf produksi dan penulis. Aoki menyatakan keprihatinannya bahwa film tersebut tidak dapat membahas "nasib akhir orang yang meninggal".[20] Edisi pertama buku Coffinman dibagi menjadi tiga bagian; yang ketiga, "Cahaya dan Kehidupan", adalah renungan Buddhis yang berbentuk seperti esai mengenai hidup dan mati, mengenai "cahaya" yang terlihat ketika seseorang merasakan pembauran hidup dan mati. Bagian ini tidak dimasukkan dalam film tersebut.[21] Aoki percaya bahwa pendekatan humanistik film tersebut menghilangkan aspek-aspek keagamaan yang menjadi inti dari buku Coffinman—penekanan pada pemeliharaan hubungan antara yang hidup dan yang mati yang ia rasa hanya bisa diberikan oleh agama—dan menolak untuk mengizinkan nama dan bukunya digunakan.[22] Untuk judul baru, Koyama menciptakan istilah okuribito sebagai eufemisme untuk nōkanshi, yang berasal dari kata okuru ("mengirim") dan hito ("orang").[23]
Meskipun buku dan film tersebut memiliki dasar pemikiran yang sama, detail dalam keduanya sangat berbeda; Aoki menghubungkan perubahan ini dengan studio yang membuat cerita tersebut menjadi lebih komersial.[24] Keduanya menampilkan protagonis yang menanggung kegelisahan dan prasangka karena pekerjaannya sebagai nōkanshi,[22] mengalami pertumbuhan pribadi sebagai hasil dari pengalamannya, dan menemukan makna baru dalam hidup ketika dihadapkan dengan kematian.[25] Dalam buku dan film tersebut, karakter utama berurusan dengan prasangka masyarakat dan kesalahpahaman atas profesinya.[26] Dalam Coffinman, protagonisnya merupakan pemilik kafe pub yang gulung tikar; istrinya melemparkan koran padanya selama pertengkaran rumah tangga, di mana ia menemukan lowongan untuk pekerjaan nōkanshi.[27] Ia menemukan kebanggaan terhadap pekerjaannya untuk pertama kalinya ketika berhadapan dengan tubuh mantan pacarnya.[26] Koyama mengubah protagonis dari pemilik bar menjadi pemain selo karena dia menginginkan tema orkestrasi selo masuk ke dalam film tersebut.[28] Perbedaan lainnya diantaranya memindahkan latar tempat dari Toyoma ke Yamagata untuk kenyamanan pembuatan film, membuat "batu bertulis" menjadi bagian besar dari alur cerita,[29] dan menghindari adegan yang berat, seperti adegan religius dan adegan ketika Aoki berbicara mengenai melihat "cahaya" dalam segerombolan belatung.[22] Koyama juga menambahkan subalur ketika Daigo dapat memaafkan mendiang ayahnya; diambil dari novel yang ditulisnya, dimaksudkan untuk menutup cerita dengan "beberapa rasa kebahagiaan".[30]
Motoki, yang saat itu berusia 40-an tahun dan sedang membangun reputasi sebagai seorang realis, berperan sebagai Daigo.[g][31] Aktor kawakan Tsutomu Yamazaki terpilih untuk memerankan Sasaki;[32] Takita pernah bekerja sama dengan Yamazaki dalam We Are Not Alone (1993).[33] Meskipun karakter Mika pada awalnya direncanakan memiliki usia yang sama seperti Daigo, peran itu kemudian diberikan kepada seorang penyanyi pop Ryoko Hirosue, yang sebelumnya berperan dalam film Takita berjudul Himitsu pada tahun 1999.[h] Takita beralasan bahwa aktris yang lebih muda akan lebih mewakili pertumbuhan pasangan utama dari kenaifan.[32] Dalam wawancara pada tahun 2009, Takita menyatakan bahwa ia telah memilih "semua orang yang ada dalam daftar keinginannya" untuk bermain di filmnya.[34]
Motoki mempelajari seni pemakaman secara langsung dari seorang pengurus pemakaman, dan mencoba membantu dalam sebuah upacara pemakaman yang sebenarnya; ia kemudian menyatakan bahwa pengalaman itu memberinya "rasa misi...untuk mencoba menggunakan kehangatan manusia sebanyak yang saya bisa untuk mengembalikan [almarhum] pada sosok hidupnya untuk ditunjukkan kepada keluarganya".[35] Motoki kemudian melatih dirinya dengan berlatih pada manajer bakatnya sampai dia merasa menguasai prosedurnya, yang gerakannya lebih rumit dan halus dibandingkan dengan upacara minum teh Jepang.[36] Takita menghadiri upacara pemakaman untuk memahami perasaan keluarga yang ditinggalkan, sementara Yamazaki tidak pernah berpartisipasi dalam pelatihan pemakaman.[37] Motoki juga mempelajari cara memainkan selo untuk bagian awal film.[38]
Untuk memberikan tubuh yang realistis sekaligus mencegah jenazah bergerak, kru memilih figuran yang bisa berbaring setenang mungkin setelah proses pemilihan pemeran yang panjang. Bagi pemilik pemandian Tsuyako Yamashita, hal tersebut tidak mungkin karena perlu untuk melihat gerakannya terlebih dahulu, dan pencarian tubuh ganda tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya, kru menggunakan efek digital untuk mentransplantasikan gambar diam aktor selama adegan pemakaman karakter, memungkinkan efek yang realistis.[34]
