Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Nasruddin atau Nasreddin (Turki: Nasreddin Hoca, Turki Ottoman:نصر الدين خوجه, Persia:خوجه نصرالدین, Pashtun:ملا نصرالدین}}, Arab: نصرالدین جحا, ALA-LC: Naṣraddīn Juḥā, Urdu:ملا نصرالدین, Uzbek:Nosiriddin Xo'ja, Nasreddīn Hodja, Bosnia: Nasrudin Hodža) adalah seorang sufi satirikal dari Dinasti Seljuk, dipercaya hidup dan meninggal pada abad ke-13 di Akshehir, dekat Konya, ibu kota dari Kesultanan Rûm Seljuk, sekarang di Turki. Ia dianggap orang banyak sebagai filsuf dan orang bijak, dikenal akan kisah-kisah dan anekdotnya yang lucu.[1] Ia muncul dalam ribuan cerita, terkadang jenaka dan pintar, terkadang bijak, tetapi sering juga bersikap bodoh atau menjadi bahan lelucon. Setiap kisah Nasruddin biasanya mengandung humor cerdas dan mendidik.[2] Festival Nasreddin Hodja dirayakan secara internasional antara 5–10 Juli setiap tahun di kota tempat tinggalnya.[3]
Berbagai masyarakat mengklaim Nasruddin ke dalam etnis mereka.[4][5] Beberapa sumber menyebutkan tempat kelahirannya di Desa Hortu di Sivrihisar, Provinsi Eskişehir, sekarang Turki, pada abad ke-13. Ia kemudian tinggal di Akşehir,[5] dan kemudian di Konya saat pemerintahan Dinasti Seljuk. Ia meninggal pada tahun 1275/6 atau 1285/6 M.[6][7] Makam Nasruddin dipercaya berada di Akşehir[8] dan "Festival Internasional Nasreddin Hodja" diadakan setiap tahunnya di Akşehir pada 5–10 Juli.[9]
Menurut Prof. Mikail Bayram yang mengadakan penelitian ekstensif mengenai Nasreddin Hoca, nama lengkapnya adalah Nasir ud-din Mahmud al-Hoyi, gelarnya Ahi Evran (karena menjadi pemimpin organisasi ahi). IUa lahir di Kota Hoy di Azerbaycan, menempuh pendidikan di Horasan dan menjadi murid seorang mufassir Quran yang terkenal, Fakhr al-Din al-Razi, di Herat. Ia dikirim ke Anatolia oleh sang Khalif di Baghdad untuk mengorganisasi pertahanan dan perlawanan terhadap invasi Mongol. Ia menjabat sebagai seorang kadı (hakim Islamik) di Kayseri. Hal tersebut menjelaskan mengapa dalam cerita dirinya diminta menjadi hakim, tidak hanya dalam segi religius saja. Selama kekacauan invasi Mongol, ia menjadi lawan politik Jalaluddin Rumi, tokoh hebat lain pada masa itu yang juga tinggal di Konya. Ia dikenal di Masnavi dalam anekdot juha karena alasan ini. Ia menjadi pengawas dalam ruang sidang Kaykaus II di Konya.[10] Karena telah tinggal di berbagai kota dan area luas dan setia melawan invasi Mongol serta meliki karakter yang jenaka, ia diterima berbagai bangsa dan kultur dari Turki sampai Arab, dan dari Rusia hingga China, yang kebanyakan merupakan bangsa-bangsa yang menderita akibat invasi Mongol.
Setelah beberapa generasi berlalu, beberapa cerita baru ditambahkan dalam kumpulan kisah Nasruddin, beberapa cerita dimodifikasi, ia dan kisah-kisahnya menyebar ke berbagai wilayah. Teman-tema dalam cerita menjadi bagian cerita rakyat dari beberapa negara dan mengekspresikan imajinasi nasional dari berbagai kultur. Meskipun kebanyakan menggambarkan Nasruddin berada di lokasi desa yang kecil, beberapa kisah lain menggunakan konsep masa hidup Nasruddin tidak dibatasi waktu. Mereka melengkapi folklorenya dengan kebijaksanaan ringkas tetapi tajam yang mengungguli semua ujian dan penderitaan. Manuskrip Nasruddin tertua berasal dari tahun 1571.
