Partai Golongan Karya (juga dikenali dengan kependekan Parti Golkar atau Golkar) merupakan sebuah parti politik di Indonesia, ia merupakan yang terbesar dari segi keanggotaan di negara tersebut. Ia bermula dengan kebangkitan Sekber Golkar oleh Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat pada akhir pemerintahan Presiden Sukarno untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam bidang politik. Dalam perkembangannya, Sekber Golkar menukarkan gelarannya kepada "Golongan Karya" dan menjadi salah satu peserta dalam pilihan raya.
Parti Golongan Karya | |
---|---|
Pemimpin | Airlangga Hartanto |
Ditubuhkan | 20 Oktober 1964 |
Kedudukan politik | Tengah |
Warna | Kuning |
Laman sesawang | |
www.golkar.or.id |
Dalam Pilihan raya 1971 (pilihan raya yang pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Suharto, Golongan Karya termuncul sebagai pemenang, dan kemenangan ini diulangi pada pilihan raya-pilihan raya yang seterusnya, yakni Pilihan raya 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan kerana pemerintahan Suharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS dan sebagainya.
Pada penamatan pemerintahan Suharto dan semasa reformasi bergulir, Golkar menukarkan gelarannya sekali lagi menjadi "Parti Golkar", dan untuk kali pertama, mengikuti pilihan raya tanpa apa jua bantuan seperti yang terdapat pada masa pemerintahan Suharto. Pada Pilihan raya 1999 yang diselenggarakan oleh Presiden Jusuf Habibie, perolehan Parti Golkar turun menjadi peringkat kedua.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati menjadi salah satu sebab rakyat Indonesia mengembalikan Parti Golkar di Pilihan raya 2004. Parti Golkar sekarang dipimpin oleh Airlangga Hartanto, Ketua Umum DPP Golkar.
Sejarah
Pada tahun 1964, golongan tentara Indonesia - khususnya perwira dalam Angkatan Darat seperti Let. Kol. Suhardiman dari SOKSI - menghimpunkan berpuluh-puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, petani dan nelayan dalam suatu penggabungan menghadapi kekuatan Partai Komunis Indonesia serta pemerintahan langsung Bung Karno sendiri. Gabungan ini diberi nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 sebagai suatu wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono dipilih sebagai ketua pertama partai ini sebelum jawatan tersebut diambil alih Mejar Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, pada bulan December 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di antara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
- Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
- Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
- Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
- Organisasi Profesi
- Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
- Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
- Gerakan Pembangunan
Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat dari 61 organisasi yang asal berkembang hingga mencapai 291 organisasi, hal ini karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang. Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu partai calon di mana ia begitu diragui kelompok-kelompok kuat lain yang bertanding dalam Pemilihan Umum ini seperti Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia dan Partai Muslimin Indonesia. Malah, mereka seperti terlalu dialpakan kejayaan masa lampau mahupun tidak menyadari perpecahan dalaman yang menyebabklan pemalingtadahan anggota-anggota ereka sendiri terhadap Golkar. Keputusan pilihan umum ini memihak besar kepada Golkar yang berhasil menang dengan 34,348,673 undian atau 62.79 % dari jumlah perolehan merata seluruh provinsi Indonesia, hal ini berbeda dengan "parpol" kuat di mana ia terlalu bertumpu kepada kawasan kuat mereka sendiri - NU di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah manakala Parmusi di Sumatra Barat dan Aceh. Kelompok Sekber GOLKAR menjenamakan semula diri menjadi Golkar pada tanggal 17 Julai 1971.
Pada September 1973, Golkar menyelenggarakan suatu Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya di mana Mejar Jen. Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Golkar mula menyerapkan banyak kesatuan pekerja yang memihak kuat kepadanya seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa.
Peraturan Monoloyalitas
Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
Keputusan pilihan raya undian
Golkar pada pemilu 1999 memperoleh sebanyak 22% undian. Ini merupakan kemerosotan yang jauh sekali daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam pemilu 1997 Golkar (belum menjadi partai) memperoleh undian sebanyak 70,2%, sedangkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya juga sekitar 60 sampai 70%. Contohnya, dalam pemilu tahun 1987 Golkar dapat menguasai secara mutlak 299 kerusi dalam DPR. Selama Orde Baru, DPR betul-betul dikuasai Golkar dan militer.
Pencapaian pada Pemilihan Umu. Legislatif 2009
Partai Golkar mendapat 107 kerusi (19,2%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 15.037.757 undian (14,5%). Perolehan undian dan kerusi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.