Organisasi nirlaba Sakata Location Box dibentuk pada Desember 2007 untuk menangani masalah di lokasi seperti mengatur perekrutan tambahan dan menegosiasikan lokasi. Setelah memutuskan untuk melakukan perekaman film di Sakata, staf Location Box memiliki waktu selama dua bulan untuk mempersiapkan delapan puluh anggota kru film.[39] Negosiasi berjalan lambat, karena banyak pemilik properti lokal yang kehilangan minat setelah mengetahui bahwa pembuatan film akan melibatkan adegan pemakaman; mereka yang setuju bersikeras agar proses perekaman film dilakukan di luar jam kerja.[40]
Toyama merupakan latar dari Coffinman dan prefektur asal Takita, tetapi perekaman dilakukan di Yamagata; hal ini sebagian besar dikarenakan Asosiasi Nōkan nasional, yang berkantor pusat di Hokkaido, memiliki kantor cabang di Sakata.[41] Beberapa adegan awal berlatar pemandangan bersalju diambil pada tahun 2007, dan pembuatan film utama dimulai pada April 2008, berlangsung selama 40 hari.[42] Lokasi pembuatan film termasuk Kaminoyama, Sakata, Tsuruoka, Yuza, dan Amarume.[43] Kantor Agen NK direkam di gedung tiga lantai bergaya Barat di Sakata yang dibangun antara pertengahan Zaman Meiji dan Taishō (1880-an-1920-an). Awalnya merupakan sebuah restoran bernama Kappo Obata, yang gulung tikar pada tahun 1998.[44] Kafe keluarga Kobayashi, yang disebut Concerto dalam film tersebut, terletak di Kaminoyama di bekas salon kecantikan. Dari seratus kandidat, Takita memilihnya karena suasananya sebagai bangunan tua dengan pemandangan yang jelas dari sungai terdekat dan pegunungan di sekitarnya.[45] Adegan rekaman DVD pelatihan dilakukan di Sakata Minato-za, bioskop pertama Yamagata, yang ditutup sejak 2002.[46]
Lagu tema untuk Departures dibuat oleh Joe Hisaishi, seorang komposer yang telah mendapatkan pengakuan internasional untuk karyanya dengan Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli. Sebelum perekaman film dimulai, Takita memintanya untuk menyiapkan sebuah lagu tema yang akan mewakili perpisahan antara Daigo dan ayahnya, serta cinta seorang petugas pemakaman untuk istrinya.[47] Karena pentingnya selo dalam narasinya, Hisaishi menekankan instrumen tersebut dalam lagu temanya;[48] ia menggambarkan tantangan untuk memusatkan skor pada selo sebagai salah satu hal tersulit yang pernah ia lakukan.[49] Skor tersebut dimainkan selama perekaman film, yang menurut Takita "memungkinkan [para kru] untuk memvisualisasikan banyak emosi dalam film tersebut" dan dengan demikian berkontribusi pada kualitas karya yang diselesaikan.[50]
Sebagai "bagian dramatis utama", upacara pemakaman dalam Departures menerima berbagai macam komentar.[51] Mike Scott, dalam The Times-Picayune, mengatakan bahwa adegan tersebut indah dan memilukan. Nicholas Barber dalam The Independent mendeskripsikannya sebagai adegan yang "elegan serta bermartabat".[52] James Adams dalam The Globe and Mail menyatakan bahwa upacara tersebut merupakan ritual dari ketenangan, anugerah yang dapat menghipnosis, dengan kemahiran yang dapat menyihir."[53] Seiring berlalunya film tersebut, Paul Byrnes dari The Sydney Morning Herald berpendapat bahwa penonton dapat memperoleh pengetahuan serta pentingnya upacara tersebut.[51] Penonton melihat bahwa upacara tersebut bukan hanya tentang bagaimana mempersiapkan jenazah, tetapi juga tentang "membawa kemuliaan pada kematian, penghormatan kepada orang yang meninggal dan penghibur bagi mereka yang berduka", jenazah dapat membantu dalam memperbaiki ikatan keluarga yang rusak dan menyembuhkan kerusakan yang terjadi pada mereka yang ditinggalkan.[54]
Terdapat idealisasi nōkanshi seperti yang disajikan dalam film. Orang yang meninggal dalam film ini masih muda atau sudah disiapkan, sehingga "penonton dapat dengan mudah mentoleransi gambar-gambar ini di layar".[55] Jenazah yang tidak ditemukan selama beberapa hari tidak pernah ditampilkan di film.[55] Tidak ada jenazah yang menunjukkan sosok kurus dari orang yang meninggal dikarenakan sakit berkepanjangan, atau luka dan memar korban kecelakaan.[56] Ahli Jepang, Mark R. Mullins, menulis bahwa rasa syukur yang ditampilkan dalam Departures mungkin tidak akan terjadi dalam kehidupan nyata; menurut Coffinman, "tidak ada strata yang paling rendah daripada pengurus pemakaman, dan kebenarannya adalah bahwa [orang-orang Jepang] takut pada peti mati dan kremator seperti halnya kematian dan mayat".[57]
