Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Masjidilaqsa atau Masjid Al-Aqsa (bahasa Arab: المسجد الاقصى, ⓘ, arti harfiah: "masjid terjauh"), juga disebut dengan Baitulmaqdis atau Bait Suci (bahasa Arab: بيت المقدس, bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ, Beit HaMikdash), Al Haram Asy Syarif (bahasa Arab: الحرم الشريف, al-Ḥaram asy-Syarīf, "Tanah Suci yang Mulia", atau الحرم القدسي الشريف, al-Ḥaram al-Qudsī asy-Syarīf, "Tanah Suci Yerusalem yang Mulia"), Bukit Bait (Suci) (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת, Har HaBáyit), adalah nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem, Palestina. Kompleks ini menjadi tempat yang disucikan oleh umat Islam, Yahudi, dan Kristen. Tempat ini sering dikelirukan dengan Jami' Al-Aqsha atau Masjid Al-Qibli. Jami' Al-Aqsha adalah masjid berkubah biru yang menjadi bagian dari kompleks Masjidilaqsa sebelah selatan, sedangkan Masjidilaqsa sendiri adalah nama dari kompleks tersebut, yang di dalamnya tidak hanya terdiri dari Jami' Al-Aqsha (bangunan berkubah biru) itu sendiri, tetapi juga Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan berbagai situs lainnya.
Masjidil Aqsa Bukit Bait | |
---|---|
المسجد الاقصى, Al-Masjid Al-Aqsha הַר הַבַּיִת, Har haBáyith | |
Titik tertinggi | |
Ketinggian | 740 m (2.430 ft) |
Geografi | |
Pegunungan | Yudea |
Geologi | |
Jenis gunung | Limestone[1] |
Dalam sudut pandang umat Muslim, Nabi Muhammad diangkat ke Sidratulmuntaha dalam peristiwa Isra Mikraj dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjidilharam di Makkah. Masjidilaqsa juga menjadi kiblat umat Islam generasi awal hingga tujuh belas bulan setelah hijrah sampai kemudian dialihkan ke Ka’bah di Masjidilharam.
Sedangkan menurut kepercayaan Yahudi, tempat yang sekarang menjadi Masjidilaqsa juga dipercaya menjadi tempat berdirinya Bait Suci pada masa lalu.[2] Berdasarkan sumber Yahudi, Bait Suci pertama dibangun oleh Sulaiman (Salomo) putra Daud (Daud) pada tahun 957 SM dan dihancurkan Babilonia pada 586 SM. Bait Suci kedua dibangun pada tahun 516 SM dan dihancurkan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 M. Umat Yahudi dan Kristen juga percaya bahwa peristiwa Ibrahim (Abraham) yang hendak menyembelih putranya, Ishak, juga dilakukan di tempat ini. Masjidilaqsa juga memiliki kaitan erat dengan para nabi dan tokoh Bani Israel yang juga disucikan dan dihormati dalam ketiga agama.
Pada masa kepemimpinan Dinasti Umayah, para khalifah memerintahkan berbagai pembangunan di kompleks Masjidilaqsa yang kemudian menghasilkan berbagai bangunan yang masih bertahan hingga saat ini, di antaranya adalah Jami' Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah.[3] Kubah Shakhrah sendiri diselesaikan pada tahun 692 M, menjadikannya sebagai salah satu bangunan Islam tertua di dunia.
Saat kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, pengelolaan Masjidilaqsa lepas dari tangan umat Islam. Jami' Al-Aqsha diubah menjadi istana dan dinamakan Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo), sedangkan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dan dinamakan Templum Domini atau Kuil Tuhan.[4] Masjidilaqsa menjadi salah satu lambang penting di Yerusalem dan gambar Kubah Batu tercetak dalam koin yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kristen Yerusalem. Masjidilaqsa dikembalikan fungsinya, seperti semula setelah umat Islam berhasil mengambil alih kepemimpinan kompleks ini pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Setelah itu, umat Islam mengelola Masjidilaqsa sebagai wakaf tanpa gangguan hingga pendudukan Israel atas Yerusalem pada 1967.[5]
Sebagai bagian dari Kota Lama Yerusalem, pihak Israel dan Palestina masing-masing menyatakan sebagai pihak yang lebih berhak dalam mengelola Masjidilaqsa, dan ini menjadi salah satu titik permasalahan utama Konflik Arab-Israel.[6] Untuk menjaga kompleks ini berada dalam status quo, pemerintah Israel menetapkan larangan untuk ibadah bagi umat non-Islam di tempat ini.[7][8][9]
Secara harfiah, Masjidilaqsa berarti “masjid terjauh.” Nama ini berasal dari keterangan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mikraj.
