Psikotropika adalah zat atau obat yang menurunkan fungsi otak serta merangsang sistem saraf pusat menimbulkan reaksi halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.[1]
Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi bagi para pemakainya.
Pemakaian psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabatkesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dapat menimbulkan ketergantungan secara terus-menerus apabila penggunaannya berlebihan dengan takaran yang besar. Dari hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis yang terjadi karena adanya gangguan saraf dan organ-organ tubuh seperti jantung, ginjal, dan paru-paru. Akibat buruk dari penggunaan psikotropika ini yaitu menimbulkan kematian.[2]
Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika (Convention on psychotropic substances [3]) yang diselenggarakan di Vienna dari tanggal 11 Januari sampai 21 Februari 1971, yang diikuti oleh 71 negara ditambah dengan 4 negara sebagai peninjau.
Sebagai reaksi yang didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi,
dan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988.
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut:
Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan trans-nasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindromaketergantungan digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
Psikotropika golongan I: psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat.
Psikotropika golongan II: psikotropika yang berkhasiat terapi, tetapi dapat menimbulkan ketergantungan.
Psikotropika golongan III: psikotropika dengan efek ketergantungannya sedang dari kelompok hipnotik sedatif.
Psikotropika golongan IV: yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran narkotika dan psikotropika, tahun 1988 tersebut maka psikotropika dapat digolongkan sebagai berikut:
(didahului dengan nama International dan nama kimia diletakkan dalam tanda kurung)
Psikotropika golongan I
Broloamfetamine atau DOB ((±)-4-bromo-2,5-dimethoxy-alpha-methylphenethylamine)
Indonesia pada tanggal 24 Maret tahun 1997 berdasarkan Undang-undang No 7 tahun 1997 tentang "pengesahan konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang pemberantasan peredaran narkotika dan psikotropika, 1988 (United Nations convention against illicit traffic in narcotics drugs and psycotropic substances, 1988), telah mengesahkan / meratifikasi konvensi tersebut dengan (Pensyaratan) terhadap Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam
pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.