From Wikipedia, the free encyclopedia
Empayar Makaduniah (juga Makadunia[1] atau Maqaduniyah;[2] Jawi: مقدونيه) atau Empayar Makedonia (Yunani: Μακεδονία ) adalah nama kerajaan Yunani purba di bahagian paling utara Yunani Purba, bersempadan dengan kerajaan Epirus di barat dan wilayah Thrake di timur. Selama suatu tempoh yang singkat, kerajaan ini merupakan negara terkuat di Timur Tengah, setelah Alexander Agung menakluk hampir semua wilayah dunia yang terkenal waktu itu, menandai tempoh Helenis dalam sejarah Yunani.
Makaduniah Μακεδονία Makedonía | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
800s SM–146 SM | |||||||||||||
Ibu negara | Aigai kemudian Pella | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Makaduniah Purba, kemudiannya Bahasa Yunani Attika/Koine | ||||||||||||
Agama | Agama Yunani Purba | ||||||||||||
Kerajaan | Beraja | ||||||||||||
Raja | |||||||||||||
• 808–778 BC | Karanos | ||||||||||||
• 359–336 BC | Philippos II | ||||||||||||
• 336–323 BC | Alexander Agung | ||||||||||||
• 221–179 BC | Philippos V | ||||||||||||
Era Sejarah | Baharian klasik | ||||||||||||
• Karanos mengasaskan Wangsa Argead | 800s SM | ||||||||||||
146 SM | |||||||||||||
Mata wang | Tetradrakhmon | ||||||||||||
|
Kerajaan ini pernah disebutkan dalam manuskrip lama seperti Sejarah Melayu dan Bustanus al-Salatin sebagai tempat asal raja Iskandar Zulkarnain yang ditindihkan kepada Alexander serta dikatakan sebagai datuk moyang segala raja-raja Melayu:[2][3]:100[4]
...kata yang empunya ceritera, pada suatu masa, bahwa Raja Iskandar, anak Raja Darab, Rum bangsanya, Maqaduniah nama negerinya, Dhu al-Qarnain gelarnya...
Sejarawan-sejarawan Yunani Klasik seperti Herodotus dan Thoukydides mencatat sebuah legenda yang menyatakan bahawa raja-raja Makaduniah dari Dinasti Argeadai adalah keturunan Temenos, raja Argos, sehingga raja-raja tersebut dapat menyatakan Herakles sebagai salah satu leluhur mereka, dan bahawa mereka adalah keturunan langsung Zeus, dewa utama dalam mitologi Yunani.[5] Pernyataan bahawa keluarga Argeadai merupakan keturunan Temenos diterima kebenarannya oleh para juri Hellanodikai dalam ajang Olimpiade Kuno, sehingga Raja Alexander I (r. 498–454 SM– ) diperbolehkan ikut bertanding berkat keturunan Yunani-nya.[6] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa pemerintahan ayahanda Alexander, iaitu Amintas I (r. 547–498 SM– ), pada zaman Arkais.[7] Namun, terdapat pula legenda lain yang menyatakan bahawa pendiri Dinasti Argeadai adalah Perdikas I atau Karanos, dan terdapat lima atau lapan raja sebelum Amintas I.[8]
Kerajaan Makaduniah terletak di sepanjang sungai Haliakmon dan Aksios di kawasan Makaduniah Hilir yang terletak di sebelah utara Gunung Olimpus. Sejarawan Robert Malcolm Errington menduga bahawa salah satu raja Argeadai terawal mendirikan kota Aigai (sekarang Vergina) sebagai ibu kota mereka pada pertengahan abad ke-7 SM.[9] Sebelum abad ke-4 SM, kerajaan tersebut mencakup kawasan di sekitaran bagian barat dan tengah wilayah Makaduniah di Yunani moden.[10] Kerajaan tersebut secara bertahap meluas ke wilayah Makaduniah Hulu, yang ditinggali oleh suku Linkestis dan Elimiotis (keduanya termasuk ke dalam puak Yunani), dan ke kawasan Ematia, Eordaia, Botiaia, Migdonia, Krestonia, dan Almopia (wilayah-wilayah yang ditempati oleh berbagai suku bangsa seperti Trakia dan Frigia).[11] Orang-orang nukan Yunani yang tinggal bersebelahan dengan Makaduniah adalah orang Trakia yang tinggal di kawasan timur laut, Iliria di barat laut, dan Paionia di utara, sementara wilayah Tesalia di selatan dan Epiros di barat ditinggali oleh orang Yunani dengan budaya yang serupa dengan orang Makaduniah.[12]
Setahun setelah Darius I dari Parsi (r. 522–486 SM– ) melancarkan serangan ke Eropah melawan orang-orang Skitia, Paionia, Trakia, dan beberapa negara-kota Yunani di Balkan, jenderal Parsi Megabazus menggunakan cara diplomasi untuk memujuk Amintas I agar bersedia menjadi naungan kerajaan Hakhamaniyah, sehingga dimulailah zaman Makaduniah Hakhamaniyah.[note 1] Hegemoni Hakhamaniyah sempat terganggu oleh Pemberontakan Ionia (499–493 SM), tetapi jenderal Parsi Mardonius berhasil mengembalikan kekuasaan Hakhamaniyah di Makaduniah.[13] Makaduniah diberikan otonomi yang besar dan tidak pernah dijadikan satrapi (seakan provinsi atau negeri) Hakhamaniyah, tetapi wilayah tersebut tetap dituntut untuk menyediakan pasukan kepada Hakhamaniyah.[14] Alexander I memberikan dukungan ketenteraan Makaduniah kepada Khasyarasya I (r. 486–465 SM– ) selama serangan kedua pada 480–479 SM, dan pasukan Makaduniah bahkan bertarung di pihak Parsi dalam Pertempuran Platea pada tahun 479 SM.[15] Setelah kemenangan besar Yunani di Salamis pada 480 SM, Alexander I ditugaskan sebagai duta Hakhamaniyah dengan tugas mengusulkan perjanjian perdamaian dan persekutuan dengan Atena, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah.[16] Tidak lama sesudah itu, pasukan Hakhamaniyah terpaksa mundur dari daratan Eropah lalu mengakhiri kekuasaan Parsi di kerajaan Makaduniah.[17]
Meskipun awalnya merupakan vasal Parsi, Alexander I dari Makaduniah tetap menjalin hubungan diplomatik yang bersahabat dengan bekas musuh-musuhnya di Yunani, iaitu Liga Delia yang dipimpin oleh Atena dan Liga Peloponesos pimpinan Sparta.[18] Namun, penerus Alexander I yang bernama Perdikas II (r. 454–413 SM– ) memimpin Kerajaan Makaduniah dalam empat konflik terpisah melawan Atena; pada saat yang sama, wilayah Makaduniah di timur laut terancam oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh seorang penguasa Trakia yang bernama Sitalkes dari Kerajaan Odrisia.[19] Mulanya negarawan Atena Perikles berupaya menggalakkan pendirian permukiman di daerah Sungai Strimon di dekat Kerajaan Makaduniah, dan kota Amfipolis didirikan pada 437/436 SM agar Atena dapat memperoleh persediaan emas dan perak ditambah dengan kayu dan damar gegala untuk angkatan laut Atena.[20] Perdikas sempat tidak mengambil tindakan dan mungkin malah menyambut kedatangan Atena kerana mereka sama-sama bermusuhan dengan orang-orang Trakia.[21] Keadaan berubah setelah Atena bersekutu dengan saudara dan sepupu Perdikas II yang telah memberontak melawannya.[21] Maka meletuslah dua perang terpisah antara Makaduniah dan Atena dari tahun 433 dan 431 SM.[21] Raja Makaduniah membalas tindakan Atena dengan mendukung pemberontakan di wilayah sekutu Atena di Kalkidiki dan berhasil mengambil alih kota Potidaia yang strategis.[22] Kota Potidaia lalu dikepung oleh Atena setelah mereka merebut kota Therma dan Veria dari Makaduniah, tetapi pengepungan tersebut mengalami kegagalan; Therma kemudian dikembalikan kepada Makaduniah dan sebagian besar wilayah Kalkidiki pun diserahkan kepada Atena sesuai dengan perjanjian perdamaian yang ditengahi oleh Sitalkes, yang memberikan bantuan ketenteraan kepada Atena untuk mendapatkan sekutu-sekutu Trakia yang baru sebagai gantinya.[23]
