Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sejarah Polandia bermula dengan kedatangan suku bangsa Slavia, yang mendirikan permukiman-permukiman permanen masyarakat Slavi Barat di negeri Polandia pada Awal Abad Pertengahan. Wangsa Piast, wangsa yang pertama kali memerintah Polandia, muncul pada abad ke-10 Masehi. Adipati Mieszko I (mangkat tahun 992) dihormati sebagai pendiri de facto negara Polandia, dan dimuliakan sebagai tokoh yang berjasa menyebarluaskan agama Kristen ragam Barat di negeri Polandia seusai dibaptis pada tahun 966. Negara Kadipaten Polandia yang didirikan Adipati Mieszko resmi menjadi sebuah kerajaan pada tahun 1025 berkat usaha putranya, Raja Bolesław Pemberani. Di antara raja-raja Polandia dari wangsa Piast, mungkin Raja Kazimierz Agunglah yang paling besar kekuasaannya. Raja Polandia terakhir dari wangsa Piast ini memerintah tatkala Polandia mengenyam kemakmuran ekonomi dan mengalami pertambahan luas wilayah kedaulatan. Raja Kazimierz Agung mangkat pada tahun 1370 tanpa meninggalkan ahli waris laki-laki. Pada masa pemerintahan raja-raja Polandia dari wangsa Jagiellon, dari abad ke-14 sampai abad ke-16, Polandia membina hubungan akrab dengan Kadipaten Agung Lituania, mengalami Renaisans, dan melanjutkan usaha perluasan wilayah kedaulatan yang berpuncak pada pembentukan negara Persemakmuran Polandia-Lituania pada tahun 1569.
Bagian dari seri mengenai |
---|
Portal Polandia |
Mula-mula negara Persemakmuran Polandia-Lituania mampu mempertahankan tingkat kemakmuran yang dicapai Polandia pada zaman wangsa Jagiellon dengan menerapkan sistem demokrasi kaum ningrat yang sudah sangat maju. Meskipun demikian, sejak pertengahan abad ke-17, negara raksasa ini memasuki zaman kemerosotan akibat perang dan keterpurukan sistem politik. Ikhtiar-ikhtiar pembaharuan di dalam negeri diupayakan menjelang akhir abad ke-18, teristimewa dengan mengesahkan Konstitusi 3 Mei 1791, tetapi kekuatan-kekuatan asing di sekelilingnya tidak membiarkan proses pembaharuan itu berjalan lancar. Kemerdekaan negara Persemakmuran Polandia-Lituania berakhir pada tahun 1795, sesudah Kekaisaran Rusia, Kerajaan Prusia, dan Monarki Habsburg Austria menggempur dan membagi-bagi wilayah negara itu.
Dari tahun 1795 sampai tahun 1918, tidak ada negara Polandia yang sungguh-sungguh merdeka, kendati rakyat Polandia gigih menggencarkan gerakan-gerakan perlawanan. Sesudah gagalnya pemberontakan bersenjata terakhir melawan Kekaisaran Rusia, yakni Pemberontakan Januari tahun 1863, rakyat Polandia memelihara keutuhan jati diri bangsanya melalui prakarsa-prakarsa di bidang pendidikan dan program "karya organik" yang bertujuan memodernkan ekonomi dan masyarakat Polandia. Peluang meraih kemerdekaan baru muncul sesudah Perang Dunia I, manakala tiga negara yang menguasai tiga pecahan wilayah Polandia sudah melemah akibat perang dan revolusi.
Republik Polandia Kedua terbentuk pada tahun 1918, dan berdiri sebagai negara merdeka sampai dihancurkan pada tahun 1939 oleh Jerman Nazi dan Uni Soviet dalam peristiwa invasi Polandia di awal Perang Dunia II. Jutaan warga Polandia binasa pada masa pendudukan Polandia oleh Nazi antara 1939 sampai 1945, karena negara Jerman menggolongkan orang Polandia beserta suku-suku bangsa Slavi lainnya, orang Yahudi, dan orang Rom (kaum gipsi) sebagai submanusia. Para pejabat Nazi menyasar orang-orang Yahudi dan Rom untuk dimusnahkan dalam jangka pendek, tetapi menunda pemusnahan dan/atau memperbudak bangsa Slavi sebagai bagian dari "Generalplan Ost" ("Rencana Umum bagi Timur") yang digagas oleh rezim Nazi. Meskipun demikian, selama masa perang, orang-orang Polandia membentuk Pemerintahan Polandia dalam pengasingan dan membantu pihak Sekutu untuk memenangkan perang dengan cara berpartisipasi dalam kampanye-kampanye militer, baik di Front Timur maupun di Front Barat. Gerak maju Tentara Merah Soviet ke arah barat pada tahun 1944 dan 1945 memaksa mundur pasukan-pasukan Jerman Nazi dari Polandia, dan membuka jalan bagi berdirinya sebuah negara komunis satelit Uni Soviet, yang sejak 1952 dikenal dengan nama Republik Rakyat Polandia.
Sebagai dampak dari penyesuaian wilayah berdasarkan mandat pihak Sekutu di akhir Perang Dunia II pada tahun 1945, pusat gravitasi geografis Polandia bergeser ke barat. Negeri Polandia dengan tapal-tapal batas yang baru itu pun banyak kehilangan ciri khas keberagaman suku bangsa yang mula-mula dimilikinya sebagai akibat dari pemusnahan, pengusiran, dan migrasi berbagai suku bangsa selama dan sesudah perang.
Pada akhir era 1980-an, gerakan reformasi Polandia, Solidaritas, berperan penting dalam upaya transisi damai dari bentuk negara komunis ke sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi parlementer liberal. Proses peralihan ini menghasilkan pembentukan negara Polandia modern, yakni Republik Polandia Ketiga, yang didirikan pada tahun 1989.