Dalam sebuah montase, adegan Daigo memainkan selo masa kecilnya sambil duduk di luar ruangan diselingi dengan adegan upacara pemakaman. Byrnes percaya bahwa adegan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan muatan emosional film,[51] dan Roger Ebert, dari Chicago Sun-Times menganggapnya sebagai "adegan fantasi yang indah" ketika kamera "diberikan kebebasan mendadak" dari standar perekaman film pada umumnya.[58] Yoshiko Okuyama dari Universitas Hawaii di Hilo menemukan bahwa gerakan cekatan Daigo dalam memainkan selo mencerminkan profesionalisme tingkat tinggi yang dicapainya.[59] Beberapa pengulas, seperti Leigh Paatsch dari Herald Sun, mempertanyakan perlunya adegan tersebut.[60] Sepanjang lagu tema film, musik selo tetap dominan.[53] Takita menarik kesejajaran antara instrumen selo dan upacara pemakaman, menyatakan bahwa
... ironisnya, terdapat kesamaan antara proses pemakaman dan tindakan memainkan selo. Ketika Anda memainkan selo, instrumen tersebut memiliki badan, bagian yang berbentuk lekukan. Pemain selo merangkul badan saat memainkan instrumen tersebut, dengan cinta, dan penuh kasih sayang. Hal tersebut sangat mirip, secara fisik, dengan tindakan pengurus pemakaman, membuai badan tersebut, dengan halus dan lembut.[61]
Byrnes menemukan bahwa Departures menggunakan simbol sakura, bunga yang mekar setelah musim dingin hanya untuk melayukan dirinya setelah itu, untuk menggambarkan kefanaan kehidupan; melalui pemahaman ini, tulisnya, orang Jepang berusaha mendefinisikan keberadaan mereka sendiri. Simbol-simbol alam selanjutnya disajikan melalui perubahan musim, yang "menunjukkan perubahan emosional yang halus" dalam karakter tersebut,[51] serta batu bertulis, yang mewakili "cinta, komunikasi, [dan] tongkat estafet yang diturunkan dari generasi ke generasi".[62] Latar film ini digunakan untuk menyampaikan sensasi berbeda, termasuk kesunyian pedesaan dan keintiman pemandian umum.[63] Warna putih, yang dimanifestasikan melalui salju, krisan, dan objek lainnya, terlihat jelas dalam film tersebut; Okuyama menunjukkan bahwa hal ini, bersama dengan musik klasik dan gerakan tangan yang diritualkan, mewakili kesucian dan kemurnian dari upacara kematian.[64]
Departures menggabungkan aspek humor, pelengkap "tidak terduga" untuk tema kematian yang disugestikan Ebert dapat digunakan untuk menutupi ketakutan penonton.[65] Betsy Sharkey, dari Los Angeles Times, berpendapat bahwa, melalui penggunaan humor ini, film tersebut menjadi tidak terlalu gelap dan malah bertindak sebagai "perpaduan hangat" antara imajinasi dan ironi.[54] Humor ini bermanifestasi dalam berbagai cara, seperti adegan ketika "Daigo yang malu-malu, hanya mengenakan sebuah popok dewasa, membuatnya merasa enggan sebagai model" untuk video pelatihan mengenai proses pemakaman, serta adegan ketika Daigo menyadari bahwa orang yang ia persiapkan adalah seorang transwanita.[i][66] Takita menyatakan bahwa penambahan unsur humor merupakan hal yang disengaja karena manusia pada dasarnya jenaka, dan humor tersebut tidak bertentangan dengan unsur gelap film tersebut.[17]
Beberapa kritikus membahas tema kematian yang digunakan dalam Departures. Scott menyoroti perbedaan antara tabu kematian dan nilai-nilai pekerjaan yang terkait dengannya. Ia juga menandai peran dari pengurus pemakaman dalam menunjukkan "tindakan belas kasih terakhir" untuk orang yang meninggal dengan cara memelihara kenangan yang membanggakan dalam hidup mereka.[67] Pada awalnya, Daigo dan keluarganya tidak dapat mengatasi tabu dan rasa mual saat berhadapan dengan kematian. Daigo diasingkan dari istrinya dan teman-temannya karena nilai-nilai tradisional.[63] Pada akhirnya, melalui pekerjaannya dengan kematian, Daigo menemukan penyelesaian, dan, seperti yang disimpulkan oleh Peter Howell dari Toronto Star, penonton menyadari bahwa "kematian mungkin merupakan akhir dari kehidupan, tetapi itu bukan akhir dari kemanusiaan".[63] Okuyama menulis bahwa, pada akhirnya, film ini (dan buku yang mendasarinya) berfungsi sebagai "protes yang tenang namun gigih" terhadap diskriminasi terus-menerus terhadap orang-orang yang berurusan dengan kematian di Jepang era modern: kematian adalah bagian yang normal dalam kehidupan, bukan sesuatu yang menjijikkan.[68]
Seiring dengan tema kematian ini, Takita percaya bahwa Departures merupakan cerita mengenai kehidupan, mengenai ditemukannya perasaan manusia yang hilang;[27] Daigo memperoleh perspektif yang lebih besar mengenai kehidupan dan menyadari keragaman kehidupan manusia hanya setelah mempertemukan mereka dengan kematian.[69] Kehidupan ini termasuk ikatan kekeluargaan: Daigo berdamai dengan ayahnya merupakan motif utama, adegan pemakaman berfokus pada anggota keluarga yang masih hidup daripada yang sudah meninggal, dan bahkan di kantor Agen NK, percakapan sering kali berkisar pada masalah keluarga. Kehamilan Mika merupakan katalis untuk rekonsiliasinya dengan Daigo.[22]