Sekarang ini, cerita-cerita Nasruddin telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Beberapa wilayah mengembangkan tokoh-tokoh yang menyerupai Nasruddin. Pada beberapa wilayah, Nasruddin menjadi bagian kebudayaan dan sering kali disebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena ada ribuan kisah Nasruddin yang berbeda-beda, kisah-kisahnya selalu ada saja yang sesuai dengan kejadian sehari-hari dalam masyarakat.[11] Nasruddin sering muncul sebagai tokoh bertingkah-laku aneh dalam berbagai tradisi rakyat Albania, Arab, Armenia, Azerbaijani, Bengali, Bosnia, Bulgaria, China, Yunani, Gujarati, Hindi, Italia, Bahasa Ladino, Kurdish, Bahasa Pashtun, Persia, Romania, Serbia, Rusia, Turkish, dan Urdu.
Tahun 1996–1997 diumumkan sebagai Tahun Internasional Nasruddin oleh UNESCO.[12]
Beberapa orang berkata bahwa, meskipun mengucapkan perkataan yang terdengar gila, ia, sebenarnya, memiliki inspirasi ilahi, dan bukan kegilaan melainkan kebijaksanaan yang ia ucapkan.
—The Turkish Jester or The Pleasantries of Cogia Nasr Eddin Effendi[13]
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Nasruddin meninggak dunia saat berumur sekitar 80 tahun. Ia dimakamkan di Aksehir, Konya. Makam marmernya dinaungi sebuah kubah kecil yang disangga enam pilar. Di makamnya terdapat tulisan: "Di sini dimakamkan Nasruddin, meninggal pada tahun 386". Sebenarnya Nasruddin meninggal pada tahun 683 Hijriyah (sekitar 1284-1285 M), tulisan di makamnya dimaksudkan untuk lelucon dengan cara ditulis terbalik.
Pada pintu masuk ke dalam kubah makam (di antara dua pilar penyangga), dibangun sebuah gerbang besi yang tinggi dan digembok dengan kokoh. Tidak ada orang yang bisa sembarangan masuk melalui gerbang itu. Namun, kelima sisi makam yang lain sama sekali tidak berpagar dan dapat dimasuki dengan bebas. Dalam kematiannya, Nasruddin masih ingin mengingatkan orang untuk memiliki rasa humor dan tidak berpandangan kaku.
Banyak penduduk Timur Dekat, Timur Tengah, dan Asia Tengah mengklaim Nasruddin sebagai milik mereka (misalnya Turki,[1][6][14][15] Afganistan,[14] Iran,[1][16] dan Uzbek).[7] Namanya dieja dalam berbagai variasi: Nasrudeen, Nasrudin, Nasruddin, Nasr ud-Din, Nasredin, Naseeruddin, Nasr Eddin, Nastradhin, Nasreddine, Nastratin, Nusrettin, Nasrettin, Nostradin, Nastradin (lit. Kemenangan (Nasr) Din), dan Nazaruddin.
Terkadang namanya diawali gelar: "Hoxha", "Khwaje", "Hodja", "Hoja", "Hojja", "Hodscha", "Hodža", "Hoca", "Hogea", "Mullah", "Mulla", "Mula", "Molla", "Efendi", "Afandi", "Ependi" (أفندي ’afandī), "Haji". Pada beberapa budaya, ia dipanggil gelarnya saja.
Pada negara-negara yang menggunakan Bahasa Arab, Nasruddin dikenal sebagai "Juha", "Djoha", "Djuha", "Dschuha", "Giufà", "Chotzas", "Goha" (جحا juḥā). Juha sebenarnya adalah tokoh yang berbeda dari literatur Arabik semenjak abad ke-9 Masehi, dan populer sejak abad ke-11.[17] Kisah keduanya menjadi tercampur pada abad ke-19 saat kumpulan naskah cerita diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Turki dan Persia.[18]
Masyarakat Swahili menyebutnya "Abunawasi" sementara di Indonesia sebagai "Abunawas", meskipun hal tersebut membuat Nasruddin disalahkaprahkan dengan tokoh lain, seorang penyair Abu Nuwas yang terkenal akan karyanya yang homoerotik.
Di China, kisah Nasruddin cukup dikenal. Namanya, 阿方提 (Āfāngtí), diterjemahkan dari Bahasa Uighur 阿凡提 (Āfántí). Bangsa Uyghur percaya bahwa ia berasal dari Xinjiang, sementara Uzbek percaya ia berasal dari Bukhara.[19]
Di Asia Tengah, ia biasa disebut "Afandi". Penduduk Asia Tengah mengklaim bahwa Nasruddin berasal dari sana, sebagaimana Bangsa Uyghur.
