Remove ads
kerajaan di Asia Tenggara Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Sunda (bahasa Sunda:
Kerajaan Sunda ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ Karajaan Sunda | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
932–1579 | |||||||||||||||
Cakupan wilayah Kerajaan Sunda | |||||||||||||||
Ibu kota | Pakuan Pajajaran, Kawali (mulai abad ke-14) | ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Sunda Kuno (umum) Sansekerta (religius) | ||||||||||||||
Agama |
| ||||||||||||||
Maharaja | |||||||||||||||
• ca 1030-1042 | Sri Jayabhupati | ||||||||||||||
• ca 1371-1475 | Niskala Wastu Kancana | ||||||||||||||
• ca 1482-1521 | Sri Baduga Maharaja | ||||||||||||||
• ca 1521–1535 | Surawisesa | ||||||||||||||
• 1535–1543 | Ratu Dewata | ||||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||||
• Prasasti Kebon Kopi II: pemulihan kekuasaan raja Sunda | 932 | ||||||||||||||
1579 | |||||||||||||||
Mata uang | Mata uang emas dan perak | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Dalam naskah Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cikalbakal raja-raja Sunda, baca silsilah Raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Istana Tarusbawa terdiri dari 5 buah, dinamakan Panca Persada (Lima wilayah) Yaitu “Sri Kadatuan Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati” Carita Parahyangan dituliskan : Dina urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kada twan Bima–Punta Narayana–Madura–Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
(Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta–Narayana– Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah).
Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya : Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadatwan Sang Bima-Punta Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa) Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda, yaitu Sanjaya.
Kerajaan ini merupakan penerus dari Kerajaan Tarumanagara yang bercorak Hindu dan Buddha,[2] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Kawali serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Sunda Kalapa dan Banten.[3]
Kerajaan Sunda atau sonda atau Soenda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Secara tertulis Kerajaan Sunda dicatat dalam berbagai manuskrip dalam bentuk logam, nipah, gebang, lontar, daluang dan batu. Secara tutur lisan tradisional, ingatan kolektif mengenai keberadaan kerajaan ini pada kalangan masyarakat Sunda terjaga dalam tradisi oral Pantun, yang banyak menceritakan masa-masa keemasan kerajaan, terutama mengenai legenda tentang Prabu Siliwangi, Raja Sunda paling populer.[4][5]
Beberapa prasasti menyebutkan kerajaan ini, seperti Prasasti Kebon Kopi II, Prasasti Sanghyang Tapak, Prasasti Kawali, dan Prasasti Batutulis.
Prasasti Kebon Kopi II oleh F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 536 Masehi.
Teks: “ Ini sabda kalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan haji ri Sunda” Bosch melihat penggunaan bahasa Melayu sebagai tanda kekerabatan sama-sama menantu Sunda dan Sriwijaya. Karena angka tahunnya bercorak sangkala yang mengikuti ketentuan 'angkanam vamato gatih‘ (angka dibaca dari kanan).
Maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 saka atau 536 masehi. Sejarawan Prancis Claude Guillot dari lembaga penelitian École française d'Extrême-Orient memperkirakan prasasti Kebonkopi II ini mengacu ke pendirian kerajaan Sunda. Sejarawan Australia M.C. Ricklefs mengikuti perkiraan ini dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c. 1200.
Nama Sunda disebut dalam sebuah prasasti ini. dapat ditafsirkan bahwa sebelumnya telah ada raja Sunda hingga akhirnya dipulihkan kekuasaanya, dimana kedaulatan kerajaan Sunda dipulihkan kembali, lepas dari pengaruh Tarumanagara.
Nama "Pangambat" berarti "pemburu", sedangkan Haji serapan bahasa Arab yang digunakan sebagai gelar Raja Sunda hingga masa Pakuan-Pajajaran abad 17 masehi. Selanjutnya masyarakat Islam Nusantara/Indonesia melestarikan gelar Raja Sunda tersebut bagi warga yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Rujukan paling awal mengenai nama "Sunda" yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah kerajaan adalah Prasasti Kebon Kopi II, bertanggal 854 Saka (932 M). Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi dan berbahasa Melayu. Kutipannya adalah sebagai berikut:[6]
Alih aksara:
Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda
Terjemahan:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi), bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Rujukan lain mengenai nama kerajaan ini adalah Prasasti Jayabupati yang terdiri dari 40 baris yang ditulis di atas empat buah batu, yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah kawasan suci yang dilindungi bernama Sanghyang Tapak oleh Raja Jayabhupati dari Sunda. Prasasti ini berangka tahun 1030 Masehi.[7]