”Maha Suci Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang diberkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan tanda-tanda Kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Istilah masjid secara harfiah bermakna "tempat sujud"[10] dan secara syara dapat berarti semua tempat di bumi yang digunakan untuk beribadah kepada Allah[11] sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "... dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat salat serta sarana bersuci (tayamum). Maka, siapa saja dari umatku yang datang waktu shalat (di suatu tempat), maka hendaklah ia salat (di sana)."[12] Dengan pengertian ini, tempat-tempat ibadah monoteistik lainnya seperti Bait Salomo atau Kuil Sulaiman juga disebut dengan istilah "masjid".[13] Para sejarawan Barat Heribert Busse dan Neal Robinson berpendapat bahwa itulah penafsiran yang diinginkan.[14][15] Dengan pengertian ini pula, masjid tidak hanya terbatas pada sebuah bangunan saja. Misalnya saja, wilayah di sekitar Ka'bah sudah dikenal lama dengan istilah "Masjidilharam" dan tempat itu hanyalah sebuah lapangan terbuka sejak masa Ka'bah dibangun dan keadaannya tetap demikian hingga masa kenabian. Tidak ada pula dinding yang mengelilinginya, hanya bangunan rumah-rumah penduduk Makkah yang mengelilingi halaman itu, seakan-akan itu adalah dindingnya.[16] Masjidilharam mulai berbentuk bangunan pada masa Khalifah Umar bin Khattab.[17]
Sering terjadi kebingungan antara Masjidilaqsa dengan Jami' Al-Aqsha (disebut juga Masjid Al-Qibli). Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjidilaqsa adalah keseluruhan kompleks,[18] sedangkan Jami' Al-Aqsa adalah masjid berkubah biru gelap yang berada di Masjidilaqsa bagian selatan. Pada masa pemerintahan Kesultanan Usmaniah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), kompleks tersebut dinamai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan nama Masjidilaqsa menjadi hanya mengerucut kepada Jami' Al-Aqsa.[19] Al-Haram Asy Syarif sendiri secara harfiah berarti “tanah suci yang mulia.” Berdasarkan penuturan sejarawan Oleg Grabar, “Hanya cenderung belakangan ini bahwa tempat suci umat Muslim di Yerusalem disebut dengan Al-Haram Asy-Syarif. Meskipun kepastian dari sejarah awal mula istilah ini tidak jelas, tetapi kita tahu hal itu menjadi kebiasaan pada masa Usmaniah … Sebelum (masa) Usmaniah, tempat tersebut biasanya disebut Masjidilaqsa.”[20]
Nama lain untuk tempat ini adalah Baitulmaqdis yang secara harfiah bermakna “Bait (Rumah) Suci”. Dalam bahasa Ibrani disebut Beit HaMikdash. Istilah lain yang juga kerap digunakan untuk merujuk kepada tempat ini dalam bahasa Ibrani adalah adalah Har HaBáyit, secara harfiah bermakna “Bukit Bait” atau “Bukit Kuil”. Maknanya adalah Bukit Bait Tuhan atau Bukit Rumah Tuhan.
Bukit tempat Masjidilaqsa berada dipercaya telah dihuni sejak milenium keempat sebelum Masehi. Menurut Alkitab Ibrani, Nabi Daud (Raja Daud) membeli sebidang tanah di Yerusalem dari salah satu suku Yebus, suku Kan’an untuk dibangun sebuah tempat ibadah di atasnya. Namun, keinginan itu baru terwujud pada masa putra dan penerusnya, Sulaiman (Salomo), yang kemudian membangun tempat ibadah yang dikenal dengan Bait Suci pertama, Bait Salomo, atau Kuil Sulaiman. Lokasi pasti dari Bait Suci pertama ini masih tidak diketahui, tetapi dipercaya berada pada tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjidilaqsa.
Setelah Nebukadnezar II, Raja Babilonia, menghancurkan Bait Suci pertama pada 586 SM, Raja Koresh yang Agung memulai pembangunan Bait Suci kedua pada tahun 538 SM. Sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes yang Agung membangun ulang dan memperlebar Bait Suci, melibatkan sampai 10.000 pekerja.[21]
Pada tahun 66 M, umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi. Empat tahun kemudian, pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Titus Flavius Vespasianus menyerang dan menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua.
Pada tahun 130 M, Kaisar Hadrianus menjanjikan untuk membangun ulang Yerusalem, tetapi umat Yahudi merasa dikhianati karena sang kaisar hendak membangun kota berdasarkan kepercayaan pagannya, juga hendak membangun kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan Dewa Jupiter di bekas reruntuhan Bait Suci kedua. Ketegangan antara pemerintah Romawi dan umat Yahudi semakin memanas saat sang kaisar juga melarang perintah sunat yang dipandang sebagai sebentuk mutilasi bagi kaisar yang menganut seorang penganut Helenis taat. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin Simon Bar Kokhba. Namun pemberontakan itu berhasil dihancurkan pihak Romawi pada tahun 135 M. Akibatnya, umat Yahudi diusir dari Palestina, dilarangnya penggunaan hukum Taurat dan penanggalan Yahudi, dan menghukum mati ahli Yahudi. Kaisar Hadrianus membangun ulang kota Yerusalem sebagai sebuah kota Romawi bernama Aelia Capitolina dan umat Yahudi dilarang memasukinya. Di sisi lain, agama Kristen mulai bangkit dan menyebar di tubuh Kekaisaran Romawi hingga pada akhirnya menjadi agama resmi negara. Kaisar Konstantinus I melakukan pengkristenan masyarakat Romawi dan mengunggulkannya atas pemujaan paganisme. Kuil Jupiter yang dibangun Kaisar Hadrianus di reruntuhan Bait Suci kedua dihancurkan segera setelah Konsili Nicea I atas perintah Konstantinus I.
