Loading AI tools
syair wiracarita panjang karya penyair Persia Firdausi Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Syahnamah (bahasa Persia: شاهنامه), yang berarti Pustaka Raja-Raja, adalah wiracarita gubahan pujangga Persia, Firdausi, yang mulai ditulis sekitar tahun 977 dan dirampungkan pada tahun 1010 Masehi. Wiracarita kebangsaan Iran Raya yang terdiri atas kira-kira enam puluh ribu bait ini[2] adalah wiracarita terpanjang di dunia yang digubah satu orang pujangga saja. Syahnamah lebih banyak memuat mitos dan sejarah purba kemaharajaan bangsa Persia, mulai dari penciptaan dunia sampai kemaharajaan itu didaulat pasukan Muslim pada abad ke-7. Negara Iran, Azerbaijan, dan Afganistan, maupun negara-negara lain yang berada di dalam mandala pengaruh budaya Persia seperti Georgia, Armenia, Turki, dan Dagestan, sangat mengagung-agungkan wiracarita ini.
Syahnamah | |
---|---|
Kitab Raja-Raja | |
karya Firdausi | |
Judul asli | شاهنامه |
Ditulis | 977–1010 Masehi |
Negara | Iran |
Bahasa | Persia Klasik |
Subjek | Mitologi Persia, sejarah Iran |
Genre | Wiracarita |
Metrum | Tiap larik terdiri atas 22 suku kata, gurindam-gurindam serima bermetrum sama (bahr-i mutaqarib-i mahzuf)[1] |
Terbit | 1010 |
Versi Inggris | 1832 |
Jenis media | Naskah |
Larik | Sekitar 50.000 larik, tergantung naskah |
Didahului | Khadainamah |
Teks utuh | |
Syahnamah at Wikisource |
Syahnamah menempati posisi yang sangat penting di dalam kebudayaan Persia, karena dihargai sebagai sebuah mahakarya sastra dan dijadikan tolok ukur jati diri budaya bangsa di negara Iran, Afganistan, dan Tajikistan dewasa ini.[3] Syahnamah juga sangat dihargai umat Mazdayasna karena merangkum seluruh mata rantai sejarah agama mereka sedari awal kemunculannya sampai dengan masa keterpurukannya di Iran menyusul kemangkatan Syah Sasani yang terakhir, saat negeri itu jatuh ke dalam cengkeraman kaum Muslim.
Firdausi mulai menggubah Syahnamah pada tahun 977 Masehi, dan merampungkannya pada tanggal 8 Maret 1010.[4] Syahnamah adalah sebuah mahakarya puisi dan historiografi, karena merupakan wujud puitis dari catatan sejarah silam Iran yang dikenal Firdausi, orang-orang sezamannya, maupun para pendahulunya. Catatan sejarah semacam itu sebelumnya sudah banyak ditulis dalam bentuk prosa. Salah satu contohnya adalah Syahnamah Abu Mansyuri. Sebagian kecil gubahan Firdausi, berupa bait-bait yang terserak di dalam Syahnamah, adalah buah pemikirannya sendiri.
Syahnamah adalah sebuah wiracarita yang terdiri atas lebih dari 50.000 gurindam, ditulis dalam bahasa Persia Baru Awal. Sebagian besar isinya merupakan hasil saduran sebuah karya prosa berjudul sama, yang digubah saat Firdausi masih belia, dalam logat daerah Tus, daerah asal Firdausi. Sebagian besar dari isi Syahnamah bentuk prosa ini adalah hasil terjemahan sebuah karya sastra dalam bahasa Pahlawi (bahasa Persia pertengahan), yakni Khadainamah (Kitab Tuan-Tuan Besar), karya sastra dari zaman Kemaharajaan Sasani yang merangkum berbagai riwayat raja-raja dan pahlawan-pahlawan Persia mulai dari zaman mitos sampai dengan masa pemerintahan Syah Khosrau II (590–628). Keterangan-keterangan Khadainamah yang berkaitan dengan penghujung zaman Kemaharajaan Sasani adalah keterangan-keterangan bersejarah, tetapi keterangan-keterangannya yang berkaitan dengan permulaan zaman Kemaharajaan Sasani (abad ke-3 sampai abad ke-4) tampaknya tidak berpatokan pada sumber-sumber sejarah.[5] Firdausi memasukkan materi-materi tambahan yang melanjutkan keterangan-keterangan dari Khadainamah sampai dengan ditumbangkannya Kemaharajaan Sasani oleh bangsa Arab pada pertengahan abad ke-7.
