Loading AI tools
Khalifah Umayyah Keempat (684-685) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Marwan bin al-Hakam bin Abi'l Ash (bahasa Arab: مروان بن الحكم بن أبي العاص) atau Marwan I (lahir sekitar 623–626 — meninggal April/Mei 685) adalah khalifah Umayyah keempat, yang berkuasa kurang dari setahun pada 684–685. Ia adalah khalifah pertama dari trah Marwani (Marwan dan keturunannya), yang menjadi penguasa Umayyah menggantikan khalifah-khalifah Sufyani (keturunan Abu Sufyan) yang kekuasaannya runtuh akibat Perang Saudara Islam II.
Marwan bin al-Hakam مروان بن الحكم | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Amirul Mukminin Khalīfah | |||||||||
Khalifah Kekhalifahan Umayyah ke-4 | |||||||||
Berkuasa | Juni 684 – 12 April 685 | ||||||||
Pendahulu | Muawiyah bin Yazid | ||||||||
Penerus | Abdul Malik bin Marwan | ||||||||
Kelahiran | 623 atau 626 | ||||||||
Kematian | 685 (sekitar 63 tahun) Damaskus atau ash-Shinnabra | ||||||||
Pasangan | Lihat rincian | ||||||||
Keturunan |
| ||||||||
| |||||||||
Wangsa | Umayyah (trah Marwani) | ||||||||
Ayah | Hakam bin Abi'l-Ash | ||||||||
Ibu | Aminah binti 'Alqamah al-Kinaniyyah | ||||||||
Agama | Islam |
Marwan memulai kiprahnya pada masa pemerintahan sepupunya, Khalifah Utsman bin Affan (memerintah 644–656), saat ia menjabat sebagai katib (sekretaris) dan menjadi orang kepercayaan Utsman. Ia terluka saat menghadapi pemberontak yang mengepung rumah Utsman dan membunuh sang khalifah. Sebagai pembalasan atas kematian Utsman, ia membunuh sahabat Nabi Thalhah bin Ubaidillah (yang ia anggap bersalah) dalam Pertempuran Jamal, saat Marwan maupun Thalhah sama-sama bertempur di kubu Aisyah melawan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib (memerintah 656–661). Marwan kemudian menjadi wali negeri Madinah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan (661–680), seorang kerabatnya yang mendirikan kekhalifahan Umayyah. Pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah (680–683), Perang Saudara Islam II pecah dan Marwan memimpin kubu Umayyah di Madinah melawan para penentangnya. Setelah meninggalnya Yazid pada November 683, pemimpin anti-Umayyah di Hijaz, Abdullah bin az-Zubair, menyatakan diri sebagai khalifah dan berhasil mengusir Marwan dan kabilah Banu Umayyah dari Madinah ke negeri Syam, pusat kekuasaan dinasti tersebut. Khalifah selanjutnya, Muawiyah bin Yazid, meninggal pada 684 dan kekuasaan Umayyah menyusut hanya di sebagian Syam. Banyak wilayah yang menyatakan tunduk kepada Ibnu az-Zubair. Marwan mengajukan diri sebagai khalifah pengganti Muawiyah bin Yazid dalam pertemuan kabilah-kabilah pro-Umayyah di Jabiyah di bawah pimpinan Ibnu Bahdal dari Banu Kalb. Para pemuka kabilah ini setuju memilih Marwan dan mereka mengalahkan pasukan Qais yang memihak Ibnu az-Zubair dalam Pertempuran Marj Rahith pada Agustus 684.
Dalam waktu beberapa bulan, Marwan menyusun kekuatan Umayyah dan merebut kembali wilayah Mesir, Palestina, dan Syam Utara, yang sebelumnya telah tunduk pada Ibnu az-Zubair. Ia mengirim pasukan untuk merebut kembali Irak, tetapi ia meninggal saat pasukan tersebut masih dalam perjalanan. Sebelum ia meninggal, ia memastikan anak-anaknya memiliki posisi yang kuat: Abdul Malik bin Marwan ditunjuk sebagai khalifah penerusnya, Abdul Aziz menjadi wali negeri Mesir, dan Muhammad menjadi panglima di kawasan Mesopotamia Hulu. Abdul Malik akan menyatukan kembali kekhalifahan, dan anak cucu Marwan akan terus menguasai kekhalifahan hingga digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750. Marwan memiliki reputasi beragam: sejarawan Clifford E. Bosworth menyebutnya sebagai panglima dan negarawan yang cerdik, cakap, tegas, dan berhasil melanggengkan kekhalifahan Umayyah, sedangkan riwayat-riwayat Muslim anti-Umayyah mengejeknya sebagai abūʾl-jabābirah (bapak para tiran).
