Loading AI tools
perusahaan asal Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
PT Satelit Palapa Indonesia, disingkat Satelindo adalah sebuah perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang terutama bergerak dalam bidang operator seluler dengan teknologi GSM pertama di Indonesia (pelopor), serta mengelola Satelit Palapa. Didirikan pada tahun 1993 dan mulai beroperasi pada tahun 1994, pada triwulan akhir 2003 Satelindo resmi menghentikan operasionalnya setelah dimerger dengan Indosat.[2]
Satelindo | |
Perusahaan swasta | |
Industri | Telekomunikasi |
Nasib | Dimerger dengan Indosat |
Penerus | Indosat |
Didirikan | 29 Januari 1993 |
Pendiri | Bimagraha Telekomindo Telkom Indosat |
Ditutup | 20 November 2003 |
Kantor pusat | Jl. Daan Mogot KM. 11 Sebelumnya: Mulia Center Lt. 12, Jl. H.R. Rasuna Said X6/8[1] Jakarta, Indonesia |
Tokoh kunci | Johnny Swandi Sjam (mantan direktur utama) |
Produk | Pengelolaan Satelit Palapa Operator seluler GSM Penyelenggaraan SLI-008 |
Merek | Satelindo Card Mentari Matrix |
Pemilik | Telkom (1993-2001) Bimagraha Telekomindo (1993-2001) Indosat (1993-2003) Deutsche Telekom (1995-2002) |
Situs web | www.satelindo.co.id di Wayback Machine (diarsipkan tanggal 4 Juni 2002) |
Satelindo didirikan pada 29 Januari 1993, dengan kepemilikan pada saat itu dimiliki secara patungan oleh PT Bimagraha Telekomindo (anak perusahaan Bimantara Citra yang dikendalikan oleh Bambang Trihatmodjo bersama dengan Tomy Winata dan Sugianto Kusuma) 60%, Telkom 30% dan Indosat 10%. Perusahaan ini didirikan dengan modal awal US$ 50 juta (Rp 100 miliar), dan lahir seiring perintah Presiden Soeharto pada 3 Desember 1992 yang menyetujui rancangan kerjasama tiga perusahaan tersebut.[3] Didirikannya Satelindo tidak lepas dari upaya liberalisasi industri telekomunikasi Indonesia yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru pada awal 1990-an. Selain itu, Satelindo juga dimaksudkan untuk mengurangi beban pinjaman luar negeri pemerintah dengan memberikan kesempatan kepada swasta untuk mengelola satelit, dengan harapan pada akhirnya swasta mampu membangun satelit yang lebih canggih. Alasan lain adalah dengan berkembangnya teknologi, maka pastinya kebutuhan akan komunikasi satelit semakin besar sehingga peran swasta sangat diperlukan dalam pengelolaannya.[3][4]
Namun, perlu diketahui juga bahwa Satelindo juga menunjukkan bagaimana praktik KKN rezim Orde Baru, karena meskipun perusahaan ini awalnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada swasta mengelola satelit Palapa, tetapi justru Bimantara yang tidak memiliki pengalaman di pengelolaan satelit malah diberikan saham utama tanpa tender sekalipun. Begitu juga dengan kepemilikan sahamnya, dari awalnya direncanakan mayoritas tetap dimiliki perusahaan BUMN, tetapi karena yang berminat adalah perusahaan milik "anak presiden", maka saham mayoritasnya justru diberikan ke swasta.[5]
Sesuai namanya, Satelindo awalnya didirikan sebagai pengelola sistem Satelit Palapa yang sebelumnya ditangani oleh Telkom. Kegiatan awalnya adalah terlibat dalam pengelolaan satelit Palapa B2P yang dialihkan dari Telkom sejak 1993 (awalnya sempat direncanakan ditambah B2R dan B4 namun kemudian tetap di tangan Telkom),[6][7] dan selanjutnya perencanaan peluncuran dan pengelolaan satelit baru Palapa-C, yang direncanakan sebanyak 4 buah.[8] Untuk menyukseskan program ini, Satelindo mendapatkan kredit dari bank BUMN senilai US$ 130 juta, dan menjalin kontrak dengan Hughes Communications International Inc. (anak usaha dari Hughes Aircraft Company AS) untuk membuat 2 satelit (ditambah 1 opsi) jenis HS-601 yang ditargetkan menjadi satelit Palapa-C. Kontrak ini ditargetkan selesai dengan peluncuran satelit pertama pada Agustus 1995 dan kedua pada Februari 1996.[5][9]
