Tabrakan kereta api Bintaro 1987 atau yang dikenal dengan nama "Tragedi Bintaro I" adalah peristiwa kecelakaan tragis yang melibatkan dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.[1][2]
Tabrakan kereta api Bintaro 1987 | |
---|---|
Rincian | |
Tanggal | 19 Oktober 1987 |
Waktu | 07.05 WIB |
Letak | Bintaro, Jakarta |
Negara | Indonesia |
Jalur | Merak–Tanahabang segmen Rangkasbitung–Tanahabang |
Operator | Perusahaan Jawatan Kereta Api |
Jenis kecelakaan | Adu banteng |
Penyebab | Kelalaian PPKA Stasiun Sudimara dalam memberikan tanda aman bagi KA 225 |
Statistik | |
Kereta api | 2 (KA 225 vs. KA 220) |
Kru | KA 225:
KA 220:
Stasiun Sudimara:
Stasiun Kebayoran:
|
Meninggal dunia | 139 dengan rincian
|
Luka-luka | 254 dengan rincian
|
Kerusakan | Rusak pada: |
Dalam kecelakaan ini, rangkaian kereta api Patas Merak jurusan Tanah Abang–Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung–Jakarta Kota (KA 225) yang berangkat dari Stasiun Sudimara. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia dengan mencatatkan 139 tewas dan 254 orang lainnya luka berat. Proses evakuasi penumpang kereta api menjadi tantangan mengingat kerasnya tabrakan adu banteng.[3][4][5]
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalur yang kosong di Stasiun Sudimara.
Lokasi kejadian
Berdasarkan keterangan resmi dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), lokasi kecelakaan berada pada km 17+252 lintas Angke–Tanahabang–Rangkasbitung–Merak.[5] Lokasi tersebut berada pada tikungan S yang pada masa itu masih didominasi perkebunan dan semak belukar yang luas, sebelum adanya Jalan Tol Jakarta–Serpong di barat yang dibangun antara tahun 1999–2005. Lokasi ini juga terletak sekitar 1,5 km di sebelah barat daya TPU Tanah Kusir.
Kronologi
Versi PJKA
KA 225 ditarik lokomotif BB306 16 dengan Slamet Suradio sebagai masinis, Soleh sebagai asisten masinis, dan Adung Syafei sebagai kondektur. Sementara itu, KA 220 ditarik lokomotif BB303 16 dan dimasinisi oleh Amung Sunarya, dengan asistennya, Mujiono.[6]
Adapun stamformasi rangkaian kereta api ini menurut laporan akhir PJKA terdiri atas:[5]
- KA 225: BB306 16 + K3-65626 + K3-65654 + K3-65639 + K3-65604 + K3-65656 + K3-65648 + K3-64611
- KA 220: BB303 16 + KB3-65601 + K3-66505 + K3-66501 + K3-64528 + K3-64541 + K3-64519 + K3-64506
Pada pukul 06.25 WIB, KA 220 berhenti di jalur 1 Stasiun Kebayoran untuk bersilang dengan KA 251. Berikutnya, pada pukul 06.35, KA 251 diberangkatkan dari Stasiun Sudimara. Di belakangnya terdapat KA barang 1035, yang kemudian berhenti di jalur 2 Sudimara. Di belakang KA 1035, ada KA 225 yang kemudian dimasukkan ke jalur 3 Sudimara, pada pukul 06.45. Berdasarkan gapeka yang berlaku, KA 225 dijadwalkan tiba di Sudimara pada pukul 06.40 untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49. Dengan demikian, KA 225 terlambat 5 menit. Pada saat itu emplasemen Stasiun Sudimara yang memiliki tiga jalur telah ditafsirkan "penuh" dan "tidak dapat menerima persilangan KA" karena:
- jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya dipakai untuk langsiran dan sepur simpan (terdapat 7 gerbong terparkir);
- jalur 2 berisi KA barang 1035;
- jalur 3 berisi KA 225 yang berhenti.[5]
Karena Stasiun Sudimara sudah tidak dapat menerima persilangan antarkereta api, maka KA 225 harus meninggalkan Stasiun Sudimara untuk berhenti lagi di stasiun berikutnya, Kebayoran, dalam kondisi jalur masih tunggal dan tidak memiliki perhentian di antara keduanya. Sesuai dengan peraturan dinas, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara wajib:
- menelepon PPKA Kebayoran untuk meminta izin memindahkan tempat persilangan; dan
- mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus diserahkan langsung ke masinis dan kondektur KA 225.[5]
