Loading AI tools
Persekutuan suku-suku berbahasa Semit pada Zaman Besi dari kawasan Timur Dekat Kuno Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Bani Israil atau Bani Israel (bahasa Ibrani: בני ישראל Bnei Yisra'el, bahasa Arab: بني إسرائيل , Banī Israīl) adalah persekutuan suku-suku berbahasa Semit pada Zaman Besi dari kawasan Timur Dekat Kuno yang mendiami wilayah Kanaan (Israel) pada masa kesukuan dan monarki.[1][2][3][4][5] Naskah-naskah kitab suci menyebutkan bahwa mereka merupakan keturunan Israel (nama lain dari Yakub), putra Ishaq, putra Abraham.
Secara bahasa, Bani Israil bermakna "anak keturunan Israel." Kata ini diambil dari bahasa Arab: بني إسرائيل Banī Israīl yang merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani: בני ישראל Bnei Yisra'el. Israel sendiri adalah julukan untuk Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Istilah lain dalam bahasa Indonesia yang juga digunakan untuk merujuk pada Bani Israil adalah "kaum Israel", "bangsa Israel", "orang Israel", atau "Israel" saja. Pada masa modern, kata Israel digunakan sebagai nama Negara Israel, sebuah negara bangsa Yahudi di Timur Tengah.
Dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), istilah Israel pertama kali digunakan dalam Kitab Kejadian. Disebutkan bahwa Ya'qub bergelut dengan lelaki asing. Setelahnya lelaki tersebut berkata, "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang." Setelah lelaki itu pergi, barulah Ya'qub sadar bahwa dia adalah malaikat.[6][7]
Nama Israel pertama kali muncul dalam sumber non-kitab suci sekitar 1209 SM, dalam sebuah prasasti Fir'aun Merneptah. Prasasti itu sangat singkat dan mengatakan secara sederhana, "Israel terbuang dan keturunannya tidak". Prasasti ini mengacu pada kaum, bukan untuk individu atau negara-bangsa.[8]
Ya'qub memiliki dua belas putra: Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Isakhar, Zebulon, Yusuf, dan Benyamin. Keturunan mereka kemudian menjadi dua belas suku dalam Bani Israil. Keturunan Yusuf biasanya dibagi menjadi dua: suku Manasye yang merupakan keturunan putra sulung Yusuf dan suku Efraim yang merupakan keturunan putra kedua Yusuf.
Istilah bahasa Indonesia "Yahudi" diturunkan dari bahasa Arab يَهُودِيّ yahūdī, dari bahasa Ibrani יְהוּדִי Yehudi. Istilah ini awalnya digunakan untuk merujuk pada keturunan Yehuda (יְהוּדָה, Yehudah), putra keempat Ya'qub, kemudian melebar dan merujuk pada Bani Israil yang tinggal di Kerajaan Yehuda (Israel Selatan).[9][10] Suku-suku Bani Israil yang hidup di Kerajaan Yehuda sendiri adalah suku Yehuda, Benyamin, dan sebagian suku Lewi, sedangkan suku-suku yang lain berada di Kerajaan Samaria. Setelah Kerajaan Samaria runtuh, sebagian menyebutkan bahwa suku-suku yang tinggal di kerajaan tersebut hilang, sebagian berpendapat bahwa mereka mengungsi ke Kerajaan Yehuda dan terserap ke dalam suku Yehuda.[11] Pada keberjalanannya, ada juga orang-orang yang bukan Bani Israil yang memeluk agama Yahudi sehingga dia juga dianggap sebagai bagian bangsa Yahudi.
