Remove ads
universitas di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sekolah Tinggi Teknik Bandung (STT Bandung) dibuka pada bulan Agustus 1945 oleh para pemuda dan insinyur muda Indonesia setelah mengambil alih Bandung Kogyo Daigaku dari pihak Jepang.[1]
Sekolah Tinggi Teknik Bandung | |
---|---|
Informasi | |
Didirikan | Agustus 1945 – 1946 |
Kampus | Urban |
Nama julukan | STT, STT Bandung, STT Bandung di Yogya |
Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka para mahasiswa Bandung Kogyo Daigaku pada tanggal 17 Agustus 1945 di Bandung melucuti guru-guru bangsa Jepang dan menahan mereka di rumahnya masing-masing. Sejak itu urusan Sekolah Tinggi Teknik yang sebelumnya bernama Bandung Kogyo Daigaku dipegang oleh bangsa Indonesia.[2]
Dalam pidato pengukuhan sebagai Doktor Honoris Causa di ITB tanggal 25 Maret 1977, Prof. Dr.(HC) Ir. Roosseno mengungkapkan bahwa:
Segera sesudah itu perguruan tinggi teknik dibuka kembali dengan nama Sekolah Tinggi Teknik Bandung (STT Bandung) di bawah pimpinan Prof. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo dan dibantu oleh Ir. R. Goenarso, Ir. R. M. Soewandi Notokoesoemo, Ir. Soenarjo, dan Sutan Muchtar Abidin.[1]
“ | Modal kerja pada saat itu hanya nasionalisme yang berkobar-kobar, antusiasme, devotion, untuk memulai pendidikan teknik di Indonesia. Suatu tugas berat di atas pundak para insinyur. Pada saat itu hanya ada 170 insinyur di Indonesia. Apa mungkin 170 gelintir insinyur mengurus pekerjaan teknik dalam negara RI yang berdaulat dengan penduduk 90 juta? | ” |
– Prof. Dr.(HC) Ir. Roosseno[4] |
Program studi yang dibuka di STT Bandung ada tiga yaitu Bagian Bangunan Jalan dan Air, Bagian Kimia, dan Bagian Mesin dan Teknik Elektro dengan lama studi empat tahun.[1] Bagian-bagian tersebut serupa dengan bagian-bagian yang diadakan pada periode Bandung Kogyo Daigaku maupun ketika TH Bandung ditutup pada tahun 1942, di mana bagian Sipil dibuka tahun 1920, bagian Kimia dibuka pada tanggal 1 Agustus 1940, bagian Mesin dan Listrik dibuka pada tanggal 1 Agustus 1941 (kedua jurusan tersebut pada tingkat satu menjalani kelas yang sama).
Kuliah-kuliah diberikan terus, tetapi di bulan Oktober 1945 Inggris yang diboncengi tentara Belanda menyerbu Bandung, yang menyebabkan suasana menjadi sangat hangat, bahkan di dalam kota sudah banyak tembak-menembak antara tentara kita dan tentara sekutu.[2] Suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air pada waktu itu tidak cocok untuk mendukung suasana belajar. Di dalam gejolak revolusi STT merupakan satu kesatuan potensi dari tenaga manusia, laboratorium dan segala peralatan kampus yang bisa dikerahkan bagi perjuangan kemerdekaan.[1]
Pada bulan Oktober 1945 tercetuslah ikrar bersama mahasiswa yang diucapkan di hadapan dua anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Otto Iskandardinata dan Ir. M. P. Soerachman Tjokrohadisoerio (kelak menjadi Presiden/Rektor UI yang pertama), ketika mereka hendak berangkat ke Jakarta untuk menghadiri rapat pleno KNIP yang pertama (pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jakarta[5]). Di dalam ikrar itu para mahasiswa meminta kepada kedua anggota KNIP agar menyampaikan tekad mahasiswa tidak sudi kembali ke kampus selama kemerdekaan penuh dari bangsa Indonesia belum tercapai. Para mahasiswa bersedia dan rela mengorbankan jiwa dan raga bagi kemerdekaan bangsa (Reksowardojo, 1964 ).[1]
Mulai bulan November 1945, kuliah dibubarkan, meskipun kantor administrasinya di bawah Sutan Muchtar Abidin dan Ir. Soenarjo masih berjalan terus.[2] Semua dosen dan pegawai diharuskan mengungsi dari Bandung, STT kemudian dipindahkan ke Yogyakarta dengan sebutan STT Bandung di Yogya.[1]
Pada tanggal 6 Januari 1946 kantor itu dipindahkan ke Yogyakarta di bawah pimpinan Prof. Ir. Roosseno, Ir. Soenarjo, dan Ir. R. M. Soewandi Notokoesoemo. Mereka menghubungkan diri dengan Panitia Pendirian Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada. Pada suatu rapat dengan Panitia tersebut, tidak tercapai persesuaian paham, karena panitia tersebut tetap bermaksud akan mendirikan Perguruan Tinggi Partikelir (swasta), sedang Prof. Ir. Roosseno dan kawan-kawan telah memperoleh perintah dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk membuka Sekolah Techniek Tinggi Negeri di Yogyakarta.