Pada 429 SM, di tengah berkecamuknya Perang Peloponesos (431–404 SM) antara Atena dan Sparta, Perdikas II mengirim bantuan ketenteraan kepada Sparta di Akarnania, tetapi pasukan Makaduniah terlambat datang, sehingga pasukan Atena dapat memenangkan Pertempuran Naupaktus.[24] Pada tahun yang sama, pasukan Atena mencuba membalas tindakan ini dengan meyakinkan Sitalkes untuk menyerang Makaduniah, tetapi Atena menolak mengirimkan angkatan lautnya untuk membantu Sitalkes di Kalkidiki, kemungkinan kerana Atena merasa takut dengan cita-cita sang raja Trakia.[25] Sitalkes mundur dari Makaduniah akibat kurangnya persediaan untuk para tentara pada musim dingin.[26] Pada 424 SM, Perdikas II membantu meyakinkan sekutu-sekutu Atena di Trakia untuk membelot dan bersekutu dengan Sparta.[27] Sebagai gantinya, jenderal Sparta Brasidas bersedia membantu Perdikas II memadamkan pemberontakan Arabaios, penguasa Linkestis (di Makaduniah Hulu), meskipun baginda sempat mengungkapkan kekhuatirannya kerana Arabaios didukung oleh pasukan Iliria dalam jumlah yang besar dan juga kerana sekutu Sparta di Kalkidiki rentan diserang Atena ketika pasukan Sparta sedang disibukkan di tempat lain.[28] Dalam Pertempuran Linkestis, pasukan Makaduniah panik dan melarikan diri sebelum pertarungan dimulai, sehingga Brasidas mengamuk, dan pasukan-pasukannya menjarah kereta kuda pengangkut perbekalan milik Makaduniah yang telah ditinggalkan.[29] Akibatnya, Perdikas II berbalik melawan Sparta dan kembali bersekutu dengan Atena, sehingga menghadang bala bantuan Liga Peloponesos di Tesalia dan memaksa Arabaios dan para pemberontak lainnya untuk menyerah dan menerima raja Makaduniah sebagai penguasa mereka.[30]
Brasidas mangkat pada tahun 422 SM, yang juga merupakan tahun ketika Atena dan Sparta menyetujui Perjanjian Perdamaian Nikias yang membebaskan Makaduniah dari segala kewajiban untuk membantu sekutunya, Atena.[31] Setelah kemenangan Sparta dalam Pertempuran Mantinea pada tahun 418 SM, Sparta membentuk sebuah persekutuan dengan Argos, dan Perdikas II sendiri ingin bergabung dengan persekutuan ini kerana terdapat kemungkinan bahawa sekutu-sekutu Sparta akan tetap berada di Kalkidiki.[32] Namun, setelah Argos mendadak berbalik mendukung Atena, angkatan laut Atena dapat memblokade pelabuhan-pelabuhan Makaduniah dan menyerang Kalkidiki pada tahun 417 SM.[33] Perdikas II mengajak berdamai pada 414 SM dan membentuk sebuah persekutuan dengan Atena yang kemudian akan dilanjutkan oleh puteranya sekaligus penerusnya, Arkelaos I (r. 413–399 SM– ).[34] Alhasil angkatan laut Atena memberikan dukungan kepada Arkelaos I selama pengepungan Pidna oleh Makaduniah pada tahun 410 SM, dan sebagai gantinya Makaduniah memasok Atena dengan kayu dan peralatan laut.[35]
Meskipun Arkelaos I menghadapi beberapa pemberontakan di dalam negeri dan harus menghalau serangan Iliria yang dipimpin oleh Siras dari Linkestis, baginda mampu merambah ke wilayah Tesalia dengan mengirim bantuan ketenteraan kepada sekutu-sekutunya.[36] Walaupun baginda masih mempertahankan Aigai sebagai pusat upacara dan keagamaan, Arkelaos I memindahkan ibu kota kerajaan ke utara di Pela, yang pada saat itu terletak di pinggir danau yang dihubungkan oleh sebuah sungai ke Laut Aegea.[37] Baginda memperkuat mata wang Makaduniah dengan mencetak wang yang memiliki kandungan perak yang lebih tinggi serta dengan mengeluarkan wang tembaga yang terpisah.[38] Istana kerajaannya diisi oleh cendekiawan-cendekiawan ternama seperti seorang dramawan Atena yang bernama Euripides.[39] Setelah pembunuhan Arkelaos I (diduga akibat hubungan homoseksual dengan hamba muda di istananya), Kerajaan Makaduniah mengalami kekacauan; dari tahun 399 hingga 393 SM, terdapat paling tidak empat penguasa: Orestes (putera Arkelaos I), Aeropos II (mamanda, pemangkuraja, dan pembunuh Orestes), Pausanias (putera Aeropos II), dan Amintas II (yang mengahwini puteri bungsu Arkelaos I).[40] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa yang kacau ini, tetapi masa ini berakhir setelah Amintas III (r. 393–370 SM– , putera Aridaios dan cucu Amintas I) membunuh Pausanias dan merebut takhta Makaduniah.[41]
Amintas III sempat melarikan diri dari kerajaannya sekitar tahun 393 atau 383 SM (berdasarkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan), dalam rangka menghindari serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh suku Dardani dari Iliria yang dipimpin oleh Bardilis.[note 2] Seorang penuntut takhta yang bernama Argaios memerintah selama kepergian Amintas III, tetapi Amintas III kemudian dapat kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutunya di Tesalia.[42] Amintas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Olintos yang memimpin Liga Kalkidiki, tetapi berkat bantuan dari Teleutias (saudara Raja Sparta Agesilaos II), pasukan Makaduniah berhasil membuat Olintos menyerah dan membubarkan Liga Kalkidiki pada 379 SM.[43]
Alexander II (putera dari Euridike I dan Amintas III, r. 370–368 SM– ) menggantikan ayahnya dan langsung menyerbu Tesalia dan mengobarkan perang melawan tagus (pemimpin ketenteraan tertinggi Tesalia) Alexander dari Ferai, dan mereka berhasil menaklukkan kota Larisa.[44] Pasukan Tesalia ingin menjatuhkan Alexander II sekaligus Alexander dari Ferai, sehingga mereka meminta bantuan kepada Pelopidas dari Tivai; Pelopidas berhasil merebut kembali Larisa dan kemudian menerima sandera berupa adik kandung Alexander II (yang kelak akan menjadi Raja Filipus II, r. 359–336 SM– ), sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah disepakati dengan Makaduniah.[45] Setelah Alexander II dibunuh saudara iparnya Ptolemaios dari Aloros, Ptolemaios bertindak sebagai pemangku Raja Perdikas III (adinda Alexander II, r. 368–359 SM– ); setelah Perdikas III mencapai usia dewasa pada tahun 365 SM, baginda memerintahkan agar Ptolemaios dihukum mati.[46] Masa kekuasaan Perdikas III merupakan masa kestabilan politik dan pemulihan kewangan.[47] Namun, serangan dari Atena yang dipimpin oleh Timoteos (anak Konon) mengakibatkan jatuhnya kota Metone dan Pidna, dan kemudian keadaan semakin memburuk setelah Bardilis dari Iliria kembali melancarkan serangan yang berujung pada kematian Perdikas III dan 4.000 pasukan Makaduniah dalam pertempuran.[48]
Filippos II berusia dua puluh empat tahun saat baginda naik takhta pada 359 SM.[49] Berkat kemampuan diplomasinya, baginda berhasil meyakinkan orang-orang Trakia yang dipimpin oleh Berisades untuk tidak lagi membantu salah seorang pengklaim takhta Makaduniah yang bernama Pausanias, dan baginda juga berhasil membuat Atena menghentikan dukungan mereka kepada seorang pengklaim takhta yang lain, iaitu Argaios II.[50] Baginda melakukannya dengan menyuap orang-orang Trakia dan Paionia (yang merupakan sekutu Trakia), dan juga dengan menyepakati perjanjian dengan Atena yang menyatakan bahawa Makaduniah menarik balik tuntutannya atas kota Amfipolis.[51] Selain itu, baginda berhasil berdamai dengan orang-orang Iliria yang sempat mengancam wilayah sempadan Makaduniah.[52]