Meski demikian, penggunaan istilah Yahudi dan Israel ini sendiri bisa berbeda tergantung pendekatan agama dan kebangsaan yang digunakan.[12][13] Talmud menyebutkan bahwa istilah Israel (Bani Israil) merupakan seorang bangsa Yahudi, meski dia tidak memeluk agama Yahudi.[14] Pada masa modern, mereka yang biasanya dimasukkan ke dalam kelompok bangsa Yahudi terdiri dari tiga kelompok: orang yang lahir dari keluarga Yahudi tanpa memandang agama orang tersebut, mereka yang memiliki latar belakang atau leluhur Yahudi, dan mereka yang masuk agama Yahudi meski tidak memiliki latar belakang atau leluhur Yahudi.[15] Untuk kelompok terakhir, terdapat beberapa perbedaan tata cara dalam masuk ke dalam agama Yahudi, tergantung aliran Yahudi yang diikuti. Proses masuknya seseorang menjadi Yahudi bisa diakui satu aliran dan tidak diakui oleh aliran lain.[16]
Samaria adalah kelompok etno-religius dari Timur Dekat Kuno yang merupakan bagian dari Bani Israil. Mereka menyatakan sebagai keturunan dari suku Efraim, Manasye, dan sebagian Lewi yang selamat setelah penaklukan Kerajaan Samaria (Israel Utara) oleh Asyur pada 720 SM. Pihak Yahudi memandang bahwa bangsa Samaria tidak lagi murni lantaran telah bercampur dengan bangsa Asyur melalui perkawinan dan hal ini mempengaruhi praktik keagamaan mereka. Di sisi lain, pihak Samaria juga memandang bangsa Yahudi sudah melupakan tradisi awal keagamaan mereka.[17]
Istilah Ibrani (עברים atau עבריים, ʿIḇrîm, ʿIḇriyyîm) kerap dikaitkan dengan Bani Israil. Asal makna tersebut tidak diketahui, tetapi kerap dianggap untuk merujuk keturunan Eber, cicit dari Sem bin Nuh.[18]
Dalam Tanakh, istilah Ibrani digunakan pada Bani Israil untuk merujuk pada diri mereka saat berbicara dengan orang asing, atau digunakan orang asing untuk membicarakan Bani Israil.[19] Dalam Jewish Encyclopedia disebutkan bahwa istilah "Ibrani" dan "Israel" mengacu pada kaum yang sama, menyatakan bahwa mereka disebut orang Ibrani sebelum penaklukan Kanaan (Palestina) dan disebut orang Israel sesudah penaklukan.[20] Profesor Nadav Na'aman dan yang lainnya mengatakan bahwa "Ibrani" jarang digunakan untuk merujuk pada Bani Israil dan digunakan "untuk orang Israel dalam situasi yang luar biasa dan berbahaya, seperti migran atau budak."[21][22]
Bani Israil adalah sebutan untuk keturunan Ya'qub. Ya'qub sendiri adalah putra Ishaq, putra Ibrahim. Dari empat istrinya, Ya'qub memiliki dua belas putra dan mereka tinggal di Palestina. Bani Israil nantinya dibagi menjadi dua belas suku berdasarkan keturunan dua belas putra Ya'qub. Putra kesebelas, Yusuf, tidak disukai kakak-kakaknya lantaran perasaan dengki sehingga mereka menjualnya pada musafir dan musafir menjualnya ke Mesir.[23][24] Di Mesir, Yusuf menjadi tangan kanan raja.[25][26] Saat masa paceklik hebat melanda Mesir dan kawasan di sekitarnya, Ya'qub dan keluarganya hijrah ke Mesir atas undangan Yusuf dan mereka beranak-pinak di sana.[27][28]
Setelah sekian generasi tinggal di Mesir, Bani Israil menjadi budak bangsa Qibti. Dipimpin Musa dan Harun dari suku Lewi, Bani Israil keluar dari Mesir untuk menuju Palestina. Namun karena menolak berperang merebut Palestina, Bani Israil hidup mengembara di gurun. Setelah Harun dan Musa wafat, kepemimpinan Bani Israil diserahkan pada Yusya' (Yosua) dari suku Efraim bin Yusuf dan dia berhasil memimpin Bani Israil menduduki Palestina. Setelahnya, tiap suku Bani Israil berkuasa atas wilayah tertentu di Palestina. Bani Israil membentuk semacam konfederasi longgar pada masa ini, tanpa adanya pemerintahan terpusat. Saat masa-masa sulit, terdapat sosok hakim yang menjadi pemimpin militer. Sejak keluar Mesir, dibuatlah Kemah Suci di bawah arahan Musa sebagai pusat peribadahan Bani Israil yang dapat dipindah-pindahkan.