Keponakan Konstantin, Kaisar Flavius Claudius Julianus memberikan izin kepada umat Yahudi kembali dan membangun ulang Bait Suci mereka pada tahun 363.[22][23] Julianus sendiri memandang bahwa Tuhan umat Yahudi merupakan anggota yang sesuai untuk Dewa-Dewa Pantheon yang dia percaya, selain dia juga adalah penentang kuat Kristen.[22][24] Sejarawan gereja menyatakan bahwa umat Yahudi mulai membersihkan puing-puing di Bukit Bait, tetapi gagal lantaran gempa bumi dan kemudian kemunculan api dari dalam bumi.[25] Namun, bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa terdapat bangunan gereja, biara, atau bangunan umum lain yang berdiri di atas Bukit Bait pada masa kekuasaan Romawi Timur.[26]
Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.[27]
Pada tahun 637, umat Islam mengambil alih kepemimpinan atas Yerusalem dari tangan Romawi Timur pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Kompleks reruntuhan Bait Suci, dikenal sebagai Masjidilaqsa atau Baitulmaqdis oleh umat Islam, ditemukan Umar dalam keadaan tidak terawat. Meskipun begitu, Umar kemudian menemukan Batu Fondasi atas bantuan Ka’b Al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam. Batu ini diyakini sebagai titik pijakan Nabi Muhammad naik ke langit dalam kepercayaan umat Islam dan tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak menyembelih anaknya, Ishak, dalam kepercayaan umat Yahudi. Al-Ahbar mengusulkan untuk membangun masjid di sebelah utara batu tersebut agar umat Islam dapat menghadap ke arah Ka’bah dan batu tersebut dalam satu garis lurus saat salat. Namun, Umar menolak gagasan itu dan membangun masjid di selatan batu.[28] Pernyataan saksi mata yang pertama diketahui berasal dari Arcluf yang mengunjungi Masjidilaqsa pada tahun 670. Berdasar pernyataan Arcluf yang dicatat oleh Adomnán, dia melihat bangunan ibadah kayu persegi panjang dibangun di atas reruntuhan dan dapat menampung setidaknya 3.000 jemaah.[29][30]
Pada masa Kekhalifahan Umayah, mulai didirikan beberapa bangunan di tanah Masjidilaqsa. Pada tahun 691, didirikan sebuah bangunan segi delapan berkubah yang menaungi Batu Fondasi oleh Khalifah Abdul Malik. Bangunan itu yang kemudian dikenal dengan Kubah Shakhrah, secara harfiah bermakna kubah batu.
Setelah kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, kepemimpinan Yerusalem beralih ke tangan umat Kristen. Umat Muslim berlindung di Masjidilaqsa, tetapi hal tersebut tidak menolong. Gesta Francorum menyatakan “(Orang-orang kita) membunuh dan menyembelih bahkan di Bait Salomo (Masjidilaqsa), pembantaian begitu besar sampai orang-orang kita mengarungi darah setinggi mata kaki.” Fulcher, pendeta yang turut serta dalam Perang Salib pertama, menyatakan, “Di Bait (Suci) 10.000 orang terbunuh. Memang, jika Anda di sana, Anda akan melihat kaki Anda diwarnai darah dari orang-orang yang terbunuh sampai mata kaki. Namun, apa lagi yang harus saya hubungkan? Tak satupun dari mereka dibiarkan hidup, baik wanita maupun anak-anak tidak diampuni.” [31] Setelah peristiwa ini, Kerajaan Kristen Yerusalem didirikan. Jami' Al-Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).
Kepemimpinan Yerusalem beralih kembali ke tangan umat Islam pada 1187 setelah kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi. Semua jejak dan bekas peribadahan Kristen di Masjidilaqsa dihilangkan dan kompleks tersebut kembali kepada kegunaan asalnya. Kewenangan umat Islam terhadap Masjidilaqsa cenderung tanpa gangguan hingga lepasnya wilayahnya Palestina dari Usmaniah. Setelah Perang Enam Hari, pemerintah Israel mengambil alih kepemimpinan Kota Lama Yerusalem, termasuk di dalamnya Masjidilaqsa. Kepala Rabi dari Pasukan Pertahanan Israel, Shlomo Goren, memimpin pasukan melaukan perayaan keagamaan di Masjidilaqsa dan Tembok Barat dan mengeluarkan maklumat untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya “Yom Yerushalayim” (Hari Yerusalem). Beberapa hari setelah itu, 200.000 umat Yahudi berbondong-bondong mendatangi Tembok Barat dan ini adalah ziarah massal pertama umat Yahudi ke kompleks ini sejak tahun 70 M. Awalnya pihak berwenang Muslim tidak menghalangi Goren ketika dia beribadah di Masjidilaqsa, hingga pada hari Tisha B’Av dia membawa lima puluh pengikutnya sembari membawa dan mengenalkan shofar (trompet Yahudi) dan tabut portabel saat ibadah, membuat ini dipandang sebagai peringatan keras bagi Lembaga Wakaf Yerusalem yang menggiring kepada buruknya hubungan antara pemerintah Israel dan pihak berwenang Muslim.[32]
Pada bulan Juni 1969, seorang Australia berusaha membakar Jami' Al-Aqsha. Pada 11 April 1982, seorang Yahudi bersembunyi di Kubah Shakhrah dan melepaskan tembakan, membunuh dua orang Palestina dan 44 terluka. Pada 1974, 1977, dan 1983, kelompok yang dipimpin Yoel Lerner merancang makar untuk meledakkan Kubah Shakhrah dan Jami' Al-Aqsha. Pada 26 Januari 1984, penjaga menemukan anggota B’nei Yehuda mencoba menyusup ke dalam kawasan Masjidilaqsa dan meledakkannya. Pada 8 Oktober 1990, pasukan Israel yang berpatroli di daerah tersebut memblokir jemaah untuk masuk ke Al-Aqsa. Gas air mata ditembakkan kepada jamaah wanita yang menyebabkan ketegangan meningkat. Pada tanggal 12 Oktober 1990, umat Islam Palestina memprotes keras niat beberapa orang Yahudi untuk meletakkan batu penjuru di lokasi Kuil Baru sebagai awal penghancuran masjid-masjid Muslim. Upaya tersebut dihambat oleh pihak berwenang Israel, tetapi para pengunjuk rasa dilaporkan secara luas karena telah melempari batu kepada umat Yahudi di Tembk Barat. Menurut sejarawan Palestina Rasyid Khalidi, jurnalisme investigatif menunjukkan bahwa tuduhan ini salah. Batu-batu akhirnya dilempar sementara pasukan keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan 21 orang dan melukai 150 lainnya. Pada bulan Desember 1997, Badan Keamanan Israel mendahului upaya ekstrimis Yahudi untuk melempar kepala babi yang terbungkus halaman Al Qur’an ke daerah tersebut untuk menyulut kerusuhan dan mempermalukan pemerintah.