Marwan lahir pada tahun 2 atau 4 H (623 atau 626 M). Ayahnya bernama Al-Hakam bin Abi'l-Ash, dari kabilah Banu Umayyah yang merupakan kabilah terkemuka dari suku Quraisy, yang ketika itu menguasai kota Mekkah di barat Semenanjung Arabia.[2][3] Suku Quraisy (yang sebelumnya menganut kepercayaan Arab pra-Islam) sebagian besar memeluk Islam sekitar tahun 630 setelah Penaklukan Mekkah oleh Muhammad, nabi umat Islam yang juga berasal dari suku tersebut.[4] Marwan sempat mengenal Muhammad pada masa hidupnya sehingga ia termasuk golongan sahabat Nabi.[2] Sementara itu, ibu Marwan bernama Aminah binti Alqamah dan berasal dari kabilah Banu Kinanah, kabilah besar bangsa Arab yang menempati wilayah barat daya Mekkah hingga Tihamah,[2] dan merupakan kabilah nenek moyang suku Quraisy.[5]
Marwan turut serta dalam pemerintahan Khalifah 'Utsman bin 'Affan (berkuasa 644—656 M), yang juga merupakan sepupunya.[2] Ia turut serta dalam perang melawan Kekaisaran Romawi Timur di Ifriqiyah (Afrika Utara bagian tengah), dan mendapat harta rampasan perang yang cukup banyak.[2][6] Inilah modal awal kekayaan Marwan, dan sebagian ia investasikan dalam tanah dan bangunan di Madinah,[2] ibu kota kekhalifahan. Pada tanggal yang tidak diketahui pasti, ia ditunjuk menjadi wali negeri (gubernur) di Fars. Setelah itu, ia kembali ke Madinah untuk menjadi katib (sekretaris atau juru tulis khalifah) dan kemungkinan juga sebagai bendahara baitul mal.[2][7] Sejarawan Clifford E. Bosworth menyebut bahwa karena kedudukannya ini Marwan "tak diragukan lagi membantu" dalam penyusunan mushaf Al-Qur'an pada masa Utsman.[2]
Menurut sejarawan Hugh N. Kennedy, Marwan adalah "tangan kanan" Utsman.[8] Menurut riwayat-riwayat Muslim, anggota Quraisy yang sebelumnya mendukung Utsman perlahan-lahan menarik dukungannya akibat kedekatannya dengan Marwan, yang dianggap sebagai penyebab keputusan-keputusan kontroversial Utsman.[7][9][10] Sejarawan Fred Donner meragukan riwayat-riwayat ini karena ia menganggap tidak mungkin Utsman dipengaruhi begitu saja oleh Marwan yang jauh lebih muda dan karena tidak adanya tuduhan yang bersifat spesifik terhadap Marwan. Donner juga menduga bahwa ada kemungkinan "upaya dari tradisi Muslim zaman selanjutnya untuk menyelamatkan reputasi Utsman sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin dengan menjadikan Marwan ... kambing hitam atas peristiwa-peristiwa memilukan pada akhir dua belas tahun pemerintahan Utsman."[7]
Kekisruhan terjadi pada tahun-tahun akhir pemerintahan Utsman akibat kebijakannya yang dianggap memihak kerabat sendiri, serta pengambilalihan tanah oleh negara di Irak.[lower-alpha 1] Hal ini memicu perlawanan dari kalangan Quraisy dan dari pihak-pihak yang dirugikan di Mesir dan Kufah.[12] Pada awal 656, para pemberontak dari Mesir dan Kufah memasuki Madinah untuk menekan Utsman agar ia membatalkan kebijakannya.[13] Marwan menyarankan tindakan keras terhadap mereka,[14] tetapi Utsman memilih menghindari pertumpahan darah dan membuat perjanjian dengan kelompok Mesir yang merupakan kelompok penentang paling besar dan aktif.[15] Saat dalam perjalanan kembali ke Mesir, kelompok ini menemukan surat atas nama Utsman yang berisi perintah agar wali negeri Mesir, Abdullah bin Sa'ad, melakukan tindakan keras terhadap para pemberontak.