Saat ditindas bangsa Filistin, Bani Israil meminta hakim dan nabi mereka saat itu, Samuel, untuk mengangkat seorang raja agar Bani Israil dapat bersatu melawan penindasan. Thalut (Saul) dari suku Benyamin kemudian dinobatkan menjadi raja, memulai awal berdirinya Kerajaan Israel. Thalut digantikan menantunya, Dawud dari suku Yehuda, dan Dawud kemudian digantikan putranya, Sulaiman (Salomo). Pada masa kekuasaan Sulaiman, dibangunlah tempat di Yerusalem yang dijadikan pusat ibadah Bani Israil, yakni Bait Suci (Masjidil Aqsha, Baitul Maqdis, Beit HaMikdash). Kemah Suci kemungkinan tidak lagi digunakan setelah pembangunan Bait Suci.
Setelah Sulaiman mangkat, Kerajaan Israel terbagi menjadi dua: kerajaan di sisi selatan yang disebut Kerajaan Yehuda dengan Yerusalem sebagai ibu kota dan kerajaan di sisi utara yang disebut Kerajaan Israel dengan Samaria sebagai ibukota. Kerajaan di sisi utara ini juga kerap disebut Kerajaan Utara atau Kerajaan Samaria untuk membedakan dengan Kerajaan Israel yang lama. Kerajaan Samaria dipimpin 19 raja dari 9 dinasti berbeda dalam jangka waktu 208 tahun. Kerajaan Yehuda, terhitung dari Rehabeam bin Sulaiman, dipimpin 19 raja, semuanya merupakan Dinasti Dawud, dan seorang ratu. Penduduk Kerajaan Samaria dan keturunannya disebut bangsa Samaria. Meskipun awalnya hanya digunakan untuk merujuk pada keturunan Yehuda bin Ya'qub, istilah Yahudi kemudian digunakan untuk penduduk Kerajaan Yehuda secara keseluruhan, walaupun yang bersangkutan bukan anggota suku Yehuda.
Kerajaan Samaria hancur pada tahun 720 SM setelah ditaklukan Asyur. Sebagian penduduknya dibawa ke Mesopotamia dan sebagiannya melarikan diri ke Kerajaan Yehuda.[29] Sebagian dari sepuluh suku Bani Israil penduduk Kerajaan Samaria yang ditawan dan diasingkan Asyur kemudian disebut sepuluh suku yang hilang.[30] Se≈lain itu, Asyur juga menempatkan bangsa-bangsa lain ke wilayah bekas Kerajaan Samaria untuk menghancurkan identitas bangsa taklukan.[31] Pada akhir abad ke-7 SM, Kerajaan Yehuda menjadi negara bawahan Babilonia Baru, kekaisaran yang berpusat di Iraq. Raja Yehuda Zedekia kemudian bersekutu dengan Mesir dan memberontak pada Babilonia. Pemberontakan gagal dan, pada 597 SM, banyak Bani Israil yang diasingkan ke Babilonia. Kerajaan Yehuda memberontak lagi dan Babilonia di bawah kepemimpinan Nebukadnezar II mengepung Yerusalem pada 589 SM. Banyak Bani Israil yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Pada 587 atau 586 SM, Kerajaan Yehuda jatuh dan Bait Suci di Yerusalem juga dihancurkan. Keluarga raja, para imam, dan kalangan atas Bani Israil lain diasingkan ke Babilonia. Kawasan Yudea (Yehu Babilonia Baru runtuh dan digantikan Kekaisaran Akhemeniyah. Pada 538 SM, Kaisar Akhemeniyahda) menjadi provinsi Babilonia.
Koresy Agung mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan Bani Israil kembali ke Palestina dan membangun Bait Suci kedua.[32] Kawasan bekas Kerajaan Yehuda, dengan luas yang lebih kecil, menjadi negara otonom Yehud Medinata di bawah Akhemeniyah. Setelahnya, kawasan Yudea dikuasai beberapa dinasti asal Yunani secara bergantian. Sekitar 332 SM, kawasan ini ditaklukan Aleksander Agung dan menjadi bagian dari Kekaisaran Makedonia yang berpusat di Yunani. Tahun 301 SM, wilayah Yudea menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Ptolemaik, keluarga bangsawan asal Yunani yang pusat kekuasaannya di Mesir. Tahun 200 SM, Yudea menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Seleukia, keluarga bangsawan asal Yunani yang pusat kekuasaannya di Antiokhia (Turki). Berbeda dengan Akhemeniyah yang cenderung tidak ikut campur urusan internal wilayah bawahannya, dinasti-dinasti Yunani ini mendorong proses Helenisasi besar-besaran di kawasan Yudea dan wilayah bawahannya yang lain, menjadikan kebudayaan Yunani sangat dominan.