Filippos II menjalani masa pemerintahan awalnya dengan merombak pasukan Makaduniah. Baginda mengubah susunan, peralatan, dan pelatihan pasukannya, termasuk dengan memperkenalkan formasi falangs Makaduniah yang bersenjatakan tembiang panjang (sarissa), dan reformasi ini terbukti mujarab setelah mereka berhasil mengalahkan Iliria dan Paionia.[53] Catatan-catatan sejarah kuno yang saling berseberangan telah memicu perdebatan di kalangan ahli modern mengenai seberapa besar sumbangsih para pendahulu Filippos II terhadap reformasi ketenteraan ini, dan sejauh mana gagasannya dipengaruhi oleh masa-masa remajanya saat baginda ditawan di Tivai sebagai sandera politik, khususnya setelah baginda bertemu dengan jenderal Epaminondas.[54]
Orang Makaduniah dan orang-orang Yunani pada umumnya mempraktikkan monogami, tetapi Filippos II melakukan poligami dan mempunyai tujuh isteri, dan mungkin hanya satu isterinya yang tidak memiliki latar belakang sebagai persembahan tanda kesetiaan dari keluarga ningrat atau sekutu barunya.[note 3] Baginda menikah dengan Fila dari Elimeia yang berasal dari golongan ningrat Makaduniah Hulu, serta seorang puteri Iliria yang bernama Audata dengan tujuan membentuk persekutuan.[55] Untuk membentuk persekutuan dengan Larisa di Tesalia, baginda mengahwini seorang bangsawati Tesalia yang bernama Filina pada tahun 358 SM, dan dari pernikahannya ini Filippos II dikaruniai seorang putera yang kelak akan memerintah dengan nama Filippos III Aridaios (r. 323–317 SM– ).[56] Pada 357 SM, baginda mengahwini Olimpias untuk bersekutu dengan Aribas, Raja Epiros dan Molosoi. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putera yang kemudian memerintah dengan sebutan Alexander III (lebih dikenal dengan julukan Alexander Agung) dan mengaku sebagai keturunan Akhilleus dalam legenda melalui garis keturunan Raja Epiros.[57] Tidak diketahui secara pasti apakah raja-raja Hakhamaniyah-lah yang berpengaruh terhadap praktik poligami Filippos II, meskipun pendahulunya Amintas III memiliki tiga putera yang diyakini lahir dari isteri keduanya, Gigaea: Arkelaos, Aridaios, dan Menelaus.[58] Filippos II memerintahkan penghukuman mati Arkelaos pada 359 SM, sementara dua bersaudara yang lain melarikan diri ke Olintos, yang kemudian menjadi sebuah casus belli untuk memulai Perang Olintia (349–348 SM).[59]
Saat Atena sedang disibukkan dengan Perang Sosial (357–355 SM), Filippos II merebut kembali Amfipolis dari Atena pada 357 SM dan pada tahun berikutnya juga berhasil menguasai kembali Pidna dan Potidaia; baginda lalu menyerahkan Potidaia kepada Liga Kalkidiki seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.[60] Pada 356 SM, baginda mengambil alih Krinides dan mendirikan kembali kota tersebut dengan nama Filipi, sementara salah satu jenderalnya yang bernama Parmenion berhasil mengalahkan raja Iliria Grabos dari Grabaei.[61] Selama pengepungan Methone tahun 355–354 SM, Filippos II kehilangan mata kanannya akibat tembakan panah, tetapi tetap berhasil merebut kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tidak seperti Potidaia yang telah diperhambakan rakyatnya.[note 4]
Filippos II lalu turut serta dalam Perang Suci Ketiga (356–346 SM). Perang ini dimulai setelah Fokis menaklukkan dan menjarah kuil Apollo di Delfi daripada harus melunasi denda yang belum dibayarkan, sehingga meletuslah perang antara Liga Amfiktionia dan Fokis serta perang saudara antara para anggota Liga Tesalia yang bersekutu dengan Fokis atau Tivai.[62] Kampanye ketenteraan yang dikobarkan oleh Filippos II melawan Ferai di Tesalia pada 353 SM (atas desakan dari Larisa) sempat mengalami kegagalan akibat dua kekalahan besar di tangan jenderal Fokis Onomarkos.[note 5] Walaupun begitu, Filippos II berhasil mengalahkan Onomarkos dalam Pertempuran Lapangan Krokus pada 352 SM, sehingga Filippos II terpilih sebagai pemimpin (arkhon) Liga Tesalia, mendapatkan satu kursi di Dewan Amfiktionia, dan dapat membentuk persekutuan dengan Ferai melalui pernikahan dengan Nikesipolis, kemenakan tiran Bagindason dari Ferai.[63]
Setelah bertempur melawan penguasa Trakia Kersobleptes, pada tahun 349 SM, Filippos II memulai perang melawan Liga Kalkidiki, yang telah didirikan kembali pada 375 SM.[64] Meskipun Karidemos dari Atena mencuba membantu Kalkidiki,[65] Olintos ditaklukan oleh Filippos II pada 348 SM, sementara para penduduknya dijual sebagai budak, termasuk beberapa warga Atena.[66] Atena berupaya meyakinkan sekutu-sekutunya untuk melancarkan serangan balasan (termasuk pidato-pidato Demostenes), tetapi upaya-upaya ini gagal, sehingga pada 346 SM Atena menyepakati Perjanjian Perdamaian Filokrates dengan Makaduniah.[67] Perjanjian tersebut menyatakan bahawa Atena akan mencabut klaim atas wilayah pesisir Makaduniah, Kalkidiki, dan Amfipolis; sebagai gantinya, orang-orang Atena yang telah diperbudak akan dilepaskan, dan Filippos II juga memberikan jaminan bahawa mereka tak akan menyerang permukiman-permukiman Atena di Kersonesos Trakia.[68] Sementara itu, Fokis dan Termopilai ditaklukan oleh pasukan Makaduniah, para perampok kuil Delfi dihukum mati, dan Filippos II memperoleh dua kursi Fokis di Dewan Amfiktionia serta jabatan pembawa acara dalam ajang Pesta Olahraga Pitia.[69] Atena awalnya menentang keanggotaan Makaduniah di dewan dan menolak hadir dalam ajang tersebut sebagai tanda protes, tetapi pada akhirnya mereka bersedia menerimanya, mungkin setelah diyakinkan oleh Demostenes dalam orasinya, Tentang Perdamaian.[70]
Dalam tempoh waktu beberapa tahun sesudahnya, Filippos II merombak pemerintahan-pemerintahan setempat di Tesalia, berperang melawan penguasa Iliria Pleuratos I, melengserkan Aribas di Epiros dan menggantikannya dengan saudara ipar Filippos II, Alexander I (melalui pernikahan Filippos II dengan Olimpias), serta mengalahkan Kersobleptes di Trakia. Dengan ini baginda dapat memperluas kendali Makaduniah ke wilayah Helespontos mengharapkan serangan dari Hakhamaniyah.[74] Pada tahun 342 SM, Filippos II menaklukkan sebuah kota Trakia yang terletak di wilayah yang kini sebahagian dari Bulgaria, dan lalu mengganti namanya menjadi Filipopolis (sekarang Plovdiv).[75] Perang melawan Atena meletus pada tahun 340 SM, sementara Filippos II disibukkan oleh pengepungan terhadap kota Perintos dan Bizantion yang mengalami kegagalan, disusul dengan perang melawan Skitia di sepanjang sungai Donau yang berhasil dimenangkan oleh Makaduniah, serta keterlibatan Makaduniah dalam Perang Suci Keempat melawan Amfisa pada 339 SM.[76] Tivai kemudian mengusir garnisun Makaduniah dari Nikea (dekat Termopilai), sehingga Tivai bergabung dengan Atena, Megara, Korintos, Akhaia, dan Euboia dalam upaya terakhir mereka untuk membendung Makaduniah dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM.[77] Setelah Makaduniah berhasil memenangkan pertempuran tersebut, Filippos II mendirikan sebuah oligarki di Tivai, tetapi mereka tidak mengambil tindakan keras terhadap Atena, kerana mereka masih ingin memanfaatkan angkatan laut mereka dalam rencana penyerangan terhadap Hakhamaniyah.[78] Baginda lalu membentuk Liga Korintos yang meliputi negara-negara kota Yunani besar kecuali Sparta. Walaupun Kerajaan Makaduniah secara resmi tidak tergabung ke dalam liga tersebut, pada tahun 337 SM, Filippos II terpilih sebagai pemimpin (hegemon) dewan liga tersebut (sinedrion) serta panglima tertinggi (strategos autokrator) dalam kampanye ketenteraan yang akan datang melawan Hakhamaniyah.[79] Salah satu alasan yang mendasari keputusan Filippos II untuk menyerang Hakhamaniyah mungkin adalah ketakutan di Yunani bahawa Parsi akan kembali melakukan serangan.[80] Parsi menawarkan bantuan kepada Perintos dan Bizantion pada 341–340 SM, mengingat Makaduniah perlu menguasai kawasan Trakia dan Laut Aegea untuk mempersiapkan serangan ke Hakhamaniyah, sementara Raja Artakhsyaca III terus memperkukuhkan kekuasaannya atas provinsi-provinsi di Anatolia barat.[81] Filippos II sendiri menginginkan wilayah Anatolia barat, kerana sumber daya alam di tempat tersebut jauh lebih kaya daripada di Balkan.[82]
Setelah Filippos II mengahwini Kleopatra Euridike (keponakan jenderal Atalus), perbincangan mengenai calon penerus yang baru selama pesta pernikahan membuat murka isteri Filippos II, Olimpias, dan anak mereka, Alexander (yang juga merupakan veteran Pertempuran Kaironeia).[83] Alexander dan Olimpias bersama-sama melarikan diri ke Epiros sebelum akhirnya Alexander dipanggil lagi ke Pela oleh Filippos II.[83] Saat Filippos II berencana menjodohkan anaknya Aridaios dengan Ada dari Karia (puteri seorang satrap Parsi di Karia yang bernama Pixodarus), Alexander meminta agar dirinya yang dinikahkan dengan Ada. Filippos lalu membatalkan pernikahan tersebut dan mengasingkan para penasihat Alexander (Ptolemaios, Nearkos, dan Harpalos).[84] Agar tetap rukun dengan Olimpias, Filippos II menikahkan puteri mereka Kleopatra dengan saudara Olimpia (dan paman Kleopatra), Alexander I dari Epiros, tetapi Filippos II malah dibunuh oleh penjaganya Pausanias dari Orestis saat pesta pernikahan tersebut digelar, sehingga baginda digantikan oleh Alexander pada 336 SM.[85]
Para ahli modern telah memperdebatkan kemungkinan keterlibatan Alexander III dan ibunya Olimpias dalam pembunuhan Filippos II, terutama mengingat bahawa Filippos II sudah memutuskan untuk tidak melibatkan Alexander dalam rencana serangannya ke Asia dan sebagai gantinya akan menjadikannya sebagai pemangku raja Yunani dan wakil hegemon Liga Korintos; faktor lain yang membuat ahli-ahli mencurigai keterlibatan mereka berdua adalah kemungkinan lahirnya calon penerus lellaki yang lain dari pernikahan Filippos II dengan isteri barunya, Kleopatra Euridike.[note 6] Alexander III (r. 336–323 SM– ) dinyatakan sebagai raja oleh sebuah majlis yang terdiri dari para askar dan ningrat, dengan Antipatros dan Parmenion sebagai tokoh-tokoh paling penting di majlis tersebut.[86] Pada akhir masa pemerintahan dan karier militernya pada 323 SM, Alexander menguasai sebuah kekaisaran yang membentang di Yunani daratan, Asia Kecil, Syam, Mesir Kuno, Mesopotamia, Parsi, dan berbagai wilayah di Asia Tengah dan Selatan (termasuk wilayah yang sekarang menjadi Pakistan).[87] Salah satu tindakan pertamanya adalah memakamkan ayahnya di Aigai.[88] Para anggota Liga Korintos memberontak setelah mendengar kabar kematian Filippos II, tetapi pemberontakan tersebut tak lama kemudian dipadamkan oleh pasukan ketenteraan dan juga dengan menggunakan diplomasi, sehingga Alexander terpilih sebagai hegemon liga tersebut yang akan melaksanakan rencana serangan ke Hakhamaniyah.[89]
Pada tahun 335 SM, Alexander mengobarkan perang melawan salah satu suku Trakia yang disebut Tribali di Haemus Mons dan di sepanjang sungai Donau, sehingga suku tersebut terpaksa menyerah di Pulau Peuke.[90] Tak lama setelahnya, raja Iliria Kleitos dari Dardani mengancam akan menyerang Makaduniah, tetapi Alexander mengambil tindakan terlebih dahulu dengan mengepung suku Dardani di Pelion (sekarang di Albania).[91] Ketika Tivai kembali memberontak melawan Liga Korintos dan mengepung garnisun Makaduniah di Kadmia, Alexander meninggalkan front Iliria dan bergerak menuju Tivai, yang kemudian baginda kepung.[92] Setelah berhasil menembus tembok kota, pasukan Alexander membunuh 6.000 orang, menawan 30.000 warga, dan membakar kota tersebut hingga rata dengan tanah sebagai peringatan terhadap negara-negara Yunani lainnya (kecuali Sparta) supaya mereka tidak mencuba menentang Alexander.[93]
Sepanjang karier militernya, Alexander memenangkan setiap pertempuran yang baginda pimpin secara langsung.[94] Kemenangan pertamanya melawan bangsa Parsi di Asia Kecil dalam Pertempuran Granikos pada 334 SM diwujudkan dengan mengirimkan kontingen kavaleri kecil sebagai pengalih perhatian agar pasukan infanterinya dapat menyeberangi sungai, dan lalu disusul oleh serbuan dari kavaleri sahabat "hetairoi".[95] Alexander memimpin serbuan kavaleri dalam Pertempuran Isos pada 333 SM, sehingga Raja Parsi Darius III dan tentaranya terpaksa melarikan diri.[95] Meskipun jumlah pasukannya lebih unggul, Darius III lagi-lagi terpaksa mundur akibat kekalahan dalam Pertempuran Gaugamela pada 331 SM.[95] Sang Raja Parsi kemudian ditangkap dan dihukum mati oleh seorang satrap Balakh sekaligus kerabatnya, Besos, pada 330 SM. Alexander lalu memburu dan menghukum mati Besos di sebuah tempat yang sekarang berada di Afganistan, sesambil menguasai kawasan Sogdia.[96] Dalam Pertempuran Hidaspes pada tahun 326 SM (sekarang di Punjab), gajah-gajah perang Raja Puru dari Paurawa mengancam pasukan Alexander, alhasil Alexander memerintahkan pasukannya untuk membentuk barisan terbuka, mengepung gajah-gajah, dan lalu menjatuhkan pengendali gajah dengan menggunakan tembiang sarissa.[97] Ketika pasukan Makaduniah mengancam akan melakukan pemberontakan pada 324 SM di Opis, Babilonia (sekarang di dekat Baghdad, Irak), Alexander malah menawarkan gelar-gelar ketenteraan Makaduniah dan tanggung jawab yang lebih besar kepada para perwira Parsi, sehingga pasukannya terpaksa memohon pengampunan dalam perjamuan makan yang diadakan untuk merukunkan kembali Parsi dan Makaduniah.[98]