[15] Alhasil, kelompok ini kembali ke Madinah dan mengepung kediaman Utsman pada Juni 656.[15] Utsman menyatakan bahwa ia tidak tahu tentang surat tersebut; terdapat kemungkinan bahwa Marwanlah yang menulisnya tanpa sepengetahuan Utsman.[15] Sang khalifah memerintahkan agar para pengikutnya tidak ikut melawan para pengepung karena hanya ialah yang menjadi sasaran kemarahan mereka.[16] Bertentangan dengan perintah ini, Marwan aktif melindungi Utsman dan sempat terluka parah di lehernya saat ia menantang para pengepung di pintu kediaman Utsman.[2][7][17] Menurut sumber tradisional, ia selamat karena campur tangan ibu susunya, Fatimah binti Aus. Fatimah memasang badan untuk melindungi Marwan yang sudah tidak berdaya dan menyebut bahwa ia telah mati sehingga penyerangnya, Ubaid bin Rifa'ah, pergi. Marwan lalu dibawa ke rumah Fatimah oleh ibu susunya itu dengan bantuan pelayan Marwan yang bernama Abu Hafsah.[17] Tak lama kemudian, Utsman dibunuh oleh para pemberontak.[15]
Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah menggantikan Utsman, tetapi terjadi perlawanan oleh pihak-pihak yang ingin agar Ali mengambil tindakan tegas mengukum para pembunuh Utsman.[18] Hal ini memicu Perang Saudara Islam I,[19] dan pihak penentang Ali dipimpin oleh Aisyah, salah seorang ummul mu'minin atau istri Muhammad.[20] Marwan awalnya berada di pihak Aisyah, dan ikut bertempur dalam Pertempuran Jamal pada Desember 656.[2] Dalam pertempuran ini, ia membunuh Thalhah bin Ubaidillah yang juga berada di pihak Aisyah tetapi menurut Marwan merupakan salah satu dalang pembunuhan Utsman.[2] Saat pasukan Aisyah sedang dipukul mundur dalam pertempuran jarak dekat dengan pasukan Ali, Marwan memanah Thalhah hingga mengenai pembuluh darah di bawah lututnya. Menurut sejarawan Wilferd Madelung, Marwan sengaja melakukan ini ketika posisi kubu Aisyah sudah di ambang kekalahan sehingga Aisyah tidak dapat menindaknya atas perbuatan ini.[21] Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan Ali, dan Marwan pun menyatakan baiat kepada sang khalifah.[2] Setelah Marwan dimaafkan oleh Ali, ia berangkat ke Syam yang dikuasai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, wali negeri Syam yang menolak untuk berbaiat kepada Ali, dan merupakan kerabatnya dari Banu Umayyah.[22] Marwan berada di pihak Muawiyah saat bertempur melawan Ali dalam Pertempuran Shiffin dekat Ar-Raqqah pada tahun 657.[23] Pertempuran ini berakhir tanpa pemenang yang jelas, dan diikuti dengan sebuah tahkim (arbitrase) yang juga gagal menghentikan perselisihan antara kedua pihak.[24]
Khalifah Ali dibunuh pada tahun 661 oleh anggota Khawarij, golongan yang menolak kepemimpinan Ali maupun Muawiyah. Putranya yang bernama Hasan bin Ali memegang tampuk kekhalifahan berikutnya.[25] Untuk mencegah berlanjutnya perang saudara, Hasan membuat perjanjian dengan Muawiyah dan menyerahkan posisi khalifah ke tangan wali negeri Syam tersebut. Muawiyah memasuki Kufah, ibu kota kekhalifahan sejak masa Ali dan pusat kekuasaan Hasan, pada Juli atau September 661 dan peristiwa ini mengawali berdirinya Kekhalifahan Umayyah.[25][26] Marwan awalnya menjadi wali negeri Umayyah di Arabia Timur (Bahrayn) dan kemudian menjadi wali negeri Madinah pada 661–668 dan 674–677.