Antara tahun 1992 sampai 1994, pemerintah Yordania melapisi kubah dari Kubah Shakhrah dengan 5.000 pelat emas. Mimbar Shalahuddin juga dipulihkan. Perbaikan ini diperintahkan Husain, Raja Yordania, dengan anggaran pribadi sebanyak $8 juta.
Pada 28 September 2000, pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjidilaqsa bersama dengan utusan Partai Likud dan sejumlah polisi antihuru-hara Israel. Kunjungan itu dipandang sebagai isyarat provokatif bagi rakyat Palestina yang kemudian berkumpul di tempat tersebut. Unjuk rasa dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan ini menjadi pemicu terjadinya Intifadah Kedua.
Keadaan kembali memanas saat tiga pria keturunan Arab melakukan tembakan terhadap dua polisi Israel pada Jumat, 14 Juli 2017. Sebagai tanggapan atas peristiwa tersebut, dua pria itu ditembak mati setelah sebelumnya mencoba melarikan diri dan melakukan penutupan atas Masjidilaqsa dan melarang Muslim Palestina untuk salat di sana. Mufti Agung Yerusalem, Syekh Muhammad Ahmad Husain mengecam penutupan tersebut dan kemudian ditahan oleh polisi Israel setelah memimpin doa terbuka di dekat tempat kejadian perkara, meskipun kemudian dibebaskan dengan sejumlah jaminan.[33]
Masjidilaqsa atau Bukit Bait Suci adalah tempat paling suci dalam keyakinan Yahudi, yang menjadi tempat hadirnya keberadaan Ilahi lebih dari di tempat lain dan menjadi tempat umat Yahudi menghadap dalam berdoa. Disebabkan kesuciannya yang sangat, banyak Yahudi yang sengaja tidak berjalan di bukit itu sendiri untuk mencegah wilayah tempat ruang mahakudus berada, karena berdasarkan hukum rabi, beberapa bagian dari keberadaan Ilahi masih berada di kompleks tersebut.[34]
Keterikatan umat Yahudi atas kompleks ini bisa dikatakan lantaran keberadaan Batu Fondasi yang, menurut para rabi, merupakan tempat asal dunia diciptakan dan berkembang hingga menjadi seperti sekarang. Beberapa tradisi Yahudi juga menyatakan bahwa tempat itu merupakan tempat beberapa kejadian penting terjadi yang diterangkan dalam Alkitab, seperti penyembelihan Ishak, mimpi Yakub, dan doa Ishak dan Ribka.[35]
Umat Yahudi percaya bahwa Bait Suci pertama dan kedua berdiri di tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjidilaqsa modern, meskipun bukti-bukti arkeologi hanya mengungkapkan keberadaan Bait Suci kedua.[2] Umat Yahudi meyakini bahwa Bait Suci ketiga kelak akan dibangun di kompleks Masjidilaqsa oleh Mesias. Namun, sejumlah kelompok Yahudi menganjurkan pembangunan Bait Suci ketiga tanpa penundaan lagi demi mewujudkan “rencana kenabian akhir zaman Israel dan seluruh dunia.” [36]
Keberadaan dan nilai penting dari Bait Suci disebutkan dalam Perjanjian Lama Kristen. Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan bahwa Bait Suci kedua merupakan tempat beberapa peristiwa penting dalam kehidupan Yesus (Nabi Isa).[37][38][39] Setelah penghancuran Bait Suci pada tahun 70 M, umat Kristen mula-mula memandang bahwa peristiwa ini sebagai bentuk hukuman Ilahi kepada umat Yahudi.[40][41] Bukit Bait Suci kehilangan arti pentingnya untuk ibadah Kristen dan menganggapnya sebagai penggenapan nubuat Yesus, misalnya di Matius 23:28 atau 24:2, sebagai bukti pemenuhan nubuat Alkitab dan kemenangan umat Kristen atas bangsa Yahudi.[42] Umat Kristen Romawi, meskipun ada beberapa tanda-tanda pengerjaan pembangunan di lapangan terbuka,[43] umumnya cenderung mengabaikan Bukit Bait Suci, terutama ketika upaya umat Yahudi untuk membangun ulang Bait Suci terhalang karena gempa bumi tahun 363,[44] yang pada akhirnya justru menjadi tempat pembuangan sampah kota.[45] Pusat peribadatan umat Kristen di Yerusalem sendiri terpusat ke Gereja Makam Kudus dan peran Yerusalem sebagai pusat Kekristenan diganti oleh Roma.[46]
Masjidilaqsa adalah tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjidilharam di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dalam kepercayaan umat Islam, Masjidilaqsa adalah tempat ibadah tertua di dunia setelah Masjidilharam. Imam Muslim menyampaikan hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari:
- Saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas bumi ini.
- Rasulullah saw. menjawab, "Masjid Al-Haram."
- Saya bertanya, "Kemudian masjid mana?"
- Rasulullah saw. menjawab, "Masjid Al-Aqsa."
- Saya bertanya, "Berapa jarak waktu antara keduanya?"
- Rasulullah saw. menjawab, "Empat puluh tahun. Kemudian, seluruh bumi Allah adalah tempat sujud bagimu. Maka, di manapun kamu mendapati waktu salat, maka salatlah."[47][48]
Saat kepemimpinan Yerusalem diambil alih umat Islam pada tahun 638, Masjidilaqsa berupa puing-puing dan tempat pembuangan sampah. Umar bin Khattab kemudian memerintahkan pembersihan[49] dan memberi akses pada umat Yahudi ke dalam kompleks tersebut.[50] Tempat ini kemudian dijadikan pusat wilayah Muslim di Yerusalem karena sudah ditinggalkan umat Kristen, untuk menghindari mengganggu wilayah bagian Kristen di Yerusalem.[51] Pada masa-masa selanjutnya, pemerintah Muslim mendirikan beberapa bangunan di kawasan Masjidilaqsa yang dulunya berupa puing-puing tersebut, di antaranya adalah Jami' Al-Aqsha yang berada di bagian selatan kawasan tersebut. Batu Fondasi yang berada di tengah kompleks ditutup dengan bangunan yang kemudian menjadi Kubah Shakhrah (secara harfiah bermakna Kubah Batu).