Prasasti berbahan lempengan tembaga yang berasal dari abad ke-15, termasuk instruksi kerajaan, juga mendukung keberadaan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebantenan I (Jayagiri) menyebutkan bahwa Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurus "dayohan" di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang pemungutan pajak dari para penduduk, karena mereka akan menjadi pemeluk agama Hindu dan memuja para dewa. Prasasti lempengan tembaga Kebantenan II (atau Sunda Sembawa I) mengumumkan bahwa Sri Baduga Maharaja (1482-1521), raja di Pakuan, menyetujui tanah suci yang telah ditandai ('tanah devasasana') untuk digunakan oleh wiku (pendeta), yang tidak boleh dipecah-pecah karena tanah tersebut merupakan tempat untuk beribadah, yang merupakan milik raja. Prasasti Kebantenan III (Sunda Sembawa II) yang terbuat dari lempengan tembaga mengumumkan sanksi raja Sunda atas pembangunan candi di Sunda Sembawa. Prasasti Kebantenan IV merinci bahwa Sri Baduga Maharaja, yang memerintah di Pakuan, menyetujui pembangunan tempat suci yang serupa di Gunung Samya (Gunung Rancamaya).[8]
Naskah Bujangga Manik adalah sumber utama tentang kehidupan sehari-hari Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Naskah ini menuliskan nama-nama tempat, budaya dan adat istiadat, dengan sangat rinci, naskah ini dianggap sebagai salah satu contoh penting dari sastra bahasa Sunda Kuno. Naskah ini mengisahkan tentang Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, meskipun seorang pangeran di istana Pakuan Pajajaran, namun ia lebih memilih untuk hidup menyendiri sebagai penganut agama Hindu yang taat. Sebagai seorang pengembara pertapa, buku ini merinci dua perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kembali, perjalanan kedua termasuk kunjungan ke Bali. Disimpulkan bahwa Jaya Pakuan melakukan pertapaan di sebuah gunung di Jawa bagian barat sampai kematiannya.[9] Sebagai sebuah naskah yang berasal dari zaman Sunda pra-Islam, naskah ini ditulis dalam bahasa Sunda yang lebih tua. Naskah ini tidak mengandung kata-kata yang dipinjam dari bahasa Arab. Pengaruh Islam juga tidak ada dalam isi cerita. Penyebutan secara spesifik tentang Majapahit, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Demak, memungkinkan kita untuk menentukan tanggal penulisan cerita pada abad ke-15, mungkin pada akhir abad ini, atau paling lambat awal abad ke-16.[10]
Menurut F. Hirt dan W. W. Rockhill, terdapat sumber-sumber Cina mengenai Kerajaan Sunda. Pada masa Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Chau Ju-kua, mengumpulkan laporan-laporan dari para pelaut dan pedagang yang telah mengunjungi negeri-negeri asing. Laporannya tentang negeri-negeri yang jauh, Zhu Fan Zhi, yang ditulis pada tahun 1178 hingga 1225 Masehi, menyebutkan tentang pelabuhan laut dalam Sin-t'o (Sunda). Zhu Fan Zhi melaporkan sebagai berikut:
Di sepanjang pantai, orang-orang tinggal. Orang-orang bekerja di bidang pertanian, rumah-rumah mereka bertiang dan atapnya terbuat dari jerami dengan kulit daun pohon palem dan dindingnya terbuat dari papan kayu yang diikat dengan rotan. Baik pria maupun wanita melilitkan sepotong kapas di pinggang mereka, dan dalam memotong rambut mereka hanya menyisakan setengah inci. Lada hitam yang ditanam di perbukitan (negeri ini) berbutir kecil tetapi berbobot dan lebih unggul daripada lada Ta-pan (Tuban di Jawa bagian timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, labu botol, kacang-kacangan, dan terung. Namun, karena tidak ada pemerintahan yang teratur di negara ini, penduduknya menjadi perampok, sehingga pedagang asing jarang pergi ke sana.
Menurut sumber ini, kerajaan Sunda menghasilkan lada hitam berkualitas tinggi. Kerajaan yang terletak di bagian barat Jawa dekat Selat Sunda, sesuai dengan wilayah Banten, Jakarta, dan bagian barat Provinsi Jawa Barat saat ini. Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Pelabuhan Sunda ini sangat mungkin merujuk kepada Banten, bukannya Sunda Kalapa (sekarang Jakarta Utara). Ibukotanya terletak 10 kilometer ke arah selatan di Banten Girang dekat Gunung Pulosari.
Buku Cina "Shun-Feng Hsiang-Sung" dari sekitar tahun 1430 Masehi menceritakan:
Dalam pelayaran ke arah timur dari Sunda, di sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal mengarahkan 97 1/2 derajat selama tiga kali putaran untuk mencapai Kalapa; mereka kemudian mengikuti pesisir pantai (melewati Tanjung Indramayu), dan akhirnya mengarahkan 187 1/2 derajat selama empat kali putaran untuk mencapai Cirebon. Kapal-kapal dari Banten melanjutkan perjalanan ke arah timur di sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon.
Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda terletak di sebelah barat Kalapa dan kemudian diidentifikasi sebagai Kota Kuno Banten.