[2] Di antara dua periode tersebut, posisi wali negeri Madinah dipegang oleh anggota Banu Umayyah yang lain, yaitu Said bin al-Ash dan Al-Walid bin Utbah.[2] Madinah sebelumnya adalah ibu kota kekhalifahan hingga kematian Utsman, tetapi pada masa Muawiyah Madinah hanyalah ibu kota wilayah (provinsi) sedangkan ibu kota kekhalifahan berada di Damaskus.[27] Sekalipun tidak lagi menjadi ibu kota negara, Madinah tetap menjadi pusat kebudayaan Arab dan keilmuan Islam, serta tempat tinggal pemuka-pemuka kabilah.[28] Para pemuka kabilah di Madinah, termasuk banyak anggota Banu Umayyah, tidak menyukai turunnya posisi mereka dan naiknya Muawiyah. Menurut sejarawan Julius Wellhausen, turunnya posisi Marwan (yang menjadi tangan kanan khalifah pada masa Utsman) menjadi hanya wali negeri Madinah pada menimbulkan rasa iri pada Marwan terhadap kerabatnya Muawiyah yang berkuasa sebagai khalifah.[29]
Pada masa jabatan pertamanya, Marwan memperoleh tanah yang luas dari Mu'awiyah di daerah Fadak, Arabia Utara, yang kemudian ia bagikan kepada anaknya Abdul Malik dan Abdul Aziz.[2] Masa jabatan pertama ini berakhir saat ia diberhentikan Muawiyah, yang menyebabkan Marwan marah, menemui Muawiyah di Damaskus dan keduanya bertengkar hingga mengeluarkan kata-kata kasar.[30] Muawiyah menjelaskan tiga alasan pencopotannya: penolakan Marwan menjalankan perintah penyitaan harta Abdullah bin Amir, kerabat mereka yang diberhentikan dari jabatan wali negeri Bashrah; penentangan Marwan terhadap pengangkatan Ziyad bin Abihi (pengganti Abdullah bin Amir yang asal usul keturunannya tidak jelas) oleh Muawiyah sebagai saudaranya sendiri (pernyataan ini ditentang banyak anggota Banu Umayyah), dan penolakan Marwan membantu putri sang khalifah Ramlah binti Muawiyah dalam masalah rumah tangganya dengan suaminya Amr bin Utsman bin Affan.[30] Saat Hasan bin Ali meninggal pada 670, Marwan termasuk salah satu yang menolak jenazah Hasan dikebumikan bersama Muhammad, Abu Bakar, dan Umar yang dimakamkan di Masjid Nabawi.[31] Alhasil, adik Hasan yaitu Husain beserta kabilah Bani Hasyim memutuskan untuk memakamkan cucu Muhammad tersebut di Jannatul Baqi.[31] Akhirnya, Marwan turut serta dalam prosesi pemakaman dan memuji Hasan sebagai seseorang dengan "kesabaran sebesar gunung-gunung."[32]
Menurut Bosworth, Mu'awiyah mungkin menaruh curiga terhadap ambisi Marwan maupun anggota-anggota Umayyah dari trah Abu'l-Ash pada umumnya. Cabang dinasti tersebut jauh lebih besar daripada trah Abu Sufyan seperti Muawiyah.[33] Marwan adalah salah satu anggota Banu Umayyah paling tua dan terkemuka ketika itu, sedangkan selain Muawiyah tidak banyak keturunan Abu Sufyan yang dewasa dan berpengalaman cukup.[33] Bosworth menduga, "mungkin saja ada kekhawatiran terhadap trah Abu'l Ash yang memaksa Muawiyah ... mengambil langkah tidak umum yaitu menetapkan anaknya Yazid sebagai pewaris kekhalifahan semasa hidupnya."[33] Tindakan Muawiyah ini merupakan hal baru dalam politik umat Islam: pergantian kekhalifahan yang sebelumnya dilakukan dengan pemilihan atau syura berubah menjadi sistem keturunan. Keputusan ini juga menjadi basis kecaman terhadap Banu Umayyah di sebagian kalangan Muslim masa berikutnya, karena dianggap mengubah sistem kekhalifahan menjadi kerajaan.[34][35]
