Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sejarah penyebaran agama Kristen ke suku Batak adalah sejarah yang menceritakan masuknya Injil dan konteks perkembangannya sekitar tahun 1820-an hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), gereja yang umumnya dari orang Batak Toba.[1]
Sebelum penyebaran agama Kristen, masyarakat Batak menganut sistem kepercayaan yang merupakan campuran kepercayaan animisme, Hindu dan magi.[2] Masyarakat Batak mempercayai Yang Maha Kuasa yang dikenal dengan nama Debata Asiasi yang menciptakan seluruh alam semesta. Debata Asiasi tidak mengatur apa yang diciptakan dan memerintahkan ketiga anaknya untuk menjadi dewa yang mengatur dunia. Anak pertama bernama Batara Guru yang merupakan Dewa Keadilan, Soripada yang merupakan dewa belas kasih dan Mangala Bulan yang merupakan sumber kejahatan dan dewa paling kuat di antara ketiga dewa ini. Masyarakat Batak pada masa itu percaya bahwa sangat penting untuk mengambil hati Mangala Bulan karena dewa ini dipercaya dapat menghancurkan kehidupan mereka. Ketiga dewa ini juga tidak langsung memimpin karena juga mempercayakan pemerintahan kepada para delegasinya yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Debata Di Ginjang (dewa atas), Debata Di Toru (dewa bawah dan Debata Dos Tonga (dewa tengah) . Selain para dewa, masyarakat batak pada masa tersebut juga percaya terhadap penunggu.[3]
Mereka juga percaya bahwa tiap individu dijaga oleh sejumlah roh, baik yang jahat disebut dengan nama setan dan yang baik dikenal dengan nama begu. Mayoritas dari roh ini merupakan jiwa dari nenek moyang yang menjaga atau mengganggu mereka.[3] Ada banyak nama begu yang disembah, seperti Begu Jau (roh yang tidak dikenal orang), Begu Antuk (roh yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), Begu Siberut (roh yang membuat orang kurus tinggal kulit).[4] Selain para begu, masyarakat Batak juga percaya terhadap beberapa dewa seperti Naga Padoha, Boru Saniang Naga, Boru Namora dan Martua Sombaon.[3]
Setiap desa memiliki datu yang tugasnya adalah melakukan ramalan dan sihir. Pada saat pemakaman, para datu ini akan dikuburkan dengan menggunakan peti mati berbahan kayu atau batu yang dirayakan dengan makan-makan.[5] Karena para datu dipilih berdasarkan pengetahuan terkait kitab-kitab, takhayul yang biasanya, pengetahuan ini hanya tersebar dikalangan para kepala suku, maka biasanya para datu juga menjabat sebagai raja atau kepala suku dari desa tersebut. Sekecil apapun keputusan ekonomis yang perlu diambil, bahkan seperti mengorbankan hewan untuk acara, keputusan ini harus didiskusikan dengan datu setempat. Saat sebuah keputusan ingin diambil, para datu akan membaca bukunya untuk menentukan tanggal baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Datu akan membuka parhalaan yang terdiri dari dua belas garis horisontal yang melambangkan dua belas bulan dalam setahun. Selain itu, juga empat garis diagonal yang tergambar tanda hieroglif yang melambangkan dua rasi bintang, yaitu skorpio atau yang dikenal dengan nama "Bentang Hala" dan rasi bintang pleiades. Bentang Hala terbagi menjadi empat bagian yang terbagi menjadi empat hari yang terdiri dari satu bagian di kepala, dua bagian di tubuh dan satu bagian di ekor. Ketika hari jatuh pada bagian selain tubuh, maka hari tesebut akan dinyatakan sebagai hari buruk. Selain perhalaan, datu memiliki dua tongkat, yaitu tondung hujur dan tondung rangas berukuran empat kaki berbahan kayu hitam yang keras dengan bagian kepala yang mengambarkan wajah hewan debngan beragam tanda. Tanda-tanda di tongkat inilah yang digunakan untuk mencari barang yang hilang atau dicuri. Datu juga menggunakan buku selain perhalaan, yaitu ati siporhas untuk menentukan waktu menyerang musuh dan tali yang bernama rombu siporhas untuk menentukan kekuatan musuh. Pada ritualnya, datu juga menggunakan jeroan ayam yang memberikan 77 tanda berbeda, 70 tanda dari kapur tohor dan 73 tanda dari lemon yang dipotong. Dia pun juga harus menghapal beragam jenis mantra yang sering digunakan di wilayahnya.[3]
Masyarakat Batak tidak memiliki ritual persembahan individu khusus dalam keadaan senang kecuali dalam keadaan genting, terancam peperangan, kesialan atau dilanda penyakit. Ketika hal ini terjadi mereka yang mengalami nasib buruk ini akan melakukan ritual persembahan kepada roh nenek moyang dan dewa yang mereka sembah dengan meminta datu memimpin ritual ini. Datu akan meminta burung dan sedikit beras sebagai persembahan. Kemudian, Datu akan membelah burung yang diberikan sebagai persembahan dan menyatakan bahwa si pelapor harus melakukan persembahan atas kesalahan yang dilakukan nenek moyangnya yang menyebabkan tragedi yang dia alami. Kemudian, datu akan memilih jenis hewan apa yang akan dikorbankan sebagai persembahan tergantung masalah yang dihadapi setelah melihat buku yang dia punya. Sang pelapor akan melakukan ritual makan besar terhadap hewan yang dikorbankan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang saudara dan teman-temannya. Pada hari ketiga, saat mereka sedang menari-menari, salah satu dari mereka akan kerasukan roh leluhur karena tertarik suara gong yang dibunyikan. Orang tersebut akan diberikan persembahan dan akan makan dan minum dengan lahap. Orang yang kerasukan akan ditanyakan terkait masalah yang dihadapi oleh orang yang melaksanakan pesta. Setelah mendapatkan jawaban dari orang yang kerasukan maka rohnya akan pergi dan orang tersebut akan sadar kembali. Ritual ini pun akan dianggap selesai setelah hal ini terjadi.[3]