Ebert menulis bahwa, sama seperti film Jepang lainnya seperti Tokyo Story (1953) dan The Funeral (1984), Departures berfokus pada efek kematian pada orang yang selamat; kehidupan setelah kematian tidak banyak dibicarakan.[70] Ia menganggap hal tersebut merupakan indikasi dari "penerimaan kematian yang dalam dan tidak sensasional" dalam budaya Jepang, yang tidak harus dihadapi dengan kesedihan yang ekstrem, tetapi dengan kontemplasi.[71] Takita menyatakan bahwa ia bermaksud untuk fokus pada "dialog antara orang yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkannya".[17] Film ini menimbulkan pertanyaan mengenai kehidupan setelah kematian: kremasi menyamakan kematian dengan "pintu gerbang", dan Okuyama menulis bahwa dalam pengertian ini kremator adalah penjaga gerbang dan pengurus pemakaman adalah pemandu.[23]
Byrnes menemukan bahwa Departures menyebabkan orang-orang bertanya sejauh mana pengaruh modernitas terhadap budaya Jepang, dengan memperhatikan arus bawah dari "sikap dan nilai-nilai tradisional" yang meresapi film tersebut. Meskipun upacara pemakaman secara tradisional diselesaikan oleh keluarga almarhum, penurunan minat untuk mengurus upacara pemakaman membuka "peluang pasar" untuk pekerjaan pengurus pemakaman profesional.[51] Okuyama menulis bahwa, melalui film ini, Takita mengisi "kekosongan spiritual" yang disebabkan oleh penyimpangan tradisi dalam Jepang modern.[72] Tadao Sato menghubungkan tema modernisasi ini dengan tema kematian, menjelaskan bahwa perlakuan tidak pahit yang luar biasa dari film ini terhadap kematian menunjukkan sebuah evolusi dalam perasaan orang Jepang mengenai hidup dan mati. Ia menganggap film tersebut memperlakukan nōkan sebagai nilai seni daripada upacara keagamaan untuk merefleksikan sikap agnostik dalam Jepang modern.[22]
Topik yang tabu dari Departures membuat para calon distributor ragu untuk mengambil film tersebut.[73] Survei yang dilakukan saat pemutaran pra-rilis menempatkannya pada bagian bawah daftar film yang ingin ditonton penonton.[73] Debut film ini di Festival Film Dunia Montreal pada Agustus 2008 yang memenangkan penghargaan utama memberikan tambahan kepercayaan bagi distributor untuk memilih Departures; hal tersebut akhirnya membuat film ini dirilis secara domestik di Jepang pada 13 September 2008.[74] Bahkan kemudian, karena tabu yang kuat terhadap kematian, Takita khawatir mengenai penerimaan film dan tidak berharap jika film ini sukses secara komersial, dan yang lain menyatakan keprihatinan bahwa film ini tidak memiliki target penonton yang jelas.[75]
Kekhawatiran tersebut kemudian sirna; Departures yang melakukan debut di Jepang menempati posisi kelima, dan selama minggu kelima penayangannya, film tersebut mencapai posisi puncak di posisi ketiga.[73] Film ini berhasil menjual 2,6 juta tiket di Jepang dan menghasilkan pendapatan box office sebesar 3,2 miliar yen ($32 juta) dalam lima bulan setelah debutnya.[76] Film ini masih ditayangkan di 31 bioskop ketika kesuksesannya di Academy Awards pada Februari 2009 kembali diminati; jumlah bioskop yang menayangkannya meningkat menjadi 188 bioskop dan film ini kembali menghasilkan ¥2.8 miliar ($28 juta), dengan total pendapatan sebesar ¥6 miliar ($60 juta). Hal ini membuat Departures menjadi film domestik dengan pendapatan kotor tertinggi dan film terlaris ke-15 secara keseluruhan pada tahun 2008.[77] Produser eksekutif Yasuhiro Mase menyatakan kesuksesan tersebut merupakan dampak dari Resesi Besar di Jepang: para penonton mulai mencari pekerjaan setelah berempati dengan Daigo.[78]
Sejak awal, film tersebut dimaksudkan untuk dirilis secara internasional; karena bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa utama dalam festival film internasional, teks bahasa Inggris disiapkan. Terjemahannya dikerjakan oleh Ian MacDougall.[79] Ia percaya cara kerja dari dunia pengurus pemakaman jauh dari pengalaman sebagian besar orang Jepang seperti halnya penonton non-Jepang. Oleh karena itu, ia merasa terjemahan yang tepat adalah yang terbaik, tanpa mengkhawatirkan unsur lintas-budaya yang tidak dimengerti oleh para penonton luar negeri.[80]
Pada September 2008, ContentFilm mengakuisisi hak internasional untuk Departures, yang pada saat itu telah dilisensikan untuk pemutaran di negara-negara seperti Yunani, Australia, dan Malaysia; film tersebut akhirnya diputar di 36 negara.[81] Distribusi Amerika Utara ditangani oleh Regent Releasing, dan Departures menerima perilisan terbatas di sembilan bioskop mulai 29 Mei 2009. Secara keseluruhan, film tersebut menghasilkan hampir $1,5 juta selama penayangannya di Amerika Utara sebelum ditutup pada 24 Juni 2010.[82] Di Britania Raya, Departures tayang perdana pada 4 Desember 2009 dan didistribusikan oleh Arrow Film Distributors.[83] Film tersebut memperoleh pendapatan kotor di seluruh dunia hampir $70 juta.[84]