Sebelumnya, Marwan pernah mendesak Amr bin Utsman bin Affan (juga dari trah Abu'l-Ash) untuk mengklaim jabatan khalifah berdasarkan posisi ayahnya, tetapi Amr tidak tertarik.[36] Marwan dengan berat hati menerima ketetapan Muawiyah menunjuk Yazid pada 676, tetapi diam-diam mendorong Said, putra Utsman yang lain, untuk menentang keputusan ini.[37] Said sendiri cukup puas ketika Muawiyah mengangkatnya sebagai panglima di Khurasan (wilayah paling timur kekhalifahan masa itu) sehingga tidak berambisi mengambil posisi khalifah.[38]
Muawiyah meninggal pada tahun 680 dan digantikan oleh Yazid. Masyarakat Hijaz (termasuk Mekkah dan Madinah) tidak mengakui kekuasaan Yazid.[33] dan tokoh-tokoh utama Islam yang memiliki garis keturunan khalifah yaitu Husain bin Ali, Abdullah bin az-Zubair, dan Abdullah bin Umar, semuanya menolak melakukan baiat.[39][40] Marwan sebagai pemuka Banu Umayyah di kawasan Hijaz menganggap Husain dan Ibnu az-Zubair sebagai dua tokoh yang paling berbahaya, dan menyarankan agar Al-Walid bin Utbah, wali negeri Madinah, memaksa keduanya berbaiat.[41][42] Ibnu Umar sendiri tak lama kemudian berbaiat kepada Yazid.[43] Menurut catatan Ibnu Jarir ath-Thabari, Husain datang saat dipanggil Al-Walid dan menolak berbaiat dalam pertemuan rahasia itu, tetapi menawarkan untuk berbaiat di hadapan umum di kemudian hari. Al-Walid setuju, tetapi Marwan (yang juga hadir di pertemuan ini) mengkritik keputusan ini dan mendesak Al-Walid menahan Husain hingga ia berbaiat, atau membunuhnya jika ia tidak setuju. Husain lalu mencela Marwan dan meninggalkan pertemuan tersebut, sementara Al-Walid tidak sampai hati bertindak keras kepadanya.[44] Husain akhirnya berangkat ke Kufah dan memimpin pemberontakan anti-Umayyah di kota tersebut hingga ia terbunuh oleh pasukan Yazid dalam Pertempuran Karbala pada Oktober 680.[45]
Sementara itu, Ibnu az-Zubair mengelak dari panggilan Al-Walid dan bertolak ke Mekkah. Ia mengumpulkan pendukungnya di sekitar Ka'bah, tempat suci umat Islam dan tempat yang dianggap haram untuk pertumpahan darah.[46] Beberapa riwayat menyebutkan bahwa saat Yazid mengirim utusan untuk berunding, Marwan mengirim pesan rahasia memperingatkan Ibnu az-Zubair agar tidak tunduk pada sang khalifah Umayyah.[47] Namun, tidak semua riwayat menyebutkan hal ini dan Wellhausen menganggap kisah ini patut dipertanyakan.[48] Pada 683, penduduk Madinah bergerak menyerang Banu Umayyah di kota tersebut, dan mereka terkepung dan berlindung di kawasan sekitar rumah Marwan.[49] Marwan meminta bantuan dari Damaskus, dan pada akhir 683 ia mengirimkan pasukan yang dipimpin Muslim bin Uqbah untuk menegakkan kekuasaan Umayyah di Hijaz.[49][33] Sementara itu, para anggota Banu Umayyah yang terkepung di Madinah akhirnya terusir, dan sebagian (termasuk Marwan dan anggota trah Abu'l-Ash) bergabung dengan pasukan Ibnu Uqbah.[33] Pasukan Umayyah dan penduduk Madinah bertempur dalam Pertempuran al-Harrah, yang dimenangkan pihak Umayyah setelah Marwan membawa pasukan berkudanya menembus Madinah dan menyerang pasukan penduduk Madinah dari belakang.[50] Meski berhasil mencapai kemenangan, pasukan Umayyah mundur kembali ke Syam karena Yazid meninggal pada 683.[51] Setelah itu, Ibnu az-Zubair menyatakan diri khalifah dengan ibu kota Mekkah, sehingga kekhalifahan terbelah antara khalifah di Syam dan khalifah di Hijaz. Tak lama kemudian, sebagian besar wilayah kekhalifahan tunduk padanya, termasuk Mesir, Irak dan Yaman.[52] Marwan dan anggota Banu Umayyah yang menetap di Madinah terusir lagi dari kota tersebut, dan tanah milik mereka diambil oleh pengikut Ibnu az-Zubair.[33]