Para penjelajah Eropa, terutama Portugis yang berbasis di Malaka Portugis, juga melaporkan keberadaan Kerajaan Sunda. Tomé Pires (1513) menyebut sebuah kerajaan di Jawa Barat yang menjalin hubungan dagang dengan mereka sebagai Regño de Çumda, yang berarti Kerajaan Sunda. Juga laporan Antonio Pigafetta (1522) yang menyebut Sunda sebagai daerah penghasil lada.[6]
Tomé Pires dari Portugal menulis dalam laporannya Suma Oriental (1513-1515):
Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda menempati setengah dari seluruh pulau Jawa; yang lain, yang memiliki otoritas lebih besar, mengatakan bahwa kerajaan Sunda sepertiga bagian dari pulau Jawa ditambah seperdelapan bagian lainnya. Berakhir di Ci Manuk. Sungai ini melintasi seluruh pulau dari laut ke laut sedemikian rupa sehingga ketika orang-orang Jawa menggambarkan negara mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa negara mereka dibatasi di sebelah barat oleh pulau Sunda. Orang-orang percaya bahwa siapa pun yang melewati selat ini (sungai Cimanuk) menuju Laut Selatan akan terbawa arus deras dan tidak dapat kembali lagi.[11]
Laporan Portugis di atas berasal dari periode akhir Kerajaan Sunda, tak lama sebelum jatuh ke tangan Kesultanan Banten.
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra juga digunakan untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Sunda,[12] diantaranya :
Nama Ibukota kerajaan dapat diketahui dari beberapa sumber, diantaranya:
Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.[14]
Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa Sunda Kuno dan aksara Kawi. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Siwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung di Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[15]
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara yang mengalami keruntuhan. Wilayah kekuasaannya meliputi bagian barat dari Pulau Jawa dan membentang dari Ujung Kulon hingga ke Ci Sarayu dan Ci Pamali.[16] Keterangan tentang berdirinya Kerajaan Sunda sebagai penerus Kerajaan Tarumanagara diperoleh dari naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis.[17][18]
Berdasarkan prasasti Kebon Kopi II, berasal dari 932, ditemukan di Kabupaten Bogor, seorang pemburu ulung berjuluk Rakryan Juru Pangambat, mendeklarasikan otoritasnya yang telah mengembalikan kekuasaan Raja Sunda.[6] Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno, arkeologis F.D.K. Bosch berpendapat bahwa penggunaan bahasa Melayu Kuno sebagai pengaruh Sriwijaya. Sejarawan Prancis, Claude Guillot juga berpendapat bahwa prasasti ini sebagai deklarasi berdaulatnya Kerajaan Sunda, kemungkinan dari Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak, Maharaja Sri Jayabupati, telah mendirikan tempat suci Sanghyang Tapak. Gaya prasasti menunjukkan aksara, bahasa, dan gaya Jawa Timur, mirip dengan istana Dharmawangsa di Mataram.
Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebutkan sebagai Prabu Detya Maharaja. Prasasti Horren dari abad ke-11 yang ditemukan di Kediri bagian selatan, melaporkan bahwa çatru Sunda ("musuh dari Sunda") telah menginvasi dan mengancam desa-desa di Jawa Timur.[6]
Setelah Sri Jayabupati, tidak ada prasasti batu yang ditemukan yang menyebutkan penguasa berikutnya. Tidak ada bukti nyata yang ditemukan dari periode antara abad ke-11 hingga abad ke-14. Sebagian besar pengetahuan kita saat ini tentang periode ini berasal dari Carita Parahiyangan.
Sumber dari dinasti Song, Chu-fan-chi dari sekitar 1200, menyebutkan bahwa Sriwijaya masih menguasai Sumatra, semenanjung Melayu, dan Sin-to (Sunda). Sumber ini menggambarkan pelabuhan Sunda sebagai pelabuhan yang strategis dan berkembang pesat, lada dari Sunda merupakan salah satu yang terbaik kualitasnya. Penduduknya bekerja di bidang pertanian dan rumah-rumah mereka dibangun di atas tiang-tiang kayu (rumah panggung). Namun, perampok dan pencuri menjangkiti negara ini.[19] Pelabuhan Sunda yang dimaksud oleh Chou Ju-kua mungkin merujuk pada Banten Lama, bukan Sunda Kelapa. Tampaknya pada awal abad ke-13, perdagangan maritim masih didominasi oleh mandala Sriwijaya yang berpusat di Sumatra.
Nama Sunda muncul dalam sumber Jawa, Pararaton, yang melaporkan bahwa pada tahun 1336, pada saat pelantikannya sebagai Perdana Menteri, Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapa, yang menyatakan kebijakan luar negerinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.[20] Pararaton mencatat apa yang diucapkan oleh Gajah Mada:
"Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."
Terjemahan:
"Dia, Gajah Mada sang Patih Amangkubumi, tidak ingin menghentikan puasanya. Gajah Mada: "Jika (saya berhasil) mengalahkan (menaklukkan) Nusantara, (maka) saya akan berbuka puasa. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, semuanya dikalahkan, (maka) saya akan mengakhiri puasa."
Sunda disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan yang menjadi sasaran kampanye luar negeri Gajah Mada. Tampaknya pada awal abad ke-14, Kerajaan Sunda telah berkembang cukup makmur dan ikut ambil bagian dalam perdagangan maritim internasional.