Sebelum Departures ditayangkan perdana, sebuah adaptasi manga oleh Akira Sasō diserialisasikan dalam dua belas bab pada majalah dwi-mingguan Big Comic Superior, dari Februari hingga Agustus 2008. Sasō sepakat untuk mengadaptasikannya karena ia terkesan dengan naskahnya. Ia diberi kesempatan untuk menonton film tersebut sebelum memulai adaptasi, dan merasa bahwa adaptasi yang terlalu literal tidak akan sesuai. Ia membuat perubahan pada latar dan penampilan fisik karakter, dan meningkatkan fokus pada peran musik dalam cerita tersebut.[85] Kemudian pada tahun 2008, serial tersebut dikompilasikan dalam volume dengan 280 halaman yang dirilis oleh Shogakukan.[86]
Pada 10 September 2008, tiga hari sebelum penayangan perdana Departures di Jepang, sebuah album lagu tema untuk film tersebut—berisi sembilan belas lagu dari film tersebut dan menampilkan penampilan orkestra oleh anggota Orkestra Simfoni Metropolitan Tokyo dan NHK dirilis oleh Universal Music Japan.[87] Penyanyi pop Ai menyediakan lirik dengan musik oleh Hisaishi untuk image song "Okuribito/So Special"; dibawakan oleh Ai dengan aransemen selo dan orkestra, singel tersebut dirilis oleh Universal Sigma pada 10 September 2008 bersama dengan video promosi.[88] Lembaran musik untuk jalur suara film tersebut diterbitkan oleh KMP pada tahun 2008 (untuk selo dan piano) dan Onkyō pada tahun 2009 (untuk selo, biola, dan piano).[89]
Shinobu Momose, seorang penulis yang berspesialisasi dalam novelisasi, mengadaptasi Departures sebagai sebuah novel. Novel tersebut diterbitkan oleh Shogakukan pada tahun 2008. Pada tahun tersebut, perusahaan tersebut juga merilis Ishibumi[j] (batu bertulis), sebuah buku bergambar mengenai tema film yang diceritakan dari sudut pandang sebuah batu bersurat; buku tersebut ditulis oleh Koyama dan diilustrasikan oleh Seitarō Kurota.[90] Pada tahun berikutnya, Shogakukan menerbitkan edisi draf pertama skenario Koyama.[91] Sebuah versi drama panggung dari film tersebut, yang juga berjudul Departures, ditulis oleh Koyama dan disutradarai oleh Takita. Drama panggung tersebut melakukan debut di Akasaka ACT Theater pada 29 Mei 2010, yang menampilkan aktor kabuki Nakamura Kankurō sebagai Daigo dan Rena Tanaka sebagai Mika.[92] Drama panggung tersebut, menyangkut ketidakamanan putra pasangan tersebut atas profesi Daigo.[93]
Perilisan DVD dual-layer, dengan fitur khusus termasuk cuplikan film, dokumentasi pembuatan film, dan rekaman upacara pemakaman, dirilis di Jepang pada 18 Maret 2009.[94] Edisi DVD Amerika Utara dari Departures, mencakup wawancara dengan sutradara, dirilis oleh Koch Vision pada 12 Januari 2010; film tersebut tidak disulihsuarakan ke dalam bahasa Inggris, melainkan disajikan dengan audio dalam bahasa Jepang dan takarir dalam bahasa Inggris. Edisi Blu-ray menyusul pada Mei 2010.[95] Rilisan video rumahan ini menerima ulasan yang beragam. Franck Tabouring dari DVD Verdict sangat memuji film dan transfer digital tersebut, visual yang bersih dan tajam serta audio (terutama musiknya) "menyenangkan untuk didengarkan".[96] Thomas Spurlin, yang menulis untuk DVD Talk, menilai rilisan tersebut sebagai "sangat direkomendasikan", dengan fokus pada "kekuatan yang tidak terduga" dari kualitas film tersebut.[97] Penulis lain dari situs web tersebut, Jeremy Mathews, menyarankan pembaca untuk "lewati saja", karena DVD tersebut merupakan presentasi yang sesuai dari materi sumber—yang ia anggap "dengan sendirinya mengurangi canggung, mencoba mengisi cangkir pada keanehan dan komedi yang kuat, adegan pemedih mata yang berulang-ulang".[98] Kedua pengulas DVD Talk tersebut setuju bahwa kualitas audio dan visual kurang dari sempurna, dan bahwa konten tambahan DVD tersebut buruk; Mathews menggambarkan wawancara itu sebagai sutradara yang menjawab "pertanyaan membosankan dengan cara yang membosankan".[99]
Departures umumnya mendapat ulasan positif dari para kritikus. Pengumpul ulasan Rotten Tomatoes mengambil sampel dari 108 pengulas dan menilai peringkat persetujuan sebesar 80%, dengan skor rata-rata 7,06 dari 10. Konsensus kritikal situs web tersebut menyatakan, "Jika lambat dan dapat diprediksi, Departures merupakan kisah yang tenang dan menguatkan kehidupan".[100] Agregator Metacritic memberikan skor pada film tersebut sebesar 68 dari 100, berdasarkan 27 ulasan.[101]