Kisah-kisah Nasruddin dikenal di seluruh Timur Tengah dan menyentuh berbagai kultur di seluruh dunia. Sayangnya, sebagian besar kisah Nasreddin diceritakan sebagai lelucon atau anekdot lucu. Semuanya kisahnya diceritakan berulang-ulang di kedai-kedai dan caravanserai di Asia serta dapat didengar di rumah-rumah serta radio. Kisah-kisah Nasruddin dapat dipahami dalam berbagai tingkatan; selalu ada canda, kemudian moral, dan biasanya ditambahkan sedikit sentilan yang memberi kesadaran dalam hal spiritualisme.[20]
Suatu ketika Nasruddin diundang untuk menyampaikan dakwah. Saat berada di atas mimbar, ia bertanya, "Kalian tahu apa yang akan aku katakan?" Seluruh umat menjawab serempak, "Tidak." Nasruddin pun berkata, "Aku tidak berkeinginan untuk berdakwah kepada orang-orang yang tidak tahu apa yang akan aku dakwahkan," kemudian turun dari mimbar dan pergi.
Orang-orang merasa lalu, kemudian memanggilnya kembali keesokan hari Jumatnya untuk kembali berdakwah. Kali itu, Nasruddin kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan para umat menjawab, "Tahu". Nasruddin terdiam, kemudian berkata, 'Karena kalian sudah tahu apa yang akan aku katakan, aku tidak akan membuang-buang waktu kalian lebih lama lagi." Nasruddin turun dari mimbar meninggalkan mereka.
Kali ini orang-orang benar-benar kebingungan dan memanggilnya kembali di keesokan Jumat. Sekali lagi Nasruddin menanyakan pertanyaan yang sama, para umat sebagian menjawab tahu dan sebagian menjawab tidak tahu. Nasruddin berseru, "Sangat bagus! Sekarang, bagi yang sudah tahu, silahkan menceritakan kepada yang belum tahu!" Ia turun dari mimbar kemudian pergi.[21]
Seorang tetangga mengetuk pagar rumah Nasruddin, sang Mulla menemuinya di luar. "Bolehkan, Mulla," tanya si tetangga, "aku meminjam keledaimu hari ini? Aku harus mengantar beberapa barang ke kota sebelah." Sebenarnya Nasruddin merasa sayang untuk meminjamkan keledainya, maka ia menjawab, "Maaf, aku sudah meminjamkannya kepada orang lain."
Tiba-tiba terdengar ringkikan keledai dari belakang rumah. Si tetangga berkata, "Saya mendengar suara keledaimu dari belakang sana." Nasruddin yang terkejut segera menjawab, "Siapa yang kamu percaya? keledai atau Mullamu?"[22]
Beberapa anak melihat Nasruddin datang dari ladang anggur sambil membawa dua keranjang penuh anggur di atas keledainya. Mereka segera mengelilingi Nasruddin untuk mencicipi. Nasruddin mengambil setangkai anggur dan memberi masing-masing anak sebutir anggur. "Anda punya banyak sekali anggur," gerutu seorang anak, "kenapa memberi kami sangat sedikit?" Nasruddin menjawab, "Tidak ada bedanya jika kamu makan anggur sebutir atau sekeranjang penuh. Semua rasanya sama." Ia kemudian melanjutkan perjalanannya.[23]
Suatu hari, saat Nasruddin sedang minum kopi sambil duduk pada kursi favoritnya di sebuah kedai, seorang anak sekolahan datang dan memukul turbannya hingga jatuh. Seperti tidak terjadi apa-apa, ia mengambil turbannya dan memakainya kembali di kepalanya. Keesokan harinya, anak itu datang lagi saat Nasruddin duduk di kursi favorit yang sama dan kembali memukul turbanya hingga jatuh. Sekali lagi, Nasruddin menganggapnya seperti tidak terjadi apa-apa dan memakai turbannya kembali. Saat anak nakal itu melakukannya lagi pada hari yang berbeda, kawan-kawan Nasruddin menegurnya untuk menghukum si bocah. "Ck ck. Bukan seperti caranya."