Carita Parahyangan dan Pararaton menamainya sebagai Prěbu Maharaja, sedangkan catatan pseudohistoris Wangsakerta memberikan nama yang lebih rinci, yaitu Prabu Maharaja Lingga Buana. Ia memerintah dari Kawali Galuh, dan tewas dalam Pertempuran Bubat pada tahun 1357, menjadi korban dari siasat yang dibuat oleh perdana menteri Majapahit, Gajah Mada.[21]
Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat menikahi Putri Dyah Pitaloka, putri Prabu Maharaja. Dengan senang hati, raja Sunda dan keluarga kerajaannya datang ke Majapahit, untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Pihak Sunda mendirikan perkemahan di lapangan Bubat di bagian utara Trowulan dan menunggu upacara pernikahan yang tepat. Namun, Gajah Mada melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut tunduknya Sunda kepada kekuasaan Majapahit dan bersikeras bahwa sang putri harus dipersembahkan sebagai tanda ketundukan.
Merasa marah dan dipermalukan, raja Sunda memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan pulang, yang mengakibatkan pertempuran antara keluarga kerajaan Sunda dan tentara Majapahit. Kalah jumlah, hampir seluruh pihak Sunda, termasuk sang putri, tewas dalam tragedi ini. Tradisi mengatakan bahwa Putri Dyah Pitaloka bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Setelah kematiannya, Prabu Maharaja dihormati sebagai Prabu Wangi (terj. har. 'Raja yang harum') karena tindakan heroik mempertahankan kehormatannya. Oleh karena itu, penerusnya, raja-raja Sunda selanjutnya, kemudian disebut Siliwangi (artinya penerus Wangi). Kisah ini merupakan tema utama dari Kidung Sunda, sumber lain yang melaporkan kejadian ini yang ditemukan di Bali.
Raja Sunda berikutnya adalah Niskala Wastu Kancana, yang merupakan putra bungsu Prabu Maharaja dan adik dari Putri Dyah Pitaloka, yang keduanya tewas dalam Peristiwa Bubat. Pada tahun 1371, Pangeran Wastu naik takhta dengan gelar Prabu Raja Wastu Kancana. Menurut salah satu Prasasti Astana Gede, yang diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14, raja memerintahkan pembangunan bangunan pertahanan, tembok dan parit yang mengelilingi kota Kawali, serta merenovasi istana Surawisesa.[22] Pembangunan parit dan langkah-langkah pertahanan lainnya, mungkin sebagai tanggapan terhadap ancaman asing yang dirasakan. Terutama setelah hubungan antara Sunda dan tetangganya di timur, kerajaan Majapahit, memburuk setelah peristiwa Bubat.[21] Niskala Wastu kemudian berkedudukan di istana Kawali di Galuh.[6] Masa pemerintahannya dikenang sebagai masa yang penuh kedamaian dan kemakmuran.
Prasasti Kebantenan I yang terbuat dari lempengan tembaga menyebutkan bahwa Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurusi dayeuhan di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang memungut pajak dari para penduduknya karena mereka telah mengetahui agama Hindu dan memuja para dewa.
Menurut Prasasti Batutulis, Rahyang Niskala Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang, dan didukung oleh naskah Carita Parahyangan yang menyebutkan Prebu Niskala Wastu Kancana surup di Nusalarang ring giri Wanakusumah. Pada masa ini, ibu kotanya masih berada di Galuh, tepatnya di kota Kawali.[6]
Putra Niskala Wastu Kancana, yang bergelar Tohaan di Galuh (Penguasa Galuh) dalam Carita Parahiyangan, menggantikannya sebagai raja. Ia disebut dalam prasasti Kebantenan I sebagai Hyang Ningrat Kancana dan dalam prasasti Batutulis sebagai Rahyang Dewa Niskala.
Namun, raja baru ini hanya memerintah selama tujuh tahun dan kemudian turun tahta. Carita Parahyangan menceritakan bahwa "... kéna salah twa(h) bogo(h) ka estri larangan ti kaluaran..." yang diterjemahkan menjadi "karena salahnya (dia), jatuh cinta pada seorang perempuan luar yang terlarang."[6] Meskipun tidak jelas apa maksud dari kalimat tersebut, ada kemungkinan bahwa perempuan luar yang terlarang itu adalah seorang muslim, yang menandakan kehadiran Islam di Jawa bagian barat.
Menurut prasasti Batutulis, Rahyang Dewa Niskala kemudian dimakamkan di Gunatiga. Informasi ini didukung oleh Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tilu wafat atau dimakamkan di Gunung Tilu (Tilu berarti tiga), yang sesuai dengan pegunungan Gunung Tilu yang terletak di sebelah timur kota Kuningan.[23]
Sang Ratu Jayadewata (memerintah tahun 1482 hingga 1521) atau juga dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja', adalah cucu dari Prabu Wastu Kancana. Jayadewata sering dikaitkan dengan tokoh populer Prabu Siliwangi dalam Pantun Sunda, sebuah tradisi lisan masyarakat Sunda.
Raja Jayadewata memindahkan pusat pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Namun, tidak jelas alasan di balik pemindahan ibu kota ke arah barat; mungkin merupakan langkah geopolitik untuk mengamankan ibu kota dari ancaman timur dari kekuatan Muslim yang meningkat dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah. Pada tahun 1482, menurut Purwaka Caruban Nagari, sebuah kronik Cirebon, Cirebon menyatakan kemerdekaannya dari Sunda dan tidak lagi mengirimkan upeti ke istana Sunda. Berdasarkan prasasti Kebantenan, ia mendirikan tanah suci tanah devasasana di Gunung Samya atau Rancamaya. Ia juga mengumumkan pembangunan sebuah kompleks suci di Sunda Sembawa, yang ditetapkan sebagai tempat tinggal para pendeta.