Ulasan-ulasan awal di Jepang cenderung positif. Dalam Kinema Junpo, Tokitoshi Shioda memuji Departures sebagai titik balik dalam karier Takita, sebuah drama yang menangkap tawa dan air mata,[102] sementara dalam publikasi yang sama, Masaaki Nomura menggambarkan film tersebut sebagai karya yang luwes dan mendalam yang mungkin mengindikasikan perubahan dalam periode kedewasaan Takita, memuji sutradara karena menangkap perasaan manusia dari penampilan Motoki sebagai pengurus pemakaman yang bersungguh-sungguh.[103] Dalam tulisannya pada Yomiuri Shimbun, Seichi Fukunaga memuji Takita karena menggunakan cerita yang menyentuh dan emosional yang sarat dengan humor untuk membalikkan prasangka terhadap topik yang tabu. Ia memuji penampilan Motoki dan Yamazaki, terutama saat mereka memerankan Daigo yang serius melawan Sasaki yang kebingungan.[104]
Dalam Asahi Shimbun, Sadao Yamane berpendapat bahwa film tersebut dibuat dengan mengagumkan dan memuji penampilan para aktornya. Yamane sangat terkesan dengan gerakan tangan yang halus yang ditunjukkan oleh Motoki ketika ia melakukan upacara pemakaman.[105] Tomomi Katsuta dalam Mainichi Shimbun menyatakan bahwa Departures merupakan sebuah cerita penuh makna yang membuat penontonnya berpikir mengenai ragam kehidupan yang dijalani orang-orang dan memaknai orang yang sekarat. Dalam surat kabar yang sama, Takashi Suzuki menganggap film ini berkesan tetapi dapat diprediksi, dan Yūji Takahashi berpendapat bahwa kemampuan film tersebut untuk menemukan kebaikan dalam subjek yang penuh prasangka merupakan pencapaian yang sangat baik.[106] Shōko Watanabe memberi empat dari lima bintang untuk Departures dalam surat kabar The Nikkei serta memuji penampilan para aktor yang terkesan alami.[107]
Setelah kesuksesan Departures di Academy Awards, kritikus Saburō Kawamoto menyatakan bahwa film tersebut menunjukkan Jepang yang dapat dipahami oleh orang Jepang, karena di negara yang sangat menjunjung kebiasaan kunjungan ke makam leluhur,[k] kematian selalu menjadi urusan keluarga. Ia percaya bahwa film tersebut memiliki "keindahan samurai" di dalamnya dengan beberapa adegan keluarga yang duduk dengan gaya seiza.[22] Kritikus Yūichi Maeda memberikan nilai 90% untuk film tersebut dan memuji penampilan dari dua pemeran utama untuk sebagian besar kesuksesan film tersebut. Ia memuji dampak emosional serta keseimbangan dari keseriusan dan humor, tetapi lebih kritis terhadap hubungan ayah-anak, yang dianggap berlebihan. Maeda menghubungkan kesuksesan internasional film tersebut, terlepas dari banyaknya konten Jepang itu sendiri, dengan penggambaran yang jelas dari pandangan Jepang mengenai hidup dan mati. Ia menemukan skala konseptual dari film tersebut memiliki kesamaan dengan Hollywood (sesuatu yang ia anggap kurang dalam kebanyakan film Jepang).[108]
Pengulas Takurō Yamaguchi memberikan nilai sebesar 85% untuk film tersebut dan menemukan penggambaran subjeknya yang cukup menawan. Ia memuji dampak emosional dan humor yang tenang, perpaduan pemandangan Jepang utara dengan musik selo dari Hisaishi, dan semangat Jepang dalam film tersebut.[109] Kritikus media Sadao Yamane menemukan keindahan bergerak yang berasal dari gerakan tangan Sasaki yang tangkas ketika mengajari Daigo mengenai persiapan tubuh dan meyakini bahwa pembacaan sebelumnya dari naskah asli akan memperdalam pemahaman penonton mengenai tindakan tersebut.[110] Mark Schilling dari The Japan Times memberikan empat dari lima bintang untuk film tersebut, memuji akting meskipun mengkritik idealisasi yang tampak dari pengurus pemakaman. Ia menyimpulkan bahwa film tersebut "membuat kasus yang baik mengenai adat pemakaman Jepang."[111]
Secara internasional, Departures menerima ulasan yang beragam—kebanyakan dari ulasan tersebut merupakan ulasan positif. Ebert memberikan empat bintang kepada film tersebut[71] dan menyebutnya sebagai "sangat kuat pada dasarnya"[58] dengan menyoroti sinematografi, musik dan pemeran Yamazaki sebagai Sasaki. Ia menemukan bahwa film ini "berfungsi dengan sempurna" dan "sangat baik dalam memperoleh akhir menyeluruh dari narasi".[58] Derek Armstrong dari AllMovie memberikan empat dari lima bintang untuk film tersebut dan menyebutnya sebagai "sebuah film dengan keindahan lirik" yang "penuh dengan kebahagiaan kecil".[112] Dalam sebuah ulasan empat bintang, Byrnes menggambarkan film tersebut sebagai "meditasi bergerak pada kefanaan hidup" yang menunjukkan "hebatnya kemanusiaan" dan menyimpulkan bahwa "film ini merupakan film yang indah tetapi membutuhkan dua sapu tangan."[51] Howell memberikan tiga dari empat bintang untuk film ini dan memuji akting serta sinematografi. Ia menulis bahwa Departures "secara diam-diam menumbangkan ekspektasi estetika dan emosional" tanpa menghilangkan "maksud yang baik"[63] Dalam sebuah ulasan tiga setengah bintang, Claudia Puig dari USA Today memuji Departures sebagai film yang "disusun dengan indah" serta, meskipun dapat diprediksi, "emosional, menyentuh" dan "sangat mendalam".[113]