Namun sayangnya, Surat PTP itu diserahkan tanpa memberikan izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran. Bahkan PTP itu dikirimkan tidak sesuai prosedur karena diserahkan melalui seorang petugas pelayanan kereta api (PLKA) baru kemudian diserahkan kepada masinis dan kondektur KA 225. Barulah setelah itu, PPKA Sudimara menelepon ke PPKA Kebayoran (Mad Ali) untuk meminta izin pindah tempat persilangan. Mad Ali menjawab, "Gampang, nanti diatur." Pagi itu, terjadi pergiliran PPKA dari shift malam ke shift pagi. Saat serah terima shift tersebut, Mad Ali yang merupakan PPKA shift malam memberi tahu PPKA shift pagi (Umriyadi) bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran. KA 251 sedang melaju ke arah Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.[5]
Begitu KA 251 berhenti di Kebayoran (dijadwalkan pukul 06.45), Umriyadi meminta izin memberangkatkan KA 220. Namun, Djamhari menjawab, "Tunggu aman saya, saya lagi sibuk!" Seharusnya sesuai prosedur yang ada, Djamhari harus menyatakan menolak memberikan izin keberangkatan bagi KA 220 (dengan mengucapkan, "Tidak, tunggu!") dan mengabarkan bahwa ada kereta api yang harus berangkat dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal.[5]
Begitu komunikasi antar-PPKA ditutup, Umriyadi justru memberangkatkan KA 220 pada pukul 06.50 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 tetap dilakukan di Sudimara. Agar meyakinkan, Umriyadi menelepon ke Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran. Padahal PTP sudah telanjur diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225.[5] Djamhari menjadi bingung; KA 225 mulai dipadati penumpang, dan banyak yang naik di lokomotif.[7] Akhirnya, Djamhari mengakali masalah ini dengan melangsir KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1 Stasiun Sudimara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Djamhari memerintahkan seorang petugas harian stasiun untuk melangsir. Berdasarkan prosedur yang ada, perihal langsiran tersebut harus ditulis oleh PPKA dalam laporan harian masinis serta menjelaskannya secara lisan.[5]
Petugas yang disuruh Djamhari itu pun dengan tangkas mengambil bendera merah dan selompret. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangan terhalang penumpang. Sebelum petugas itu mencapai kereta api kira-kira 7 m, tiba-tiba tepat pada pukul 06.52, KA 225 mulai bergerak tanpa perintah selompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan selompret dan aba-aba tangan tetapi usahanya sia-sia. Kondektur Adung Syafei yang sedang berada di luar KA 225 pun terkejut dan mengejar kereta api yang mulai berjalan hingga akhirnya dapat masuk tetapi tidak memerintahkan untuk menghentikannya.[5]
Petugas stasiun itu pun melapor ke Djamhari bahwa KA 225 sudah berangkat tanpa izin. Dengan cepat Djamhari menggerakkan tuas sinyal masuk pihak Kebayoran tetapi tidak berhasil menghentikan kereta api. Djamhari pun berlari di tengah rel sembari mengibar-ngibarkan bendera merah ke arah KA 225 tetapi gagal menghentikan kereta. Djamhari pun akhirnya kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.[5]
Tiba-tiba, masinis 225 terkejut melihat KA 220 telah berada di depan mata. Meski sudah menarik tuas rem bahaya, tabrakan tak terhindarkan.[8] Tabrakan ini terjadi pada tikungan S, km 17+252, pukul 07.05.[9] Total kerugian material yang diketahui berdasarkan laporan akhir PJKA tersebut adalah Rp1,9 miliar. Korban tewas 139 orang[4] dengan 72 tewas di tempat[2] dan sisanya meninggal sekarat. Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya sudah teridentifikasi. Total 254 luka-luka dengan rincian 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang luka ringan.[5]
Versi Slamet Suradio (Masinis KA 225)
"Yang seharusnya saya di Sudimara bersilangan dengan KA 220 dibatalkan oleh PPKA yang sedang dinas. Jadi kalau ada orang mengatakan 'berangkat sendiri', itu bohong. (...) Ada katanya saya loncat, itu bohong sekali, itu orang fitnah, jelas fitnah!"