Pencapaian pada Pemilihan Umum Legislatif 2014
Partai Golkar mendapat 91 kerusi (16,3%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2014, setelah mendapat sebanyak 18.432.312 (14,75%). Perolehan undian dan kerusi menempatkannya pada posisi kedua dalam Pemilu ini.
Tahun pilihan umum | Jumlah kerusi | Jumlah undian diraih | Peratusan | Kedudukan | Keputusan |
---|---|---|---|---|---|
1971 | 236 / 360 |
34,348,673 | 62.80% | Partai baru | Ali Murtopo |
1977 | 232 / 360 |
39,750,096 | 62.11% | ▼4 kerusi | Amir Murtono |
1982 | 242 / 360 |
48,334,724 | 64.34% | ▲10 kerusi | Amir Murtono |
1987 | 299 / 400 |
62,783,680 | 73.11% | ▲57 kerusi | Sudharmono |
1992 | 282 / 400 |
66,599,331 | 68.10% | ▼17 kerusi | Wahono |
1997 | 325 / 400 |
84,187,907 | 74.51% | ▲43 kerusi | Harmoko |
1999 | 120 / 500 |
23,741,749 | 22.46% | ▼205 kerusi | Akbar Tanjung |
2004 | 129 / 550 |
24,480,757 | 21.58% | ▲8 kerusi | Oposisi bersama PDIP–Golkar–PBR–PDS (sampai Desember 2004)
Golkar–Demokrat–PKB–PPP–PKS–PAN–PBB–PKPI (sejak Desember 2004) |
2009 | 106 / 560 |
15,037,757 | 14.45% | ▼22 kerusi | membentuk oposisi bersama Hanura (sampai Oktober 2009)
membentuk pemerintah bersama Demokrat–Golkar–PKS–PAN–PPP–PKB (sejak Oktober 2009) |
2014 | 91 / 560 |
18,432,312 | 14.75% | ▼15 kerusi | membentuk oposisi bersama Gerindra–PAN–PKS–PPP–PBB (sehingga 2016)
membentuk pemerintah bersama PDIP–PAN–PKB–PPP–NasDem–Hanura–PKPI (2016–2018) membentuk pemerintah bersama PDIP–PKB–PPP–NasDem–Hanura–PKPI–PSI–Perindo (sejak 2016–2018) |
Kontroversi
Politisasi Sepak bola
Golkar mengklaim penurunan harga tiket pertandingan final Piala AFF 2010 berkat jasa Golkar.[1] Selain itu, pada deklarasi calon gubernur Sulawesi Tenggara dari Partai Golkar, Nurdin Halid—ketua umum PSSI sekaligus kader Partai Golkar—mengklaim 'sukses' Tim Nasional di kancah Piala AFF adalah karya Partai Golkar.[2]
Dualisme kepemimpinan
Pada akhir tahun 2014 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie hasil munas Bali dan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mensahkan Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Pada bulan April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Pada tanggal 10 Juli 2015, empat hakim yang mengadili kasus tersebut, yaitu Arif Nurdu'a, Didik Andy Prastowo, Nurnaeni Manurung dan Diah Yulidar memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie terkait dualisme kepengurusan partai. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Golkar yang kemudian diakui oleh pengadilan adalah hasil Munas Bali yang dipimpin oleh Agung Laksono sebagai ketua umum dan Zainudin Amali sebagai sekjen[3][4]. Namun, pada Oktober 2015, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Dualisme kepemimpinan ini mulai berakhir sejak tercapainya kesepakatan untuk rekonsiliasi yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal tahun 2016. Kedua kubu juga sepakat untuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pada pertengahan tahun 2016. Dualisme kepemimpinan ini resmi berakhir pada 17 Mei 2016 dimana Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar[5] yang baru dalam penyelenggaraan Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali.
Kepimpinan
Ketua Umum DPP Golkar
- Djuhartono (1964–1969)
- Suprapto Sukowati (1969–1973)
- Amir Moertono (1973–1983)
- Sudharmono (1983–1988)
- Wahono (1988–1993)
- Harmoko (1993–1998)
- Akbar Tandjung (1998–2004)
- Jusuf Kalla (2004–2009)
- Aburizal Bakrie (2009–2014 & Januari-Mei 2016)[6]
- Aburizal Bakrie & Agung Laksono (dualisme kepemimpinan) (2014–2016)
- Setya Novanto[7] (2016–2017)
- Airlangga Hartarto (2017–Sekarang)
Lihat juga
Rujukan
Bacaan lanjut
Pautan luar
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.