Alexander mungkin telah melemahkan pemerintahannya sendiri dengan menunjukkan tanda-tanda megalomania.[99] Selain mengeluarkan propaganda yang efektif seperti kisah pemotongan Ikatan Gordia, baginda juga berupaya menggambarkan dirinya sebagai seorang dewa hidup dan putera Zeus setelah baginda mengunjungi orakel di Siwah, Gurun Libya (sekarang Mesir), pada 331 SM.[100] Pada tahun 327 SM, baginda mencuba meminta bawahannya untuk bersujud di hadapannya di Baktra, yang merupakan sebuah tindakan proskinesis yang diserap dari praktik di istana Parsi, tetapi upaya ini dicap sebagai penistaan agama oleh bawahan-bawahannya di Makaduniah dan Yunani setelah seorang sejarawan istana yang bernama Kalistenes menolak mengikuti ritual tersebut.[99] Ketika Alexander membunuh Parmenion di Ekbatana (sekarang dekat Hamadan, Iran) pada 330 SM, hal ini menjadi "gejala melebarnya jurang antara kepentingan raja dengan kepentingan negara dan rakyatnya", sebagaimana diamati oleh Errington.[101] Pembunuhan Kleitos yang Hitam pada 328 SM oleh Alexander juga disebut sebagai tindakan yang "berdendam dan sembrono" oleh Dawn L. Gilley dan Bagindan Worthington.[102] Selain itu, Alexander meneruskan kebiasaan poligami ayahnya; baginda mendorong pasukannya untuk mengahwini perempuan-perempuan di Asia, dan baginda memberikan contoh secara langsung dengan mengahwini Roxana, seorang puteri Baktria yang berasal dari Sogdia.[103] Alexander kemudian mengahwini Stateira II (puteri sulung Darius III) dan Parisatis II (puteri bongsu Artakhsyaca III) dalam upacara pernikahan Susa pada 324 SM.[104]
Sementara itu, di Yunani, Raja Sparta Agis III berupaya memimpin pemberontakan Yunani melawan Makaduniah.[105] Baginda dikalahkan pada 331 SM dalam Pertempuran Megalopolis oleh Antipatros.[note 7] Sebelum Antipatros berangkat untuk melancarkan kampanye ketenteraan di Peloponesos, gubernur Trakia yang bernama Memnon berhasil dibujuk untuk tidak memberontak dengan menggunakan cara diplomasi.[106] Antipatros menyerahkan urusan hukuman terhadap Sparta kepada Liga Korintos yang dikepalai oleh Alexander, yang pada akhirnya memutuskan untuk mengampuni Sparta asalkan mereka mengirim lima puluh orang bangsawan sebagai tebusan.[107] Kekuasaan Antipatros tidak terlalu disukai di Yunani akibat tindakannya (mungkin atas perintah dari Alexander) yang menempatkan pasukan-pasukan Makaduniah di kota-kota dan mengasingkan orang-orang yang tidak puas dengan kepemimpinannya, tetapi pada tahun 330 SM, Alexander mengisytiharkan bahawa tirani-tirani yang ada di Yunani akan dihapuskan dan kebebasan Yunani akan dipulihkan.[108]
Setelah Alexander Agung menjemput ajal di Babilonia pada 323 SM, Olimpias langsung melayangkan tuduhan kepada Antipatros dan faksinya bahawa mereka telah meracuninya, meskipun tak ada bukti yang membenarkan hal ini.[109] Akibat ketiadaan pewaris takhta secara resmi, komando ketenteraan Makaduniah pun terpecah: satu pihak menyatakan saudara tiri Alexander, Filippos III Aridaios (r. 323–317 SM– ), sebagai raja, sementara yang lainnya berpihak kepada anak putera Alexander dari perkahwinan dengan Roxana, Alexander IV (r. 323–309 SM– ).[110] Sepeninggalan Alexander, orang-orang Yunani (kecuali Euboia dan Boiotia) juga langsung memberontak melawan Antipatros dan memulai Perang Lamia (323–322 SM).[111] Setelah Antipatros mengalami kekalahan dalam Pertempuran Termopilai pada 323 SM, baginda melarikan diri ke Lamia, dan kemudian baginda dikepung oleh komandan Atena Leostenes. Antipatros lalu diselamatkan oleh pasukan Makaduniah yang dipimpin oleh Leonatos.[112] Antipatros pada akhirnya berhasil memadamkan pemberontakan tersebut. Kematiannya pada 319 SM mengakibatkan kekosongan kekuasaan, sementara dua orang yang dinyatakan sebagai raja menjadi pion dalam perebutan kekuasaan di antara para diadokhoi (bekas jenderal pasukan Alexander).[113] Peristiwa lain yang terjadi setelah kematian Alexander adalah pertemuan dewan tentara di Babilonia. Dewan tentara tersebut mengangkat Filippos III sebagai raja dan kiliarkos Perdikas sebagai walinya.[114] Antipatros, Antigonos Monoftalmos, Krateros, dan Ptolemaios membentuk sebuah koalisi melawan Perdikas dalam sebuah perang saudara yang disulut oleh perampasan pengangkut jenazah Alexander Agung oleh Ptolemaios.[115] Perdikas menyerang Ptolemaios di Mesir untuk menghukumnya, tetapi serangan itu mengalami kegagalan, dan 2.000 pasukannya tewas tenggelam saat sedang bergerak di kawasan Sungai Nil; Perdikas kemudian dibunuh oleh para perwiranya sendiri di tengah kampanye ketenteraan tersebut pada tahun 321 SM.[116] Sementara itu, Eumenes dari Kardia berhasil membunuh Krateros dalam pertempuran, tetapi hal ini tidak terlalu berdampak terhadap jalannya Pembagian Triparadeisos pada tahun 321 SM di Siria, ketika koalisi yang memenangkan perang menyelesaikan permasalahan perwalian raja yang baru dan hak-hak wilayah.[117] Antipatros diangkat sebagai pemangkuatas dua raja. Sebelum Antipatros mangkat pada 319 SM, baginda mengangkat seorang loyalis Argeadai yang bernama Poliperkones sebagai penerusnya, sehingga melewatkan anak kandung Antipatros, Kasandros, dan menghiraukan hak raja untuk memilih walinya sendiri (kerana Filippos III dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil), dan juga mengabaikan dewan tentara.[118]
Setelah bersekutu dengan Ptolemaios, Antigonos, dan Lisimakos, Kasandros memerintahkan perwiranya Nikanor untuk merebut benteng Munikia di kota pelabuhan Atena, Pireas; tindakan ini melanggar dekret dari Poliperkones yang menyatakan bahawa kota-kota Yunani harus terbebas dari garnisun Makaduniah, sehingga meletuslah Perang Diadokhoi Kedua (319–315 SM).[119] Akibat kekalahan-kekalahan Poliperkones, pada tahun 317 SM, Filippos III (dengan keterlibatan isteri Filippos III yang aktif secara politik, Ratu Euridike II) secara resmi menjadikan Kasandros sebagai pengganti Poliperkones.[120] Sesudah itu, Poliperkones meminta bantuan dari Olimpias di Epiros.[120] Pasukan gabungan Epiros, Aitolia, dan Poliperkones menyerang Makaduniah dan berhasil memaksa pasukan Filippos III dan Euridike untuk menyerah, sehingga Olimpias dapat menghukum mati sang raja dan memaksa sang ratu untuk bunuh diri.[121] Olimpias kemudian memerintahkan agar Nikanor dan puluhan bangsawan Makaduniah lainnya dibunuh, tetapi pada musim semi tahun 316 SM, Kasandros berhasil mengalahkan pasukan Olimpias, menangkapnya, dan menyeretnya ke meja hijau atas dakwaan pembunuhan, dan akhirnya Olimpias dijatuhi hukuman mati.[122]
Kasandros mengahwini puteri Filippos II yang bernama Thessalonike dan memperluas kendali Makaduniah ke wilayah Iliria hingga mencapai Epidamnos. Pada 313 SM, wilayah tersebut direbut kembali oleh raja Iliria Glaukias dari Taulanti.[123] Pada 316 SM, Antigonos merebut wilayah Eumenes dan memutuskan untuk mengusir Seleukos I dari kawasan perintahnya di Babilonia, sehingga Kasandros, Ptolemaios, dan Lisimakos melayangkan ultimatum terhadap Antigonos pada tahun 315 SM yang menuntut agar baginda menyerahkan berbagai wilayah di Asia.[124] Antigonos langsung bersekutu dengan Poliperkones yang berbasis di Korintos, dan Antigonos lalu juga mengeluarkan sebuah ultimatum kepada Kasandros yang menuduhnya sebagai pembunuh Olimpias dan menuntut agar baginda menyerahkan keluarga kerajaan, iaitu Raja Alexander IV dan ibu suri Roxana.[125] Konflik tersebut berlangsung hingga musim dingin tahun 312/311 SM, dan kemudian perjanjian perdamaian yang baru mengakui Kasandros sebagai jenderal Eropah, Antigonos sebagai "yang pertama di Asia", Ptolemaios sebagai jenderal Mesir, dan Lisimakos sebagai jenderal Trakia.[126] Kasandros lalu memerintahkan agar Alexander IV dan Roxana dihukum mati pada musim dingin tahun 311/310 SM. Kemudian, pada tahun 306–305 SM, para diadokhoi dinyatakan sebagai raja di wilayah mereka masing-masing.[127]
