Loading AI tools
kelompok etnik pribumi yang berasal dari Aceh di pulau Sumatera bagian utara Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Etnis Aceh (bahasa Aceh: اورڠ اچيه) merupakan suatu kelompok etnis yang berasal dari ujung utara pulau Sumatra, khususnya di wilayah Provinsi Aceh, Indonesia. Mereka terikat dalam kebudayaan, bahasa, dan latar belakang sejarah yang sama. Etnis Aceh memiliki beberapa eksonim yang bervariasi, diantaranya yaitu Lam Muri, Lambri, Achin, Asji, A-tse dan Atse.[4][5]
Pada masa modern, etnis Aceh terkenal sebagai para pedagang yang ulung dan juga mayoritas etnis Aceh kini merupakan pemeluk agama Islam.[6] Secara tradisional, etnis Aceh hidup secara matrilokal dan komunal, mereka tinggal di permukiman yang disebut gampong. Masa keemasan peradaban etnis Aceh berpuncak pada masa sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17, seiring dengan masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam.[6]
Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid.[7] Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak.[8] Mereka sudah memakai api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.[8]
Selanjutnya terjadi perpindahan suku-suku asli Mantir[9] dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang belakangan turut membentuk penduduk pribumi Aceh. Bangsa asing, terutama bangsa India, serta bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga adalah komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina.
Legenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh pertama berasal dari suku Mante & Suku Lhan, Suku Mante merupakan etnis lokal yang merupakan bagian dari Suku Alas & Suku Karo, sedangkan suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma).[10] Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan oleh para ahli kepastiannya.[11]
Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki masa kemundurannya, diperkirakan sekelompok suku Melayu mulai berpindah ke tanah Aceh.[12] Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka kemudian menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang.[13] Setelah mereka ditaklukkan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1330), mulailah integrasi mereka ke dalam masyarakat Aceh, walau secara adat dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya Melayu.
Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan lembah Krueng Seunagan.[14] Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan kebun lada, serta sebagian lagi juga berdagang.[14] Penduduk campuran Aceh-Minang ini banyak pula terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji. Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri.
Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke wilayah sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Gayo, Nias, dan Kluet. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu terutama ialah dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.[15]
Banyak pula terdapat keturunan bangsa India di tanah Aceh, yang erat hubungannya dengan perdagangan dan penyebaran agama Hindu-Buddha dan Islam[16] di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil[17] dan Gujarat,[18] yang keturunannya dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Pengaruh bangsa India terlihat antara lain dari penampilan budaya dan fisik pada sebagian orang Aceh, serta variasi makanan Aceh yang banyak menggunakan kari.[19] Banyak pula nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, (contoh: Indra Puri), yang mencerminkan warisan kebudayaan Hindu masa lalu.
"Sukèë Lhèë Reutōïh ban aneu' drang
Sukèë Ja Sandang jra haleuba.
Sukèë Ja Batèë na bachut-bachut;
Sukèë Imeum Peuët nyang gō'-gō' dōnya."— Puisi lisan (hadih maja) dalam
De Atjeher, Snouck Hurgronje.[20]
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di antara para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman.[21] Mereka datang sebagai ulama penyebar agama Islam dan sebagai perdagang.[16] Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki ulama-ulama keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan sebutan Teungku Jet atau Habib.[14] di Seunagan banyak keturunan dari ulama besar Al Qutb Wujud Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qadiri Al-Jailani yang dikenal dengan Habib Seunagan. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga keturunan sayyid.[22] Keturunan mereka pada masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Terdapat pula keturunan bangsa Persia yang umumnya datang untuk menyebarkan agama dan berdagang,[16] sedangkan bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.[23][24] Saat ini keturunan bangsa Persia dan Turki kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar.[butuh rujukan] Nama-nama warisan Persia dan Turki masih tetap digunakan oleh orang Aceh untuk menamai anak-anak mereka, bahkan sebutan Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata serapan dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").
Keturunan bangsa Portugis terutama terdapat di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh).[25] Pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, di mana sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini, masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa.