Maimunah binti Sa’ad dalam hadis tentang berziarah ke Masjidilaqsa menyebutkan, "Ya Nabi Allah, berikan fatwa kepadaku tentang Baitulmaqdis." Nabi bersabda, "Tempat dikumpulkannya dan disebarkannya (manusia). Maka, datangilah ia dan salat di dalamnya karena salat di dalamnya seperti salat 1.000 rakaat di selainnya." Maimunah berkata lagi, "Bagaimana jika aku tidak bisa?" "Maka, berikanlah minyak untuk penerangannya. Barang siapa yang memberikannya maka seolah ia telah mendatanginya."[52][53][54] Kompleks ini juga memiliki keterikatan dengan para nabi dan tokoh penting yang juga dihormati dan disucikan oleh umat Islam, seperti Ibrahim (Abraham), Daud (Daud), Sulaiman (Salomo), Zakaria, Yahya (Yohanes Pembaptis), Maryam (Maria), dan Isa (Yesus).
Isra Mikraj adalah perjalanan yang dilakukan Muhammad dari Masjidilharam menuju Masjidilaqsa, dan kemudian naik ke surga.[55][56] Dalam kitab Sahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq[57] dan setibanya di sana ia salat dua rakaat di Bukit Bait Suci. Setelah usai, malaikat Jibril membawanya naik ke surga, di mana ia bertemu dengan beberapa nabi lainnya, dan kemudian menerima perintah dari Allah yang menetapkan kewajiban bagi umat Islam agar menjalankan salat lima waktu setiap harinya.[58][59] Ia kemudian kembali ke Makkah.
Sejarah penting Masjidilaqsa dalam Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika salat pernah berkiblat ke arah Al-Aqsa selama empat belas atau tujuh belas bulan[60] setelah peristiwa hijrah mereka ke Madinah tahun 624.[61] Menurut Allamah Thabathaba'i, Allah menyiapkan umat Islam untuk perpindahan kiblat tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan kisah tentang Ibrahim dan anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka'bah dan Makkah, upaya mereka membangun Baitullah (Ka'bah), serta perintah membersihkannya untuk digunakan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjidilharam dalam salat mereka.[58]
Perubahan arah kiblat adalah alasan Umar bin Khattab, salah seorang khulafaurasyidin, tidak salat menghadap Batu Fondasi atau Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan di sekitarnya; meskipun ketika Umar tiba di sana pada tahun 638, ia mengenali batu tersebut yang diyakini sebagai tempat Muhammad memulai perjalanannya naik ke surga. Hal ini karena berdasarkan yurisprudensi Islam, setelah arah kiblat berpindah, maka Ka'bah di Mekkah telah menjadi lebih penting daripada tempat batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci tersebut.[62]
Berdasarkan riwayat-riwayat yang umum dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Yerusalem setelah penaklukannya pada tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap dengan Ka'ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah, mengenai tempat terbaik untuk membangun sebuah masjid. Al-Ahbar menyarankan agar masjid dibangun di belakang batu Ash-Shakhrah "... maka seluruh Al-Quds (berada) di depan Anda". Umar menjawab, "Ka'ab, Anda sudah meniru ajaran Yahudi".[63] Namun, segera setelah percakapan ini Umar dengan jubahnya mulai membersihkan tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan puing-puing tersebut. Demikian pula kaum Muslim pengikutnya turut serta membersihkan tempat itu. Umar kemudian mendirikan shalat di tempat yang diyakini sebagai tempat salat Muhammad pada saat Isra Mikraj, dan Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dari Surah Sad.[62] Oleh karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka Umar dianggap telah menyucikan kembali situs tersebut sebagai masjid.[64]
Mengingat kesucian Bukit Bait Suci, sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Daud, dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah ibadah kecil di sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati menghindarkan agar batu Ash-Shakhrah tidak terletak segaris lurus di antara masjid itu dan Ka'bah, sehingga umat Islam hanya akan menghadap ke arah Makkah saja ketika mereka salat.[62]
Yerusalem oleh banyak kalangan umat Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sesuai penafsiran mereka atas ayat-ayat suci Al-Qur'an dan berbagai hadis. Abdallah El Khatib berpendapat bahwa kira-kira terdapat tujuh puluh tempat di dalam Al-Qur'an di mana Yerusalem disebutkan secara tersirat.[65] Yerusalem juga sering disebut-sebut di dalam kitab-kitab hadis. Beberapa akademisi berpendapat bahwa status kesucian Yerusalem mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya penyebarnya sejenis genre sastra tertentu, yaitu Al-Fadhail (sejarah kota-kota); sehingga kaum Muslim yang terinspirasi, khususnya selama periode Umayyah, mengangkat status kesucian kota itu melebihi statusnya menurut kitab suci.[66] Akademisi-akademisi lainnya mempertanyakan keberadaan motif-motif politik Dinasti Umayah, sehingga Yerusalem kemudian dianggap suci bagi umat Islam.[67]
Naskah-naskah abad pertengahan, sebagaimana pula tulisan-tulisan politis era modern ini, cenderung menempatkan Masjidilaqsa sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam.[68] Sebagai contoh, kitab Sahih Bukhari mengutip Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan, "Janganlah perjalanan itu memberatkan (kamu) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjid Al-Haram, Masjid Rasulullah saw., dan Masjid Al-Aqsa."[69] Selain itu, Organisasi Konferensi Islam (yang alasan pendiriannya adalah "untuk membebaskan Al-Aqsa dari pendudukan Zionis Israel") menyebut Masjid Al-Aqsa dalam sebuah resolusi yang mengutuk tindakan-tindakan Israel pada kota itu, sebagai tempat tersuci ketiga bagi umat Islam.[70]
Luas keseluruhan kompleks Masjidilaqsa adalah sekitar 144.000 meter persegi dan dapat menampung 400.000 jemaah. Beberapa bangunan yang terdapat dalam Masjidilaqsa adalah:
Masjid Al-Qibli (bahasa Arab:المسجد القِبْلي) atau Jami' Al,Aqsha (bahasa Arab:الجامع الاقصى) adalah tempat salat yang berada di Masjidilaqsa bagian selatan. Ciri khas dari bangunan ini adalah kubah biru keabu-abuannya. Luas bangunan ini sekitar 35.000 meter persegi dan dapat menampung sekitar 5.000 jemaah.
