Loading AI tools
Rahib sekaligus teolog, sarjana dan orang kudus Kristen (sekitar 580 - 662) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Maksimus Pengaku Iman (bahasa Yunani: Μάξιμος ὁ Ὁμολογητής, Maksimos ho Homologetes), yang juga dikenal dengan nama Maksimus Teolog dan Maksimus dari Konstantinopel (Sekitar 580 – 13 Agustus 662), adalah seorang rahib sekaligus teolog dan sarjana Kristen.
Maksimus Pengaku Iman | |
---|---|
Pengaku Iman, Teolog, Homologetes | |
Lahir | Sekitar tahun 580 Haspin, Dataran Tinggi Golan[1] atau Konstantinopel |
Meninggal | 13 Agustus 662 Tsageri, sekarang di Georgia |
Dihormati di | Gereja Ortodoks Timur Gereja Katolik gereja Anglikan gereja Lutheran |
Kanonisasi | Prakongregasi |
Pesta | 13 Agustus (Penanggalan Gregorian), 21 Januari dan 13 Agustus (Penanggalan Yulian) |
Bagian dari seri tentang |
Gereja Ortodoks Timur |
---|
Ikhtisar |
|
Sebelum menjadi rahib, Maksimus adalah seorang pegawai aparatur sipil negara, bahkan terbilang salah seorang tangan kanan Kaisar Heraklius, tetapi akhirnya meninggalkan hiruk-pikuk dunia politik dan berkhalwat di biara. Maksimus menguasai ilmu filsafat dari berbagai aliran, dan sebagaimana yang lazim pada zamannya, mengenal baik karya-karya tulis dialog filsafat Plato maupun ulasan-ulasan aliran filsafat Plato tentang gagasan-gagasan Aristoteles dan Plato, misalnya karya-karya tulis Plotinus, Porfirius, Yamblikus, dan Proklus.
Ketika salah seorang sahabatnya mulai menyiarkan paham kristologis Monotelitisme, Maksimus ikut terseret ke dalam kontroversi yang timbul akibat paham tersebut, dan mengusung salah satu tafsir rumusan Kristologi Kalsedon yang mendasari penegasan bahwa Yesus memiliki kehendak insani maupun kehendak ilahi. Lantaran berpendirian seperti inilah Maksimus akhirnya dianiaya. Sesudah diadili, lidah dan tangan kanannya dimutilasi. Maksimus selanjutnya menjalani pengasingan sampai akhir hayatnya pada tanggal 13 Agustus 662 di Tsageri (sekarang di Georgia). Meskipun demikian, pendirian teologisnya dibenarkan Konsili Konstantinopel III, dan Maksimus sendiri dihormati sebagai orang kudus tidak lama sesudah wafat.
Jarang sekali ada orang kudus seperti Maksimus yang diperingati dua kali dalam setahun, yakni setiap tanggal 13 Agustus dan 21 Januari. Gelar "Pengaku Iman" yang disandangkan kepada dirinya menandakan bahwa Maksimus sudah menderita sengsara demi iman Kristen, tetapi tidak langsung mati syahid. Maksimus dihormati sebagai orang kudus di Gereja Ortodoks Timur maupun di Gereja Katolik.
Sedikit sekali informasi yang tersedia mengenai riwayat hidup Maksimus sebelum terlibat dalam konflik-konflik teologis dan politik yang dipicu kontroversi Monotelitisme.[2] Banyak sarjana yang mendalami riwayat hidup dan karya-karya tulis Maksimus mempertanyakan banyak sekali keterangan tentang dirinya yang tersaji di dalam biografi Maronit, antara lain keterangan bahwa "Maksimus lahir di Palestina", ungkapan yang lazim dipakai pada abad ke-7 untuk menjatuhkan citra lawan. Selain itu, taraf pendidikan Maksimus yang nyata-nyata sangat tinggi mustahil dicapai lewat bangku pendidikan di daerah mana pun di Kekaisaran Romawi Timur selain Konstantinopel, dan mungkin sekali Kaisarea serta Aleksandria. Mustahil pula "orang dari kalangan bawah", yakni gambaran tentang Maksimus di dalam biografi Maronit, saat baru berumur tiga puluh tahun sudah berhasil menjabat sebagai protoasekretis (panitera utama) majelis istana Kaisar Heraklius, salah satu jabatan dengan kewenangan yang sangat besar di Kekaisaran Romawi Timur. Lebih mungkin Maksimus berasal dari keluarga ningrat, dan mengenyam pendidikan terbaik pada zamannya di bidang filsafat, matematika, astronomi, dan sebagainya. Meskipun demikian, Maksimus memang tidak belajar ilmu retorika, sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam karya tulisnya yang pertama, Ambigua ad Iohannem,[3] karena kelemahannya dalam mengungkapkan gagasan dengan gaya bahasa yang berbunga-bunga sesuai kaidah-kaidah baku dalam berbudi bahasa di Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun demikian, karena alasan-alasan yang tidak terungkap di dalam segelintir fakta otobiografis yang dapat dihimpun dari karya-karya tulisnya, Maksimus meninggalkan gegap gempita kehidupan duniawi dan mengikrarkan kaul zahid di biara tempat Panglima Filipikus pernah dipaksa berkhalwat, tepatnya di kota Krisopolis (sekarang Üsküdar, Turki). Kemudian hari Maksimus menjadi abas di biara itu.[4]