Pujangga yang pertama kali menyadur Khadainamah ke dalam bentuk puisi adalah Abu Mansyur Daqiqi, rekan sezaman Firdausi yang menjadi pujangga istana pada zaman Dinasti Samaniyah tetapi tewas secara mengenaskan saat baru merampungkan 1.000 bait. Bait-bait yang meriwayatkan kemunculan nabi Zoroaster ini kemudian hari dimasukkan Firdausi ke dalam Syahnamah dengan penjelasan bahwa bait-bait tersebut adalah hasil gubahan Abu Mansyur Daqiqi. Gaya penulisan Syahnamah menampakkan ciri-ciri karya sastra tulis maupun sastra lisan. Sebagian pihak berpendapat bahwa Firdausi juga merujuk kumpulan nask agama Mazdayasna, misalnya Cirdad yang sekarang sudah musnah.
Banyak sumber Pahlawi lain yang dirujuk dalam penggubahan wiracarita ini, terutama Kārnāmag-ī Ardaxšīr-ī Pābagān, yang aslinya ditulis pada zaman Sassaniyah akhir serta berisi catatan-catatan tentang bagaimana Ardasyir I meraih kekuasaan, dan karena kecocokannya dengan fakta sejarah, diduga sangat akurat. Selain itu, hikayat ini ditulis dalam bahasa Farsi pertengahan akhir yang adalah leluhur langsung dari bahasa Farsi moderen. Oleh karena itu, sebagian besar kronik sejarah yang termaktub dalam Syahnamah didasarkan pada wiracarita ini. Menurut Zabihollah Safa, pada kenyataannya memang ada berbagai kalimat dan kata-kata yang dapat dipadankan antara dua hikayat ini .[6]
Menurut salah satu catatan dari sumber-sumber itu, seorang Persia bernama Dehqan yang berkarya di lingkungan istana Raja Anusyiruwān-e-dādgar telah menulis sebuah kitab padat dalam bentuk prosa, yang dikenal sebagai Khoday Nameh. Setelah keruntuhan Kekaisaran Iran, Khoday Nameh jatuh ke tangan Raja Yaqub Lais dan kelak ke tangan Raja Nuh dari Dinasti Samaniyah yang menitahkan si penyair Daqiqi untuk melengkapinya, namun Daqiqi kemudian tewas dibunuh budaknya. Firdausi mendapatkan kitab itu melalui seorang sahabatnya.
Syahnamah menyajikan catatan-catatan puitis mengenai zaman prasejarah dan sejarah Iran, mulai dari penciptaan dunia dan pengenalan akan berbagai seni peradaban (api, memasak, metalurgi, dan hukum) sampai dengan ditaklukkannya Persia oleh kaum Muslim. Karya sastra ini tidak sungguh-sungguh kronologis, namun memiliki urutan-urutan waktu secara umum. Beberapa tokoh di dalamnya dikisahkan hidup beratus-ratus tahun lamanya namun sebagian besar memiliki rentang hidup yang normal. Ada banyak syāh yang datang dan pergi, demikian pula para pahlawan dan tokoh-tokoh jahat, sesaat muncul dan kemudian berlalu. Satu-satunya citra yang abadi adalah Alam Persia itu sendiri, dan dari rentetan terbit dan terbenamnya matahari, tak satu pun yang benar-benar serupa dengan yang lain, namun tetap memberi gambaran tentang peralihan masa.
Karya sastra ini terbagi menjadi tiga bagian yang berurutan: zaman "mitos", zaman "kepahlawanan", dan zaman "sejarah".
Bapa Waktu, yang digambarkan mirip dewa Saturnus, adalah tokoh pengingat akan tragedi kematian dan kehilangan, namun setelah itu matahari pun terbit kembali, membawa serta pengharapan pada hari yang baru. Pada siklus pertama tentang penciptaan, kejahatan diriwayatkan masih bersifat eksternal (dalam wujud Si Jahat). Pada siklus kedua, diriwayatkan awal-mula perseteruan dalam keluarga, perilaku yang buruk, dan merasuknya kejahatan ke dalam hakikat manusia. Kedua putera tertua Syāh Fereydūn menjadi serakah dan mendengki adik lelaki mereka yang tidak bersalah, karena menyangka ayah mereka lebih sayang pada si bungsu, mereka pun membunuhnya. Putera dari pangeran yang dibunuh itu membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, maka semua orang pun larut dalam pertumpahan darah, bunuh-membunuh dan balas dendam silih-berganti. Pada siklus ketiga, diriwayatkan tentang serangkaian syāh yang bercacat-cela. Ada pula hikayat yang mirip kisah Phaedra mengenai Syāh Kay Kāwus, isterinya Sūdāba, hasrat Sūdāba pada anak tirinya Sīyāwas, serta penolakan Sīyāwas atas hasrat dari isteri ayahnya itu.
Hanya melalui penokohan para lelaki dan perempuan dalam karya sastra inilah dihadirkan pandangan asli Zoroaster mengenai kondisi umat manusia. Zoroaster menitikberatkan kehendak bebas manusia. Seluruh tokoh Firdausi berkepribadian rumit; tak seorangpun yang sungguh-sungguh sempurna atau hanya sekadar boneka. Tokoh-tokoh paling baik pun masih bercacat-cela, dan tokoh-tokoh paling jahat pun masih berperikemanusiaan.