Era Yunani Helenistik ditandai dengan percekcokan antara Dinasti Antipatridai yang dipimpin oleh Kasandros (r. 305–297 SM– ) melawan Dinasti Antigonidai pimpinan jenderal Makaduniah Antigonos I Monofthalmos (r. 306–301 SM– ) dan puteranya yang kelak akan menjadi raja Demetrios I (r. 294–288 SM– ). Kasandros mengepung Atena pada 303 SM, tetapi terpaksa mundur ke Makaduniah ketika Demetrios menyerbu Boiotia untuk memutus jalur mundur pasukan Kasandros.[128] Walaupun Antigonos dan Demetrios berupaya membentuk kembali Liga Helenik seperti pada masa Filippos II dengan mereka berdua sebagai hegemon, sebuah koalisi tandingan didirikan oleh Kasandros, Ptolemaios I Soter (r. 305–283 SM– ) dari Dinasti Ptolemaik Mesir, Seleukos I Nikator (r. 305–281 BC– ) dari Kekaisaran Seleukia, dan Raja Trakia Lisimakos (r. 306–281 SM– ); koalisi ini berhasil mengalahkan pasukan Antigonidai dalam Pertempuran Ipsos pada 301 SM, yang menewaskan Antigonos dan memaksa Demetrios untuk melarikan diri.[129]
Kasandros mangkat pada tahun 297 SM, dan puteranya Filippos IV yang sakit juga tutup usia pada tahun yang sama; Filippos IV lalu digantikan oleh dua puterai Kasandros yang lain, iaitu Alexander V (r. 297–294 SM– ) dan Antipatros II (r. 297–294 SM– ), sementara ibunda mereka Thessalonike bertindak sebagai pemangkuraja.[130] Ketika Demetrios sedang bertempur melawan pasukan Antipatridai di Yunani, Antipatros II membunuh ibunya sendiri untuk memperoleh kekuasaan.[130] Alexander V yang merasa tersudut lalu meminta bantuan dari Piros dari Epiros (r. 297–272 SM– ),[130] yang pernah bertempur bersama dengan Demetrios dalam Pertempuran Ipsos, tetapi Piros kemudian dikirim sebagai sandera ke Mesir sebagai bagian dari perjanjian antara Demetrios dan Ptolemaios I.[131] Sebagai balasan kerana telah mengalahkan pasukan Antipatros II dan membuat Antipatros II melarikan diri ke istana Lisimakos di Trakia, Piros dianugerahi wilayah paling barat kerajaan Makaduniah.[132] Demetrios lalu memerintahkan pembunuhan keponakannya, Alexander V, dan kemudian dinyatakan sebagai raja Makaduniah, tetapi bawahan-bawahannya menentang gaya kepemimpinan otokrasinya.[130]
Perang pecah antara Piros dan Demetrios pada tahun 290 SM setelah Lanasa (isteri Piros dan puteri Agatokles dari Sirakousai) mencampakkan Piros, mendekati Demetrios, dan menawarkan kepada Demetrios pulau Korkira yang sebelumnya diperolehnya sebagai mas kawin.[133] Perang berlangsung sampai tahun 288 SM, ketika Demetrius tidak lagi didukung oleh rakyat Makaduniah dan melarikan diri dari negara tersebut. Makaduniah kemudian terbagi antara Piros dan Lisimakos; Piros menguasai Makaduniah barat, sementara Lisimakos mengendalikan Makaduniah timur.[133] Pada tahun 286 SM, Lisimakos mengusir Piros dan pasukannya dari Makaduniah.[note 8] Pada 282 SM, perang meletus antara Seleukos I melawan Lisimakos; Lisimakos tewas dalam Pertempuran Kurupedion, sehingga Seleukos I dapat mengambil alih wilayah Trakia dan Makaduniah.[134] Namun, Seleukos I dibunuh pada tahun 281 SM oleh salah seorang perwiranya yang bernama Ptolemaios Keraunos, putera Ptolemaios I dan cucu Antipatros. Ptolemaios Keraunos kemudian dinyatakan sebagai raja Makaduniah, tetapi baginda gugur dalam pertempuran melawan para penyerang Kelt pada tahun 279 SM selama invasi Galia ke Yunani.[135] Tentara Makaduniah menyatakan jenderal Sostenes dari Makaduniah sebagai raja, meskipun baginda tampaknya menolak gelar tersebut.[136] Setelah mengalahkan pasukan seorang penguasa Galia yang bernama Bolgios dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Brenos, Sostenes mangkat dan meninggalkan Makaduniah dalam keadaan yang kacau.[137] Pasukan Galia kembali meluluhlantakkan Makaduniah sampai Antigonos Gonatas (putera Demetrios) mengalahkan mereka di Trakia pada tahun 277 SM dalam Pertempuran Lismakeia dan kemudian dinyatakan sebagai raja Antigonos II dari Makaduniah (r. 277–274 SM; 272–239 SM– ).[138]
Pada 280 SM, Piros melancarkan kampanye ketenteraan di Magna Gresia (Italia selatan) melawan Republik Romawi, dan konflik ini dikenal dengan sebutan Perang Piros, dan kemudian baginda juga melancarkan serangan ke Sisilia yang berada di bawah kendali Kartago pada masa itu.[139] Ptolemaios Keraunos sendiri mengamankan jabatannya di Makaduniah dengan memberikan lima ribu prajurit dan dua puluh gajah perang kepada Piros.[131] Setelah mengalami kegagalan, Piros kembali ke Epiros pada 275 SM, dan kemenangan Romawi dalam konflik tersebut telah memperkuat negara ini, kerana kota-kota Yunani di Italia selatan (seperti Tarentum) telah menjadi sekutu Romawi.[139] Piros lalu menyerang Makaduniah pada tahun 274 SM dan berhasil mengalahkan tentara Antigonos II yang sebagian besar terdiri dari tentara bayaran dalam Pertempuran Aous pada tahun 274 SM. Piros juga berhasil mengusirnya dari Makaduniah, sehingga Antigonos II terpaksa mengungsi bersama dengan armadanya.[140]
Piros kehilangan dukungan dari banyak orang di Makedonia pada tahun 273 SM setelah tentara bayarannya yang berasal dari Galia menjarah pemakaman kerajaan di Aigai.[141] Piros mengejar Antigonos II di Peloponesos, tetapi Antigonos II pada akhirnya berhasil menaklukkan kembali Makedonia.[142] Piros tewas saat mengepung Argos pada 272 SM, alhasil Antigonos II dapat menuntut kembali wilayah Yunani lainnya.[143] Baginda kemudian merestorasi pemakaman Dinasti Argeadai di Aigai dan mencaplok wilayah Kerajaan Paionia.[144]
Liga Aitolia menghambat cita-cita Antigonos II di Yunani tengah. Pembentukan Liga Akaya pada 251 SM juga mengakibatkan terusirnya pasukan Makedonia dari sebagian besar wilayah Peloponesos, dan pada masa-masa tertentu liga ini turut menguasai Atena dan Sparta.[145] Meskipun Kekaisaran Seleukia bersekutu dengan Dinasti Antigonidai di Makedonia dalam upaya melawan Mesir Ptolemaik pada masa Perang Siria, angkatan laut Ptolemaik sangat mengganggu upaya Antigonos II untuk mengendalikan daratan utama Yunani.[146] Dengan bantuan dari angkatan laut Ptolemaik, negarawan Atena Kremonides melancarkan sebuah pemberontakan melawan Makedonia yang dikenal sebagai Perang Kremonides (267–261 SM).[147] Pada 265 SM, Atena dikepung oleh pasukan Antigonos II, dan armada Ptolemaik dikalahkan dalam Pertempuran Kos. Atena akhirnya menyerah pada 261 SM.[148] Setelah Makedonia membentuk sebuah persekutuan dengan penguasa Seleukia Antiokos II, sebuah kesepakatan damai antara Antigonos II dan Ptolemaios II Filadelfos dari Mesir akhirnya tercapai pada 255 SM.[149]