Slamet Suradio, Wawancara dengan Kisah Tanah Jawa di YouTube
Berbeda dengan tudingan di pengadilan dan laporan akhir PJKA bahwa Masinis KA 225, Slamet Suradio, memberangkatkan sendiri kereta apinya tanpa izin, Slamet Suradio mengatakan dengan tegas bahwa dirinya sama sekali hanya mengikuti instruksi dari PPKA Sudimara menggunakan PTP tersebut. Bahkan Slamet Suradio berkali-kali menegaskan bahwa tudingan tersebut adalah sebuah kebohongan. Ia juga menegaskan bahwa tak ada hal apa pun yang dikhawatirkan karena ia merasa tak melihat semboyan apa pun yang diterimanya.[8]
Saat terjadi tabrakan, Slamet Suradio juga meluruskan apa yang diberitakan di media, termasuk dalam koran Pembaruan yang pertama kali membahas mengenai Tragedi Bintaro 1987 yang menulis "masinis lompat" pada koran tersebut. Ia menanggapi: "Kaki saya ngesot-ngesot tidak bisa jalan, akhirnya saya merambat melalui jendela." Saat terjadi tabrakan, Slamet Suradio tergencet oleh badan lokomotif dalam keadaan bersimbah darah dan dijemput oleh seorang wanita dengan mobilnya ke rumah sakit. Dalam keadaan PTP masih memiliki bekas bercak darah, Slamet Suradio berhasil membuktikan kepada hakim bahwa dirinya tergencet dan tidak melompat, dan menuding bahwa orang yang menuliskan berita tersebut adalah "orang fitnah."[8]
Akhir kejadian
Dua buah lokomotif, BB303 16 (KA 220) dan BB306 16 (KA 225) mengalami kerusakan parah. Kerusakan yang cukup hebat terjadi; BB303 16 ditelan kereta penumpang berbagasi KB3-65601.[10] K3-65626 (KA 225) juga mengalami kerusakan parah. Dua kereta di belakang kereta pertama, K3-66505 (KA 220), dan K3-65654 (KA 225) mengalami rusak ringan.[5]
Sanksi
Slamet Suradio divonis hukuman 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya sebagai masinis.[11] Ia ditahan di Lapas Cipinang dan bebas setelah hukumannya diremisi menjadi 3,5 tahun.[12] Setelah bebas dari penjara, Slamet Suradio sempat hanya apel di kantornya karena sudah dibebastugaskan dari pekerjaannya sebagai masinis. Pada tahun 1996, ia dipecat secara tidak hormat oleh Departemen Perhubungan Indonesia dengan terbitnya Surat Keputusan No. 4/KP.602/Pnb-96. Ia pun tidak mendapatkan uang pensiun. Akhirnya ia pun menyambung hidup sebagai pedagang rokok.[13]
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Syafei harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun.[5] Sedangkan PPKA Djamhari dan Umriyadi dihukum 10 bulan penjara.[11]
Pada budaya populer
- Iwan Fals menciptakan lagu "1910" (diucapkan sembilan belas-sepuluh) untuk mengenang tragedi ini. Lagu ini muncul pertama kali dalam album dengan judul yang sama.[14]
- Ebiet G. Ade menciptakan lagu "Masih Ada Waktu" yang kemudian dirilis pertama kali dalam album Sketsa Rembulan Emas.[15] Lagu ini juga direkam ulang dalam album dengan judul yang sama.[16]
- Peristiwa ini diangkat ke layar lebar dengan judul Tragedi Bintaro tahun 1989. Film ini disutradarai oleh Buce Malawau dan diperankan oleh Ferry Octora[17] sebagai Juned, tokoh utama dalam film ini.
- Peristiwa ini juga menjadi sumber inspirasi dari film berjudul Dendam Arwah Rel Bintaro tahun 2013. Film ini disutradarai oleh Wishnu Kuncoro dan diperankan oleh Adjie Pangestu sebagai Daniel serta Bella Shofie sebagai Ria. Yeyen Lidya, Pak Tarno, dan Ade Juwita juga ikut berperan di film tersebut.[18]
Lihat pula
- Tabrakan kereta api Cicalengka 2024 - Kecelakaan kereta api di Indonesia tahun 2024
- Kecelakaan kereta api Bintaro 2013
- Bencana kereta api tsunami Sri Lanka 2004 - Kecelakaan kereta api terburuk sepanjang sejarah tahun 2004
- Tabrakan kereta api Balasore 2023 - Kecelakaan kereta api di India tahun 2023
Referensi
Daftar pustaka
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.