Pada tahun 167-160 SM, terjadi Pemberontakan Makabe yang melawan Kekaisaran Seleukia dan pengaruh Yunani dalam kehidupan umat Yahudi di Palestina. Pemberontakan berhasil dan Dinasti Hashmonayim Yahudi berkuasa atas kawasan Yudea. Awalnya Hashmonayim berperan sebagai pemimpin otonom di bawah Seleukia, tetapi kemudian menjadi pemimpin berdaulat setelah Seleukia terpecah.
Tahun 63 SM, Hashmonayim menjadi bawahan Republik Romawi. 37 SM, kekuasaan Hashmonayim berakhir, digantikan Raja Herodes Agung yang merupakan pemimpin bawahan Romawi. Setelah Herodes Agung mangkat, kawasan Yudea dibagi-bagi kepada anak-anaknya. Namun kekuasaan Dinasti Herodes pada akhirnya melebur dan Yudea yang awalnya merupakan wilayah semi-otonom berubah menjadi provinsi Romawi seiring meningkatnya pengaruh Romawi di kawasan timur Mediterania. Awalnya pihak Romawi menghormati adat dan hukum Yahudi setempat, tetapi lama-kelamaan terjadi gesekan antara kedua belah pihak, sehingga terjadilah Perang Yahudi-Romawi Pertama pada tahun 66-73 M. Banyak umat Yahudi yang terbunuh dan dijadikan budak, sementara Bait Suci kembali dihancurkan.[33][34][35]
Pada tahun 130 M, Kaisar Hadrianus berencana membangun ulang kota Yerusalem dan melambungkan harapan umat Yahudi. Namun Hadrianus kemudian membangun ulang kota tersebut sebagai koloni Romawi dan menjadi barak Legiuner.[36] Kota baru tersebut, Aelia Capitolina, dibangun dan dipersembahkan untuk dirinya sendiri dan beberapa dewa Romawi, utamanya Yupiter.[37] Hal ini memicu Perang Bar Kokhba (132-135 M). Menurut Cassius Dio, perang tersebut menyebabkan sekitar 580.000 Yahudi terbunuh, 50 kota berbenteng, dan 985 desa diratakan, dan lebih banyak lagi yang mati karena penyakit dan kelaparan.[38][39] Banyak tawanan perang yang dijual menjadi budak.[40] Umat Yahudi juga dilarang memasuki Yerusalem.
Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina. Umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.[41]
Diaspora merupakan istilah yang merujuk pada bangsa yang terdorong atau terpaksa meninggalkan tanah air mereka. Dalam konteks Yahudi, maka Yahudi diaspora merujuk pada umat Yahudi yang tinggal di luar Palestina. Umumnya diklaim bahwa bangsa Yahudi diaspora di Eropa merupakan keturunan dari mereka yang keluar dari Palestina pada perang antara tahun 66 sampai 135 M.[42] Kepercayaan populer yang tersebar luas menyatakan bahwa ada pengusiran mendadak orang-orang Yahudi dari kawasan Yudea dan Syria.[43] Namun nyatanya, proses pertumbuhan komunitas diaspora ini berlangsung selama berabad-abad, dimulai dari kehancuran Kerajaan Samaria oleh Asyur.[44] Avrum Ehrlich juga menyatakan bah→wa jauh sebelum kehancuran Bait Suci pada tahun 70 M, lebih banyak orang Yahudi yang tinggal di diaspora daripada di Palestina.[45]
Setelah jatuhnya Kerajaan Yehuda, Bani Israil memiliki dua tempat yang menjadi pusat kebudayaan mereka: Babilonia dan Palestina.[46] Meskipun sebagian besar Bani Israil selama periode ini, terutama keluarga kaya, dapat ditemukan di Babilonia, keberadaan mereka di sana tidak jelas dan tidak memiliki pengaruh politik, baik di bawah penguasa Akhemeniyah, Seleukia, Parthia, maupun Sasaniyah. Mereka yang paling miskin tetapi paling bersemangat kembali ke Yudea (Palestina) pada masa Akhemeniyah.