Philip French dari The Observer memuji Departures sebagai film yang "mengharukan, sangat menghibur", yang "dikomposisikan dengan cermat" oleh sutradaranya.[114] Sharkey menganggapnya sebagai "perjalanan yang memilukan secara emosional dengan seorang pria pendiam", yang diperankan dengan baik oleh "aktor yang bergerak dengan mudah, dan tenang" dalam berbagai adegan.[54] Dalam Entertainment Weekly, Owen Gleiberman memberikan nilai B− untuk film ini, dengan pertimbangan "lembut dan, terkadang, agak gemas", meskipun dapat memengaruhi siapa saja yang kehilangan orang tuanya.[115] Barber menganggap Departures sebagai "menyentuh, sederhana, [dan] lumayan lucu" dan patut ditonton (meskipun pada akhirnya dapat diprediksi).[116] Mike Scott memberikan tiga setengah dari empat bintang untuk film ini dan menggambarkannya sebagai "sorotan inspiratif mengenai kehidupan dan kehilangan" dengan humor yang secara sempurna melengkapi "kisah menyentuh dan bermakna", tetapi mendorong karakter untuk "menampakkan wajah di depan kamera".[67]
Sementara itu, Kevin Maher dari The Times menggambarkan Departures sebagai "komedi yang emosional" dengan "tombol tekan menangis" yang melelahkan, meskipun ia menganggapnya diselamatkan oleh kualitas akting, penyutradaraan yang "terarah", dan jalur suara yang "memukau".[117] Ulasan lainnya diterbitkan dalam The Daily Telegraph, yang menggambarkan film tersebut sebagai "daya tarik yang murah hati secara emosional dan aman" yang tidak layak mendapatkan Academy Award.[118] Philip Kennicott menulis dalam The Washington Post bahwa film tersebut "dipoles dengan baik", dapat diprediksi namun siap untuk mematahkan tabu, tenggelam dalam kematian namun tidak mampu menghindari "selera sentimentalitas orang Jepang yang menjengkelkan".[119] Dalam majalah Variety, Eddie Cockrell menulis bahwa film tersebut menawarkan "gambaran menarik" mengenai upacara pemakaman tetapi seharusnya memiliki waktu tayang yang jauh lebih singkat.[120] Paatsch memberi tiga dari lima bintang untuk Departures serta menyebutnya sebagai "film sedih nan aneh" yang "dibuka dengan kehalusan dan ketepatan yang perlahan memikat penonton", tetapi beberapa adegan, seperti montase, dinilai sebagai "perkembangan indah yang tidak diperlukan".[60] Edward Porter dari The Sunday Times menulis bahwa kesuksesan film tersebut di Academy Awards dapat disalahkan pada "keadaan Academy yang menyukai sentimentalitas yang hambar".[121]
Keith Phipps dari The A.V. Club memberikan nilai C- , menulis bahwa meskipun menampilkan "adegan indah dari kehidupan pedesaan" dan adegan pemakaman yang "cukup puitis", pada akhirnya film tersebut "menetes dari satu emosi berlebihan ke emosi berikutnya".[122] A. O. Scott menulis dalam The New York Times bahwa film tersebut "sangat biasa-biasa saja", dapat diprediksi, dan dangkal dalam kombinasi humor dan melodrama. Terlepas dari momen yang terkadang menyentuh, ia menganggap Departures "menarik terutama sebagai indeks dari selera Academy yang pemalu dan konvensional".[123] Tony Rayns dari Film Comment memberikan ulasan pedas yang mencela naskahnya sebagai "kikuk dan kentara yang memalukan", akting "seadanya", dan film tersebut hanya sebagai "pujian bagi jenazah yang berpenampilan baik".[124] Adams memberi dua dari empat bintang untuk Departures, memuji adegan pemakaman yang emosional dan visual yang menarik serta "sangat memperhatikan tekstur, cita rasa, dan suasana semi-pedesaan Jepang", tetapi menyayangkan prediktabilitas alur cerita; ia menulis bahwa "Setelah empat puluh lima menit, [para penonton] sudah menyiapkan mentalnya untuk setiap babak yang akan dihadapi Daigo Kobayashi, lalu bernegosiasi – dan merasa sial bila Takita tidak mampu mewujudkannya".[53]
Dalam upacara Penghargaan Akademi Jepang ke-32 yang diadakan pada Februari 2009, Departures mendominasi kompetisi tersebut. Film tersebut menerima tiga belas nominasi, memenangkan sepuluh di antaranya, termasuk Film Tahun Ini, Permainan Latar Tahun Ini (Koyama), Sutradara Tahun Ini (Takita), dan Penampilan Menakjubkan oleh seorang Aktor dalam sebuah Peran Utama (Motoki).[125] Pada kategori Penampilan Menakjubkan oleh seorang Aktris dalam sebuah Peran Utama, Hirosue kalah dengan Tae Kimura dari All Around Us, sementara pada kategori Prestasi Menakjubkan dalam Penyutradaraan Seni, Tomio Ogawa dari Departures kalah dengan Towako Kuwashima dari Paco and the Magical Book. Hisaishi, yang dinominasikan untuk dua Prestasi Menakjubkan dalam penghargaan Musik, menang untuk lagunya dari film animasi Studio Ghibli Ponyo.[48] Dalam menanggapi kemenangan tersebut, Motoki berkata, "Saya merasa seperti semuanya terhubung secara ajaib dalam keseimbangan dengan Okuribito pada kali ini".[l][48]