Historiografi tradisional di Iran berpendapat bahwa Firdausi sungguh-sungguh berduka-cita menyaksikan kejatuhan Kekaisaran Sassaniyah dan dikuasainya negeri itu oleh "bangsa Arab" dan kemudian oleh "bangsa Turki". Syahnamah, demikian menurut pendapat itu, sebagian besar merupakan upaya Firdausi untuk melestarikan kenangan akan zaman keemasan Persia dan mewariskan kenangan itu kepada generasi berikutnya, agar mereka dapat memetik hikmah darinya dan berusaha membangun suatu dunia yang lebih baik.[7] Meskipun sebagian besar cendekiawan merasa puas dengan gagasan bahwa niat utama Firdausi adalah melestarikan warisan mitos dan sejarah pra-Islam, ada sejumlah penulis yang secara resmi menentang pandangan ini.[8]
Bagian Syahnamah ini relatif singkat, memuat 2.100 bait atau empat persen dari keseluruhan kitab. Pada bagian ini, peristiwa-peristiwa diriwayatkan secara sederhana, akhirnya mudah ditebak, dan dengan kelugasan khas sastra sejarah.
Sesudah kalimat pembuka berupa puji-pujian kepada Allah dan Hikmat, Syahnamah pun membabarkan riwayat penciptaan dunia dan manusia menurut keyakinan bangsa Persia-Sassaniyah. Riwayat pendahuluan ini diikuti oleh riwayat tentang manusia pertama, Keyumars, yang juga menjadi raja yang pertama setelah melewati masa kehidupan di gunung. Cucunya Husyang putera Sīyāmak, tanpa sengaja menemukan api dan kemudian menetapkan hari raya Sadeh untuk memperingati penemuan itu. Hikayat Tahmuras, Jamsyid, Zahhāk, Kawa atau Kaweh, Fereydūn dan ketiga puteranya Salm, Tur, dan Iraj, dan cucu lelakinya Manucehr diriwayatkan pada bagian ini.
Hampir dua pertiga bagian dari Syahnamah dikhususkan bagi zaman para pahlawan, mulai dari masa pemerintahan Manucehr sampai dengan penaklukan Persia oleh Aleksander Agung (Eskandar). Tokoh-tokoh utama dalam bagian ini adalah para pahlawan Saka atau Sistānī yang ditampilkan sebagai tulang punggung Kekaisaran Persia. Garsyāsp secara ringkas diriwayatkan bersama puteranya Narimān. Sām putera Narimān memerintah atas Sistān selaku raja dan menyertai Manucehr selaku pengawal utama. Sām kelak digantikan puteranya Zāl, dan kemudian oleh Rostam putera Zal, yang paling berani di antara para pemberani, dan kemudian oleh Farāmarz putera Rostam.
Kisah-kisah yang diriwayatkan pada bagian ini antara lain Hikayat Zal dan Rudāba, Hikayat Ketujuh Tugas Rostam, Hikayat Rostam dan Sohrab, Hikayat Sīyāwas dan Sudāba, Hikayat Rostam dan Akwān Dīw, Hikayat Bijan dan Manijeh, Hikayat Peperangan Melawan Afrāsīyāb, bait-bait gubahan Abu-Mansur Daqiqi mengenai Hikayat Gosytāsp dan Arjāsp, serta Hikayat Rostam dan Esfandyār.
Secara ringkas diriwayatkan pula mengenai Dinasti Arsakiyah sesudah sejarah Aleksander dan sebelum sejarah Ardasyir I, pendiri Kekaisaran Sassaniyah. Sesudahnya, sejarah Sassaniyah diriwatkan dengan cukup akurat. Keruntuhan Sassaniyah dan penaklukan Persia oleh bangsa Arab diriwayatkan secara berbunga-bunga.
Firdausi tidak mengharapkan sidang pembacanya menyimak peristiwa-peristiwa bersejarah dalam Syahnamah secara sambil-lalu saja, melainkan merenungkannya pula baik-baik agar dapat mengetahui akar penyebab jatuh bangun pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa; dan agar dapat memetik hikmah dari masa lampau, guna melakukan perbaikan di masa sekarang, demi membina masa depan yang lebih baik. Firdausi menegaskan keyakinannya bahwa dunia ini fana belaka, dan setiap orang hanya sekadar melintasinya, oleh karena itu alangkah bijaknya jikalau orang menghindari perilaku kejam, dusta, ketamakan, dan segala macam keburukan lainnya; dan sebaliknya bersungguh-sungguh mengupayakan keadilan, martabat yang luhur, kebenaran, ketertiban, dan segala macam kebajikan lainnya.