Beberapa spesies dari genus Homo telah mendiami Eropa Tengah selama ribuan tahun sejak akhir periode glasial. Pada zaman prasejarah dan protosejarah, yang meliputi kurun waktu sekurang-kurangnya 500.000 tahun, kawasan yang sekarang menjadi wilayah negara Polandia melewati tahap-tahap perkembangan peradaban Zaman Batu, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi, bersama-sama dengan kawasan-kawasan lain di sekitarnya.[1] Pada Zaman Batu Muda, berkembang peradaban gerabah linier yang dibawa masuk oleh para pendatang dari Lembah Sungai Donau sekitar 5.500 tahun SM. Peradaban ini dicirikan oleh pembentukan paguyuban-paguyuban tani yang hidup menetap di wilayah negara Polandia modern. Kira-kira antara 4400 sampai 2000 SM, masyarakat pribumi pasca-Zaman Batu Madya mengadopsi dan mengembangkan pula cara hidup bercocok tanam ini.[2]
Zaman Perunggu bermula sekitar 2400–2300 SM, sementara Zaman Besi bermula ca. 750–700 SM. Salah satu di antara peradaban-peradaban yang telah terungkap, yakni peradaban Lausitz, berkembang pada Zaman Perunggu dan Zaman Besi, dan meninggalkan situs-situs permukiman yang cukup menonjol.[3] Sekitar 400 SM, Polandia didiami oleh orang Kelt yang membawa serta peradaban La Tène. Kedatangan orang Kelt segera disusul oleh peradaban-peradaban lain yang kental dengan unsur-unsur Jermanik. Masyarakat pendukung peradaban-peradaban ini pertama-tama dipengaruhi oleh budaya orang Kelt dan kelak dipengaruhi pula oleh budaya Kekaisaran Romawi. Suku-suku bangsa Jermanik berpindah dari negeri Polandia sekitar 500 M, pada kurun waktu Migrasi Besar di Abad Kegelapan Eropa. Hutan-hutan di kawasan utara dan timur negeri Polandia dihuni oleh orang Balt.[4]
Menurut hasil penelitian arkeologi arus utama, orang Slavi sudah mendiami wilayah Polandia modern selama lebih dari 1.500 tahun.[5] Meskipun demikian, kajian-kajian genetik mutakhir menyimpulkan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah Polandia sekarang ini juga meliputi keturunan dari suku-suku bangsa yang pernah mendiami kawasan itu selama beribu-ribu tahun semenjak permulaan Zaman Batu Muda.[6]
Masyarakat Slavi di wilayah Polandia dikelompokkan menjadi suku-suku; suku-suku terbesar kelak disebut suku-suku Polandia; banyak nama suku-suku Slavi tercantum dalam daftar yang disusun oleh Geografer Bayern anonim pada abad ke-9.[7] Pada abad ke-9 dan ke-10, suku-suku ini meneroka daerah-daerah di hulu Sungai Wisła, di pesisir Laut Baltik, dan di Polandia Besar. Karya terakhir dari suku-suku ini adalah tatanan politik yang terbentuk pada abad ke-10, dan yang kelak berkembang menjadi Negara Polandia, salah satu dari negara-negara bangsa Slavi Barat.[5][x]
Polandia berdiri sebagai sebuah negara bangsa pada zaman wangsa Piast, yang memerintah antara abad ke-10 sampai abad ke-14. Catatan-catatan sejarah resmi negara Polandia bermula pada masa pemerintahan Adipati Mieszko I di paruh kedua abad ke-10. Adipati Mieszko, yang mulai memerintah sebagai kepala monarki Polandia sebelum 963 sampai mangkat pada tahun 992, memilih untuk dibaptis menurut Ritus Latin Gereja Barat, kemungkinan besar pada 14 April 966, setelah menikahi Putri Dobrawa dari Bohemia, seorang pemeluk agama Kristen yang taat.[8] Peristiwa pembaptisan Adipati Mieszko disebut pula sebagai Pembaptisan Polandia, dan tanggal peristiwa ini sering kali digunakan secara simbolis sebagai titik awal berdirinya negara Polandia.[9] Mieszko merampungkan penyatuan tanah-tanah ulayat suku-suku Slavi Barat yang menjadi dasar dari keberadaan negeri Polandia. Setelah didirikan, negara ini secara berturut-turut dipimpin oleh penguasa-penguasa yang mendorong rakyatnya untuk memeluk agama Kristen, menciptakan sebuah kerajaan bangsa Polandia yang kuat, dan mendorong pembentukan budaya khas Polandia yang terintegrasi dalam budaya Eropa yang lebih luas.[10]
Putra Mieszko, Adipati Bolesław I Si Pemberani (memerintah 992–1025), melembagakan struktur Gereja Polandia, melakukan upaya-upaya penaklukan wilayah, dan secara resmi dinobatkan menjadi Raja Polandia yang pertama pada 1025, menjelang akhir hayatnya.[8] Bolesław juga berusaha menyebarluaskan agama Kristen ke negeri-negeri Eropa Timur yang masih menyembah berhala, namun usahanya terhalang oleh peristiwa pembunuhan misionaris andalannya, Adalbertus dari Praha, di Prusia pada 997.[8] Dalam Kongres Gniezno pada tahun 1000, Kaisar Romawi Suci Otto III mengakui keberadaan Keuskupan Agung Gniezno,[8] lembaga yang sangat berjasa mempertahankan eksistensi negara Polandia.[8] Pada masa pemerintahan pengganti Otto III, Kaisar Romawi Suci Heinrich II, Bolesław maju melawan Kerajaan Jerman dalam perang yang berlarut-larut antara 1002 sampai 1018.[8][11]
Ekspansi wilayah yang terus-menerus dilakukan Bolesław I tak urung menguras sumber daya militer negara Polandia yang belum lama berdiri, sehingga monarki Polandia pun runtuh sepeninggalnya. Upaya pemulihan kembali dilakukan oleh Kazimierz I (memerintah 1039–1058). Putra Kazimierz, Bolesław II Si Gegabah (memerintah 1058–1079), terlibat dalam pertikaian dengan Uskup Stanislaus dari Szczepanów, yang akhirnya menjadi malapetaka bagi masa pemerintahannya. Bolesław memerintahkan pembunuhan Uskup Stanislaus pada 1079, setelah dikucilkan oleh Gereja Polandia karena berbuat zina. Pembunuhan Sang Uskup memicu pemberontakan kaum bangsawan Polandia yang berakhir dengan pemakzulan dan pengasingan Bolesław dari tanah airnya.[8] Sekitar 1116, Gallus Anonymus menulis kronik perdana Polandia, Gesta principum Polonorum,[8] yang dimaksudkan untuk mengagung-agungkan junjungannya, Bolesław III Si Mulut Bengkok (memerintah 1107–1138), penguasa Polandia yang membangkitkan kembali kebesaran militer yang pernah dimiliki Polandia pada masa pemerintahan Bolesław I. Kronik ini adalah sumber rujukan penting dalam penulisan sejarah awal Polandia .[12]