Kedua satelit ini kemudian selesai, tetapi terlambat dari yang semula ditargetkan, dimana satelit pertama diluncurkan sebagai Palapa C1 pada 1 Februari 1996 di Kennedy Space Center, Tanjung Canaveral AS dan Palapa C2 diluncurkan pada 17 Mei 1996 di Kourou, Guyana Prancis. Dalam pengelolaan satelit ini, Satelindo menggandeng Pasifik Satelit Nusantara sebagai rekan bisnisnya.[10] Bisnis satelit ini memang cukup menguntungkan bagi Satelindo, dimana misalnya dari 34 transponder yang ada di Palapa C2, pada akhir 1996 sudah ditargetkan laku sebesar 70%.[11] Banyak dari pelanggan Satelindo merupakan stasiun televisi yang pada saat itu diminta pemerintah untuk menyiarkan siarannya lewat satelit.[5]
Untuk meningkatkan modalnya yang diperkirakan akan terus meningkat (ditaksir mencapai US$ 900 juta) dan membantu meningkatkan teknologi, pada akhir 1994 Satelindo berencana untuk melepas 25% sahamnya ke investor asing strategis. Saham tersebut diambil dari 15% saham Bimagraha, 7,5% saham Telkom dan 2,5% saham Indosat. Awalnya, pemerintah berkeinginan untuk mempertahankan saham Bimagraha sebesar 60% dan saham Telkom dan Indosat-lah yang dilepas (masing-masing sebesar 20% dan 5%). Namun, kemudian manajemen Telkom berhasil menyakinkan pemerintah, bahwa penjualan dengan skema semacam itu akan membahayakan rencana penawaran umum perdana Telkom yang direncanakan akan diadakan pada tahun 1995, karena investor bisa ragu bagaimana komitmen pemerintah untuk berperan dalam industri telekomunikasi. Sebagai gantinya, Telkom mengajukan skema dimana 25% saham itu akan diambil secara proporsional dari pemilik saham lama. Akhirnya, kepemilikan saham pun berubah seperti yang diusulkan Telkom, dimana Bimagraha menjadi 45%, Telkom 22,5%, Indosat 7,5% dan 25% untuk investor strategis asing.[12]
Awalnya, ada 5 perusahaan asing yang mengajukan diri sebagai investor strategis, yaitu AT&T (AS), NYNEX (AS), Deutsche Telekom (Jerman), France Telecom (Prancis) dan Cable & Wireless (Inggris).[13] Namun, pada Februari 1995 setelah seleksi hanya tersisa dua calon investor, yaitu Deutsche Telekom dan Cable & Wireless. Walaupun keduanya hampir sama-sama kompetitif soal tawaran harga, tetapi ada keunggulan pada Deutsche Telekom karena mereka mempunyai uang tunai dan lebih membebaskan pengelolaan Satelindo (misalnya dalam rencana penawaran umum perdana di bursa saham). Selain itu, Cable & Wireless memiliki kelemahan karena mereka rencananya akan selalu menyetujui pembelian yang bernilai di atas Rp 2 miliar, suatu hal yang tidak disukai manajemen Satelindo. Pada 3 April 1995, keputusan diambil untuk menjadikan Deutsche Telekom sebagai pemenang dalam tender ini. Deutsche Telekom membeli saham Satelindo dengan harga US$ 586 juta (US$ 566 juta secara tunai dan US$ 20 juta dalam bentuk infrastruktur perangkat lunak), lewat anak perusahaannya DeTe Mobil Deutsche Telekom Mobilfunk GmbH (disingkat DeTe Mobil).[14][15] Seiring dengan masuknya Deutsche Telekom, maka status perusahaan ini diubah menjadi PMA (dari sebelumnya PMDN).[16] Bergabungnya Deutsche Telekom ke Satelindo membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, karena Satelindo mendapat modal dan bantuan teknis sedangkan Deutsche Telekom mendapatkan keuntungan mengingat posisi Satelindo yang strategis.[5]