Awal abad ketiga SM, berbagai komunitas Bani Israil bermunculan di kepulauan Aegea, Yunani, Anatolia (Turki), Kirenaika (Libya), Italia, dan Mesir.[47] Pada diaspora Yahudi di Barat, bahasa Yunani dengan cepat menjadi dominan dalam kehidupan umat Yahudi dan sedikit sekali tanda-tanda akan adanya kontak mendalam dengan bahasa Ibrani atau Aram, yang terakhir mungkin lebih lazim. Proporsi bangsa Yahudi dalam diaspora secara keseluruhan meningkat terus sepanjang era Helenistik dan mencapai dimensi yang mencengangkan pada masa Romawi awal, khususnya di Aleksandria (Mesir). Untuk alasan inilah orang-orang Yahudi menjadi faktor politik utama, terutama karena orang-orang Yahudi di diaspora, terlepas dari ketegangan budaya, sosial dan agama yang kuat, tetap bersatu dengan tanah air mereka. Smallwood menuliskan bahwa pemukiman di Puteoli (Italia) yang dibuktikan pada tahun 4 SM berasal dari perpindahan sukarela bangsa Yahudi dan karena alasan kegiatan dagang.[48]
Beberapa kelompok Bani Israil juga menetap di Arab. Sejarawan mengklaim bahwa sejumlah besar orang Yahudi, sebanyak 80.000, tiba setelah penghancuran Bait Suci pertama, untuk bergabung dengan mereka yang sudah lama tinggal di tempat-tempat seperti oasis Khaybar serta koloni perdagangan di Madinah dan Makkah (mereka memiliki kuburan mereka sendiri). Teori lain menyatakan bahwa orang-orang Yahudi ini adalah pengungsi dari penganiayaan Romawi Timur. Sejarawan Arab menyebut sekitar 20 komunitas Yahudi, termasuk dua komunitas kohanim.[49] Di antara suku-suku Bani Israil yang tinggal di Arab antara lain Bani Qaynuqa yang merupakan keturunan Manasye bin Yusuf bin §Ya'qub.[50] Bani Quraizhah juga mengklaim sebagai Bani Israil. Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Harun.[51] Sebagian suku Yahudi di jazirah Arab juga merupakan suku Arab non-Bani Israil yang masuk agama Yahudi pada masa pra-Islam, seperti Bani Harits[52][53][54][55][56] dan Bani 'Auf.[57]
Ada beberapa kelompok yang dianggap sebagai keturunan dari sepuluh suku Bani Israil yang hilang setelah Kerajaan Samaria ditaklukan Asyur, di antaranya adalah:
Baik teks kitab suci maupun bukti arkeologi menunjukkan bahwa keagamaan Bani Israil sangat akrab dengan politeisme (menyembah banyak Tuhan) dan membutuhkan masa transisi panjang untuk mereka menjadi pemeluk monoteisme murni. Pada masa peralihan, banyak Bani Israil merupakan seorang henoteisme atau monolatrisme, menyembah Yahweh tanpa menolak keberadaan dewa-dewa lain.[67][68] Pada masa ini, banyak keluarga menyembah dewa-dewa yang berbeda-beda. Keagamaan sangat terpusat pada keluarga, bukan pada komunitas.[69]
Dalam teks-teks kitab suci disebutkan bahwa setelah menyeberang laut dan Musa pergi ke Gunung Sinai, Bani Israil menyembah patung sapi emas.[70][71][72] Sumber Alkitab menyebutkan Sulaiman membangun tempat pemujaan untuk dewa-dewa,[73] meski sumber Islam menolak pernyataan tersebut. Pemujaan patung sapi terjadi lagi saat Raja Samaria Yerobeam bin Nebat membangun patung sapi emas, satu di Betel dan satu di Dan, untuk menyaingi Bait Suci yang ada di Kerajaan Yehuda.[74][75] Ba'al, dewa cuaca dan kesuburan negeri Kan'an juga disembah di tengah komunitas Bani Israil. Raja Samaria Ahab membangun kuil pemujaan untuk Ba'al atas bujukan istrinya, Permaisuri Izebel, dan Ilyas (Elia) sangat menentang praktik tersebut.[76][77][78][79][80][81][82]