Hikmah khusus yang hendak disampaikan oleh Syahnamah karya Firdausi ini adalah gagasan bahwa sejarah Kekaisaran Sassaniyah merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak berubah-ubah: sejaran Kekaisaran Sassaniyah bermula dari Keyumars, manusia pertama, dan berakhir pada keturunan sekaligus penggantinya yang ke-50, Yazdegerd III, enam ratus tahun lamanya dalam sejarah Iran. Tugas Firdausi adalah mencegah sejarah ini hilang dari ingatan generasi-generasi yang akan datang.
Menurut Jalal Khaleghi Mutlaq, Syahnamah mengajarkan bermacam-macam kebajikan moral, seperti menyembah pada satu Tuhan; taat menjalankan perintah agama; cinta akan tanah air; kasih sayang pada anak isteri dan sanak saudara; serta menolong fakir miskin.[9]
Setelah Syahnamah, sejumlah karya sastra serupa bermunculan dari abad ke abad dalam lingkup budaya bahasa Farsi. Tanpa kecuali, seluruh karya sastra ini mencontohi gaya dan metode penulisan Syahnameh, namun tak satu pun yang semasyhur dan sepopuler Syahnamah.
Sejumlah pakar meyakini bahwa faktor utama yang menyebabkan bahasa Farsi moderen sekarang ini kurang lebih sama dengan bahasa Farsi di masa hidup Firdausi sekitar 1000 tahun lampau adalah keberadaan karya-karya sastra semacam Syahnamah, yang berdampak besar pada budaya dan bahasa. Dengan kata lain, Syahnameh sendiri telah menjadi salah satu tiang penyangga utama bahasa Farsi modern. Mengkaji mahakarya Firdausi ini telah menjadi syarat mutlak bagi penyair-penyair sesudahnya demi mencapai kepiawaian berbahasa Farsi, sebagaimana terbukti oleh banyaknya referensi pada Syahnameh dalam karya-karya mereka.
Hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa Firdausi sedapat-dapatnya menghindari penggunaan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang telah menyusupi bahasa Farsi setelah ditaklukkannya Persia oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Firdausi memilih jalan ini bukan saja untuk melestarikan dan memurnikan bahasa Farsi, melainkan juga sebagai suatu pernyataan politik yang tegas terhadap penaklukan bangsa Arab atas Persia.[10] Pendapat ini sempat dipertanyakan oleh Mohammed Moinfar, yang telah mencermati keberadaan banyak kosakata Arab dalam Syahnameh yang secara efektif semakna dengan kata-kata bahasa Farsi yang pernah digunakan sebelumnya dalam naskah ini. Kenyataan ini menjadikan gagasan bahwa firdausi dengan sengaja meniadakan penggunaan kata-kata Arab patut dipertanyakan kembali.[11]
Syahnameh berisi 62 hikayat, 990 bab, dan sekitar 60.000 gurindam, yang menjadikannya lebih dari tiga kali panjang wiracarita Yunani Ilias karya Hómēros, dan lebih dari dua belas kali panjang wiracarita Jerman Nibelungenlied. Menurut Firdausi, edisi terakhir Syahnameh memuat kurang lebih enam puluh ribu gurindam. Namun angka ini hanyalah perkiraan kasar atau pembulatan dari jumlah yang sesungguhnya; sebagian besar naskah yang relatif tepercaya memuat sedikit lebih banyak dari lima puluh ribu gurindam. Nezami-e Aruzi melaporkan bahwa edisi terakhir Syahnameh yang dikirimkan ke istana Sultan Mahmud dari Ghazni tersusun dalam tujuh jilid.
Wangsa Syirwansyah banyak menggunakan nama diri yang terambil dari Syahnameh. Hubungan antara Syirwansyah dan puteranya, Manucihr, disinggung dalam bab kedelapan dari kitab Leili o Majnoon gubahan Nizami Ganjavi. Nizami menganjurkan anak raja itu membaca Syahnameh serta menghafal ucapan-ucapan sarat makna dari para cerdik pandai.[12]
Menurut sejarawan Turki, Mehmet Fuat Köprülü:
