Pangan kahat atau makanan kelaparan, makanan kemiskinan, makanan bencana kelaparan, adalah makanan yang murah atau tersedia yang digunakan untuk memberi makan orang-orang pada saat bencana kelaparan dan kebuluran, baik yang disebabkan oleh kemiskinan ekstrim, seperti pada saat depresi ekonomi atau perang, atau oleh bencana alam seperti kekeringan.
Sejumlah bahan makanan erat kaitannya dengan kelaparan, perang, atau masa-masa sulit sepanjang sejarah:
Kacang maya, dibudidayakan oleh kebudayaan kuno Maya
di Polynesia, tanaman dari genus Xanthosoma, dikenal dengan nama setempat ʻape, disebut sebagai pangan kahat ketika tanaman pertanian taro gagal panen.[1]
Beberapa spesies algae, including Palmaria palmata, Pelvetia and Irish moss (Chondrus crispus), dimakan oleh masyarakat pesisir ketika Wabah Kelaparan BesarIrlandia tahun 1846–1848. Jauh ke daratan, pangan kahat meliputi stinging nettle, wild mustard, sorrel, dan watercress.[2][3][4][5] Di wilayah Skibbereen, orang-orang memakan daging keledai.[6] Yang lainnya memakan daging anjing, kucing, burung liar dari genus Crex, daging babi busuk, dan bahkan daging manusia.[7][8] Konsumsi tumbuhan liar dari genus Argentina, Rumex, Calluna, Trifolium, sertaanemon laut, wortel liar, prem duri, kacang babi, keong caping, siput, tangkira besar, buah dafnah, buah pasir-pasir Eropa, dandelion juga tercatat dalam sejarah.[9][10][11][12] Banyak catatan menyebutkan mereka yang meninggal memiliki noda berwarna kehijauan di mulut mereka karena seringnya memakan rerumputan dan dedaunan.[13][14]
Umbi lily sego dimakan oleh Pionir mormon ketika panen mereka gagal.
Umbi tulip dan bit merah dimakan ketika sebagian wilayah Belanda diduduki oleh Jerman, periode yang disebut dengan Wabah Kelaparan Belanda tahun 1944-1945.
Di Islandia, kawasan pedesaan Swedia, dan bagian barat Finlandia, jamur menjadi penganan di era Perang Dunia II. Sebelumnya mereka menganggap makanan ini adalah pakan sapi dan juga dikaitkan dengan stigma makanan orang miskin atau makanan di kala peperangan.[butuh rujukan]
Di Scandinavia, kambium (phloem) dari tumbuhan meranggas dikeringkan, digiling, dan ditambahkan ke adonan tepung demi menghemat stok tepung yang ada, membentuk roti kulit kayu. Diperkirakan makanan ini berasal dari tradisi orang Sami.
Adirondack, yang merupakan sebutan untuk orang suku asli yang mendiami Adirondack Mountains di New York, diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa Mohawk 'ha-de-ron-dah' yang bermakna 'pemakan pohon'. Dan nama ini digunakan oleh Iroquoian sebagai sebutan merendahkan / derogatory untuk kelompok Algonqui yang tidak menerapkan pertanian sehingga harus memakan kulit pohon agar selamat dari musim dingin..
Juga ketika Pengepungan Paris selama Perang Franco-Prussian, menu yang tersedia dalam kafe-kafe di Paris mencakup daging anjing, kucing, tikus, kuda, keleda, unta, bahkan gajah.
Selama Pertempuran Bataan di Filipina selama Perang dunia II, warga Filipina dan tentara Amerika Serikat memakan daging anjing, daging kera, daging biawak, pythons, keledai, kuda, burung kakaktua, burung hantu, buaya, dan carabao saat suplai makanan mereka terganggu.[17]
Selama krisis kemanusiaan di Kamboja, masyarakat memakan tarantula, kalajengking, ulat sutra, dan belalang. Tarantula goreng kemudian menjadi penganan populer di kalangan wisatawan yang mengunjungi Kamboja.[22]
Homini atau jagung yang diproses dengan alkali menjadi makanan di kala Depresi Besar Amerika Serikat. Karena itu, makanan ini menjadi tabu di selatan Amerika Serikat, terutama kalangan penyintas depresi.[25]
Malva pusilla, dikenal di Palestina sebagai pangan kahat khobeza (bahasa Arab:خُبَيْزَةkhubayzah, bermakna 'roti kecil'). Di bulan April tahun 2024, the New York Times bahwa masyarakat Gaza yang sedang terkepung invasi Israel memakannya untuk menghalau rasa lapar. [26]