Setelah Bolesław III membagi-bagi negeri Polandia kepada putra-putranya dalam selembar Surat Wasiat bertarikh 1138,[8] timbul perpecahan di dalam negeri yang memperlemah kekuasaan wangsa Piast pada abad ke-12 dan ke-13. Pada 1180, Kazimierz II, yang meminta pengukuhan dari Sri Paus atas kedudukannya selaku seorang adipati senior, menganugerahkan kekebalan dan hak-hak istimewa tambahan kepada Gereja Polandia dalam Kongres Łęczyca.[8] Sekitar 1220, Wincenty Kadłubek menulis Chronica seu originale regum et principum Poloniae, sumber rujukan utama lainnya dalam penulisan sejarah awal Polandia.[8] Pada 1226, salah seorang adipati dari wangsa Piast, penguasa salah satu daerah pecahan Kerajaan Polandia, Konrad I dari Masovia, mengundang para Kesatria Teuton untuk membantunya memerangi orang-orang Balt yang masih menyembah berhala di Prusia.[8] Langkah Konrad ini menimbulkan peperangan selama berabad-abad antara Polandia dan para Kesatria Teuton, dan kelak antara Polandia dan Negara Prusia Jerman. Invasi pertama orang Mongol atas Polandia bermula pada 1240; berpuncak dengan kekalahan orang Polandia bersama tentara persekutuan Kristen dan gugurnya Adipati Henryk Si Saleh dari wangsa Piast cabang Śląsk dalam Pertempuran Legnica pada 1241.[8] Pada 1242, Wrocław menjadi kotapraja Polandia pertama yang terinkorporasi ke dalam wilayah negara lain,[8] ketika masa-masa perpecahan wilayah memungkinkan kota-kota Polandia mengecap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Pada 1264, Bolesław Si Saleh, mengaruniakan banyak keleluasaan kepada orang Yahudi dengan mengeluarkan Statuta Kalisz.[8][13]
Upaya-upaya untuk mempersatukan kembali negeri Polandia meraih momentum pada abad ke-13, dan pada 1295, Adipati Przemysł II dari Polandia Besar berjaya menjadi pemimpin pertama sesudah Bolesław II yang dinobatkan menjadi Raja Polandia.[8] Ia memerintah atas wilayah yang tak seberapa luas dan tewas terbunuh tak lama kemudian. Pada 1300–1305, penguasa Bohemia, Václav II juga memerintah sebagai Raja Polandia.[8] Kekuasaan wangsa Piast atas takhta Polandia dipulihkan oleh Władysław I Si Hasta (memerintah 1306–1333), yang dinobatkan menjadi raja pada 1320.[8] Pada 1308, para Kesatria Teuton merebut kota Gdańsk dan daerah sekitarnya (Pomorze Gdańsk).[8]
Raja Kazimierz Agung (memerintah 1333–1370),[8] putra Władysław Si Hasta yang menjadi penguasa terakhir dari wangsa Piast ini memperkuat dan memperluas wilayah Kerajaan Polandia yang baru saja pulih, namun Provinsi Śląsk (secara resmi dilepaskan oleh Kazimierz pada 1339) dan sebagian besar wilayah Provinsi Pomorze lepas dari Polandia sampai berabad-abad kemudian. Meskipun demikian, perluasan wilayah provinsi pusat, Mazowsze, mengalami kemajuan, dan pada 1340, Polandia memulai aksi penaklukannya atas Rutenia Merah,[8] yang menandai gerak ekspansi Polandia ke arah timur. Pada 1364, Polandia menyelenggarakan Kongres Kraków, sebuah rapat akbar yang dihadiri penguasa-penguasa dari Eropa Tengah, Eropa Timur, dan Eropa Utara. Kemungkinan besar mereka berkumpul untuk merencanakan sebuah perang salib anti-Turki. Pada tahun yang sama, didirikan pula sebuah perguruan yang kelak menjadi Uniwersytet Jagielloński, salah satu universitas tertua di Eropa.[8][14] Pada 9 Oktober 1334, Kazimierz Agung meneguhkan hak-hak istimewa yang telah dikaruniakan kepada orang Yahudi pada 1264 oleh Bolesław Si Saleh, dan mengizinkan mereka untuk menetap dalam jumlah besar di Polandia.
Karena wangsa Piast tidak lagi memiliki ahli waris laki-laki, Raja Kazimierz Agung pun mewariskan takhta Polandia kepada kemenakannya, Lajos I, Raja Hungaria dari wangsa Capet Anjou. Lajos I bertakhta sebagai kepala negara persatuan Hungaria dan Polandia sejak 1370 sampai 1382.[8] Pada 1374, Lajos mengaruniakan Privilese Koszyce kepada kaum bangsawan Polandia demi mendudukkan salah seorang dari putri-putrinya di atas takhta Polandia sepeninggalnya kelak.[8] Putri bungsunya, Jadwiga (wafat 1399), naik takhta pada 1384.[15]
Pada 1386, Adipati Agung Jogaila dari Lituania menikah dengan Ratu Jadwiga dari Polandia. Langkah ini memungkinkannya menjadi Raja Polandia,[16] dan memerintah sebagai Raja Władysław II Jagiełło sampai mangkat pada 1434. Pernikahan ini melembagakan persatuan Polandia–Lituania di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Jagiellon. Persatuan antara Polandia dan Lituania dinyatakan secara resmi untuk pertama kalinya dalam Akta Persatuan Krewo pada 1385, yang berisi kesepakatan untuk menjodohkan Jogaila dengan Ratu Jadwiga.[16] Kemitraan Polandia-Lituania ini memasukkan wilayah luas Rutenia yang dikuasai Kadipaten Agung Lituania ke dalam mandala pengaruh Polandia yang terbukti bermanfaat, baik bagi bangsa Polandia maupun bagi bangsa Rutenia sendiri. Kedua bangsa ini hidup berdampingan dan saling bantu sebagai sesama entitas politik di Eropa selama empat abad selanjutnya. Setelah Ratu Jadwiga mangkat pada 1399, Kerajaan Polandia pun jatuh ke tangan suaminya.[16][17]
Di kawasan sekitar Laut Baltik, perseteruan antara Polandia dan para Kesatria Teuton masih terus berlanjut hingga mencapai puncaknya dalam Pertempuran Grunwald pada 1410.[16] Meskipun menang mutlak atas lawannya, bala tentara Polandia dan Lituania tidak berhasil merebut Kastel Malbork, pusat pemerintahan Ordo Kesatria Teuton. Akta Persatuan Horodło yang terbit pada 1413 kian memperjelas hubungan yang semakin akrab antara Kerajaan Polandia dan Kadipaten Agung Lituania.[16][18]
Hak-hak istimewa szlachta (kaum bangsawan) terus bertambah, dan pada 1425, dirumuskan pula hukum Neminem captivabimus, yang melindungi kaum bangsawan dari tindakan penahanan atas perintah raja.[16]
Masa pemerintahan penguasa muda Władysław III (1434–1444),[16] putra Władysław II yang memerintah sebagai Raja Polandia dan Hungaria, berlangsung singkat karena Sang Raja tewas dalam Pertempuran Varna melawan bala tentara Imperium Utsmaniyah.[16][19] Masa interregnum yang berlangsung selama tiga tahun sejak kemangkatannya berakhir dengan penobatan adiknya, Kazimierz IV Jagiellon, pada 1447.