Keesokan harinya, sepasukan prajurit yang menginvasi menduduki kota sehingga Nasruddin tidak duduk di tempat favoritnya seperti biasa. Di kursinya itu, duduk kapten pasukan penginvasi. Si anak lewat dan seperti biasa memukul turban yang ia kira adalah turban Nasruddin. Tanpa pikir panjang, si kapten segera memenggal kepala anak itu dengan sekali tebas.
Nasruddin berjalan di pasar sambil diikuti sekelompok besar pengikut. Apapun yang ia lakukan, para pengikutnya segera mengikuti. Setiap beberapa langkah, ia akan berhenti kemudian melambaikan tangannya ke udara, menyentuh kakinya, dan melompat sambil berseru, "Hu Hu Hu!" Pengikutnya juga berhenti dan melakukan persis sama seperti yang ia lakukan.
Salah satu pedagang yang kenal dekat dengan Nasruddin secara diam-diam bertanya kepadanya,"Apa yang kamu lakukan, kawan lamaku? Mengapa orang-orang ini menirumu?" "Aku menjadi Sheik Sufi," jawabnya, "Mereka ini adalah murid-muridku (pencari kebenaran spiritual); Aku menolong mereka untuk mencapai pencerahan."
"Bagaimana kamu tahu bilamana mereka telah mencapai pencerahan?" tanya di pedagang. "Itu merupakan bagian yang paling mudah!" jawab Nasruddin, "Setiap pagi aku menghitung jumlah mereka. Setiap orang yang tidak datang lagi - mereka telah memperoleh pencerahan!"
Joha (sebutan Nasruddin di Timur Tengah) diperolok-olok oleh sekelompok anak kecil yang mengikuti dirinya. Untuk mengusir mereka, Nasruddin berkata, "Tidakkah kalian tahu bahwa orang-orang pada pernikahan di sana membagi-bagikan kue-kue? Pergilah ke sana supaya kalian diberi kue!" Anak-anak kecil itu segera berlari ke arah yang ditunjuk oleh Nasruddin.
Melihat mereka berlarian, Nasruddin berseru, "Mengapa kalian berlari?" Anak-anak itu menjawab, "Orang-orang di pernikahan membagikan kue-kue!" Joha terdiam dan berpikir, "Mungkin memang benar ada orang-orang di sana yang membagikan kue-kue!" kemudian ikut berlari mengikuti mereka.
Suatu ketika Nasruddin sedang memperbaiki atap rumahnya. Ia menyandarkan tangga kayu kemudian naik ke atas atap dan mulai bekerja. Beberapa waktu kemudian, seorang pria tua berdiri di gerbang rumahnya dan mengucapkan salam, memanggil Nasruddin untuk turun menemuinya. Nasruddin pun turun dan menemui pria itu untuk menanyakan apa keperluannya. Sambil berbisik, pria itu berkata, "Apakah anda mempunyai sedikit sedekah untukku, sekadarnya saja?"
Kemudian Nasruddin membukakan gerbang dan mempersilahkan pria itu masuk. Ia mengajak tamunya naik ke atap melalui tangga kayu yang ia sandarkan di dinding. Setelah keduanya berada di atap, Nasruddin menjawab permintaan tamunya, "Tidak ada."
Suatu hari, Nasruddin meminjam periuk tetangganya. Ia mengembalikan periuk tersebut setelah beberapa hari. Tetangganya melongok ke dalam periuknya dan menemukan sebuah panci kecil di dalamnya, "Kok ada panci di sini?" Mulla Nasruddin menjawab, "Luar biasa! Periuknya mempunyai anak!" Si tetangga menertawakan kebodohan Nasruddin dan mengambil periuk beserta pancinya masuk ke dalam rumah.
Beberapa minggu kemudian, Nasruddin kembali meminjam periuknya. Dengan senang hati, si tetangga meminjamkan periuknya. Namun, kali ini, setelah berminggu-minggu Nasruddin belum juga mengembalikan periuk tersebut. Akhirnya ia datang menemui Nasruddin dan menanyakan periuknya itu. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," jawab Nasruddin, "periukmu sudah wafat." "Wafat?!" teriak tetangganya, "Sejak kapan ada periuk yang bisa wafat?" Nasruddin menjawabnya dengan lugas, "Sejak mereka bisa beranak."