Sesungguhnya, tanpa mengabaikan semua pernyataan yang menafikan, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya Persia sangat mempengaruhi kaum Seljuk di Anatolia. Buktinya, para sultan yang naik tahta sesudah Ghiyath al-Din Kai-Khusraw I mempergunakan gelar-gelar yang bersumber dari mitologi Persia Kuno, seperti Kay Khosrau, Kay Kāwus, serta Kay Kobad; dan bahwasanya Ala' al-Din Kai-Qubad I telah menitahkan agar beberapa ayat dari Syahnameh dipampang pada tembok-tembok Konya dan Sivas. Bila dicermati pula kehidupan rumah tangga di lingkungan istana Konya dan ketulusan para penguasanya dalam menghargai dan menggemari para penyair dan karya-karya sastra Persia, maka kenyataan ini (betapa berpengaruhnya budaya Persia) tidak dapat dinafikan.[13]
Syah Ismail I juga sangat dipengaruhi oleh tradisi kesusastraan Persia dari Iran, khususnya oleh Syahnameh, yang kiranya dapat menjelaskan mengapa ia menamakan semua puteranya dengan nama tokoh-tokoh dalam Syahnameh. Dickson dan Welch menduga bahwa Syāhnāmaye Syāhī gubahan Ismail diniatkan sebagai hadiah bagi Tahmāsp yang masih belia.[14] Setelah mengalahkan bangsa Uzbek yang dipimpin Muhammad Syaibāni, Ismāil meminta Hātefī, seorang penyair ternama dari Jam (Khorasan), untuk menulis sebuah wiracarita semacam Syahnameh mengenai kemenangan-kemenangan dan wangsa yang baru saja didirikannya. Meskipun tak terselesaikan, wiracarita itu merupakan salah satu contoh dari masnawi dalam gaya kepahlawanan Syahnameh yang kelak ditulis bagi raja-raja Wangsa Safawiyah.[15]
Pengaruh Syahnameh meluas sampai jauh melampaui batas ruang lingkup Alam Persia. Profesor Victoria Arakelova dari Yerevan University berpendapat bahwa:
Selama sepuluh abad sesudah Firdausi menggubah karya monumentalnya itu, legenda-legenda dan kisah-kisah kepahlawanan dalam Shahnameh tetap menjadi sumber bahan penceritaan bagi masyarakat di wilayah ini: bangsa Persian, Pasytun, Kurdi, Guran, Talis, Armenia, Georgia, bangsa-bangsa Kaukasia Utara, dst.[16]
Jamshid Sh. Giunashvili mengemukakan pendapatnya mengenai kaitan antara budaya Georgia dengan budaya yang termaktub dalam Syahnameh sebagai berikut:
Nama dari banyak pahlawan Šāh-nāma, semisal Rostom-i, Thehmine, Sam-i, atau Zaal-i, terdapat dalam karya-karya sastra Georgia abad ke-11 dan ke-12. Nama-nama ini merupakan bukti tidak langsung dari keberadaan terjemahan Šāh-nāma ke dalam bahasa Georgia Kuno yang kini sudah tak lagi ada. ...
Šāh-nāma diterjemahkan, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan estetis para pembaca dan pendengar, melainkan juga untuk menginspirasi kaum muda dengan semangat kepahlawanan dan kecintaan pada tanah air bangsa Georgia. Ideologi, adat-istiadat, dan wawasan bangsa Georgia akan dunia luas kerap tertuang ke dalam karya-karya terjemahan ini karena karya-karya ini berorientasi pada budaya puitis bangsa Georgia. Di lain pihak, bangsa Georgia menganggap karya-karya terjemahan ini sebagai karya-karya asli bangsa mereka sendiri. Berbagai versi Šāh-nāma Georgia cukup populer, dan kisah-kisah seperti Rostam dan Sohrāb, atau Bījan dan Maniža menjadi bagian dari cerita rakyat Georgia.[17]
Bertolak belakang dengan keyakinan umum, bangsa Turan dalam Syahnameh (yang sumber-sumbernya berlandaskan tulisan-tulisan Avesta dan Pahlavi) tidak ada hubungannya dengan kelompok etnis berbahasa Turk yang ada sekarang.[18] Bangsa Turan dalam Syahnameh adalah suku bangsa Iran yang hidup mengembara di stepa-stepa Eurasia dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebudayaan Turk.[18] Turan atau wilayah-wilayah Asia Tengah di seberang Oxus yang dikuasai bangsa Persia sampai pada abad ke-7 (zaman terakhir dalam Syahnameh) secara umum adalah sebuah negeri penutur bahasa Iran.[19]
Menurut Richard Frye, "Luasnya jangkauan pengaruh wiracarita Iran ini tampak pada bangsa Turk yang menerimanya sebagai sejarah kuno mereka sendiri sekaligus sebagai sejarah kuno Iran... Bangsa Turk betul-betul terpengaruh oleh kisaran hikayat-hikayat itu sampai-sampai pada abad kesebelas Masehi dapat dijumpai wangsa Qarakhaniyah di Asia Tengah yang menyebut dirinya 'keluarga Afrasiyab' dan demikianlah wangsa itu dikenal dalam sejarah Islam. "[20]