Perkembangan-perkembangan besar selama zaman wangsa Jagiellon berpusat pada masa perintahan Kazimierz IV yang berlangsung cukup lama sampai 1492. Pada 1454, Prusia Rajani dijadikan daerah swapraja dalam wilayah Polandia, dan pertikaian dengan Negara Ordo Kesatria Teuton kembali berkobar dalam Perang Tiga Belas Tahun (1454–1466).[16] Pada 1466, kedua belah pihak menyepakati Perjanjian Damai Toruń yang mengawali lembaran baru dalam sejarah Polandia. Berdasarkan penjanjian ini, sebagian wilayah Prusia dipisahkan menjadi swapraja Prusia Timur, yang kelak menjadi Kadipaten Prusia, sebuah feodum yang dikepalai para Kesatria Teuton dalam wilayah Kerajaan Polandia.[16] Polandia juga berperang melawan Imperium Utsmaniyah dan orang Tatar Krimea di kawasan selatan, dan membantu Lituania melawan Kadipaten Agung Moskwa di kawasan timur. Polandia berkembang menjadi sebuah negara feodal, ekonominya didominasi oleh sektor agraris, dan kaum bangsawan tuan tanah semakin berkuasa. Kraków, ibu kota kerajaan, dijadikan pusat pendidikan dan kebudayaan, dan pada 1473, mesin cetak mulai beroperasi di kota itu.[16] Dengan semakin besarnya kekuasaan szlachta, pada 1493, dewan penasihat raja pun berkembang menjadi Sejm Umum (parlemen) bikameral yang tidak lagi semata-mata mewakili pembesar-pembesar kelas atas saja.[16][20]
Pada 1505, Sejm mengundangkan Akta Nihil novi yang mengalihkan sebagian besar kekuasaan legislatif dari kepala monarki kepada Sejm.[16] Peristiwa ini menandai permulaan kurun waktu yang disebut "Zaman Kemerdekaan Kencana", manakala pemerintahan negara secara keseluruhan diselenggarakan oleh kaum bangsawan polandia yang "merdeka dan sederajat". Pada abad ke-16, perkembangan besar di sektor agribisnis folwark yang dikelola oleh kaum bangsawan mengakibatkan para kawula jelata yang mengerjakan lahan-lahan folwark semakin tertindas hidupnya. Monopoli kaum bangsawan atas politik juga menghambat perkembangan kota-kota–beberapa di antaranya tumbuh makmur pada akhir zaman wangsa Jagiellon–dan membatasi hak-hak warga kota sehingga secara efektif menghambat pertumbuhan kelas menengah.[21]
Pada abad ke-16, gerakan Reformasi Protestan meretas jalan masuk ke dalam agama Kristen di Polandia dan menimbulkan gerakan Reformasi Potestan di Polandia yang melibatkan sejumlah denominasi berbeda. Kebijakan toleransi beragama di Polandia cukup unik untuk ukuran Eropa kala itu. Banyak orang mengungsi dari daerah-daerah yang tengah dilanda pertikaian antaragama ke Polandia. Pada masa pemerintahan Raja Zygmunt I (1506–1548) dan Raja Zygmunt II (1548–1572), terjadi perkembangan besar di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan (zaman keemasan dalam Abad Pembaharuan Polandia), yang diwakili oleh karya-karya astronom Nikolaus Kopernikus (wafat 1543).[16] Pada 1525, pada masa pemerintahan Raja Zygmunt I,[16] Ordo Kesatria Teuton disekularisasi dan Adipati Albrecht von Hohenzollern bersembah simpuh di hadapan Raja Polandia (peristiwa Sembah Simpuh Prusia) dalam upacara pelantikannya menjadi penguasa Kadipaten Prusia.[16] Mazowsze sepenuhnya menjadi bagian dari daerah kekuasaan Raja Polandia pada 1529.[16][22]
Pada masa pemerintahan Zygmunt II[16] yang menjadi penutup zaman wangsa Jagiellon, Polandia dan Lituania menandatangani Akta Persatuan Lublin (1569) yang sepenuhnya mempersatukan kedua negeri itu. Berdasarkan akta persatuan ini, kekuasaan atas wilayah Ukraina dialihkan dari Kadipaten Agung Lituania kepada Kerajaan Polandia, dan mentransformasi pemerintahan bersama Polandia–Lituania menjadi sebuah uni sejati.[16] Langkah ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan dan persatuan kedua negeri ini sepeninggal Zygmunt II yang tidak memiliki keturunan. Peran serta aktif dari Zygmunt II sendiri memungkinkan akta persatuan ini dapat terwujud.[23]
Livonia yang terletak jauh di sebelah timur laut dimasukkan ke dalam wilayah Polandia pada 1561, dan Polandia pun maju menghadapi Rusia dalam Perang Livonia.[16] Gerakan eksekusi (usaha untuk mencegah merajalelanya keluarga-keluarga bangsawan tinggi di Polandia dan Lituania) mencapai puncaknya dalam sidang Sejm di Piotrków pada 1562–1563.[16] Di bidang keagamaan, Saudara-Saudara Polandia memisahkan diri dari kaum Kalvinis, dan Alkitab Brest diterbitkan oleh kaum Protestan pada 1563.[16] Kedatangan padri-padri Yesuit pada 1564[16] telah ditakdirkan berdampak besar terhadap sejarah Polandia.
Penandatanganan Akta Persatuan Lublin pada 1569 menjadi dasar bagi berdirinya Persemakmuran Polandia-Lituania, sebuah negara federal dengan persatuan yang jauh lebih erat dibanding bentuk-bentuk persatuan politik antara Polandia dan Lituania yang sudah-sudah. Penyelenggaraan pemerintahan negara federal ini sebagian besar berada di tangan kaum bangsawan melalui sistem parlemen pusat dan parlemen daerah, tetapi dikepalai oleh raja-raja terpilih. Kekuasaan resmi kaum bangsawan Polandia, yang secara proporsional lebih besar jumlahnya dibanding negeri-negeri lain di Eropa, menghasilkan suatu sistem demokrasi perdana ("demokrasi kaum ningrat yang canggih"),[24] berbeda dari monarki-monarki absolut yang kala itu masih merajalela di seluruh Eropa.[25] Terbentuknya Persemakmuran Polandia-Lituania bertepatan dengan kurun waktu peningkatan kekuatan politik serta kemajuan peradaban dan kemakmuran dalam sejarah Polandia. Uni Polandia-Lituania terlibat secara aktif dalam peristiwa-peristiwa besar di Eropa, dan menjadi sebuah entitas budaya yang sangat berjasa dalam penyebarluasan budaya Barat (dengan ciri khas Polandia) ke kawasan timur. Pada paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17, Persemakmuran Polandia-Lituania menjadi salah satu negara berwilayah terluas dan berpenduduk terbanyak di Eropa, dengan luas wilayah yang mendekati 1 juta kilometer persegi (0,39 juta mil persegi) dan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa. Ekonominya didominasi oleh kegiatan eksport hasil budi daya pertanian. Toleransi beragama di seluruh wilayah Persemakmuran Polandia-Lituania dijamin dalam Konfederasi Warsawa pada 1573.[26]