Ada beberapa pendapat terkait waktu Masjid Al-Qibli atau Jami' Al-Aqsha pertama kali dibangun. Pendapat yang paling masyhur adalah Jami' Al-Aqsha adalah tempat Umar bin Khattab melaksanakan salat jemaah saat berkunjung ke Yerusalem dan Umar pula yang memerintahkan pendirian bangunan tersebut.[19][28][62] Awalnya Umar sengaja untuk tidak membuat Kubah Shakhrah, mihrab Jami' Al-Aqsha, dan Ka'bah tidak berada pada satu garis lurus. Namun saat Jami' Al-Aqsha dibangun ulang oleh Kekhalifahan Umayah, mihrab masjid tersebut digeser 40 meter ke barat sehingga mihrab masjid segaris lurus dengan Kubah Shakhrah di utara dan Ka'bah di selatan. Mihrab lama dalam masjid diberi nama "mihrab Umar."
Sejarawan arsitektur, Sir Archibal Creswell, merujuk pada pendapat seorang biarawan Galia bernama Arculf yang berziarah ke Palestina pada 679-682, berpendapat bahwa Umar bin Khattab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat berkapasitas 3.000 jemaah di suatu tempat di komples Al Aqsha. Meskipun begitu, ada kemungkinan bahwa Muawiyah, khalifah kedua dari Dinasti Umayah, yang sebenarnya memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi.[71]
Setelah Perang Salib Pertama, tentara Salib menduduki Yerusalem dan turut menguasai Masjidilaqsa pada 1099. Jami' Al-Aqsha atau Masjid Al-Qibli diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo). Fungsi Jami' Al-Aqsha dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kepemimpinan Yerusalem berikut Masjidilaqsa setelah kemenangannya pada Perang Salib Kedua.
Kubah Shakhrah atau Kubah Batu (bahasa Arab:قبة الصخرة, Qubbat Ash Shakhrah; bahasa Inggris: Dome of the Rock) adalah bangunan berbentuk persegi delapan berkubah emas yang berdiri di Masjidilaqsa bagian tengah. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada masa Khalifah Bani Umayah Abdul Malik dan putranya, Al-Walid I. Menurut Sibt Ibn Jauzi, pembangunan Kubah Shakhrah dimulai sejak tahun 687. Bangunan ini sempat menjadi gereja bernama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan) selama di bawah kepemimpinan Kerajaan Kristen Yerusalem.
Bangunan ini menaungi sebuah batu (shakhrah) yang dalam kepercayaan umat Yahudi disebut Even ha-Shtiyya atau Batu Fondasi dan menjadi tempat paling suci dalam kepercayaan Yahudi. Umat Yahudi di seluruh dunia berdoa menghadap ke arah batu ini. Batu ini juga diyakini sebagai tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak mengorbankan putranya, Ishak, sedangkan menurut pendapat beberapa ulama, batu ini juga yang merupakan titik Nabi Muhammad berpijak[72] menuju ke langit saat peristiwa Isra Mikraj.
Musala Al-Marwani (bahasa Arab:المصلى المرواني) adalah ruang bawah tanah seluas 500 meter persegi yang digunakan sebagai tempat salat. Letaknya berada di Masjidilaqsa bagian tenggara. Tempat ini mulai digunakan sebagai tempat salat pada Desember 1996 dengan menambahkan penerangan dan ubin. Musala Al-Marwani menjadi tempat salat terluas di Masjidilaqsa, bahkan melebihi Jami' Al-Aqsha sendiri, dengan daya tampung mencapai 10.000 jemaah.
Pada masa pendudukan Tentara Salib, tempat ini dinamakan “Kandang Kuda Salomo (Sulaiman).” Nama Salomo mengacu pada Bait Suci yang diyakini dibangun oleh Sulaiman (Salomo) di kompleks tersebut, sedangkan ‘kandang kuda’ mengacu pada fungsinya sebagai kandang kuda oleh Tentara Salib pada masa Baldwin, Raja Yerusalem yang berkuasa pada 1118-1131 M.[73] Menurut peneliti Yordania, Raef Yusuf Najm, Mushala Al Marwani dulunya adalah penampungan air yang dibangun pada masa Hadrianus, Kaisar Romawi, pada abad kedua.[74]
Kubah Mikraj (bahasa Arab: قبة المعراج, Qubbat Al-Mi'raj; bahasa Inggris: Dome of the Ascension) adalah kubah mandiri yang berdiri di sebelah utara Kubah Shakhrah. Bangunan ini didirikan oleh Tentara Salib sebagai bagian dari Templum Domini, sangat mungkin digunakan untuk tempat pembaptisan. Dokumen Arab tertanggal 1200-1201 menyatakan bahwa bangunan ini dipersembahkan ulang untuk wakaf.[75][76]
Kubah Silsilah atau Kubah Rantai (bahasa Arab: قبة السلسلة, Qubbat As-Silsilah; bahasa Inggris: Dome of the Chain) adalah kubah mandiri yang berdiri di sebelah timur Kubah Shakhrah. Kubah ini didirikan pada tahun 691 oleh Khalifah Umayah, Abdul Malik.[77][78] Tidak diketahui kegunaan awal kubah ini.[79] Pada masa pendudukan Tentara Salib, bangunan ini menjadi kapel yang dipersembahkan kepada Santo Yakobus yang diyakini gugur di titik ini. Sekarang, tempat ini menjadi musala untuk umat Islam. Sebelum dibangun ulang oleh Kekhalifahan Umayah, letak Ka'bah, mihrab Jami' Al-Aqsha, dan tempat yang sekarang menjadi Kubah Silsilah berada dalam satu garis lurus.