Menurut Prasasti Batutulis, Sri Baduga Maharaja membangun parit pertahanan di sekeliling Pakuan Pajajaran; ia membangun gugunungan (gundukan tanah yang dikeramatkan), mendirikan gubuk-gubuk dan hutan Samya yang dikeramatkan, tempat penyimpanan kayu yang diperuntukkan bagi persembahan, dan danau buatan Talaga Rena Mahawijaya (yang diduga berfungsi sebagai waduk).[24] Sudah pasti, ada jalur penghung menuju Sunda Kalapa (sekarang Jakarta), pelabuhan terpenting kerajaan Sunda. Pada saat kunjungan Tome Pirés ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja memerintah kerajaan.
Masa pemerintahan Raja Jayadewata disebut-sebut sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Kerajaan ini mengonsolidasikan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaannya di seluruh bagian barat Jawa. Masa ini juga menandai era kemakmuran yang luar biasa yang dihasilkan dari pengelolaan pertanian yang efisien dan perdagangan lada yang berkembang pesat di wilayah tersebut. Era kemakmuran besar ini juga menandai awal kemunduran kerajaan Sunda.
Pada masa pemerintahan Jayadewata, sudah ada sekelompok penduduk Sunda yang memeluk Islam, seperti yang disaksikan oleh catatan Portugis. Tomé Pires pada tahun 1513 melaporkan, ada sejumlah besar Muslim yang tinggal di pelabuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), pelabuhan paling timur Kerajaan Sunda. Menurut laporan Portugis, pelabuhan Cirebon yang terletak di sebelah timur Cimanuk sudah menjadi pelabuhan Muslim pada saat itu, yang diperintah oleh orang Jawa.
Para mualaf baru ini kemungkinan besar adalah orang-orang yang disebut di Carita Parahyangan sebagai "mereka yang tidak merasakan kedamaian karena telah tersesat dari Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Walaupun demikian, pada masa itu, pengaruh Islam belum merambah hingga ke pedalaman ibu kota. Seperti yang disebutkan dalam Carita Parahyangan bahwa mana mo kadatangan ku musuh ganal, musu(h)alit, yang berarti ibu kota "aman dari musuh kasar/besar, (juga) musuh halus/kecil". Istilah "musuh kasar" mengacu pada tentara asing yang menyerang, sedangkan "musuh halus" mengacu pada penyebaran kepercayaan baru atau agama baru yang dapat mengganggu tatanan spiritual kerajaan yang sudah mapan.[6]
Kerajaan Sunda menyaksikan pengaruh yang semakin besar dari Kesultanan Demak Islam yang ekspansif yang akhirnya berhasil menghancurkan Kediri, sisa-sisa istana Hindu Majapahit pada tahun 1527. Akibat peristiwa ini, hanya Blambangan di ujung timur Jawa, dan Sunda di bagian barat yang masih menjadi kerajaan Hindu di Jawa. Sementara itu, di tanah Sunda, pengaruh Islam mulai masuk ke dalam kerajaan.
Naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar paruh kedua abad ke-15 melaporkan bahwa batas timur wilayah Kerajaan Sunda adalah sungai Cipamali di Kabupaten Brebes sekarang. Namun, Suma Oriental dari Portugis pada tahun 1513 melaporkan bahwa batas timur Kerajaan Sunda terletak di pelabuhan Chemano (Cimanuk), muara Ci Manuk. Ini berarti antara tahun 1450 dan 1513, kerajaan ini telah kehilangan kendali atas wilayah sekitar Cirebon, antara Brebes dan Indramayu di bagian timur laut kerajaan. Hal ini menandakan bahwa orang Jawa Muslim pesisir berekspansi ke arah barat yang dulunya merupakan wilayah cakupan Sunda, didukung oleh Kesultanan Demak sebagai faktor kebangkitan Cirebon.
Keterangan mengenai Kerajaan Sunda dan hubungannya dengan kebangkitan Kesultanan Cirebon, sebagian besar diambil dari naskah Purwaka Caruban Nagari, sebuah babad Cirebon yang menyatakan bahwa Cirebon adalah penerus Kerajaan Sunda yang sah.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, seorang raja Sunda Prabu Siliwangi menikahi Nyai Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa, penguasa pelabuhan Muara Jati (sekarang Cirebon). Mereka dikaruniai tiga orang anak: Pangeran Walangsungsang, Putri Rara Santang, dan Pangeran Kian Santang.[25] Meskipun Pangeran Walangsungsang adalah putra sulung Raja, pangeran ini tidak mendapatkan hak sebagai putra mahkota Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan karena ibunya, Nyai Subang Larang bukanlah seorang permaisuri. Alasan lainnya adalah karena ia masuk Islam, mungkin dipengaruhi oleh ibunya yang merupakan seorang Muslim. Pada abad ke-16 di Jawa Barat, kepercayaan yang lazim dianut adalah Hindu, Sunda Wiwitan, dan Buddha. Saudara tirinya, Prabuwisesa, putra raja dari istri ketiganya, Nyai Kentring Manikmayang, yang dipilih sebagai putra mahkota.