Setelah berakhirnya zaman wangsa Jagiellon pada 1572, Henri de Valois (kelak naik takhta menjadi Raja Prancis Henri III) tampil unggul dalam "pemilihan bebas" yang diselenggarakan oleh kaum bangsawan Polandia pada 1573. Meskipun terpilih menjadi Raja Polandia, ia tetap harus tunduk pada kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Sejm dalam pacta conventa.[26] Henri kabur dari Polandia pada 1574 setelah menerima kabar tentang kekosongan takhta Prancis, berhubung ia juga termasuk salah seorang waris karib atas takhta kerajaan itu. Ia tetap menjadi pemimpin nominal atas Persemakmuran Polandia-Lituania sampai 1575. Sedari awal, kebijakan pemilihan raja di Polandia ini telah menarik minat kekuatan-kekuatan asing yang berusaha memanipulasi kaum bangsawan Polandia agar memilih calon-calon yang kelak dapat dimanfaatkan demi kepentingan-kepentingan mereka.[27] Henri de Valois digantikan oleh István Báthory dari Hungaria (1576–1586); ia adalah seorang pria yang penuh ketegasan dan rasa percaya diri, baik dalam bidang kemiliteran maupun dalam kehidupan sehari-hari.[26] Pembentukan lembaga peradilan Mahkamah Mahkota pada 1578 mengalihkan banyak perkara banding dari lingkup kewenangan raja ke lingkup kewenangan kaum bangsawan.[26]
Zaman pemerintahan raja-raja berkebangsaan Swedia dari wangsa Waza (bahasa Swedia: Vasaätten) di negara Persemakmuran Polandia-Lituania bermula pada tahun 1587. Raja pertama dan kedua dari wangsa ini, yakni Zygmunt III (1587–1632) dan Władysław IV (1632–1648), tak henti-hentinya berusaha menduduki takhta Kerajaan Swedia, sehingga menelantarkan urusan-urusan luar negeri Persemakmuran Polandia-Lituania.[26] Di saat yang sama, Gereja Katolik mulai melancarkan gerakan kontra-ofensif ideologi dan gerakan kontra-Reformasi Protestan yang berhasil menarik penganut agama Katolik baru dari antara kaum Protestan di Polandia dan Lituania. Pada 1596, dengan mengikrarkan Persatuan Brest, sebagian umat Kristen Timur di wilayah Persemakmuran Polandia-Lituania membentuk Gereja Uniat yang tetap menggunakan ritus peribadatan agama Kristen mazhab timur, tetapi tunduk di bawah kepemimpinan Sri Paus.[26] Pemberontakan Zebrzydowski menentang Raja Zygmunt III berkobar pada 1606–1608.[26][28]
Antara tahun 1605 sampai 1618, Persemakmuran Polandia-Lituania dan Rusia berperang memperebutkan status sebagai negara terunggul di di Eropa Timur. Perang ini pecah di kala Rusia sedang mengalami Masa Sukar, yakni kurun waktu yang disebut sebagai zaman Perang Polandia–Moskowi (atau zaman "Para Dmitriy"). Berkat kegigihan bala tentaranya, Persemakmuran Polandia-Lituania berhasil memperluas wilayah ke sebelah timur, namun tidak berhasil mewujudkan niat utamanya untuk mendaulat singgasana Rusia bagi Raja Polandia. Swedia juga berusaha tampil menjadi negara adikuasa di kawasan Baltik dengan memerangi Persemakmuran Polandia-Lituania sejak 1617 sampai 1629, sementara Imperium Utsmaniyah melancarkan gempuran dari selatan dalam Pertempuran Țuțora pada 1620 dan Pertempuran Khotyn pada 1621.[26] Pesatnya perluasan lahan pertanian dan tekanan aturan perhambaan di Ukraina Polandia menjadi penyebab terjadinya serangkaian peristiwa pemberontakan Kazaki. Sebagai sekutu Monarki Habsburg, Persemakmuran Polandia-Lituania tidak melibatkan diri secara langsung dalam Perang Tiga Puluh Tahun.[s] Sepanjang masa pemerintahan Raja Władysław IV, ketenteraman negara nyaris tidak terusik. Invasi Rusia dalam Perang Smolensk sejak 1632 sampai 1634 dapat dihalau mundur.[26] Hierarki Gereja Ortodoks, yang dinyatakan terlarang di Polandia selepas Ikrar Persatuan Brest, dipulihkan kembali pada 1635.[26][29]
Pada masa pemerintahan Raja Jan II Kazimierz Waza (1648–1668), raja ketiga sekaligus yang terakhir dari wangsa Waza, demokrasi kaum ningrat mengalami kemerosotan sebagai akibat dari invasi-invasi asing dan kekacauan di dalam negeri.[26][31] Segala malapetaka ini menjadi berlipat ganda dalam waktu singkat dan menandai akhir dari Zaman Keemasan Polandia, dan membuat Persemakmuran Polandia-Lituania yang pernah sangat berkuasa itu lambat laun menjadi rentan terhadap intervensi asing.
Pemberontakan Kazaki Chmielnicki (1648–1657) mengungkung kawasan tenggara tanah jajahan Mahkota Polandia.[26] Pemberontakan ini berdampak buruk dalam jangka panjang terhadap negara Persemakmuran Polandia-Lituania. Hak liberum veto (hak setiap anggota Sejm untuk serta-merta membubarkan sidang yang sementara berlangsung) untuk pertama kalinya dipakai oleh seorang deputi pada tahun 1652.[26] Praktik ini pada akhirnya melemahkan pemerintahan pusat Polandia secara kritis. Dalam Perjanjian Pereyaslav (1654), kaum pemberontak Ukraina menyatakan diri sebagai kawula Tsar Rusia. Perang Utara kedua berkecamuk di kawasan pusat negeri Polandia selama kurun waktu 1655–1660. Perang ini juga meliputi aksi invasi terhadap Polandia yang sedemikian brutal dan menghancurkannya sampai-sampai disebut sebagai Air Bah Swedia. Perang ini diakhiri pada tahun 1660 dengan Perjanjian Oliva,[26] yang mengakibatkan Polandia harus melepas beberapa daerah yang terletak di kawasan utara wilayahnya. Pada tahun 1657, Perjanjian Wehlau-Bromberg menetapkan kemerdekaan Kadipaten Prusia.[26] Angkatan Bersenjata Persemakmuran Polandia-Lituania mampu mengimbangi kekuatan tempur lawan dalam Perang Rusia-Polandia 1654–1667, tetapi perang ini berakhir dengan pembagian wilayah Ukraina secara permanen antara Polandia dan Rusia, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kesepakatan Andrusovo (1667).[26] Menjelang perang berakhir, Rokosz Lubomirski,[26] salah seorang pembesar utama, memberontak melawan raja. Aksi pemberontakan ini benar-benar menggoyahkan kekuatan negara. Perampasan budak belian yang dilakukan secara besar-besaran oleh orang Tatar Krimea juga berdampak sangat buruk bagi ekonomi Polandia.[32] Merkuriusz Polski, surat kabar Polandia yang pertama, terbit pada tahun 1661.[26][33]
Pada tahun 1668, Raja Jan Kazimierz Waza, yang sangat terpukul akibat ditinggal mati istrinya dan kecewa melihat kemerosotan politik selama masa pemerintahannya, menyatakan diri turun takhta dan hengkang ke Prancis.