Nasruddin bersama putranya berangkat ke pasar. Karena rasa sayangnya, ia mendudukkan putranya di atas keledai, sementara ia sendiri berjalan menuntun keledainya itu. Di tengah jalan, beberapa orang berceloteh bahwa kelakuan mereka itu tidak pantas. Mengapa seorang anak muda yang sehat duduk di atas keledai, sementara ayahnya yang tua berjalan di sampingnya. Nasruddin merasa malu sehingga ia menyuruh putranya turun dan ia sendiri yang menunggang keledai. Tapi kali ini pun orang-orang menganggapnya sangat tega kepada putranya sendiri, "Masa seorang ayah tega membiarkan putranya berjalan menuntun keledai, sementara ia enak-enakan duduk?"
Akhirnya Nasruddin menyuruh putranya ikut naik menunggangi keledai dan duduk di depannya, kali ini orang-orang menggerutu mengapa ayahnya membuat si anak yang mengusiri keledai. Saat ia menyuruh putranya duduk di belakang, orang-orang kembali berkomentar bahwa mereka berdua tidak berbelas-kasihan karena bersama-sama menunggangi keledai yang kecil. Dengan sebal, akhirnya Nasruddin kembali ke rumah, meletakkan keledainya di kandang, dan berjalan kaki ke pasar bersama putranya.
Ia kemudian menasihati putranya, "Nanti setelah kamu memiliki keledai, jangan pernah mencukur bulu ekornya di depan orang lain! Beberapa akan berkata kamu memotong terlalu banyak, sementara yang lain berkata kamu memotong terlalu sedikit. Jika kamu ingin menyenangkan semua orang, pada akhirnya keledaimu tidak akan memiliki ekor sama sekali."
Keluarga Nasruddin bukanlah keluarga yang kaya. Selama beberapa waktu, ia bekerja membeli garam di pasar kemudian menjualnya lagi di rumah. Keledai yang ia miliki tidak terlalu besar; setiap kali Nasruddin menumpuk beberapa karung garam di punggungnya, ia segera merasa kelelahan. Suatu hari, keledai itu terpeleset dan tercebur ke sungai sehingga sebagian garam yang ia angkut larut ke dalam air. Akibatnya beban yang ia bawa menjadi lebih ringan. Semenjak saat itu, si keledai selalu dengan sengaja menceburkan dirinya ke sungai di setiap perjalanan pulang.
Nasruddin memiliki ide untuk menghilangkan kebiasaan baru si keledai. Pada kesempatan berikutnya, ia tidak membeli garam melainkan beberapa karung kapuk. Kali ini si keledai tetap menceburkan diri, tetapi beban yang ia bawa malah semakin berat karena kapuk menyerap air. Semenjak saat itu, keledai itu tidak lagi menceburkan diri ke sungai setiap mereka pulang dari pasar.
Salah seorang murid Nasruddin adalah seorang ahli kitab yang terpelajar. Pada saat Nasruddin mengajar, ia sering menyela dan meralat perkataannya, sehingga lama-kelamaan Nasruddin berpikir bahwa hal tersebut tidak baik. Pada suatu kesempatan, Nasruddin memanggil si ahli dan berkata bahwa tiba-tiba ia merasa ingin berkebun. Ia meminta tolong kepadanya, karena ia dianggap pandai, untuk memilih benih yang bagus untuk dapat ia tanam. Dengan senang hati, si ahli kitab pergi ke pasar dan membeli sekantung benih untuk gurunya. Nasruddin mengamati benih-benih tersebut satu demi satu, tiba-tiba ia menunjuk sebutir benih dan berkata bahwa benih tersebut sangat istimewa, kemudian memisahkan benih tersebut dari yang lain.
Sementara benih-benih yang lain ditanam disirami air dan disinari matahari, Nasruddin meminta bantuan si ahli kitab untuk menumbuhkan sebutir benihnya yang istimewa. Setiap harinya, Nasruddin akan menyirami benih istimewa tersebut dengan membacakan ayat-ayat suci, sementara itu si ahli kitab yang pandai akan menyinarinya dengan lampu pelita selama Nasruddin membacakan ayat suci. Seminggu kemudian, benih-benih yang ditanam di halaman mulai menumbuhkan tunas, tetapi benih unggul Nasruddin masih sama sekali tidak berubah. Dengan nada heran, Nasruddin berkata, "Padahal benih ini setiap hari sudah disinari pelita pengetahuan dan disirami ayat-ayat suci, tetapi mengapa tidak tumbuh juga? Padahal ia sudah diperlakukan dengan istimewa."