Putra Yazid yang masih muda, Mu'awiyah bin Yazid (disebut juga Muawiyah II), diangkat sebagai khalifah yang baru. Pada awal tahun 684, Marwan telah berada di Syam, kemungkinan di Tadmur atau di istana khalifah di Damaskus.[33] Muawiyah II meninggal setelah beberapa minggu menjabat khalifah. Para wali negeri di distrik-distrik militer (jund) di Syam, termasuk Filasthin (Palestina), Hims, dan Qinnasrin, berpindah ke kubu Ibnu Az-Zubair.[33] Alhasil, menurut Bosworth Marwan "putus asa akan masa depan dinasti Umayyah sebagai penguasa" dan hampir saja mengakui kekhalifahan Ibnu az-Zubair. Namun, ia mendapat dukungan dari Ubaidillah bin Ziyad, wali negeri Umayyah yang tersingkir dari Irak, yang membujuknya untuk mengajukan diri sebagai pengganti Muawiyah II dalam pertemuan kabilah-kabilah pendukung Umayyah yang sedang berlangsung di Jabiyah.[33] Pengajuan-pengajuan khalifah yang terjadi menunjukkan keragaman prinsip pergantian kepemimpinan yang ada di kalangan umat Islam pada masa itu.[53] Para pendukung Ibnu az-Zubair mengusung prinsip penunjukan pemimpin yang dianggap paling Islami dan saleh,[53] sedangkan para pendukung Umayyah mempertimbangkan dua calon khalifah dengan prinsipnya masing-masing. Khalid bin Yazid (adik Muawiyah II dan cucu Muawiyah I) diusung berdasarkan prinsip garis keturunan langsung, dan Marwan diusung berdasarkan norma adat yaitu memilih pemimpin yang paling bijaksana, cakap, dan berasal dari garis keturunan terkemuka.[54]
Penggagas pertemuan tersebut, Hassan bin Malik bin Bahdal, pemimpin Banu Kalb, awalnya mendukung Khalid bin Yazid.[33][8] Hassan bin Malik sendiri memiliki hubungan kekerabatan dengan Banu Umayyah trah Abu Sufyan lantaran bibinya, Maysun binti Bahdal, adalah istri Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan ibu Yazid.[51] Namun usia Khalid yang masih belia menjadikan kepala kabilah lain, seperti Rauh bin Zinba' dari Banu Judzam dan Husain bin Numair dari Banu Kindah, lebih mendukung Marwan yang dianggap berpengalaman secara politik dan militer.[33][55] Sejarawan Ibnu Wadhih al-Ya'qubi mencatat pernyataan Rauh mendukung Marwan: "Hai orang-orang Syam! Inilah Marwan bin al-Hakam, pemuka suku Quraisy, yang membalaskan darah Utsman dan melawan Ali bin Abi Thalib pada Pertempuran Jamal dan Pertempuran Shiffin!"[56] Kesepakatan akhirnya tercapai pada 29 Syawal 64 H (22 Juni 684) untuk mengangkat Marwan sebagai khalifah.[57] Khalid dan Amr bin Said bin al-Ash, seorang tokoh muda terkemuka Umayyah lainnya, ditetapkan sebagai penerus Marwan.[33] Kabilah-kabilah pendukung Umayyah, yang kemudian disebut kelompok Yamani, dijanjikan bayaran atas dukungan mereka untuk mengangkat Marwan.[8] Pemuka-pemuka (asyraf) mereka meminta Marwan memberikan hak istimewa di bidang militer dan pemerintahan sebagaimana yang mereka terima dari khalifah Bani Umayyah sebelumnya.