Tatkala bangsa Persia menduduki Anatolia, Maksimus terpaksa mengungsi ke sebuah biara di dekat kota Kartago. Di biara inilah ia menerima bimbingan langsung dari Santo Sofronius, dan bersama-sama pembimbingnya mempelajari dengan cermat karya-karya tulis kristologis Gregorius dari Nazianzus dan Dionisius Ahli Areopagus. Menurut I.P. Sheldon-Williams, pencapaian Maksimus adalah berhasil menata doktrin-doktrin yang dikemukakan karya-karya tulis tersebut di dalam suatu kerangka logika filsafat Aristoteles, sehingga menjadi selaras dengan semangat zamannya sekaligus semakin sukar disalahtafsirkan.[5] Selama berdiam di Kartago, Maksimus terus berkiprah sebagai teolog maupun pujangga rohani,[6] bahkan menjadi tokoh yang disegani Eksarkus Gregorius (Wali Negeri Afrika) dan Eparkus Georgius (Wali Kota Kartago).[7]
Sewaktu Maksimus tinggal di Kartago, timbul kontroversi seputar upaya memahami interaksi antara kodrat insani dan kodrat ilahi di dalam pribadi Yesus. Debat kristologis ini adalah buntut dari selisih paham yang timbul seusai penyelenggaraan Konsili Nikea I tahun 325, dan kian meruncing seusai penyelenggaraan Konsili Kalsedon tahun 451. Monotelitisme (ajaran tentang satu kehendak) digagas sebagai jalan tengah yang diharapkan mampu merukunkan golongan pengusung Diofisitisme dengan golongan pengusung Miafisitisme yang yakin bahwa Diofisitisme secara konseptual tidak dapat dibedakan dari Nestorianisme. Pengusung Monotelitisme menganut ajaran Konsili Kalsedon tentang kemanunggalan hipostatis, yakni ajaran bahwa kodrat ilahi dan kodrat insani manunggal di dalam pribadi Kristus. Meskipun demikian, pengusung Monotelitisme melangkah lebih jauh lagi dengan mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki kehendak ilahi, dan tidak memiliki kehendak insani.
Monotelitisme dipromulgasi Batrik Konstantinopel Sergius I bersama Pirus, sahabat sekaligus pengganti Maksimus selaku abas biara Krisopolis.[8] Sesudah Batrik Sergius mangkat pada tahun 638, Pirus menjadi Batrik Konstantinopel menggantikannya, tetapi dipecat tidak lama kemudian lantaran alasan politik. Semasa Pirus menjalani hukuman pengasingannya dari Konstantinopel, Maksimus menantangnya berdebat secara terbuka mengenai Monotelistisme. Di dalam acara debat yang disaksikan uskup-uskup Afrika Utara itu, Maksimus mempertahankan pendiriannya bahwa Yesus memiliki kehendak ilahi maupun kehendak insani. Pirus akhirnya insyaf serta mengakui kekeliruan Monotelitisme di ujung debat, dan Maksimus menemaninya berkunjung ke Roma pada tahun 645.[9]
Maksimus mungkin tetap tinggal di Roma, karena ia hadir saat Paus Martinus I yang baru saja terpilih menggelar Konsili Lateran tahun 649 di Basilika Lateran, Roma.[10] Dengan suara bulat, 105 orang uskup yang hadir mengutuk Monotelitisme di dalam akta resmi persidangan, yang diyakini sebagian pihak ditulis Maksimus.[11] Di kota Roma pula Paus Martinus dan Maksimus ditangkap pada tahun 653 atas titah Kaisar Konstans II yang mendukung Monotelitisme. Sri Paus diputuskan bersalah tanpa diadili, dan wafat sebelum diberangkatkan ke ibu kota kekaisaran.[12]
Lantaran tidak bersedia menerima Monotelitisme, Maksimus diberangkatkan ke ibu kota Konstantinopel untuk diadili dengan dakwaan bidat pada tahun 658. Di Konstantinopel, Monotelitisme sudah mendapatkan dukungan kaisar maupun Batrik Konstantinopel. Maksimus dengan setia berpegang teguh kepada paham Diotelitisme (ajaran tentang dua kehendak), akibatnya ia dijatuhi pidana pengasingan selama empat tahun lagi. Dalam persidangan, Maksimus didakwa membantu usaha penaklukan kaum Muslim di Mesir dan Afrika Utara. Dakwaan ini ia tolak mentah-mentah, dan ia sebut sebagai fitnah yang keji.[13][14]