[143][146] dapat terlihat di latar belakang Pada 251 SM, Aratos dari Sikion melancarkan sebuah pemberontakan melawan Antigonos II, dan pada 250 SM, Ptolemaios II menyatakan dukungannya kepada Alexander dari Korintos yang telah menyatakan dirinya sebagai raja.[151] Walaupun Alexander mangkat pada 246 SM dan Antigonos berhasil memenangkan pertempuran laut melawan Ptolemaios di Andros, Akrokorintos direbut oleh pasukan Aratos pada 243 SM, dan kemudian Korintos tergabung ke dalam Liga Akaya.[152] Antigonos II berdamai dengan Liga Akaya pada 240 SM dan harus merelakan wilayah yang telah lepas di Yunani.[153] Antigonos II meninggal dunia pada 239 SM dan digantikan oleh puteranya, Demetrios II dari Makedonia (r. 239–229 SM– ). Dalam upaya untuk membentuk persekutuan dengan Makedonia untuk mempertahankan diri dari serangan Aitolia, ibu suri dan pemangkuraja Epiros, Olimpias II, menawarkan puterinya Ftia dari Makedonia untuk dinikahkan dengan Demetrios II. Demetrios II menerima usulannya, tetapi hubungannya dengan Seleukia rusak akibat perceraiannya dengan Stratonike dari Makedonia.[154] Walaupun pernikahan ini membuat Aitolia bersekutu dengan Liga Akaya, Demetrios II menyerang Boiotia dan berhasil merebutnya dari Aitolia pada 236 SM.[150]
Liga Akaya berhasil menaklukkan Megalopolis pada 235 SM, dan pada akhir masa pemerintahan Demetrios II, sebagian besar wilayah Peloponesos (kecuali Argos) telah direbut dari Makedonia.[155] Persekutuan Demetrios II dengan Epiros juga bubar setelah sistem monarki dilengserkan oleh sebuah revolusi republikan.[156] Demetrios II meminta bantuan kepada raja Iliria Agron dalam upaya untuk mempertahankan Akarnania dari Aitolia, dan pada 229 SM, mereka berhasil mengalahkan gabungan angkatan laut Aitolia dan Liga Akaya dalam Pertempuran Paxos.[156] Seorang penguasa Iliria yang lain, iaitu Longaros dari Kerajaan Dardania, menyerang Makedonia dan mengalahkan pasukan Demetrios II tak lama sebelum Demetrios tutup usia pada tahun 229 SM.[157] Meskipun puteranya yang masih muda (Filippos) mewarisi takhta Makedonia, pemangkurajanya yang bernama Antigonos III Doson (keponakan Antigonos II, r. 229–221 SM– ) dinyatakan sebagai raja oleh tentaranya, dengan Filippos sebagai pewarisnya, setelah Makedonia berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan pasukan Iliria di utara dan pasukan Aitolia di Tesalia.[158]
Aratos mengirim utusan ke istana Antigonos III pada 226 SM untuk mengajak bersekutu, kerana raja Kleomenes III dari Sparta telah menjadi ancaman bagi wilayah-wilayah Yunani lainnya selama Perang Kleomenes (229–222 SM).[159] Antigonos III bersedia membantu Aratos, tetapi sebagai gantinya baginda menuntut pengembalian wilayah Korintos kepada Makedonia, dan Aratos akhirnya bersedia pada tahun 225 SM.[160] Pada 224 SM, pasukan Antigonos III merebut Arkadia dari Sparta. Setelah membentuk sebuah liga Helenistik yang serupa dengan Liga Korintos pada masa Filippos II, Antigonos III berhasil mengalahkan Sparta dalam Pertempuran Selasia pada 222 SM.[161] Sparta lalu diduduki oleh negara asing untuk pertama kalinya dalam sejarah, dan Makedonia pun kembali menjadi negara terkuat di Yunani.[162] Antigonos mangkat setahun kemudian, kemungkinan akibat tuberkulosis, dan baginda mewariskan sebuah kerajaan Helenistik yang kuat kepada penerusnya, Filippos V.[163]
Kekuasaan Filippos V dari Makedonia (r. 221–179 SM– ) menghadapi ancaman dari Liga Aitolia dan suku Dardani dari Iliria[164] Filippos V dan sekutu-sekutunya berhasil mengalahkan pasukan Aitolia dan sekutunya dalam Perang Sosial (220–217 SM), tetapi baginda memutuskan untuk berdamai dengan Aitolia setelah mendengar kabar mengenai serangan suku Dardani di utara dan kemenangan Kartago atas Romawi dalam Pertempuran Danau Trasimene pada 217 SM.[165] Demetrios dari Faros diduga adalah orang yang telah meyakinkan Filippos V untuk mengamankan wilayah Iliria terlebih dahulu sebelum menyerang semenanjung Italia.[note 9] Pada 216 SM, Filippos V mengirim seratus kapal-kapal perang ringan ke Laut Adriatik untuk menyerang Iliria, sebuah tindakan yang membuat Skerdilaidas dari Kerajaan Ardiaea memohon bantuan kepada Romawi.[166] Romawi menanggapinya dengan mengirim sepuluh kapal kuinkuireme berat dari Sisilia Romawi untuk menjaga wilayah pesisir Iliria, sehingga Filippos V memerintahkan agar armadanya menarik diri untuk menghindari konflik secara terbuka.[167]
Pada tahun 215 SM, di tengah berkecamuknya Perang Punisia Kedua, aparat Romawi mencegat sebuah kapal di kawasan lepas pantai Calabria. Kapal tersebut mengangkut seorang utusan Makedonia dan duta besar Kartago yang membawa sebuah perjanjian yang disusun oleh Hanibal Barka; perjanjian tersebut mengisytiharkan persekutuan antara Kartago dengan Filippos V.[168] Perjanjian ini juga menyatakan bahawa Kartago berhak menentukan ketentuan-ketentuan menyerahnya Romawi apabila mereka berhasil memenangkan perang, dan Kartago juga menjanjikan bantuan apabila Romawi mencuba menuntut balas terhadap Makedonia atau Kartago.[169] Meskipun Makedonia mungkin hanya ingin mengamankan wilayah yang baru mereka taklukan di Iliria,[170] Romawi berhasil menggagalkan cita-cita Filippos V di kawasan Adriatik selama Perang Makedonia Pertama (214–205 SM). Pada 214 SM, Romawi menempatkan armadanya di Orikos, dan Makedonia kemudian menyerang armada tersebut sekaligus kota Apolonia di Iliria.[171] Setelah Makedonia menaklukkan Lisos pada 212 SM, Senat Rom membalasnya dengan menghasut Liga Aitolia, Sparta, Elis, Mesinia, dan Atalos I (r. 241–197 SM– ) dari Pergamon untuk mengobarkan perang melawan Filippos V, alhasil pasukan Makedonia disibukkan di Yunani dan dapat dijauhkan dari wilayah Italia.[172]
Liga Aitolia menyetujui sebuah perjanjian perdamaian dengan Filippos V pada 206 SM, dan Republik Rom juga menyepakati Perjanjian Foinike dengan Makedonia pada 205 SM, sehingga perang berakhir dan Makedonia diperbolehkan mempertahankan beberapa permukiman yang telah direbut di Iliria.[173] Meskipun Romawi menolak permintaan Aitolia pada 202 SM agar Romawi kembali mengobarkan perang melawan Makedonia, Senat Rom sangat mempertimbangkan tawaran serupa yang diajukan oleh Pergamon dan sekutunya, Rodos, pada 201 SM.[174] Negara-negara ini merasa khuatir dengan persekutuan antara Filippos V dan Antiokos III Agung dari Kekaisaran Seleukia; Seleukia sendiri telah menyerang Dinasti Ptolemaik yang sudah dilelahkan oleh perang dan juga kehabisan dana selama Perang Siria Kelima (202–195 SM), sementara Filippos V merebut permukiman-permukiman Ptolemaik di kawasan Laut Aegea.[175] Walaupun para utusan Romawi berperan penting dalam meyakinkan Atena untuk bergabung dengan persekutuan anti-Makedonia bersama dengan Pergamon dan Rodos pada 200 SM, comitia centuriata (majelis rakyat) menolak usulan Senat Rom untuk menyatakan perang terhadap Makedonia.[176] Sementara itu, Filippos V menaklukkan wilayah-wilayah di Helespontos dan Bosporos serta Samos Ptolemaik, sehingga Rodos membentuk sebuah persekutuan dengan Pergamon, Bizantion, Kizikos, dan Kios.[177] Meskipun Filippos V didukung oleh Seleukia, armada Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Kios pada 201 SM.[178]