Raja Michał Korybut Wiśniowiecki, seorang Polandia tulen, terpilih menggantikan Raja Jan II Casimir pada tahun 1669. Perang Polandia-Utsmaniyah (1672–1676) meletus pada masa pemerintahannya, berlangsung sampai tahun 1673, dan berlanjut pada masa pemerintahan penggantinya, Jan III Sobieski (memerintah 1674–1696).[26] Raja Jan Sobieski hendak melaksanakan rencana perluasan wilayah ke kawasan Baltik (dan untuk maksud ini ia diam-diam menandatangani Perjanjian Jaworów dengan Prancis pada tahun 1675),[26] tetapi terpaksa menunda rencananya ini karena dihadapkan dengan perang berlarut-larut dengan Kekaisaran Turki Utsmaniyah. Dengan bertindak demikian, Raja Jan Sobieski memulihkan kekuatan militer negara Persemakmuran Polandia-Lituania selama jangka waktu yang singkat. Ia membendung usaha perluasan wilayah yang dilakukan kaum Muslim dalam Pertempuran Khotyn pada tahun 1673, dan berjaya meluputkan Wina dari serbuan bangsa Turki dalam Pertempuran Wina pada tahun 1683.[26] Masa pemerintahan Raja Jan Sobieski merupakan lembaran emas terakhir dalam sejarah negara Persemakmuran Polandia-Lituania. Pada paruh pertama abad ke-18, keterlibatan aktif Polandia dalam kancah perpolitikan internasional akhirnya terhenti. Perjanjian Perdamaian Abadi (1686) merupakan penyelesaian penetapan garis perbatasan terakhir antara Polandia dan Rusia sebelum terjadinya peristiwa Pemisahan Polandia yang pertama pada tahun 1772.[26][34]
Negara Persemakmuran Polandia-Lituania, yang nyaris tak henti-hentinya dilanda peperangan sampai dengan tahun 1720, harus kehilangan sejumlah besar warganya dan mengalami kehancuran struktur ekonomi dan sosial yang luar biasa. Pemerintah menjadi tidak efektif akibat konflik-konflik dalam negeri yang berskala besar, proses legislasi yang korup, dan manipulasi pihak asing. Kaum ningrat tunduk di bawah kendali segelintir keluarga pembesar feodal yang memiliki daerah kekuasaan. Populasi dan prasarana perkotaan runtuh berkeping-keping, demikian pula lahan-lahan usaha tani rakyat jelata, yang terjerat dalam perhambaan yang kian lama kian berat. Perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan mengalami kemandekan bahkan kemunduran.[31]
Pemilihan raja tahun 1697 membuka jalan bagi August II Si Perkasa, bangsawan Sachsen dari wangsa Wettin, menuju singgasana kerajaan Polandia. August Si Perkasa dinobatkan menjadi Raja Polandia (memerintah 1697–1733) setelah bersedia beralih keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen Katolik. Ia digantikan oleh putranya, August III (memerintah 1734–1763).[26] Masa pemerintahan raja-raja asal Sachsen (yang merangkap jabatan selaku penguasa Swapraja Sachsen dengan status elektor dalam Kekaisaran Romawi Suci) dirongrong oleh orang-orang lain yang juga bercita-cita menduduki singgasana Kerajaan Polandia, sehingga negara Persemakmuran Polandia-Lituania semakin terpecah-belah. Perang Utara Raya yang berlangsung dari tahun 1700 sampai tahun 1721,[26] yakni kurun waktu yang dipandang sebagai masa musibah sementara oleh orang-orang pada masa itu, mungkin saja merupakan pukulan fatal yang meruntuhkan sistem politik Polandia. Stanisław Leszczyński dinobatkan menjadi raja pada tahun 1704 di bawah perlindungan Swedia, tetapi hanya mampu menduduki jabatannya selama beberapa tahun saja.[35] Sidang Sejm Bungkam pada tahun 1717 mengawali kurun waktu ketika negara Persemakmuran Polandia-Lituania berstatus wilayah protektorat Rusia:[36] Semenjak saat itu, Kekaisaran Rusia menjamin Kemerdekaan Kencana kaum ningrat yang cenderung anti pembaharuan demi mengekalkan kelemahan pemerintahan terpusat negara Persemakmuran Polandia-Lituania dan mempertahankan keadaan tunadaya politik di negara itu selama mungkin. Bertolak belakang dengan tradisi toleransi beragama di Polandia, umat Protestan dieksekusi mati dalam peristiwa Tumult Toruń pada tahun 1724.[37] Pada tahun 1732, Rusia, Austria, dan Prusia, tiga negara tetangga Polandia yang kian lama kian kuat dan menjadi ancaman, diam-diam menandatangani Perjanjian Tiga Rajawali Hitam dengan niat mengendalikan suksesi kepala negara Persemakmuran Polandia-Lituania. Perang Suksesi Polandia, yang berlangsung dari tahun 1733 sampai tahun 1735,[26] membantu Leszczyński menduduki singgasana Kerajaan Polandia untuk kedua kalinya. Di tengah-tengah kuatnya campur tangan asing, usahanya gagal. Kerajaan Prusia menjadi salah satu kekuatan regional yang besar dan berhasil merampas Provinsi Silesia yang secara historis merupakan bagian wilayah Polandia dari Monarki Habsburg dalam Perang Silesia; dengan demikian keberadaan Prusia semakin mengancam ketenteraman Polandia. Persatuan pribadi (persatuan karena dipimpin oleh satu pribadi yang sama) antara negara Persemakmuran Polandia-Lituania dengan Elektorat Sachsen memang menghasilkan munculnya gerakan pembaharuan di negara Persemakmuran Polandia-Lituania dan bermulanya budaya Pencerahan Polandia, yakni perkembangan positif yang besar kala itu. Perpustakaan umum Polandia yang pertama adalah Perpustakaan Załuski di Warsawa, yang dibuka untuk umum pada tahun 1747.[26][38]
Menjelang akhir abad ke-18, usaha-usaha pembaharuan internal yang bersifat mendasar dilaksanakan di negara Persemakmuran Polandia-Lituania selagi negara ini melangkah menuju akhir riwayatnya. Upaya reformasi, yang mula-mula dicetuskan faksi keluarga ningrat Czartoryski yang dikenal dengan sebutan Familia, menimbulkan ketidaksenangan negara-negara tetangga yang menanggapinya dengan aksi militer, tetapi reformasi berhasil menciptakan kondisi-kondisi yang menperlancar perbaikan ekonomi. Kota dengan penduduk terpadat, yakni ibu kota Warsawa, menggeser kedudukan Danzig (Gdańsk) sebagai kota niaga utama, kelas-kelas sosial perkotaan yang lebih sejahtera pun semakin dianggap penting. Dasawarsa terakhir keberadaan negara Persemakmuran Polandia-Lituania yang merdeka diwarnai kemunculan gerakan-gerakan reformasi yang agresif dan kemajuan-kemajuan besar di bidang pendidikan, kehidupan intelektual, seni rupa, serta evolusi sistem kemasyarakatan dan politik.[39]
Pemilihan Raja tahun 1764 memunculkan Raja Stanisław August Poniatowski,[40] seorang bangsawan yang santun dan berbudaya yang terhubung dengan keluarga Czartoryski, tetapi dipilih langsung oleh Maharani Rusia, Yekaterina Agung, yang berharap Stanisław August Poniatowski akan menjadi raja yang patuh padanya. Raja Stanisław August Poniatowski memerintah negara Persemakmuran Polandia-Lituania sampai dengan pembubarannya pada tahun 1795. Selama memerintah, sang raja terombang-ambing di antara keinginannya melaksanakan usaha-usaha pembaharuan demi menanggulangi keterpurukan negara, dan kepentingan mempertahankan semacam hubungan atasan-bawahan dengan Rusia.[41]
Konfederasi Bar (1768–1772)[40] adalah persekutuan kaum ningrat untuk memberontak melawan pengaruh Rusia pada umumnya, dan Stanisław August, yang dianggap sebagai antek Rusia, pada khususnya. Konfederasi Bar dibentuk dengan maksud mempertahankan kemerdekaan Polandia dan kepentingan-kepentingan turun-temurun kaum ningrat. Selepas beberapa tahun, pemberontakan akhirnya dapat diberantas oleh laskar-laskar yang setia pada raja bersama laskar-laskar yang setia pada Kekaisaran Rusia.[42]