Kubah Nabi (bahasa Arab: فبة النبي) atau Kubah Jibril adalah kubah mandiri yang berada di Masjidilaqsa sebelah utara dan lebih digunakan sebagai monumen simbolis daripada bangunan keagamaan. Kubah ini didirikan pada tahun 1538 oleh Muhammad Bey, Gubernur Yerusalem pada masa Usmaniah.[80][81] Sebagian menyatakan bahwa Kubah Nabi adalah tempat Nabi Muhammad berdiri mengimami para Nabi dalam salat jamaah pada peristiwa Isra Mikraj.
Al-Mawazin adalah delapan gerbang yang berdiri mandiri yang berdiri mengelilingi Kubah Batu. Setiap gerbang terdiri dari dua sampai empat lengkungan.
Museum Islam ini berdiri di dekat Jami' Al-Aqsha. Tempat ini menjadi ruang pertemuan untuk Madrasah Fakhruddin Muhammad, madrasah yang didirikan pada masa Al-Mansur Qalawun, Sultan Mamluk Mesir, pada 1282 M. Tempat ini kemudian dijadikan museum pada 1923.
Beberapa benda yang dipamerkan di museum ini adalah cerek sup tembaga besar yang pernah digunakan di Haseki Sultan Imaret, dapur umum untuk kaum papa yang didirikan Hürrem Sultan, permaisuri dari Suleiman Al-Qanuni, Sultan Usmani. Di sini juga ditampilkan meriam penanda waktu berbuka puasa Ramadan, beberapa koleksi senjata, dan sisa-sisa mimbar yang dibangun Nururuddin Zangi sekitar tahun 1170 dan dihancurkan oleh wisatawan Australia pada 1969, dan pakaian berlumuran darah milik 17 orang Palestina yang tewas pada kerusuhan Al-Aqsa tahun 1990.[82] Museum ini juga menampilkan enam ratus salinan Al-Qur’an yang disumbangkan kepada Masjidilaqsa pada masa pemerintahan Umayah, Abbasiah, Fatimiah, Mamluk, dan Usmani.
Air mancur Qayt Bay adalah air mancur umum yang terletak di Masjidilaqsa bagian barat,[78] lima puluh meter sebelah barat Kubah Shakhrah.[83] Air mancur ini dibangun pada tahun 1455 atas perintah Al-Ashraf Saifuddin Enal, Sultan Mesir, dan dibangun ulang oleh penerusnya, Sultan Qayt Bay.
Air mancur Qasim Pasya (bahasa Arab: سبيل قاسم باشا), juga dikenal dengan Air Mancur Jeruk Pahit, adalah air mancur tempat wudu dan minum yang terletak di pelataran barat Masjidilaqsa di Kota Lama Yerusalem. Bangunan ini terletak di depan Gerbang Silsilah.[78] Yerusalem Usmaniah, pada tahun 1527 dan menjadi bangunan umum pertama di kompleks Masjidilaqsa pada masa pemerintahan Turki Usmani.
Urutan gerbang Masjidilaqsa berlawanan arah jarum jam.
Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat.[84] Menara pertama, dikenal sebagai Al-Fakhariyyah, dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah Sultan Mamluk, Lajin. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah, dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat dua deret muqarnas (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazin. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi yang pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.[85]
Menara kedua, yang dikenal dengan nama Al-Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut kompleks Al-Aqsa pada tahun 1297–1298 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al-Khalili, atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter[85] dan hampir seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas balkon muazin. Dikarenakan struktur bangunannya yang kukuh, menara Al-Ghawanimah hampir tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri dengan bentuk hiasan menyerupai stalaktit. Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkon muazin.[86]
Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah, pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai Bab As-Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Jami' Al-Aqsha. Menara ini, yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayah sebelumnya, dibangun berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari batu.[87] Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazin terbaik melakukan azan dari menara ini, karena seruan azan pertama untuk setiap awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.[85]
Tembok Ratapan adalah tembok bagian barat Masjidilaqsa yang asalnya dibangun setelah perluasan Bait Suci kedua. Tembok ini dipandang suci karena ini adalah bagian yang tersisa dari tembok kuno yang merupakan bagian dari Bait Suci kedua.[88][89] Tempat ini menjadi tempat berdoa bagi umat Yahudi. Tembok ini juga disebut Tembok Burak karena diyakini tempat inilah burak ditambatkan pada peristiwa Isra Mikraj.
Kementerian Wakaf Yordania memegang kontrol atas Masjidilaqsa hingga Perang Enam Hari tahun 1967. Setelah memenangkan perang, Israel menyerahkan kekuasaan masjid dan Bukit Bait Suci kepada lembaga wakaf Islam yang mandiri dari pemerintahan Israel. Namun, Angkatan Pertahanan Israel diperbolehkan berpatroli dan melakukan pencarian di wilayah masjid. Setelah pembakaran tahun 1969, lembaga wakaf tersebut mempekerjakan arsitek, teknisi, dan perajin dalam sebuah komite untuk melakukan perawatan. Untuk mengimbangi berbagai kebijakan Israel dan semakin meningkatnya kehadiran pasukan keamanan Israel di sekitar lokasi ini sejak Intifadhah al-Aqsha, Gerakan Islam bekerja sama dengan lembaga wakaf telah berusaha untuk meningkatkan kendali Muslim di dalam lingkungan Masjidilaqsa. Beberapa kegiatannya termasuk memperbarui dan merenovasi kembali bangunan-bangunan yang terbengkalai.[90]
Saat ini, imam utama dan pengurus Masjidilaqsa adalah Muhammad Ahmad Hussein. Ia diangkat menjadi Mufti Besar Yerusalem pada tahun 2006 oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas.[91] Imam-imam lainnya termasuk Syekh Yusuf Abu Sneina, Mufti Palestina sebelumnya Syaikh Ikrimah Sa'id Sabri, serta mantan Imam Al-Aqsa Syekh Muhammad Abu Shusha yang sekarang tinggal di Amman, Yordania.