Selain ritual individu di atas, mereka juga melakukan ritual bersama ketika ingin melancarkan serangan perang. Saat hari yang ditentukan oleh Datu berlangsung, tempat tinggal sementara akan didirikan ditengah desa dan akan mengumpulkan seluruh warga desa. Datu pun akan menggelar ulos di tengah-tengah lokasi yang diikat. Di tengah ulos ini akan diikatkan dua tali rambu siporhas berukuran dua kaki yang tiap ujungnya ada dua kenop yang terbuat dari lilin yang melambangkan kepala manusia. Pada rambu siporhas, akan diletakkan manik-manik yang berbeda yang menggambarkan tiap anggota desa, baik kepala suku, petarung atau warga biasa. Setelah melakukan tarian, makan besar dan membunyikan gong, datu akan mengambil rambu siporhas dan menjatuhkan rambu siporhas dan menentukan dari rambu siporhas situasi yang harus diikuti warga desanya. Bila ritual ini menunjukkan keberuntungan, maka mereka akan segera melakukan operasi peperangan.[3]
Hampir semua tindakan melanggar hukum di suku ini akan dikenai denda sesuai dengan pelanggaran dan posisi dari sang pelaku. Tidak ada peraturan tertulis yang diterapkan di setiap lokasi dan hampir di setiap wilayah ditemukan bisa hanya satu atau lebih buku hukum dengan beragam kegunaan dan pengaruhnya sesuai dengan pelaku pertama saat pelanggaran itu pertama kali dilakukan. Sebagai contoh, orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang nanti akan dimakan secara ramai-ramai. Akan tetapi, bila para pelaku berhasil melarikan diri, maka mereka bisa dengan hanya membayar denda. Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu . Para tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang karena bila ini terjadi, maka para mayat akan dibiarkan di lokasi peperangan dan nantinya akan dikubur oleh pihak yang mengakui mayat tersebut sebagai bagian dari mereka, sedangkan tawanan akan ditebus.[3]
Suku bunga dari hitang biasanya dipatok hingga seratus persen tiap bulannya yang bahkan menjadi hal yang biasa untuk seseorang dan satu keluarganya dijual sebagai budak di Angkola yang awalnya hanya dari sebuah hutang yang berjumlah satu dollar karena suku bunga yang tinggi selama dua tahun dia berhutang. Pada kasus perjudian, seseorang yang berhutang akan dipasung hingga sanak saudaranya membayar hutang yang dia tanggung. BIla sanak saudara tidak mau membayar, maka penagih akan mencoba segala cara untuk menimbulkan belas kasih atau melukai harga diri dari sanak saudara orang yang berhutang. Selama dia berhutang, orang tersebut takkan dikeluarkan dari pasungan dengan makanan yang seadanya, bahkan hingga dia mati. [3]
Perbudakan suku batak hanya terjadi diantara mereka karena mereka tidak melakukan impor atau ekspor budak. Biasanya budak tidak mengalami tindakan opresi dibandingkan manusia bebas yang menjadi pemilik mereka. Biasanya alasan perbudakan terjadi karena kemiskinan yang menimpa suatu keluarga sehingga dia harus melepaskan salah satu keluarganya untuk diadopsi sebagai buda, anak yatim piatu yang tidak ingin diasuh oleh keluarga dekatnya, orang yang tidak bisa membayar hutang dan tawanan perang. [3]
Masyarakat Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan, dan berladang. Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.[6] Pada saat itu juga, suku batak telah memiliki sistem hukum yang tertulis dengan hukuman yang beragam. Seseorang yang ditangkap melakukan pencurian akan dibunuh di lokasi bila tertangkap dan langsung dimakan, sedangkan bila berhasi lari, maka orang tersebut hanya akan diberi denda. Bila seseorang ketahuan selingkuh, maka akan dimakan hidup-hidup. Para orang yang dibunuh dan tawanan perang akan dimakan di publik bila merupakan perang besar, tetapi dilarang bila hanya ada dua desa yang berperang. Saat itu, para suku batak memakan apa segala jenis hewan termasuk anjing kucing, ular , monyet dan kalelawar tanpa ada pantangan bagaimana hewan itu tersebut mati. Saat hewan yang dimakan ingin dimakan, mereka menyimpan darahnya untuk digunakan sebagai saus saat memasak daging.[5] Selain hewan, nasi dan ubi jalar dengan kandungan garam yang tinggi menjadi makanan pokok suku ini saat itu.[3]
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun.[6] Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Si Singamangaraja yang berada di Bangkara.[6] Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.[butuh rujukan]