Bangsa Turk, sebagai sebuah kelompok etnis dengan bahasa tersendiri telah terpengaruh oleh Syahnameh semenjak kedatangan kaum Seljuk.[21] Toghrul III dari Wangsa Seljuk konon kabarnya mendaraskan bait-bait Syahnameh seraya mengayunkan gadanya dalam pertempuran.[21] Menurut Ibn Bibi, pada 618/1221 kaum Seljuk dari Rum Ala' al-Din Kay-kubad menghiasi tembok-tembok Konya dan Sivas dengan ayat-ayat yang terambil dari kitab Syahnameh.[22] Bangsa Turk sendiri menisbatkan asal-usul mereka bukan pada sejarah suku-bangsa Turk melainkan pada bangsa Turan yang tercantum dalam Syahnameh.[23] Di India khususnya, oleh karena Syahnameh, bangsa Turk merasa-diri sebagai pemukim di pos terjauh yang terhubung dengan dunia beradab melalui ikatan solidaritas sesama orang Iran.[23]
Firdausi mengakhiri Syahnameh dengan kata-kata ini:
Menurut terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Dick Davis:
I've reached the end of this great history |
Kucapai sudah akhir sejarah agung ini |
Menurut terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Reza Jamshidi Safa:
Much I have suffered in these thirty years, |
Banyak deritaku tiga puluh tahun ini |
Ramalan Firdausi ini telah menjadi kenyataan dan banyak tokoh susastra, sejarawan, penulis biografi yang memuji-muji dirinya dan Syahnameh. Syahnameh dihargai ramai orang sebagai karya sastra terpenting dalam Kesusastraan Persia. Para pujangga Barat juga memuji-muji Syahnameh dan kesusastraan Persia pada umumnya. Kesusastraan Persia disadari para pemikir seperti Goethe sebagai salah satu dari empat kumpulan tulisan utama dalam kesusastraan dunia.[26] Goethe terinspirasi oleh kesusastraan Persia, yang menggerakkannya untuk menulis Diwan Barat-Timur. Goethe menulis demikian:
Bilamana kita mengalihkan pandangan kita kepada sebuah bangsa yang cinta damai, yang berperadaban, bangsa Persia, mestilah kita—karena sebetulnya puisi merekalah yang telah mengilhami karya tulis ini—kembali ke zaman yang terdahulu agar mampu memahami zaman-zaman yang belum lama lampau. Senantiasa akan tampak mengherankan bagi para sejarawan bahwa tidak peduli sudah berapa kali sebuah negeri ditaklukkan, dijajah dan bahkan dibinasakan oleh para seteru, selalu saja ada intisari kebangsaan yang terlestarikan dalam kepribadiannya, dan tahu-tahu saja, tumbuh kembali kesadaran asli pribumi yang sudah sejak lama diakrabi. Dalam pemahaman yang sedemikian, kiranya sungguh menyenangkan mempelajari hal-ihwal orang-orang Persia paling purba dan lekas-lekas merunuti jejak mereka sampai ke masa kini dengan ayunan langkah yang jauh lebih bebas dan teratur.[27]
Sargozast-Nameh atau biografi para pujangga besar sudah sejak lama menjadi tradisi Persia. Beberapa biografi Firdausi kini dianggap apokrif, akan tetapi keberadaan biografi-biografi ini memperlihatkan betapa besar dampak yang telah telah ditinggalkannya pada dunia Persia. Biografi-biografi Firdausi yang terkenal antara lain:[28]
Para penyair Persia ternama serta tradisi Persia sudah lama menyanjung dan meagung-agungkan Firdausi. Banyak di antara mereka yang sangat terpengaruh oleh karya Firdausi dan mempergunakan genre serta kisah-kisahnya untuk mengembangkan wiracarita-wiracarita, hikayat-hikayat, dan syair-syair karya mereka sendiri:[28]
Bak lilin si bijak di gelapnya duka hati,
Itulah kata-kata Firdausi orang Tusi,
Indria murninya dari alam bidadari,
Demikianlah insan yang seperti Firdausi.[35]
Manis sungguh yang diseru Firdausi berbudi,
Dirahmati kiranya petirahannya murni,
Jangan usik semut selagi menyeret benih,
Hayat ia punya dan hayat itu terkasih.[37]
Banyak penyair, misalnya Hafidz Asy-Syirazi, Jalaluddin Rumi, serta penyair-penyair mistik lainnya, mengunakan penggambaran-penggambaran tokoh-tokoh pahlawan Syahnameh dalam syair-syair mereka.