Walangsungsang kemudian pindah ke sebuah pemukiman bernama Dukuh Alang-alang pada tahun 1445. Setelah kematian Ki Gedeng Alang-Alang pada tahun 1447, Walangsungsang diangkat sebagai penguasa kota dan mendirikan istana serta bergelar Pangeran Cakrabuana. Prabu Siliwangi mengirimkan utusannya Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara, untuk menganugerahi Pangeran Cakrabuana dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Pemukiman yang sekarang disebut Cirebon tumbuh menjadi pelabuhan yang berkembang pesat, namun Cakrabuana masih setia kepada ayahnya dan mengirimkan upeti kepada istana utama Sunda. Pada saat itu Cirebon masih merupakan sebuah kerajaan di bawah Kerajaan Sunda.
Pada tahun 1479, Cakrabuana digantikan oleh keponakannya, Syarif Hidayatullah, putra dari saudara perempuannya, Nyai Rara Santang. Ia menikahi sepupunya, Nyi Mas Pakungwati putri Cakrabuana. Beliau dikenal dengan nama anumerta Sunan Gunung Jati. Pada tanggal 2 April 1482, Sunan Gunungjati menyatakan bahwa Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran, yang menandai proklamasi bahwa Kesultanan Cirebon telah merdeka dari Sunda Pajajaran.[25]
Karakter yang digambarkan dalam Purwaka Caruban Nagari, sebagai Prabu Siliwangi, cocok dengan karakter historis Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, yang disebut sebagai Tohaan di Galuh dalam Carita Parahyangan. Tohaan di Galuh adalah putra dan pewaris Niskala Wastu Kancana.
Tekanan dari negara-negara Islam Jawa pesisir mendorong Sri Baduga Maharaja untuk mencari bantuan dari Portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan sekali lagi pada tahun 1521, ia mengirim putranya, putra mahkota Surawisesa yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang (Samian) ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian persekutuan, berdagang lada, dan membangun benteng di pelabuhan utamanya di Sunda Kalapa. Putra Sunan Gunung Jati ini kemudian juga mendirikan Kesultanan Banten, yang kemudian menjadi ancaman bagi Kerajaan Sunda.
Setelah kematian Sri Baduga Maharaja pada tahun 1521, raja-raja yang menggantikannya, Prabu "Surawisesa" Jayaperkosa, yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang yang oleh orang Portugis disebut Ratu Samian, menghadapi ancaman dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Di bawah ancaman ini, Surawisesa, yang memerintah dari tahun 1521 hingga 1535, membuat perjanjian dengan Portugis dari Malaka untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di Sunda Kelapa dengan imbalan perlindungan dari ancaman Kesultanan-kesultanan Islam tersebut.
Pada tahun 1522, Portugis siap membentuk koalisi dengan Raja Sunda untuk mendapatkan akses ke perdagangan lada yang menguntungkan. Komandan Malaka, Jorge de Albuquerque, mengirimkan sebuah kapal, São Sebastião, di bawah pimpinan Kapten Henrique Leme, ke Sunda Kalapa dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga untuk Raja Sunda. Dua sumber tertulis menjelaskan secara rinci tentang penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu dokumen asli Portugis tahun 1522 yang memuat teks perjanjian dan para penandatangan saksi, serta sebuah laporan tentang peristiwa tersebut oleh João de Barros dalam bukunya Da Ásia, yang dicetak pada tahun 1777/1778.
Raja menyambut mereka dengan hangat pada saat kedatangan mereka. Putra mahkota telah menggantikan ayahnya dan kini bergelar Raja Prabu Surawisesa, meskipun Barros memanggilnya Raja Samião. Penguasa Sunda ini menyetujui perjanjian persahabatan dengan Raja Portugis dan memberikan sebuah benteng di muara Sungai Ciliwung di mana Portugis dapat memuat lada sebanyak yang mereka inginkan. Selain itu, ia berjanji, sejak dimulainya pembangunan benteng tersebut, setiap tahun ia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada raja Portugis. Dokumen kontrak dibuat dalam dua salinan dan ditandatangani. Pada hari tersebut di tahun 1522, Henrique Leme dari Portugis dan rombongannya bersama dengan para utusan Raja Sunda mendirikan batu peringatan di muara Sungai Ciliwung.
Perjanjian perdagangan dan pertahanan Portugal dengan Sunda ini berantakan karena Portugis gagal memenuhi janjinya untuk membangun benteng di Kalapa. Penundaan tersebut disebabkan oleh masalah di Goa Portugis. Lebih buruk lagi, pada tahun 1527 Fatahillah, seorang komandan militer yang dikirim dari Demak, berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa sebelum Portugis kembali.