Pertanyaan Nasruddin menyentak hati muridnya itu. Ia menitikkan air mata kemudian memeluk gurunya sambil memohon maaf. Sambil menitikkan air mata, Nasruddin membalas pelukan muridnya itu.
Bagi bangsa Uzbek, Nasruddin merupakan salah satu dari mereka, lahir dan tinggal di Bukhara.[19] Dalam perkumpulan, pertemuan keluarga, dan pesta-pesta, mereka saling menceritakan kisah-kisah Nasruddin yang dipanggil "latifa" atau "afandi". Setidaknya ada dua kumpulan kisah-kisah Nasriddin Afandi:
Tahun 1943, film Soviet berjudul Nasreddin in Bukhara disutradarai oleh Yakov Protazanov berdasarkan buku Solovyov. Diikuti pada tahun 1947 oleh sebuah film berjudul The Adventures of Nasreddin, disutradarai oleh Nabi Ganiyev dan juga dilatari pada Republik Sosialis Soviet Uzbekistan.[24][25]
Nasruddin menjadi tokoh utama dalam sebuah majalah berjudul Molla Nasraddin, diterbitkan di Azerbaijan dan "dibaca oleh masyarakat Muslim dari Morocco hingga Iran". Majalah satirikal dengan delapan halaman tersebut diterbitkan secara periodik di Tbilisi (dari 1906 sampai 1917), Tabriz (1921), dan Baku (dari 1922 hingga 1931) dalam bahasa Azeri dan terkadang dalam bahasa Rusia. Majalah yang dibuat oleh Jalil Mammadguluzadeh ini menggambarkan ketidakadilan sosial, asimilasi kultural, dan kesewenang-wenangan polisi serta mencemooh kehidupan terbelakang, nilai kependetaan, dan para fanatik,[26] secara jelas mengajak para pembacanya untuk lebih modern dan menerima budaya barat. Majalah ini dilarang beredar beberapa kali[27] tetapi memiliki pengaruh mendalam pada literatur Azerbaijani dan Iran.[28]
Beberapa kisah Nasruddin muncul dalam kumpulan cerita Aesop's fables; The miller, his son and the donkey adalah salah satu contohnya.[29] Kisah lain adalah The Ass with a Burden of Salt (Perry Index 180) dan The Satyr and the Traveller.
Pada beberapa kisah rakyat di Bulgaria yang berasal dari masa Kesultanan Utsmaniyah, namanya muncul sebagai tokoh antagonis dari seorang pria bijak lokal, dinamakan Sly Peter. Di Sisilia, kisah yang sama menyertakan seorang pria bernama Giufà.[30] Dalam kultur Sefardim,[31] yang tersebar di seluruh Kekaisaran Utsmaniyah, terdapat seorang tokoh bernama Djohá yang sering muncul dalam berbagai cerita.[32][33]
Meskipun Nasruddin umumnya muncul sebagai tokoh dalam kisah pendek, beberapa novel-novel maupun kisah panjang tentangnya juga ditulis, bahkan sebuah film animasi Nasruddin juga sempat hampir dibuat.[34] Di Rusia, sebagian besar orang mengenal Nasruddin dari novel "Tale of Hodja Nasreddin" yang ditulis oleh Leonid Solovyov (Translasi dalam Bahasa Inggris: "The Beggar in the Harem: Impudent Adventures in Old Bukhara," 1956, dan "The Tale of Hodja Nasreddin: Disturber of the Peace," 2009[35]). Komposer bernama Shostakovich menjadikan Nasruddin, dari antara tokoh-tokoh yang lain, pada pergerakan kedua (Yumor, 'Humor') dari Symphony No.13-nya. Catatan oleh Yevgeny Yevtushenko menggambarkan humor sebagai senjata melawan kediktatoran dan tirani. Musik Shostakovich memasukkan berbagai kualitas Nasruddin yang 'bodoh tetapi mendalam'.
Penganut kebatinan Graeco-Armenian bernama G. I. Gurdjieff sering menyatakan kepada "Mullah Nasr Eddin kami tersayang", juga menyebutnya seorang "guru tak terbandingkan", terutama dalam bukunya yang berjudul Beelzebub's Tales.[36] Filsuf sufi bernama Idries Shah menerbitkan beberapa kumpulan kisah Nasruddin dalam Bahasa Inggris, dan menekankan nilai ajaran yang terkandung.
Tinkle, buku komik anak-anak dari India, memasukkan Nasruddin Hodja sebagai tokoh yang sering muncul.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.