Hampir semua roda kehidupan orang Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat.[6] Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.[6]
Pada tahun 1820, tiga misionaris dari Baptist Missionary Society yaitu Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Thomas Stamford Raffles.[7] Sebelumnya, mereka bertiga bertugas di Sumatra di tiga tempat berbeda. Ward ditugaskan di Bengkulu, Burton di Sibolga dan Meers di Padang.[8] Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke utara, ke daerah tempat tinggal orang Batak yang masih belum menganut kristen.[7]
Mereka berangkat pada tanggal 30 April 1824 dan melakukan perjalanan di pesisir Tapanuli. Setelah dua jam melewati dataran rerumputan, mereka tiba di desa Parik Debata mencakup wilayah dari Pagaran lambung. Pagaran lambung terdiri dari 10-20 desa. Mereka disambut dengan baik oleh raja setempat dan dipersilakan menginap semalam di rumah kepala desa serta mendapatkan tanda kehormatan keesokan harinya. Mereka melanjutkan perjalanan dan menyusuri rute selama 6 jam perjalanan sebelum beristirahat di desa yang berlokasi di tengah Pagaran Lambung. Selama dua hari perjalanan, mereka akhirnya melewati Huta Tinggi pada hari senin setelah 4 jam perjalanan dari tempat peristirahatan sebelumnya.[3] Perjalanan ini merupakan perintah dari Raffles untuk pergi ke utara, yakni Silindung (wilayah Batak Toba).[9]
Mereka melanjutkan 5 jam perjalanan dari Huta Tinggi dan bermalam di sebuah gubuk sebelum melanjutkan perjalanan pada selasa pagi atau tanggal 4 Mei dan tiba di Silindung. Pada awalnya, rencana perjalanan direncanakan hingga Danau Toba, tapi perjalanan terhenti karena penyakit kolera yang harus ditangani oleh Ward. [3] Ward merupakan seorang ahli medis yang ditugaskan menyelediki penyakit yang menular di wilayah ini.[10] Mereka tinggal di Silindung selama seminggu dan meninggalkan Silindung pada jam 7 pagi tanggal 11 Mei.[11]
Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.[12]
Para misionaris tersebut juga menerjemahkan pasal satu dari Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba.[13]
Pada awalnya, Karl Gützlaff ingin ditugaskan ke Sumatra, tapi gagal karena keadaan lokasi yang sedang konflik.[14] Konflik ini merupakan perang padri yang akhirnya memindahkan tujuan Gutzlaff ke Jakarta untuk menyebarkan melakukan penginjilan kepada Tionghoa yang tinggal disana.[15] Kemudian pada tahun 1834, dua orang Amerika, yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatra.[12] Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung.[12] Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.[12]
Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatra.[16] Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama Herman Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab.[butuh rujukan]
Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali.[6] Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya.[6] Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya.[6] Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan.[6] Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani.
Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.[6] Pada tahun yang sama tepatnya pada 7 Oktober 1861, diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft.[6] Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).[6] Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862.[6] Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu.[6] Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft.[6] Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke daerah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).[6]
Dalam menyampaikan Injil, Ludwig Ingwer Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumbantobing (Raja Batak pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya.[6] Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat.[6] Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban.[6] Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak:
Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunannya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.
— Ludwig Ingwer Nommensen[6]
Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya.[6] Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan Raja Batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.[6]
Orang Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamannya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini memaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame (kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881, jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun 1881, Ludwig Ingwer Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Orang Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompu i. Awalnya, gelar ini merupakan sebutan khusus masyarakat Batak kepada para Singamangaraja.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.