Pasukan Fatahillah, yang terdiri dari pasukan Cirebon-Demak, menaklukkan Sunda Kalapa. Otoritas Sunda yang ditempatkan di pelabuhan itu jatuh. Kepala pelabuhan dan keluarganya, menteri kerajaan, dan semua orang yang bekerja di pelabuhan dibantai. Kota pelabuhan benar-benar hancur dan rata dengan tanah, karena bala bantuan Sunda yang dikirim dari Pakuan terlalu lemah dan mundur. Kerajaan Sunda telah kehilangan pelabuhan terpentingnya, sehingga kemudian Sunda Kalapa diubah namanya menjadi Jayakarta oleh penakluknya yang beragama Islam.
Tiga puluh pelaut Portugis, yang karam akibat badai, berenang ke pantai di Kalapa hanya untuk dibunuh oleh anak buah Fatahillah. Portugis menyadari bahwa kepemimpinan politik telah berubah ketika mereka tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di daratan. Karena mereka terlalu lemah untuk bertempur, mereka berlayar kembali ke Malaka. Tahun berikutnya, upaya kedua gagal karena para pelaut yang mogok kerja marah karena tidak dibayar.
Kegagalan untuk mengandalkan bantuan Portugis membuat Sunda berjuang sendiri untuk mempertahankan diri. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa selama 14 tahun masa pemerintahannya (1521-1535), Raja Sang Hyang (Surawisesa) telah berperang dalam 15 pertempuran. Tak terkalahkan, semua pertempuran tersebut berhasil mengusir pasukan Muslim dari Cirebon dan Demak. Ia bertempur di Kalapa, Tanjung, Ancol Kiyi, Wahanten Girang, Simpang, Gunung Batu, Saung Agung, Rumbut, Gunung, Gunung Banjar, Padang, Panggoakan, Muntur, Hanum, Pagerwesi, dan Medangkahyangan.[6]
Perang antara pasukan Cirebon-Demak dan kerajaan Sunda berlangsung selama hampir lima tahun. Raja kehilangan ribuan anak buahnya. Dalam perang ini, setelah Sunda Kalapa, Kerajaan Sunda juga kehilangan Banten (kota). Sunan Gunungjati dari Cirebon kemudian menobatkan putranya, Hasanuddin, sebagai raja Banten di bawah naungan Sultan Demak yang pada gilirannya menikahkan Hasanudin dengan adik perempuannya. Banten didirikan sebagai ibu kota kesultanan baru ini, yang berkedudukan sebagai vasal di bawah Kesultanan Cirebon.[3] Akhirnya, pada tahun 1531, sebuah perjanjian damai disepakati antara Raja Surawisesa dari Sunda dan Syarif Hidayatullah dari Cirebon.
Dalam kesedihan yang mendalam setelah kekalahan besar dan kehilangan dua pelabuhan terpentingnya, Prabu Surawisesa mendirikan prasasti Batutulis pada tahun 1533 untuk mengenang mendiang ayahnya.[26] Tindakan ini mungkin merupakan upaya memohon petunjuk dan perlindungan leluhur terhadap musuh Muslim yang kuat yang kini membayangi di depan pintu gerbang. Karena pertempuran yang terus berlangsung, ia sering tidak bisa tinggal di istananya di Pakuan Pajajaran.
Prabu Ratu Dewata juga dikenal sebagai Sang Ratu Jaya Dewata, adalah penerus Prabu Surawisesa. Namun, ia bukanlah putranya. Masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata antara tahun 1535 dan 1543 dikenal sebagai masa yang kacau dan penuh kesulitan, karena pasukan Islam dari Cirebon dan Banten mencoba berkali-kali untuk merebut ibukota "Dayeuh" Pakuan.
Pada masa pemerintahan Ratu Dewata, Carita Parahyangan melaporkan beberapa musibah yang menimpa kerajaan; terjadi serangan tiba-tiba, banyak musuh yang meratakan kota[yang mana?], sehingga meletuslah pertempuran besar-besaran di halaman agung (buruan ageung).[6] Dalam pertempuran ini, para pangeran bangsawan terbunuh. Kekacauan meluas ke seluruh wilayah kerajaan, penyerangan juga terjadi di Ciranjang dan Sumedang. Teror lainnya adalah pembunuhan terhadap para resi, pertapa, dan pendeta Hindu yang berada di tempat suci pertapaan. Dilaporkan bahwa para pendeta dan pertapa Hindu di mandala Jayagiri, ditangkap dan ditenggelamkan ke laut.[6] Kemungkinan besar serangan tersebut dilancarkan oleh negara-negara Muslim di Banten atau Cirebon.[6] Serangan ini merupakan serangan yang menghancurkan langsung ke inti spiritual masyarakat Hindu Sunda.
Karena tidak mampu mengendalikan kerajaan, alih-alih memenuhi tugasnya dengan menjaga hukum dan ketertiban, Prabu Ratu Dewata mengundurkan diri menjadi Raja Pandita (raja pendeta), dan menenggelamkan diri secara mendalam ke dalam ritual-ritual keagamaan sebagai bentuk permohonan yang tampaknya putus asa untuk mendapatkan keselamatan dari para dewa.[6] Pada masa ini, Kerajaan Sunda sudah terisolasi dan terkurung di pedalaman.