Dampak Syahnameh terhadap historiografi Persia terjadi secara langsung dan beberapa sejarawan menghiasi karya-karya tulis mereka dengan ayat-ayat kutipan dari Syahnameh. Sebagai contoh, berikut ini adalah sepuluh sejarawan penting yang memuji-muji Syahnameh dan Firdausi:[28]
Naskah-naskah salinan Syahnameh berhiaskan gambar-gambar ilustrasi tergolong pula dalam kumpulan contoh-contoh lukisan miniatur Persia yang paling memukau. Beberapa naskah salinan itu masih utuh, namun dua di antaranya yang paling terkenal, Syahnameh Houghton dan Syahnameh Mongol Raya, jilidnya diretas dan lembaran-lembarannya dijual terpisah-pisah pada abad ke-20. Sehelai lembaran dari Syahnameh Houghton terjual seharga £ 904.000 pada 2006.[39] Syahnameh Baysonghori, sebuah naskah bergambar salinan Syahnameh (Istana Golestan, Iran), dimasukkan ke dalam Program Ingatan Dunia (Memory of the World) sebagai benda warisan budaya.[40]
Para penguasa Mongol di Iran menghidupkan serta menggiatkan kembali perlindungan atas Syanameh dalam wujudnya sebagai naskah susastra.[41][42][43][44][45][46][47][48][49][50][51]
Hamid Rahmanian menyusun sebuah terjemahan Syanameh yang dihiasi gambar-gambar pilihan dari berbagai naskah.[52][53]
Untuk memperingati 1000 tahun Syahnameh, pada 2010 Fitzwilliam Museum di Cambridge menyelenggarakan sebuah pameran besar, bertajuk "Wiracarita Raja-Raja Persia: Seni Rupa dalam Syahnameh Firdausi"(Epic of the Persian Kings: The Art of Ferdowsi’s Shahnameh), yang berlangsung dari September 2010 sampai Januari 2011.[54] Arthur M. Sackler Gallery dari Smithsonian Institution di Washington, DC juga menyelenggarakan sebuah pameran folio-folio berilustrasi dari abad ke-14 sampai abad ke-16, bertajuk "Syahnama: Peringatan 1000 Tahun Kitab Raja-Raja Persia" (Shahnama: 1000 Years of the Persian Book of Kings), yang dibuka mulai Oktober 2010 sampai April 2011,[55] bertepatan dengan perayaan Nowruz atau Tahun Baru Persia yang diselenggarakan oleh pihak museum.
Syahnameh Mongol Raya, yang dibuat pada masa pemerintahan Ilkhan Sultan Abu Sa'id, adalah salah satu di antara salinan-salinan Syahnameh yang paling ilustratif dan penting.[56][57][58][59][60][61][62][63][64][65][66]
Wangsa Timur meneruskan tradisi pembuatan naskah-naskah salinan Syahnameh. Sudah menjadi adat dalam keluarga ini bahwasanya tiap-tiap anggota keluarga menyimpan sebagai milik pribadi, satu naskah salinan syair wiracarita ini.[67] Oleh karena itu, tiga cucu Timur—Bāysonḡor, Ebrāhim Solṭān, dan Moḥammad Juki—masing-masing memesan satu salinan untuk milik pribadi.[67] Dari ketiga salinan ini, Syahnameh Baysonghori yang dipesan oleh Ḡīāṯ-al-Dīn Bāysonḡor merupakan salah satu di antara naskah-naskah Syahnameh yang paling tebal dan artistik.[68]
Pembuatan naskah-naskah Syahnameh berilustrasi di abad ke-15 tetap lancar[67] pada masa pemerintahan Wangsa Qarā-Qoyunlu atau Wangsa Turk Kambing Hitam (1380–1468) dan Wangsa Āq Qoyunlu atau Wangsa Turk Kambing Putih (1378–1508).[67] Banyak salinan naskah yang masih ada sekarang, yang memuat tujuh puluh atau lebih gambar, dapat dirunut jejak pembuatnya sampai ke Tabriz, Shiraz, dan Baghdad bermula semenjak kira-kira 1450-an sampai 1460-an dan terus berlanjut hingga akhir abad itu.[67]
Di era Safawiyah pembuatan salinan Syahnameh kembali giat.[67] Syah Ismail I memanfaatkan wiracarita itu untuk maksud-maksud propaganda: untuk mempertunjukkan sikap patriotisme bangsa Persia, untuk merayakan pemerintahan Persia yang telah diperbaharui, dan untuk menegaskan kembali kewenangan kerajaan Persia.[67] Wangsa Safawiyah menitahkan pembuatan salinan-salinan Syahnameh dengan hiasan melimpah demi menyokong legitimasi mereka.[69][70] Contoh puncak pencapaian dalam pembuatan ilustrasi Syahnameh pada era ini adalah 250 gambar miniatur yang menjadi illustrasi dalam Syahnameh pesanan Syah Ismail untuk puteranya Shah Tahmasp.[71]
Sebuah edisi ilmiah dari Syahnameh disusun pada 1829 di India oleh T. Macan. Edisi ini disusun berdasarkan hasil perbandingan 17 naskah salinan. Antara 1838 dan 1878, sebuah edisi ilmiah diterbitkan di Paris oleh cendekiawan Prancis J. Mohl, disusun berdasarkan hasil perbandingan 30 naskah. Kedua edisi ini tidak memiliki apparatus criticus dan didasarkan pada naskah-naskah sekunder yang dihasilkan sesudah abad ke-15; jauh lebih kemudian daripada karya aslinya. Antara 1877 dan 1884, cendekiawan Jerman J. A. Vullers menyusun sebuah edisi ilmiah hasil sistesis dari edisi T. Macan dan edisi J. Mohl, namun hanya tiga yang terbit dari sembilan jilid yang direncanakan. Edisi J. A. Vullers kelak dirampungkan di Teheran oleh tiga cendekiawan Iran: S. Nafisi, Iqbal, dan M. Minowi, dalam rangka memperingati 1000 tahun Firdausi, yang diselenggarakan antara 1934 dan 1936.