Selain bisnis satelit, Satelindo juga diberikan izin oleh pemerintah untuk membangun jaringan sistem GSM pertama di Indonesia pada 1993, sehingga perusahaan ini merupakan pelopor dari pengoperasian sistem ini. Beroperasi di frekuensi 900 MHz, untuk membangun jaringannya, Satelindo menggandeng perusahaan Prancis, Alcatel dengan kontrak senilai US$ 66 juta dan target sebesar 350.000 pengguna.[17][15] Proyek ini dilakukan secara dua tahap, yaitu pada 1993 dan 1994.[18]
Sistem GSM ini akhirnya diluncurkan oleh Satelindo di Jakarta pada 1 November 1994[19] dengan nama layanan SATELINDOGSM.[20][21] Setelah peluncuran tersebut, awalnya Satelindo hanya berfokus di Jabodetabek saja dengan tujuan untuk memantapkan jaringan dan operasionalnya disini. Kegiatan perluasan selanjutnya dilakukan pada tahun 1995, dengan membangun 55 BTS awal dan memperluas jaringan GSM-nya ke Serang, kemudian dilanjutkan ke Surabaya, Malang, Denpasar, lalu ke Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo dan Semarang. Targetnya, pada akhir 1995, Satelindo sudah mencapai seluruh pulau Jawa dan pada 1996 sudah meluas hingga luar Jawa. Manajemen mengeluarkan biaya US$ 200 juta dalam pembangunan BTS seiring ekspansi wilayahnya tersebut[15][22] yang ditargetkan selesai dalam 3 tahap.[23] Di tahun 1996, tercatat Satelindo memiliki 210.000 pelanggan (dan menargetkan pelanggan tambahan sebesar 250.000-300.000) serta 450 BTS di Jawa dan Bali.[24] Pada 1997, Satelindo terus memperluas jaringannya hingga ke pantai utara dan selatan Jawa, Balikpapan, Samarinda, Bontang, Ujungpandang, Palembang dan Medan, dan pada bulan Mei, sudah menjangkau 27 provinsi di Indonesia.[23] Di tahun itu juga, ada lebih dari 600 BTS Satelindo yang beroperasi di Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan.[24][25] Dengan keuntungan sebesar Rp 115 miliar (naik dari 1995 sebesar Rp 60 miliar), aset yang ditaksir mencapai US$ 2,4 miliar serta pendapatan mencapai Rp 1 triliun di tahun 1997, maka Satelindo dianggap sebagai operator jaringan seluler terbesar di Indonesia pada masa itu.[25][26][27]
Namun, Satelindo cukup terdampak oleh krisis ekonomi 1997-1998, dimana dari 1997 pelanggannya sejumlah 303.724 menurun menjadi 201.342 pada September 1998. Walaupun demikian, seiring dengan makin populernya GSM, pengguna Satelindo kembali tumbuh pesat, mencapai 1.055.036 pelanggan pada 2000.[28] Bahkan, pada 2002 pengguna Satelindo menjadi 3 juta pemakai.[29] Meskipun demikian, sejak krisis ekonomi tercatat Satelindo kini bukan nomor satu lagi, melainkan kedua karena berhasil didahului oleh Telkomsel. Tercatat, pada 1999 Telkomsel memimpin dengan 47% pangsa pasar, sedangkan Satelindo 32% di pasar GSM.[30][31] Untuk melayani konsumen, Satelindo juga perlahan-lahan juga mengembangkan sistem kartu SIM, yang mulai dipakai sejak 1995[32] lalu meluncurkan produknya yang diberi nama "Satelindo Card" pada Oktober 1997 (yang awalnya diklaim bisa digunakan sebagai kartu kredit dengan pengguna awal 25.000),[33] meluncurkan kartu Mentari pada 27 September 1998 (awalnya hanya di pulau Jawa saja, tetapi cukup populer di pasaran karena cukup murah)[34] dan Matrix sebagai kartu pascabayar pada 2002.