Kesultanan Banten yang bercorak Islam bertanggung jawab atas runtuhnya Kerajaan Hindu Sunda, dan menggantikannya sebagai pemerintahan yang dominan di bagian barat Pulau Jawa pada abad-abad berikutnya. Rangkaian raja-raja Sunda terakhir terkenal sebagai penguasa yang tidak kompeten. Penerus Ratu Dewata, Raja Ratu Sakti yang memerintah dari tahun 1543 hingga 1551, dikenal sebagai raja yang kejam, yang memanjakan diri dengan kenikmatan indrawi.[6]
Penerus berikutnya yang memerintah dari tahun 1551 hingga 1567, Raja Nilakendra, yang juga dikenal sebagai Tohaan di Majaya, juga merupakan penguasa yang tidak kompeten. Alih-alih memenuhi kewajibannya sebagai raja, ia malah merenovasi dan mempercantik istana. Menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan dengan memanjakan diri dalam kesenangan dan kemewahan.[6]
Karena pertempuran yang terus berlangsung, ironisnya Tohaan di Majaya tidak dapat tinggal di istananya yang baru saja direnovasi. Raja-raja Sunda terakhir tidak dapat lagi tinggal di Pakuan Pajajaran, karena pada tahun 1550-an Hasanuddin, sultan Banten telah melancarkan serangan yang sukses ke Dayeuh Pakuan, merebut dan meratakan ibu kota.
Para bangsawan dan rakyat biasa yang masih hidup melarikan diri dari kota yang jatuh, menuju ke hutan belantara pegunungan. Setelah jatuhnya Pakuan Pajajaran, para bangsawan Kerajaan Sunda diungsikan ke kerajaan timur Kerajaan Sumedang Larang. Mereka membawa benda pusaka sebagai pewaris Kerajaan Sunda, di antara warisan tersebut adalah Makuta Binokasih Sanghyang Paké, mahkota kerajaan Sunda. Dengan demikian, anggota dinasti Sunda mendirikan kerajaan daerah kecil Sumedang Larang di mana aristokrasi Sunda akan bertahan selama beberapa abad berikutnya hingga mengintegrasikan diri dengan Kesultanan Mataram pada abad ke-17.
Dari tahun 1567 hingga 1579, di bawah raja terakhir Raja Mulya, yang juga dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, kerajaan ini mengalami kemunduran yang cukup besar. Dalam Carita Parahyangan, Raga Mulya disebut sebagai Nusiya Mulya. Ia memerintah lebih jauh ke pedalaman di Pulasari, dekat Pandeglang, di lereng Gunung Palasari. Kerajaan ini mengalami kemunduran, terutama setelah tahun 1576 akibat tekanan terus-menerus dari Banten, dan akhirnya runtuh sepenuhnya pada tahun 1579. Setelah itu, Kesultanan Banten mengambil alih sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Sunda, dan pada akhirnya mengakhiri satu milenium peradaban Hindu-Buddha di Jawa Barat.[6] Pada masa ini, Jawa telah berubah menjadi semakin Islami. Hanya kerajaan Kerajaan Blambangan di ujung timur yang merupakan kerajaan Hindu terakhir yang masih ada di Jawa, hingga keruntuhannya pada awal abad ke-18.
Berdasarkan naskah primer berbahasa Sunda kuno Perjalanan Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah vasal Kerajaan Sunda membentang dari ujung barat di Pasar Talo, Bengkulu hingga ke Jatimalang, Purworejo di ujung Timur. Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra (prasasti Ulubelu). Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[3]
Nama raja-raja Sunda, berdasarkan bukti arkeologis berupa prasasti-prasasti, serta catatan bangsa asing sbb.:
No | Nama raja | Masa pemerintahan | Ditemukan pada |
---|---|---|---|
1 | Sri Jayabhupati | ca 1030-1042 | Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) |
2 | Prabu Maharaja | ca 1350-1357 | Pararaton, Carita Parahiyangan, Kidung Sunda |
3 | Bunisora | ca 1357-1371 | Carita Parahiyangan (1580) |
4 | Niskala Wastu Kancana | ca 1371-1475 | Prasasti Kawali (paruh kedua abad ke-14) & Prasasti Batutulis (1533) |
5 | Susuk Tunggal (di Pakuan) | ca 1475-1482 | Carita Parahiyangan (1580) |
6 | Ningrat Kancana (di Kawali) | ||
7 | Sri Baduga Maharaja | ca 1482-1521 | Prasasti Batutulis (1533) |
8 | Ratu Samian/Rei Samião (Ratu Sanghyang) | ca 1521–1535 | Padrão dan Perjanjian Sunda-Portugal (1522) & Décadas da Ásia (1777–78, De Barros) |
9 | Ratu Dewata | ca 1535–1543 | Carita Parahiyangan (1580) |
10 | Ratu Sakti | ca 1543–1551 | Carita Parahiyangan (1580) |
11 | Nilakendra | ca 1551–1567 | Carita Parahiyangan (1580) |
12 | Raga Mulya | ca 1567–1579 | Carita Parahiyangan (1580) |
Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon[27] yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
|
|
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.