[58] Husain bin Numair sebelumnya pernah menawarkan dukungan kepada Ibnu az-Zubair dengan syarat serupa, tetapi Ibnu az-Zubair secara terbuka menolak tawaran tersebut.[59] Menurut sejarawan Mohammad Rihan, Marwan "menyadari pentingnya pasukan Syam dan mengikuti sepenuhnya permintaan mereka", dan menurut Kennedy "Marwan tidak memiliki pengalaman atau jaringan di Syam; ia akan sepenuhnya tergantung pada para asyraf dari kabilah-kabilah Yamani yang telah memilihnya."[60][8]
Masa kekuasaan Marwan yang singkat dihabiskan untuk mengembalikan negeri Syam dan sekitarnya ke dalam kendali Umayyah. Tidak seperti Banu Kalb yang mendukung Marwan, terdapat persekutuan beberapa suku-suku Arab bernama Qais di Syam yang memihak Abdullah bin az-Zubair. Mereka mendorong Adh-Dhahhak bin Qais, pemuka Qais yang menjabat sebagai wali negeri Damaskus, untuk mengerahkan pasukan. Alhasil, Adh-Dhahhak dan pasukan Qais berkumpul di dataran Marj Rahith, sebelah utara Damaskus.[8] Semua distrik militer di negeri Syam berpihak pada Abdullah bin az-Zubair, kecuali Jund al-Urdunn yang didominasi Bani Kalb. Dengan dukungan Bani Kalb dan sekutu-sekutunya, Marwan bergerak menuju posisi Adh-Dhahhak yang memiliki pasukan lebih besar.[61][8] Sementara itu, di dalam kota Damaskus, seorang pemuka Bani Ghassan membersihkan kota itu dari para pendukung Adh-Dhahhak hingga Damaskus berada di bawah kendali Umayyah.[8] Dalam Pertempuran Marj Rahith yang terjadi pada Agustus 684, pasukan Marwan berhasil mengalahkan pasukan Qais dan Adh-Dhahhak sendiri terbunuh.[33][8]
Kemenangan telak pihak Umayyah dan Yamani menjadi awal perseteruan antarsuku Yamani dan Qais.[62] Kemenangan Marwan di pertempuran tersebut mengukuhkan posisi Banu Kalb dan sekutu-sekutunya dari kelompok Qudha'ah.[63] Kaum Qahthan di Hims kemudian bergabung sebagai sekutu mereka, sehingga membentuk persekutuan kabilah yang lebih besar.[64] Sisa-sisa kelompok Qais kemudian dipimpin oleh Zufar bin al-Harits al-Kilabi, merebut benteng Al-Qarqisiya di kawasan Al-Jazirah (Mesopotamia Hulu), dan melanjutkan perlawanan kabilah-kabilah yang menentang kekuasaan Umayyah.[8] Ath-Thabari mencatat puisi Marwan yang merayakan kemenangannya di Marj Rahith dan menyebutkan kabilah-kabilah yang mendukungnya:
Saat kulihat urusan ini menjadi urusan rampasan perang
kusiapkan Ghassan dan Kalb melawan mereka
Dan Saksaki [Banu Kindah], para pria pemenang
dan Tayyi [Banu Tayy], yang suka memukul
Dan Al-Qayn, yang berjalan dengan senjata yang berat
Dan dari Tanukh, puncak yang tinggi dan sulit
[Pihak musuh] tak akan merebut kerajaan ini kecuali dengan kekerasan
Dan jika Qais datang, katakan, "Jangan mendekat!"[65]
Marwan menerima baiat sebagai khalifah di Damaskus pada bulan Juli atau Agustus.[57] Ia menikahi Ummu Hasyim Fakhitah, janda Yazid dan ibu dari Khalid sehingga ia memiliki hubungan perkawinan dengan trah Sufyani yang merupakan khalifah-khalifah sebelumnya.[33] Wellhausen menganggap bahwa pernikahan ini adalah upaya Marwan untuk mengendalikan warisan Yazid dengan menjadi ayah tiri anak-anaknya.[66] Marwan menunjuk Yahya bin Qais dari Banu Ghassan sebagai kepala syurthah (polisi atau aparat keamanan) dan mawlanya yang bernama Abu Sahl al-Aswad sebagai hajib (pengelola istana).[67]