Sesudah pemberantasan pemberontak, daerah-daerah dalam wilayah negara Persemakmuran Polandia-Lituania dibagi-bagi oleh Prusia, Austria, dan Rusia pada tahun 1772 atas usul Friedrich Agung, Raja Prusia. Peristiwa ini kelak dikenal dengan sebutan Peristiwa Pembagian Wilayah Polandia kali pertama.[40] Provinsi-provinsi terluar dirampas tiga negara jiran bersadarkan kesepakatan di antara mereka, tinggal sepenggal wilayah yang kurang penting saja yang masih menjadi milik negara Persemakmuran Polandia-Lituania. Pada tahun 1773, Di bawah tekanan, "Sidang Sejm Pembagian Wilayah" meratifikasi keputusan pembagi-bagian wilayah Persemakmuran Polandia-Lituania sebagai sebuah fait accompli (ketelanjuran). Kendati demikian, sidang juga menetapkan pembentukan Komisi Pendidikan Nasional, perintis lembaga pemerintah yang berwenang menangani hal ihwal pendidikan di Eropa, yang sering kali disebut sebagai kementerian pendidikan pertama di dunia.[40][42]
Sidang parlemen berlarut-larut yang diselenggarakan oleh Raja Stanisław August dikenal dengan sebutan Sidang Raya Sejm atau Sidang Sejm Empat Tahun, dibuka pada tahun 1788. Capaiannya yang paling menonjol adalah pengesahan Konstitusi 3 Mei 1791.[40] Pengesahan Konstitusi 3 Mei 1791 adalah pemberlakuan hukum tertinggi dalam negara untuk pertama kalinya dalam sejarah Eropa pada Zaman Modern.
Persetujuan Meja Bundar Polandia pada bulan April 1989 menyerukan pembentukan pemerintahan yang mandiri, dikeluarkannya kebijakan-kebijakan jaminan kerja, legalisasi serikat-serikat buruh independen, dan reformasi besar-besaran di berbagai bidang.[43] Sejm kala itu segera mengimplementasikan hasil kesepakatan dan setuju untuk menyelenggarakan pemilihan umum Majelis Nasional pada tanggal 4 dan 18 Juni.[44] 35% dari kursi di Sejm (majelis rendah legislatif nasional) dan seluruh kursi di Senat diperebutkan secara bebas; sisa kursi di Sejm yang tidak diperebutkan (65%), diperuntukkan bagi partai komunis dan sekutu-sekutunya.[45][46]
Kekalahan partai komunis dalam perhitungan suara (hampir seluruh kursi yang diperebutkan dimenangkan oleh kubu oposisi) menimbulkan krisis politik. Persetujuan konstitusional bulan April yang disepakati selepas Persetujuan Meja Bundar menyerukan pemulihan jabatan Presiden Polandia, dan pada 19 Juli, Majelis Nasional memilih pemimpin komunis, Jenderal Wojciech Jaruzelski untuk menduduki jabatan itu. Pemilihan dirinya kala itu dipandang penting secara politik, namun dilakukan tanpa dukungan dari sejumlah deputi Solidaritas, sehingga posisi dari presiden yang baru itu pun menjadi tidak kuat. Selain itu, hasil akhir yang tak disangka-sangka dari pemilihan umum parlementer mengakibatkan gerakan-gerakan dan upaya-upaya baru yang dilakukan oleh partai komunis untuk membentuk suatu pemerintahan berakhir dengan kegagalan.[44][45][46][47]
Pada 19 Agustus, Presiden Jaruzelski meminta wartawan sekaligus aktivis Solidaritas, Tadeusz Mazowiecki, untuk membentuk pemerintahan; pada 12 September, melalui pemungutan suara, Sejm menyetujui pengangkatan Perdana Menteri Mazowiecki dan kabinet yang dibentuknya. Mazowiecki memutuskan untuk menyerahkan urusan reformasi ekonomi sepenuhnya ke tangan para pendukung ekonomi liberal di bawah pimpinan deputi perdana menteri yang baru, Leszek Balcerowicz,[44] yang menindaklanjuti keputusan itu dengan merancang dan mengimplementasikan kebijakan "terapi kejut". Untuk pertama kalinya dalam sejarah pascaperang, pemerintahan Polandia berada di tangan kaum nonkomunis. Langkah Polandia ini segera menjadi acuan yang diikuti oleh negara-negara komunis lainnya, sehingga menimbulkan suatu fenomena besar yang dikenal dengan sebutan Revolusi 1989.[45][46] Penerimaan Mazowiecki terhadap rumus "garis tebal" bermakna bahwa pemerintahannya tidak akan melakukan "perburuan tukang sihir", yakni tindakan balas dendam dan penyingkiran terhadap para mantan pejabat komunis dari gelanggang politik Polandia.[44]
Dipengaruhi oleh kebijakan indeksasi upah, inflasi pun melonjak hingga 900% pada akhir 1989, namun segera ditanggulangi dengan kebijakan-kebijakan yang radikal. Pada bulan Desember 1989, Sejm menyetujui Rencana Balcerowicz untuk mentransformasi ekonomi Polandia dengan cepat dari ekonomi terpusat menjadi ekonomi pasar bebas.[48][v] Konstitusi Republik Rakyat Polandia diamendemen guna menghilangkan keutamaan-keutamaan yang diberikan kepada partai komunis dan mengubah nama negara menjadi "Republik Polandia". Partai Persatuan Karyawan Polandia yang berhaluan komunis membubarkan diri pada bulan Januari 1990. Sebagai gantinya, mereka membentuk sebuah partai baru dengan nama Demokrasi Sosial Republik Polandia.[45][49] "Pemerintah wilayah mandiri" yang dihapuskan pada 1950 diundangkan kembali pada bulan Maret 1990, untuk selanjutnya dipimpin oleh pejabat-pejabat yang dipilih secara demokratis di daerah masing-masing; satuan dasarnya adalah gmina yang mandiri secara administratif.[50][q]
Pada bulan Oktober 1990, konstitusi kembali diamendemen untuk membatasi masa jabatan Presiden Jaruzelski.[51] Pada bulan November 1990, Perjanjian Tapal Batas Jerman-Polandia ditandatangani.[52]
Pada bulan November 1990, Lech Wałęsa terpilih menjadi Presiden Polandia untuk masa jabatan lima tahun; pada bulan Desember, ia dilantik menjadi Presiden Polandia pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan umum parlemen secara bebas untuk pertama kalinya diselenggarakan pada bulan Oktober 1991. 18 partai mendapatkan kursi di Sejm yang baru, tetapi perwakilan yang terbesar hanya memenangkan 12% dari total perolehan suara.[53]
Antara pemilihan umum 1989 dan pemilihan umum 1993, pemerintahan Polandia beberapa kali diselenggarakan oleh kabinet-kabinet pasca-Solidaritas sebelum akhirnya diambil alih oleh partai-partai sayap kiri "pascakomunis".[54] Pada 1993, bekas Pasukan Kelompok Utara Uni Soviet, sisa-sisa kekuasaan masa lampau, akhirnya angkat kaki dari negeri Polandia.[49]
Pada 1995, Aleksander Kwaśniewski dari Partai Sosial Demokrat terpilih menjadi Presiden Polandia dan menjabat selama sepuluh tahun (dua kali masa jabatan).[49]
Pada 1997, Konstitusi Polandia yang baru akhirnya rampung dan disetujui melalui referendum; konstitusi ini menggantikan Konstitusi Kecil 1992, yakni konstitusi negara komunis Polandia yang telah diamendemen.[55]
Polandia bergabung dengan NATO pada 1999.[56] Sejak saat itu pula, unsur-unsur Angkatan Bersenjata Polandia telah diikutsertakan dalam Perang Irak dan Perang di Afganistan. Polandia bergabung dengan Uni Eropa saat pemekaran Uni Eropa pada 2004. Keanggotaan Polandia dalam dua organisasi ini menandai integrasi Republik Polandia Ketiga dengan dunia Barat. Meskipun demikian, Polandia belum mengadopsi Euro sebagai mata uang bersama negara-negara anggota Uni Eropa.