Selain layanan Satelit Palapa dan jaringan GSM, Satelindo juga diberikan hak oleh pemerintah untuk beroperasi sebagai operator Sambungan Langsung Internasional (SLI) berkode akses 008 pada Agustus 1994 (awalnya direncanakan khusus wilayah Asia Pasifik saja), menjadikannya duopoli dengan Indosat. Manajemen menyiapkan modal bagi proyek ini sebesar US$ 24 juta dan pada 1995 sistem ini sudah bisa menjangkau 200 negara di dunia. Fasilitas yang ditawarkan oleh SLI 008 ini seperti toll free service, sewa saluran internasional dan home country direct.[16][32][16] Walaupun demikian, memang produk Satelindo ini kurang sukses dibandingkan Indosat dengan 001-nya mengingat Indosat adalah pionir dari sistem ini sehingga orang keburu mengingat 001 untuk bertelepon ke luar negeri.[35]
Seiring dengan efek krisis ekonomi 1997 dan pergantian pemerintahan, maka dilakukan liberalisasi pada industri telekomunikasi di Indonesia. Selain itu, krisis juga membuat banyak perusahaan terdampak sehingga melakukan restrukturisasi. Satelindo pun tidak lepas dari hal tersebut. Isu perubahan kepemilikan saham sudah terdengar ketika pada 1999 ada rumor yang menyatakan bahwa Singapore Telecom hendak membeli 45% saham Satelindo. Dari pemilik mayoritas saham Satelindo, yaitu Bimantara Citra (yang mengalami kesulitan keuangan) pada saat itu juga mengakui bahwa mereka juga merencanakan untuk melepas sejumlah sahamnya di Satelindo kepada Deutsche Telekom.[36][37] Namun, baru pada 2001-2003 Satelindo mengalami perubahan kepemilikan lewat sejumlah transaksi yang menjadikannya mayoritas dikuasai Indosat. Akuisisi ini dilakukan seiring upaya Indosat untuk menjadi penyedia bisnis telekomunikasi lengkap dan terintegrasi (dari sebelumnya yang hanya penyelenggara SLI), di tengah liberalisasi industri telekomunikasi.[38] Proses akuisisi dimulai ketika pada 10 Mei 2001, RUPS Indosat setuju untuk mengakuisisi 45% saham Bimagraha di Satelindo seharga US$ 247 juta (Rp 1,425 triliun).[39] (Selanjutnya, bekas induk Satelindo, Bimagraha juga 100% sahamnya diakuisisi Indosat pada 31 Mei 2001).[40]
Lalu, pada 11 Mei 2001 antara Telkom dan Indosat disepakati transaksi pertukaran saham antara keduanya pada beberapa perusahaan: Indosat menjual 35% sahamnya di Telkomsel senilai US$ 945 juta, sedangkan Telkom menjual sahamnya di Lintasarta sebesar 37,66% senilai US$ 38 juta, mengalihkan haknya di kerjasama operasional Divre (Divisi Regional) IV Jateng/DIY senilai US$ 375 juta, serta menjual 22,5% sahamnya di Satelindo senilai US$ 186 juta kepada Indosat.[41] Transaksi ini menyebabkan pada 2001 kepemilikan Indosat di Satelindo mencapai 75%, sedangkan sisanya masih dimiliki Deutsche Telekom (lewat anak usahanya DeTeAsia Holding GmbH).[42] Namun akhirnya 25% saham Deutsche Telekom juga diakuisisi oleh Indosat pada 28 Juni 2002 dengan harga US$ 325 juta. Upaya pembelian saham ini kebetulan terbantu dengan keinginan Deutsche Telekom yang pada saat itu memang ingin memusatkan operasionalnya di Eropa Barat.[43][44] Selain itu, pembelian saham Deutsche Telekom juga didukung pemerintah yang pada saat itu tengah berencana memprivatisasi Indosat, agar tampak menarik di investor asing. Dukungan ini diwujudkan dengan membantu penyediaan dananya lewat penggunaan dana transaksi pengalihan KSO yang dibatalkan antara Telkom dan Indosat.[45] Namun, transaksi-transaksi diatas tidak semuanya mulus, karena misalnya sempat ada kecurigaan akuisisi saham Bimagraha adalah alat membantu keluarga Cendana.[46]