Edisi kritis modern pertama dari Syahnameh disusun oleh sekumpulan cendekiawan Rusia dipimpin E. E. Bertel, dengan mempergunakan naskah-naskah tertua yang ada saat itu, yang berasal dari abad ke-13 dan ke-14, dengan acuan utama sebuah naskah tahun 1276 dari British Museum dan sebuah naskah tahun 1333 dari Leningrad, naskah Leningrad kini diketahui merupakan sebuah naskah sekunder. Lagi pula, dua naskah lain yang dijadikan acuan dalam edisi ini sudah sangat jatuh pamornya. Edisi ini diterbitkan di Moskow oleh Institut Studi Oriental dari Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet dalam sembilan jilid antara 1960 dan 1971.[72]
Selama bertahun-tahun, edisi Moskow digunakan sebagai edisi ilmiah standar. Pada 1977, sebuah naskah lama tahun 1217 ditemukan kembali di Firenze. Naskah 1217 dari Firenze ini adalah salah satu salinan Syahnameh tertua yang diketahui, keberadaannya mendahului invasi Moghul yang diikuti penghancuran perpustakaan-perpustakaan dan kumpulan-kumpulan naskah penting. Dengan menjadikannya sebagai naskah acuan utama, Djalal Khaleghi-Motlagh mulai menyusun sebuah edisi kritis yang baru pada 1990. Jumlah naskah yang diperbandingkan dalam penyusunan edisi Khaleghi-Motlagh melampaui jumlah yang pernah digunakan kumpulan cendekiawan Moskow. Edisi ini memiliki aparatus criticus yang sangat kaya dan mencantumkan sejumlah besar varian dari banyak penggalan syair Syahnameh. Jilid terakhir diterbitkan pada 2008, menjadikan upaya penyusunan edisi kritis ini rampung dalam delapan jilid. Menurut Dick Davis, profesor bahasa Farsi di Ohio State University, edisi Khaleghi-Motlagh "sejauh ini adalah edisi Syahnameh terbaik yang tersedia, dan tentu akan tetap demikian dalam jangka yang sangat panjang.[73]
Ada sejumlah karya terjemahan ke dalam bahasa Inggris, hampir semuanya berupa ringkasan. James Atkinson dari bagian pelayanan medis Kompeni Inggris menerjemahkan Syahnameh ke dalam bahasa Inggris yang diterbitkan pada 1832 bagi Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland, sekarang bagian dari Royal Asiatic Society. Antara 1905 dan 1925, dua bersaudara Arthur dan Edmond Warner menerbitkan sebuah karya terjemahan lengkap Syahnameh dalam 9 jilid, kini tidak lagi dicetak. Ada pula karya-karya terjemahan Syahnameh yang tidak menyeluruh: Syahnameh versi prosa terbitan 1967 karya Reuben Levy (kelak direvisi oleh Amin Banani), dan sebuah terjemahan lain oleh Dick Davis berupa campuran puisi dan prosa terbitan 2006.[74]
Kaum Parsi, para pengikut ajaran Zoroaster, yang leluhurnya bermigrasi ke India pada abad ke-8 atau abad ke-10 demi menjalankan perintah agamanya dalam suasana damai, melestarikan pula tradisi-tradisi Syahnameh. Dr. Bahman Sohrabji Surti, dibantu Marzban Giara, menerbitkan terjemahan Syahnameh pertama yang rinci dan lengkap dari bait-bait syair asli dalam bahasa Farsi ke dalam prosa bahasa Inggris, antara 1986 dan 1988 dalam tujuh jilid.
Dastur Faramroz Kutar dan saudaranya Ervad Mahiyar Kutar menerjemahkan Syahnameh ke dalam bahasa Gujarat dalam bentuk puisi dan prosa serta menerbitkannya dalam 10 jilid antara 1914 dan 1918.
Sebuah karya terjemahan ke dalam bahasa Spanyol telah diterbitkan dalam 2 jilid oleh Institut Riset Islam Cabang Teheran dari McGill University.
Syahnameh telah diadaptasi ke layar lebar dalam sebuah trilogi keluaran Tajikfilm 1971–1976 yang terdiri atas Skazanie o Rustame,[75] Rustam i Sukhrab,[76] dan Skazanie o Sijavushe.[77] Banglades pun telah membuat sebuah film berjudul Shourab Rustom pada 1993 yang berhasil meraih kesuksesan besar. Sebuah film Bollywood berjudul Rustom Sohrab dibuat berdasarkan Hikayat Rostam dan Sohrab pada 1963, dibintangi Prithviraj Kapoor.
Kitab Syahnameh, khususnya Hikayat Rostam dan Sohrab, dikutip dan berperan penting dalam novel "The Kite Runner" karya penulis Amerika Serikat keturunan Afganistan, Khaled Hosseini.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.