Departures diajukan di Academy Awards ke-81 sebagai perwakilan Jepang untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik. Meskipun sebelas film Jepang sebelumnya telah memenangkan Academy Awards dalam kategori lainnya, seperti Film Fitur Animasi Terbaik dan Rancangan Kostum Terbaik, penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik menjadi yang paling disoroti dalam industri film Jepang.[a][126] Departures tidak diharapkan untuk menang, karena persaingan ketat dari perwakilan Israel dan Prancis (masing-masing Waltz with Bashir karya Ari Folman dan The Class karya Laurent Cantet), tetapi akhirnya menjadi pemenang dalam upacara yang diselenggarakan pada Februari 2009.[3] Hal ini dianggap sebagai kejutan bagi beberapa kritikus film,[127] dan David Itzkoff dari The New York Times menyebut Departures sebagai "Film yang Mengalahkan Anda untuk Piala Oscar".[128] Motoki, yang memperkirakan perwakilan "menakjubkan" dari Israel akan menang, juga terkejut; ia menyebut dirinya sendiri sebagai "gantungan yang hanya mengamati upacara tersebut" dan menyesal karena "tidak berjalan dengan lebih percaya diri" pada saat kedatangannya.[m][38]
Departures mendapat pengakuan di berbagai festival film, termasuk Audience Choice Award di Festival Film Internasional Hawaii ke-28, Grand Prix des Amériques di Festival Film Dunia Montreal ke-32,[129] dan Film Naratif Terbaik di Festival Film Internasional Palm Springs ke-20.[130] Motoki terpilih sebagai aktor terbaik dalam beberapa upacara, termasuk Festival Film Asia,[131] Asia Pacific Screen Awards,[132] dan Blue Ribbon Awards;[133] ia juga menjadi pilihan pemirsa untuk aktor terbaik di Golden Rooster Awards.[134] Pada Penghargaan Film Hong Kong ke-29, Departures terpilih sebagai Film Asia Terbaik, mengalahkan tiga film Tiongkok dan Ponyo.[135] Setelah upacara Penghargaan Film Olahraga Nikkan ke-21, ketika Departures memenangkan Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, Takita mengungkapkan keterkejutannya atas penghargaan film tersebut, dengan mengatakan "Saya tidak tahu seberapa baik karya saya akan diterima."[n][136] Pada Desember 2009, film tersebut telah memenangkan 98 penghargaan.[137]
Setelah kesuksesan film tersebut, Sakata Location Box mempersiapkan sebuah layanan keramahtamahan yang disebut Mukaebito—plesetan dari judul film ini dalam bahasa Jepang (Okuribito) yang artinya "orang yang mengambil atau menjemput", bukan "orang yang mengantar". Layanan tersebut mengelola lokasi pembuatan film dan menyediakan peta lokasi tersebut untuk wisatawan.[40] Pada tahun 2009, Location Box membuka gedung yang dijadikan sebagai kantor agen NK untuk umum.[138] Dengan membayar tiket masuk, pengunjung bisa masuk dan melihat alat peraga dari film tersebut. Di bawah program penciptaan lapangan kerja, antara tahun 2009 dan 2013 Location Box menerima ¥30 juta dari pemerintah Prefektur Yamagata dan ¥8 juta dari pemerintah Kota Sakata sebagai dana pemeliharaan dan administrasi gedung.[44] Lokasi tersebut menarik hampir 120.000 pengunjung di tahun 2009, walau jumlahnya menurun dengan cepat; pada tahun 2013 terdapat kurang dari 9.000 pengunjung. Kekhawatiran akan keselamatan karena usia bangunan menyebabkan pemerintah kota Sakata mengakhiri sewa dengan Location Box, dan gedung ditutup kembali pada akhir Maret 2014. Saat itu, divisi Pariwisata Kota sedang mempertimbangkan beberapa opsi, seperti membatasi kunjungan ke dua lantai pertama.[138] Bangunan yang digunakan sebagai kafe Concerto dibuka untuk umum sejak tahun 2009 sebagai Museum Concerto Kaminoyama,[45] dan bioskop Sakata Minato-za juga dibuka untuk wisatawan.[46] Kampung halaman Takita di Takaoka, Toyama, mengelola Museum Sumber Daya Film; staf melaporkan bahwa terkadang lebih dari seratus penggemar Takita berkunjung setiap hari.[139]
Kesuksesan film tersebut mendorong minat yang lebih besar terhadap pemakaman dan nōkanshi.[61] Bahkan model kendaraan yang terlihat dalam film tersebut juga dijual: Mitsuoka Limousine Type 2-04, sebuah versi yang lebih kecil dan murah dari kendaraan dalam film tersebut, dipasarkan pada 24 Februari 2009. Pabriknya, Mitsuoka Motors, terletak di Prefektur Toyama yang merupakan kampung halaman Takita.[140] Pada tahun 2013, Mitsuki Kimura, dari keluarga nōkanshi, mendirikan Akademi Okuribito bersama dengan perawat dan wirausahawan Kei Takamaru. Akademi ini menawarkan pelatihan dalam pemakaman, pengawetan, dan praktik terkait.[141]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.