Saat Filippos V sedang disibukkan dengan perang melawan sekutu-sekutu Romawi di Yunani, Romawi mencuba memanfaatkan kesempatan ini untuk menghukum Makedonia kerana mereka telah membantu Hanibal sekaligus untuk memperoleh kemenangan yang gemilang tanpa perlu mengeluarkan banyak sumber daya.[note 10] Senat Rom menuntut agar Filippos V berhenti bertikai dengan negara-negara Yunani dan menyelesaikan perselisihan dengan membawa perkara ke komite arbitrasi internasional.[179] Setelah comitia centuriata menyetujui pernyataan perang terhadap Makedonia pada tahun 200 SM dan menyerahkan ultimatum kepada Filippos V yang menuntut agar kerugian yang dialami oleh Rodos dan Pergamon ditinjau oleh pengadilan, raja Makedonia menolak mentah-mentah ancaman tersebut. Maka dimulailah Perang Makedonia Kedua (200–197 SM), dan Publius Sulpisius Galba Maksimus kemudian memimpin operasi-operasi ketenteraan di Apolonia.[180]
Pasukan Makedonia berhasil mempertahankan wilayah mereka sepanjang hampir dua tahun,[181] namun konsul Romawi Titus Quinctius Flamininus berhasil mengusir Filippos V dari Makedonia pada 198 SM, sehingga pasukan Filippos V terpaksa mengungsi ke Tesalia.[182] Ketika Liga Akaya membelot dan mulai mendukung Romawi, raja Makedonia meminta berdamai, tetapi ketentuan-ketentuan yang ditawarkan oleh lawan dianggap terlalu berat, dan sehingga perang berlanjut.[182] Pada Juni 197 SM, pasukan dikalahkan dalam Pertempuran Kinoskefalon.[183] Romawi kemudian meratifikasi sebuah perjanjian yang memaksa Makedonia untuk melepaskan sebagian besar wilayah-wilayahnya di Yunani yang berada di luar wilayah utama Makedonia, dan mungkin Romawi membiarkan Makedonia tetap berdiri hanya sebagai wilayah pembatas dari serangan suku-suku Iliria dan Trakia.[184] Meskipun beberapa orang Yunani curiga bahawa Romawi ingin menggantikan Makedonia sebagai kekuatan yang dominan di Yunani, Flaminius mengumumkan saat Pesta Olahraga Istmia pada tahun 196 SM bahawa Roma berniat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Yunani dengan tidak menempatkan garnisun dan juga dengan tidak memungut upeti.[185] Pemenuhan janjinya sempat tertunda oleh proses perundingan dengan raja Sparta Nabis yang telah menaklukkan Argos, tetapi pada akhirnya pasukan Romawi mundur dari Yunani pada tahun 194 SM.[186]
Raja Seleukia Antiokos III merasa terdorong dengan seruan Liga Aitolia untuk membebaskan Yunani dari Romawi, sehingga baginda dan pasukannya mendarat di Demetrias, Tesalia, pada 192 SM, dan dipilih menjadi strategos oleh Aitolia.[187] Makedonia, Liga Akaya, dan negara-negara kota Yunani lainnya masih tetap mempertahankan persekutuan mereka dengan Romawi.[188] Pasukan Romawi berhasil mengalahkan pasukan Seleukia pada 191 SM dalam Pertempuran Termopilai serta Pertempuran Magnesia pada 190 SM, alhasil Seleukia terpaksa menandatangani Traktat Apamea pada 188 SM yang mewajibkan mereka untuk membayarkan pampasan perang, membubarkan sebagian besar angkatan lautnya, dan menarik balik tuntutannya atas wilayah-wilayah di sebelah utara atau barat Pegunungan Tauros.[189] Dengan persetujuan dari Romawi, pada 191–189 SM, Filippos V merebut beberapa kota di Yunani tengah yang pernah bersekutu dengan Antiokos III, sementara Rodos dan Eumenes II (r. 197–159 SM– ) dari Pergamon memperoleh wilayah di Asia Kecil.[190]
Setelah gagal memuaskan semua pihak yang terlibat dalam berbagai persengketaan wilayah, Senat Rom memutuskan pada 184/183 SM untuk memaksa Filippos V meninggalkan Ainos dan Maronea, kerana wilayah tersebut telah dinyatakan sebagai kota merdeka dalam Perjanjian Apamea.[note 11] Tindakan ini meredakan ketakutan Eumenes II akan ancaman Makedonia terhadap wilayah Eumenes II di Helespontos.[191] Sementara itu, Filippos V mangkat pada tahun 179 SM dan digantikan oleh Perseus dari Makedonia (r. 179–168 SM– ). Perseus kemudian menghukum mati adiknya sendiri, Demetrios, yang disukai oleh Romawi namun didakwa melakukan pengkhianatan oleh Perseus.[192] Perseus lalu berupaya membentuk persekutuan dengan Prusias II dari Kerajaan Bitinia dan Seleukos IV Philopator dari Seleukia dengan mengusulkan pernikahan, dan baginda juga memperbaharui hubungan dengan Rodos, tetapi tindakan ini membuat khuatir Eumenes II.[193] Eumenes II mencuba merusak hubungan-hubungan ini, tetapi Perseus berhasil bersekutu dengan Liga Boiotia, memperluas kekuasaannya di Iliria dan Trakia, dan pada 174 SM juga dipilih sebagai anggota Dewan Amfiktonia yang mengurus Kuil Apolo di Delfi.[194]
Eumenes II tiba di Roma pada 172 SM dan menyampaikan sebuah pidato di hadapan Senat yang mengecam kejahatan dan pelanggaran yang konon telah dilakukan oleh Perseus.[195] Akibatnya, Senat Romi mengisytiharkan Perang Makaduniah Ketiga (171–168 SM).[note 12] Meskipun pasukan Perseus berhasil memperoleh kemenangan melawan pasukan Romawi dalam Pertempuran Kalinikos pada 171 SM, Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Pidna pada Juni 168 SM.[196] Perseus melarikan diri ke Samotrakia, tetapi baginda menyerahkan diri tak lama setelahnya; baginda lalu dibawa ke Roma untuk mengikuti pawai kemenangan Lusius Emilius Paulus Makedonikus, dan kemudian dijadikan tahanan rumah di Alba Fucens hingga baginda tutup usia pada 166 SM.[197] Empayar Rom membubarkan kerajaan Makaduniah dan menggantikannya dengan empat republik yang terpisah, masing-masing beribukota di Amfipolis, Tesalonika, Pela, dan Pelagonia.[198] Romawi memberlakukan undang-undang yang menghalangi interaksi ekonomi dan sosial di antara penduduk-penduduk republik-republik tersebut, termasuk larangan pernikahan di antara mereka dan larangan (sementara) terhadap penambangan emas dan perak.[198] Kemudian, seseorang yang bernama Andriskos mengaku dirinya berketurunan Antigonidai, memberontak melawan Romawi, dan diangkat menjadi raja Makaduniah. Baginda berhasil mengalahkan pasukan praetor Romawi yang dipimpin oleh Publius Yuvensius Talna,[199] tetapi baginda dikalahkan oleh Kuintus Sesilius Metelus Makedonus dalam Pertempuran Pidna Kedua pada 148 SM.[200] Kemudian Romawi juga berhasil menghancurkan kota Carthago pada tahun 146 SM dan mengalahkan Liga Akaya dalam Pertempuran Korintos pada tahun yang sama, sehingga dimulailah zaman kekuasaan Romawi di Yunani dan didirikanlah provinsi Makedonia Romawi secara bertahap.[201]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.