Pada tahun 662, Maksimus sekali lagi diadili dengan dakwaan bidat, dan sekali lagi diputuskan bersalah. Usai disidang, lidahnya dipotong supaya tidak lagi dapat menyuarakan penentangannya, dan tangan kanannya dipotong agar tidak lagi dapat menyurati orang lain.[15] Maksimus selanjutnya diasingkan ke daerah Lazika atau Kolkhis yang sekarang termasuk wilayah negara Georgia, dan ditahan di benteng Skemarum, mungkin Muris-Tsikhe, dekat kota Tsageri sekarang.[16] Ia wafat tidak lama kemudian, pada tanggal 13 Agustus 662.[17][18] Pengadilan dan pengasingan yang dijalani Maksimus dicatat Anastasius Pustakawan, kepala arsiparis Gereja Roma.[19]
Pendirian teologis Maksimus dan Paus Martinus I dibenarkan Konsili Konstantinopel III tahun 680–681, yang menegaskan bahwa Kristus memiliki kehendak insani maupun kehendak ilahi. Dengan dikeluarkannya penegasan ini, Monotelitisme dianggap bidat, dan Maksimus secara anumerta dinyatakan tidak bersalah.[20]
Maksimus termasuk salah seorang tokoh Kristen yang dihormati sebagai orang kudus tidak lama sesudah wafat. Pembenaran terhadap pendirian teologisnya menjadikan Maksimus sangat populer satu generasi sesudah ia wafat, apalagi tersiar kabar tentang terjadinya berbagai mukjizat di makamnya.[21]
Maksimus adalah salah seorang tokoh terakhir yang diakui sebagai Bapa Gereja oleh Gereja Ortodoks maupun Gereja Katolik. Di dalam ensiklik Spe Salvi tahun 2007, Paus Benediktus XVI menyebut Maksimus sebagai 'Doktor Besar Gereja Yunani', kendati tidak jelas apakah Sri Paus bermaksud menominasikan Maksimus sebagai salah seorang Doktor Gereja atau sekadar menandaskan bahwa Maksimus memang adalah seorang Doktor Gereja.[22]
Selaku pengikut ajaran Pseudo-Dionisius Ahli Areopagus, Maksimus adalah salah seorang di antara banyak teolog Kristen yang melestarikan dan menafsirkan filsafat Neoplatonisme terdahulu, termasuk gagasan-gagasan para filsuf seperti Plotinus dan Proklus. Karya tulis Maksimus mengenai ketokohan dan ajaran Pseudo-Dionisius Ahli Aeropagus diteruskan Yohanes Skotus Eriugena atas permintaan Kaisar Karel Bulus.[23]
Pengaruh filsafat Plato terhadap penalaran Maksimus jelas sekali tampak pada antropologi teologisnya. Dalam hal ini, Maksimus mengadopsi pola exitus-reditus (ulang-alik) filsafat Plato, dengan mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah, dan tujuan keselamatan adalah untuk memulihkan persatuan manusia dengan Allah.[24] Penitikberatan pengilahian atau teosis ini mempermudah Maksimus mendapatkan tempat di dalam ruang lingkup teologi Kristen Timur, karena konsep-konsep tersebut senantiasa dijunjung tinggi di lingkungan Kristen Timur.[25]
Di ranah Kristologi, Maksimus menganut Diofisitisme garis keras, yang dapat dipandang sebagai korolarium (imbas) dari penitikberatan teosis. Dalam kaitannya dengan keselamatan, manusia dimaksudkan untuk bersatu secara paripurna dengan Allah. Bagi Maksimus, persatuan yang demikian sangat tidak mustahil terwujud, karena Allah yang pertama-tama bersatu secara paripurna dengan manusia di dalam inkarnasi.[23] Jika Kristus tidak menjadi manusia secara paripurna (misalnya, andaikata Kristus hanya memiliki kehendak ilahi dan tidak memiliki kehendak insani), maka keselamatan tidak lagi mungkin terwujud, karena manusia tidak dapat menjadi ilahi secara paripurna.[26] Selain itu, Maksimus Pengaku Iman mendalilkan ketidakbersyaratan inkarnasi ilahi di dalam karya-karya tulisnya.[27]
Di ranah gagasan tentang keselamatan, Maksimus dianggap sebagai penganjur apokatastasis atau rekonsiliasi universal, yakni gagasan bahwa segala jiwa berakal budi pada akhirnya akan ditebus, sama seperti Origenes dan Santo Gregorius dari Nisa.[28] Meskipun anggapan ini sudah disanggah,[29] sebagian pihak berkilah bahwa Maksimus mengajarkan keyakinan akan rekonsiliasi universal ini kepada murid-muridnya yang sudah betul-betul dewasa secara rohani.[30]
Di lingkungan Kristen Timur, Maksimus senantiasa berpengaruh.[31] Sejumlah karya tulisnya diikutsertakan di dalam Filokalia, bunga rampai karya tulis para pujangga Kristen Ortodoks yang paling berpengaruh.[31]
Karya tulis yang dinisbatkan kepada Maksimus
Bunga rampai
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.