Kepemilikan Masjidilaqsa merupakan salah satu isu dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengeklaim kekuasaan atas masjid tersebut dan juga seluruh Bukit Bait Suci, tetapi Palestina memegang perwalian secara tak resmi melalui lembaga wakaf. Selama perundingan di Pertemuan Camp David 2000, Palestina meminta kepemilikan penuh masjid ini serta situs-situs suci Islam lainnya yang berada di Yerusalem Timur.[92]
Sementara semua warga negara Israel yang muslim diperbolehkan untuk masuk dan beribadah di Masjidilaqsa, Israel pada waktu-waktu tertentu menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid untuk orang Yahudi, Muslim Palestina yang tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia untuk warga Palestina dan warga negara Israel keturunan Arab, seperti memberi izin masuk hanya untuk pria yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita Arab kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia mereka. Alasan Israel untuk pembatasan tersebut adalah bahwa pria Palestina yang berusia tua dan telah menikah cenderung "tidak menyebabkan masalah",[93] yaitu bahwa secara keamanan mereka lebih tidak berisiko.
Banyak rabi, termasuk para ketua rabi Israel sejak tahun 1967, telah memutuskan bahwa orang Yahudi tidak boleh berjalan di Bukit Bait Suci karena terdapat kemungkinan mereka menginjak Kodesh Hakodashim, yaitu lokasi yang dianggap tersuci oleh orang Yahudi.[94] Pembatasan dari pemerintah Israel hanya melarang dilakukannya doa Yahudi di Bukit Bait Suci, tetapi tetap mengizinkan orang Yahudi maupun nonmuslim lainnya untuk berkunjung pada berjam-jam tertentu selama hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa rabbi dan para pemimpin zionis telah mengajukan tuntutan agar orang-orang Yahudi diperbolehkan untuk berdoa di tempat itu pada hari-hari raya Yahudi.[95] Meskipun Mahkamah Agung Israel telah mendukung hak berdoa perorangan (bukan secara berkelompok), tetapi dalam praktiknya polisi Israel melarang orang Yahudi untuk berdoa "secara terang-terangan dalam bentuk apapun juga di Bukit Bait Suci, meskipun apabila hanya menggerak-gerakkan bibirnya saja ketika berdoa".[96]
Pada tanggal 28 September 2000, Ariel Sharon dan para anggota Partai Likud beserta 1.000 orang penjaga bersenjata, melakukan kunjungan ke Al-Aqsa. Hal ini membuat sekelompok besar orang Palestina datang untuk memprotes kunjungan tersebut. Setelah Sharon dan para anggota Partai Likud meninggalkan lokasi, demonstrasi meletus menjadi kerusuhan dan sekelompok orang Palestina yang berada di Al-Aqsa mulai melemparkan batu dan benda-benda lainnya kepada polisi antihuru-hara Israel. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada kerumunan pengunjuk rasa, sehingga melukai 24 orang. Kunjungan tersebut memicu gerakan perlawanan rakyat Palestina selama lima tahun, yang biasa disebut sebagai Intifadah Al-Aqsa.[97] Pada tanggal 29 September, pemerintah Israel mengerahkan 2.000 polisi antihuru-hara ke masjid ini. Sekelompok orang Palestina yang meninggalkan masjid setelah salat Jumat mulai melempari polisi dengan batu. Polisi kemudian menyerbu kompleks masjid serta menembakkan baik peluru tajam maupun peluru karet kepada kelompok Palestina tersebut, sehingga jatuh korban empat orang tewas dan sekitar 200 orang lainnya luka-luka.[98]
Beberapa penggalian di wilayah Masjidilaqsa terjadi sepanjang tahun 1970-an. Tahun 1970, pemerintah Israel memulai penggalian intensif langsung di bawah masjid pada sisi selatan dan baratnya. Pada tahun 1977, penggalian berlanjut dan sebuah terowongan besar dibuka di bawah ruangan ibadah wanita, serta sebuah terowongan baru digali di bawah masjid, mengarah dari timur ke barat pada tahun 1979. Selain itu, Departemen Arkeologi yang berada di bawah Kementerian Agama Israel, juga menggali sebuah terowongan di dekat sisi barat masjid pada tahun 1984.[99]
Pada bulan Februari 2007, Departemen tersebut memulai situs penggalian untuk mencari peninggalan arkeologi di sebuah lokasi tempat pemerintah ingin membangun kembali sebuah jembatan penyeberangan yang runtuh. Situs ini berjarak 60 meter dari masjid.[100] Penggalian memicu kemarahan di banyak negara dunia Islam, dan Israel dituduh telah mencoba menghancurkan fondasi masjid. Ismail Haniya, saat itu Perdana Menteri Otoritas Nasional Palestina dan pemimpin Hamas,[101] menyerukan Palestina untuk bersatu dalam menentang penggalian, sedangkan Fatah menyatakan bahwa mereka akan mengakhiri gencatan senjata mereka dengan Israel.[102] Israel membantah semua tuduhan tersebut, dan menyebutnya sebagai hal yang menggelikan.[103]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.