Transaksi tersebut menyebabkan setelah Juni 2002, saham Satelindo dipegang oleh Indosat sebesar 100%. Awalnya, Indosat sempat merencanakan untuk melepas saham Satelindo di pasar saham, tetapi kemudian dibatalkan.[47] Pasca-akuisisi, Indosat sempat menyuntikkan dana sebesar US$ 75 juta dan menargetkan investasi US$ 300 juta di tahun selanjutnya untuk memperluas kapasitas jaringan Satelindo.[48] Kini, Indosat memiliki 2 operator seluler, yaitu Indosat-M3 dan Satelindo itu sendiri. Seiring waktu, pemerintah kemudian menjual 41,94% sahamnya di Indosat kepada STT (anak usaha Temasek Holdings) Singapura pada 15 Desember 2002, dengan harga Rp 12.950/saham. Transaksi yang sampai saat ini masih kontroversial (dan dianggap kesalahan besar oleh beberapa pihak ini), dilakukan dengan harga total Rp 5,62 triliun.[49] Di bawah manajemen baru, mereka kemudian melanjutkan kebijakan manajemen lama yang merencanakan merger sejak Agustus 2002 antara Indosat-M3, Satelindo, Bimagraha dan Indosat (sebenarnya, sebelum merger sudah ada sinergi antara perusahaan-perusahan tersebut, terutama dalam hal jaringan).[50] Pada akhirnya, merger resmi dilakukan pada 20 November 2003, dan praktis Satelindo (bersama Bimagraha dan Indosat-M3) pun lenyap dan operasionalnya bergabung dengan Indosat.[51][52] Untuk sisa-sisa dari merger ini diharapkan tuntas pada 2005, dan merek Satelindo yaitu Mentari dan Matrix masih dipertahankan oleh Indosat sampai 2016 dimana kedua merek tersebut pada akhirnya dileburkan ke IM3.[53]
Sebelum dileburkan dengan Indosat pada 2003-2005, Satelindo melayani jasa-jasa berikut, baik untuk konsumer dan korporat/institusi.[54]
Untuk memberikan berbagai layanan diatas, pada tahun 2002 Satelindo mempekerjakan 1.700 karyawan di seluruh Indonesia, dan memiliki 11 kantor cabang (di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Palembang, Balikpapan, Makassar, Manado dan Batam) ditambah 47 kantor layanan di berbagai daerah dengan nama Satelindo Direct. Di tahun 2002, jaringan seluler Satelindo dilayani 2.940 BTS, yang dalam perkembangannya naik menjadi 3.605.[48] Sedangkan untuk pengoperasian satelit Palapa, Satelindo memiliki master control station (Palapa MCS) di Daan Mogot, Jakarta Barat,[66] yang belakangan juga menjadi kantor pusat perusahaan ini.
Pada 1998:[67]
Dewan Komisaris | |||
1 | Presiden Komisaris | Fuad Bawazier | |
2 | Presiden Komisaris | Bambang Trihatmodjo | |
3 | Presiden Komisaris | Sugianto Kusuma | |
4 | Presiden Komisaris | Aziz Mochdar | |
5 | Komisaris | Achmad Rivai | |
6 | Komisaris | IN Seroma | |
7 | Komisaris | Mathias Weber | |
8 | Komisaris | Dr. Laubscher | |
9 | Penasihat Komisaris | Iwa Sewaka | |
Dewan Direksi | |||
1 | Presiden Direktur | Saleh Gunawan | |
2 | Direktur Satelit | Iman Soediharto | |
3 | Direktur Internasional | Janto Warjanto | |
4 | Direktur Selular | SW Ouwens | |
5 | Direktur Keuangan | Gerard Christian Meerman | |
6 | Direktur Pengembangan Bisnis | Adeng Achmad | |
Pada 2001:[68]
Dewan Komisaris | |||
1 | Presiden Komisaris | Wahyu Wijayadi | |
2 | Komisaris | Axel Hass | |
3 | Komisaris | Samsriyono Nugroho | |
4 | Komisaris | Andreas Boy | |
5 | Komisaris | Atje Muhammad Darjan | |
6 | Komisaris | Adjaib Rousstia | |
7 | Komisaris | Budi Prasetyo | |
8 | Komisaris | D. Habimono Koeseobjono | |
Dewan Direksi | |||
1 | Presiden Direktur | USM Tampubolon | |
2 | Direktur Satelit | Djoko Prajitno | |
3 | Direktur Internasional | Imron Harun | |
4 | Direktur Selular | Jan Nisilson | |
5 | Direktur Keuangan | Gerard Christian Meerman | |
6 | Direktur Pengembangan Bisnis | Nid Khrisna Devi | |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.