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[26] Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan di Kamboja, Vietnam, dan Hainan.[26] Adanya kata-kata pinjaman dari bahasa bahasa Mon-Khmer menunjukkan kemungkinan nenek-moyang suku Aceh berdiam di Semenanjung Melayu atau Thailand selatan yang berbatasan dengan para penutur Mon-Khmer, sebelum bermigrasi ke Sumatra.[27] Kosakata bahasa Aceh banyak diperkaya oleh serapan dari bahasa Sanskerta dan bahasa Arab, yang terutama dalam bidang-bidang agama, hukum, pemerintahan, perang, seni, dan ilmu.[28] Selama berabad-abad bahasa Aceh juga banyak menyerap dari bahasa Melayu.[28] Bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau adalah kerabat bahasa Aceh-Chamik yang selanjutnya, yaitu sama-sama tergolong dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat.
Sekelompok imigran berbahasa Chamik tersebut mulanya diduga hanya menguasai daerah yang kecil saja, yaitu pelabuhan Banda Aceh di Aceh Besar.[29] Marco Polo (1292) menyatakan bahwa di Aceh saat itu terdapat 8 kerajaan-kerajaan kecil, yang masing-masing memiliki bahasanya sendiri.[29] Perluasan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan pantai lainnya, terutama Pedir atau Pidie, Pasai, dan Daya, dan penyerapan penduduk secara perlahan selama 400 tahun, akhirnya membuat bahasa penduduk Banda Aceh ini menjadi dominan di daerah pesisir Aceh.[29] Para penutur bahasa asli lainnya, kemudian juga terdesak ke pedalaman oleh para penutur berbahasa Aceh yang membuka perladangan.[29]
Dialek-dialek bahasa Aceh yang terdapat di lembah Aceh Besar terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Tunong untuk dialek-dialek di dataran tinggi dan Barôh untuk dialek-dialek dataran rendah.[28] Banyaknya dialek yang terdapat di Aceh Besar dan Daya, menunjukkan lebih lamanya wilayah-wilayah tersebut dihuni daripada wilayah-wilayah lainnya.[28] Di wilayah Pidie juga terdapat cukup banyak dialek, walaupun tidak sebanyak di Aceh Besar atau Daya.[28] Dialek-dialek di sebelah timur Pidie dan di selatan Daya lebih homogen, sehingga dihubungkan dengan migrasi yang datang kemudian seiring dengan peluasan kekuasaan Kerajaan Aceh pasca tahun 1500.[28]
Pemerintah daerah Aceh, antara lain melalui SK Gubernur No. 430/543/1986 dan Perda No. 2 tahun 1990 membentuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), dengan mandat membina pengembangan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di Aceh.[30] Secara tidak langsung lembaga ini turut menjaga lestarinya bahasa Aceh, karena pada setiap kegiatan adat dan budaya, penyampaian kegiatan-kegiatan tersebut adalah dalam bahasa Aceh.[30] Demikian pula bahasa Aceh umum digunakan dalam berbagai urusan sehari-hari yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintahan di Aceh.[30]
Tarian tradisional Aceh menggambarkan warisan adat, agama, dan cerita rakyat setempat.[31] Tari-tarian Aceh umumnya dibawakan secara berkelompok, di mana sekelompok penari berasal dari jenis kelamin yang sama, dan posisi menarikannya ada yang berdiri maupun duduk.[32] Bila dilihat dari musik pengiringnya, tari-tarian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam; yaitu yang diiringi dengan vokal dan perkusi tubuh penarinya sendiri, serta yang diiringi dengan ensambel alat musik.[32]
Masakan Aceh terkenal banyak menggunakan kombinasi rempah-rempah sebagaimana yang biasa terdapat pada masakan India dan Arab, yaitu jahe, merica, ketumbar, jintan, cengkih, kayu manis, kapulaga, dan adas.[33] Berbagai macam makanan Aceh dimasak dengan bumbu gulai atau bumbu kari serta santan, yang umumnya dikombinasikan dengan daging, seperti daging kerbau, sapi, kambing, ikan, dan ayam.[34] Beberapa resep tertentu secara tradisional ada yang memakai ganja sebagai bumbu racikan penyedap; hal mana juga ditemui pada beberapa masakan Asia Tenggara lainnya seperti misalnya di Laos,[35] namun kini bahan tersebut sudah tidak lagi dipakai.[36]
Makanan
Kudapan
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.