a.^Keluarga Piłsudski adalah keluarga terkemuka di Kadipaten Agung Lituania yang sudah beradaptasi dengan budaya Polandia. Keluarga ini berasal dari kalangan ningrat Kadipaten Agung Lituania yang sudah terpolonisasi sehingga membuatnya menganggap diri sendiri maupun orang-orang dengan latar belakang yang sama sepertinya dirinya sebagai warga Lituania yang sah. Pandangan semacam ini menempatkan dirinya pada posisi yang berseberangan dengan kaum nasionalis Lituania modern (yang pada masa hidup Piłsudski mendefinisikan ulang lingkup makna dari "orang Lituania"), dan oleh karena itu bertentangan pula dengan kaum nasionalis lain serta pergerakan kebangsaan Polandia modern.[57]
q.^Di Polandia, para pejabat pemerintah pusat (wojewoda, kepala provinsi) dapat membatalkan keputusan kepala daerah dan wali kotapraja terpilih.
u.^Menurut Jerzy Eisler, sekitar 1,1 juta orang mungkin pernah dipenjarakan atau ditahan dalam kurun waktu 1944–1956, dan sekitar 50.000 orang mungkin tewas akibat pergolakan dan penindasan, termasuk sekitar 7.000 orang prajurit gerakan bawah tanah sayap kanan yang gugur pada era 1940-an.[58][59] Menurut Adam Leszczyński, jumlah korban yang tewas dibunuh rezim komunis dalam beberapa tahun pertama selepas perang mencapai 30.000 jiwa.[60]
v.^Menurut Andrzej Stelmachowski, salah seorang tokoh penting dalam transformasi sistemik Polandia, Menteri Leszek Balcerowicz ingin menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang sangat liberal, sehingga sering kali menyengsarakan rakyat. Statuta Sejm tentang reformasi pelayanan kredit pada bulan Desember 1989 memperkenalkan sistem hak-hak istimewa yang "gila-gilaan" bagi kalangan perbankan. Bank-bank diizinkan untuk mengubah tingkat bunga secara sepihak dalam kontrak-kontrak yang sudah dibuat. Tingkat bunga yang serta-merta ditetapkan terlalu tinggi oleh bank-bank membangkrutkan banyak perusahaan yang sebelumnya mampu menghasilkan laba dan mematikan industri konstruksi blok apartemen, yang dalam jangka panjang juga berdampak buruk bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Kebijakan-kebijakan Balcerowicz juga menimbulkan kerusakan permanen dalam sektor pertanian Polandia, yang "tidak dipahami" oleh Balcerowicz, dan dalam sektor koperasi di Polandia yang sering kali berhasil dan bermanfaat bagi rakyat.[48][61]
w.^Di bawah pimpinan Władysław Anders, Korps II Polandia ikut berjuang dalam Pertempuran Monte Cassino pada 1944, sebagai bagian dari Kampanye Italia yang dilancarkan oleh Pihak Sekutu.[62]
x.^Teori ini dikenal dengan sebutan Gagasan Piast, pelopor utama teori ini adalah Jan Ludwik Popławski, berlandaskan pernyataan bahwa kampung halaman Piast didiami oleh kaum yang disebut sebagai "masyarakat bumiputra" Slavi dan Slavi Polandia semenjak zaman purbakala dan kelak "disusupi" oleh "orang-orang asing" Kelt, Jerman, dan lain sebagainya. Setelah 1945, mazhab prasejarah Polandia yang disebut-sebut dengan istilah "otoktonim" atau "aborigin" ini meraih dukungan yang cukup besar di Polandia. Menurut mazhab pemikiran ini, peradaban Lausitz yang telah berhasil diidentifikasi oleh para arkeolog di daerah antara Sungai Oder dan Sungai Wisła dari permulaan Zaman Besi, konon berciri khas Slavi; semua suku dan suku bangsa non-Slavi yang tercatat pernah mendiami kawasan itu dianggap sebagai kaum "pendatang" dan "pengunjung" belaka. Di lain pihak, para penentang teori ini, seperti Marija Gimbutas,menganggapnya sebagai sebuah hipotesis tanpa bukti, dan bagi mereka tarikh dan daerah asal dari gerak perpindahan orang Slavi ke arah barat sebagian besar belum terpetakan; hubungan antara orang Slavi dengan peradaban Lausitz sepenuhnya khayalan belaka; dan keberadaan suku-suku bangsa yang saling membaur serta pergantian suku-suku bangsa penghuni Dataran Eropa Utara dianggap sebagai suatu kenyataan yang sudah ada sejak semula.[63]
y.^Berdasarkan isi laporan Perdana Menteri merangkap Menteri Urusan Dalam Negeri Felicjan Sławoj Składkowski di hadapan komisi Sejm pada bulan Januari 1938, 818 orang terbunuh dalam upaya meredam aksi protes buruh (industri dan budi daya pertanian) yang dilakukan oleh polisi dalam kurun waktu 1932–1937.[64]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.