Pada tanggal 17 Februari 1946 STT Bandung di Yogya mulai dibuka di gedung Sekolah Menengah Tinggi B Negeri Yogyakarta di kawasan Kota Baru (AMS pertama di Hindia Belanda, sekarang menjadi SMA Negeri 3 Yogyakarta), dengan menempati ruang-ruang di gedung olahraga sekolah itu, di mana kegiatan kuliah diselenggarakan pada sore hari.
Semula pimpinannya dipegang oleh Prof. Ir. Roosseno, kemudian diganti oleh Ir. Wreksodiningrat pada tanggal 1 Maret 1947.[2] Ir. Wreksodiningrat alias Notodiningrat, merupakan insinyur sipil pertama Indonesia lulusan TH Delft tahun 1916 (sekarang Universitas Teknik Delft), tahun 1949 diangkat menjadi guru besar UGM,[6] dan Dekan FT UGM 1947-1951.[7]
Staf pengajar STT Bandung di Yogya di antaranya adalah:[1]
Mahasiswa yang dapat meninggalkan Bandung, dapat meneruskan pelajarannya di Yogyakarta dan dapat menempuh ujian insinyur untuk pertama kalinya di bulan Oktober 1946.
Dalam tahun 1947 beberapa mahasiswa Bagian Mesin dan Bagian Kimia dikirimkan ke India untuk menyelesaikan studi mereka di sana. Karena serbuan tentara Belanda ke Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1948 STT Bandung di Yogyakarta terpaksa ditutup.[1]
Beberapa waktu kemudian sekolah itu dibuka kembali pada tahun 1949 dengan hanya menyelenggarakan Bagian Sipil saja.[1] Tidak lama kemudian STT Bandung di Jogjakarta diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik Jogjakarta, dan kegiatan perkuliahan pindah dari Kotabaru ke Kampus Jetis Yogyakarta[11][note 1]
Setelah fakultas-fakultas dari "Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada" diserahkan kepada Pemerintah, maka tanggal 19 Desember 1949 Pemerintah RI mendirikan Universitit Negeri Gadjah Mada dimana STT di Yogyakarta dimasukkan ke dalamnya sebagai Fakultas Teknik.
Itulah akhir periode STT Bandung di Yogya, sebagian pengajar dari Bandung yang kemudian tetap berada di Yogya di antaranya adalah:
Sementara sebagian lagi kembali ke almamaternya di Bandung di antaranya adalah Prof. Ir. Roosseno (sejak tahun 1949) dan Ir. R. Goenarso (kemudian menjadi Menteri Muda Pengajaran pada Kabinet Sjahrir III periode 2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947, dan Guru Besar Teknik Sipil dan Matematika ITB).
Pada masa perang kemerdekaan, di mana banyak wilayah RI diduduki Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) - Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, maka kedua belah pihak berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya di semua bidang. Salah satu bentuknya adalah dengan membuat lembaga yang serupa dengan yang dimiliki lawan, dalam bidang pendidikan dan penelitian contohnya adalah:
Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, maka lembaga-lembaga milik NICA tersebut beralih ke pangkuan Indonesia. Dalam proses pengalihan tersebut, ada yang berjalan lancar melalui proses penggabungan, ada lembaga yang kemudian pupus dengan sendirinya, namun ada pula yang malah melahirkan dua lembaga kembar yang keduanya tetap eksis. Sebagai contoh yang berhasil untuk bergabung adalah Perguruan Tinggi Kedokteran milik RI dengan Geneeskundige Faculteit milik NICA di Jakarta yang bergabung menjadi Fakulteit Kedokteran Universiteit Indonesia (tahun 1950). STT Bandung di Yogya setelah ditutup kemudian menjadi cikal bakal FT UGM, sementara Faculteit van Technische Wetenschap yang dibuka kembali pada tahun 1946 oleh para mantan pengajar TH Bandung yang baru dibebaskan dari kamp interniran kemudian menjadi Fakulteit Pengetahuan Teknik Universiteit Indonesia Bandung. Setidaknya dengan adanya revolusi kemerdekaan tersebut, pada saat itu Indonesia memiliki dua Fakultas Teknik, Bandung dan Yogya.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.