Saat Bani Israil di pengasingan dan hidup tanpa Bait Suci, rumah-rumah pertemuan Yahudi (beit knesset atau sinagoga) menjadi tempat pertemuan utama untuk beribadah dan beth midrash sebagai tempat pembelajaran Taurat dan tafsirnya. Setelah Bani Israil akhirnya kembali ke Palestina dan Bait Suci kedua dibangun, terdapat perbedaan signifikan terkait keagamaan Bani Israil bila dibanding masa-masa sebelumnya.[83] Monoteisme yang ketat muncul di antara para imam (pendeta) (כֹּהֵן, kohen).[84] Ibadah sunat, aturan makanan, dan ketaatan pada hari Sabat menjadi lebih ditekankan sebagai perlambang jati diri Yahudi, dan institusi sinagoga menjadi semakin penting. Sebagian besar literatur Alkitab, termasuk Taurat, ditulis atau secara substansial direvisi selama waktu ini.[85] Untuk menguatkan jati diri mereka, bangsa Yahudi yang telah kembali ke Palestina amat menekankan masalah kemurnian darah, sehingga memandang negatif bangsa Samaria yang dipandang sudah tidak murni lagi karena telah bercampur dengan bangsa asing yang ditempatkan pihak Asyur di bekas wilayah Kerajaan Samaria.[86][87]
Meski Akhemeniyah memperbolehkan pembangunan Bait Suci kembali, mereka tidak mengizinkan Bani Israil mendirikan kerajaan. Tanpa keberadaan raja, kedudukan imam menjadi sangat dominan dan kewenangan Bait Suci dalam kehidupan masyarakat semakin kuat. Di waktu inilah muncul aliran Saduki sebagai wadah para imam yang menjadi kelompok elit dalam masyarakat. Di sisi lain, Bait Suci kedua yang dibangun dengan bantuan asing menimbulkan pertanyaan atas keabsahannya dan sinagoga melanjutkan perannya sebagai pusat ibadah umat Yahudi setelah Bait Suci sendiri. Meski imam memegang kendali ritual di Bait Suci, ahli dan guru Taurat (kelak disebut rabi) yang mendominasi pengajaran Taurat.
Pada masa Hashmonayim, imam agung (כהן גדול, kohen gadol) juga berperan rangkap sebagai raja, kecuali pada masa Ratu Salome Aleksandra. Saat meluaskan wilayahnya, Hashmonayim juga memaksa penduduk taklukan untuk memeluk agama Yahudi. Bangsa Edom kemudian menjadi Yahudi.[88][89] Sekitar tahun 80 SM, kota Pella di Moab dihancurkan karena penduduk setempat tidak sepakat untuk mengadopsi adat bangsa Yahudi.[90]
Kelompok Farisi muncul dari kalangan para guru dan ahli Taurat[91] dan kedudukan mereka mulai menguat pada masa Ratu Salome Aleksandra. Mereka populer di kalangan rakyat biasa, berbeda dengan Saduki yang diasosiasikan dengan kelas elit.[92] Farisi sangat dikenal mendetail dalam hukum Taurat, menerapkan hukum Yahudi pada kegiatan-kegiatan duniawi untuk menguduskan dunia setiap hari. Ini adalah bentuk Yudaisme yang lebih partisipatif (atau "demokratis"), lantaran ritual tidak dimonopoli oleh para imam yang kedudukannya diwariskan tetapi dapat dilakukan oleh semua orang dewasa Yahudi secara individu atau kolektif, yang para pemimpinnya tidak ditentukan oleh kelahiran tetapi oleh capaian keilmuan. Saduki dan Farisi sering berseberangan dalam banyak hal dan keduanya juga berselisih dengan Yahya (Yohanes Pembaptis) dan 'Isa (Yesus).
Pada awalnya, 'Isa dan pengikutnya merupakan salah satu gerakan keagamaan dalam tubuh Yahudi pada saat itu (sebagaimana Farisi, Saduki, dan Eseni). Pada tahap paling awal, komunitas tersebut terdiri dari orang-orang Yahudi yang percaya bahwa 'Isa adalah mesias, dengan tetap menjalankan aturan-aturan dalam agama Yahudi, seperti ibadah pada hari Sabat, kehadiran di sinagoga, dan menjaga makanan kosher.[93][94] Pada keberjalanannya, para pengikut 'Isa, kemudian disebut dengan umat Kristen, semakin tumbuh di kalangan non-Yahudi. Tradisi Kristen juga menjadi semakin berbeda dari Yahudi.[95][96][97][98] Kristen perlahan menjadi salah satu agama dominan, kemudian menjadi agama negara Romawi.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.