Meski telah menang di Marj Rahith dan mengukuhkan kekuasaan Umayyah di Syam bagian tengah, kekuasan Marwan tidak diakui di wilayah-wilayah bekas kekhalifahan Umayyah lainnya. Pada sisa masa kekuasaannya, ia berusaha memperluas kembali kekuasaan Umayyah dengan menggunakan kekuatan militer serta bantuan Ibnu Ziyad dan Ibnu Bahdal.[62][33] Ia mengirimkan Rauh bin Zinba' ke Palestina, yang berhasil mengusir Natil bin Qais, wali negeri Palestina yang mendukung Ibnu az-Zubair dan merupakan saingan Rauh untuk kepemimpinan Banu Judzam.[68] Marwan juga mengukuhkan kendali Umayyah di kawasan utara Syam.[33] Pada Februari atau Maret 685, Marwan mengambil kendali Mesir dengan bantuan kabilah-kabilah terkemuka di ibu kota Mesir saat itu yaitu Fusthat.[62] Abdurrahman bin Utbah, wali negeri Mesir pendukung Abdullah bin az-Zubair, digulingkan dan digantikan oleh seorang putra Marwan yaitu Abdul Aziz.[33][62] Selanjutnya, pasukan pro-Marwan di bawah pimpinan Amr bin Said menghalau serangan yang dilancarkan Mush'ab bin az-Zubair (adik dari Abdullah bin az-Zubair) terhadap Palestina.[33][69] Marwan juga mengirimkan pasukan ke Hijaz di bawah pimpinan Hubaisy bin Duljah, tetapi pasukan ini dikalahkan di Ar-Rabadzah di timur Madinah.[33][68] Selain itu, Marwan mengirim putranya Muhammad untuk menghadap kabilah-kabilah Qais di kawasan tengah lembah Sungai Efrat.[62] Masih pada awal tahun 685, ia mengirimkan pasukan di bawah kepemimpinan Ubaidillah bin Ziyad untuk merebut Irak dari kekuasaan Abdullah bin az-Zubair maupun kelompok pendukung Ahlul Bait Ali. Pasukan ini masih dalam perjalanan dan baru saja mencapai Ar-Raqqah ketika mereka mendengar kematian Marwan.[33]
Marwan meninggal pada awal tahun 685 M (65 H) saat belum genap setahun berkuasa. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tanggal pasti kematiannya. Sejarawan Ibnu Sa'ad, Ath-Thabari, dan Khalifah bin Khayyath berpendapat bahwa Marwan meninggal pada tanggal 29 Syakban (10 atau 11 April), Al-Mas'udi berpendapat pada tanggal 3 Ramadhan atau 13 April, sedangkan Elia, Uskup Agung Nisibis, berpendapat kematian sang khalifah terjadi pada pada 7 Mei.[33] Sebagian besar sumber Muslim menyatakan bahwa Marwan meninggal di Damaskus, sedangkan Al-Mas'udi berpendapat bahwa Marwan meninggal di kediaman musim dinginnya di Ash-Shinnabra, dekat Danau Tiberias.[33] Sejarawan-sejarawan Muslim awal, seperti Ibnu Sa'ad katib al-Waqidi, menukil riwayat (dengan isnad yang baik) bahwa Marwan dibunuh saat ia tidur oleh istrinya Umm Hasyim Fakhitah akibat hinaan kasar yang sebelumnya diucapkan Marwan kepadanya, tetapi kisah ini ditolak atau diabaikan oleh kebanyakan sejarawan Barat modern.[70] Bosworth menduga bahwa Marwan meninggal akibat wabah penyakit yang menimpa negeri Syam pada saat kematiannya.[33]
Sebelum Marwan meninggal, sekembalinya ia ke Syam dari Mesir pada tahun 685, ia sempat menunjuk putra-putranya Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai penerusnya, sekalipun hasil pertemuan di Jabiyah menetapkan Khalid bin Yazid dan Amr bin Said untuk posisi tersebut. Ia melakukannya setelah ia mendengar bahwa Ibnu Bahdal mendukung Amr sebagai calon penerus Marwan.[71][66] Ia memanggil dan mencecar Ibnu Bahdal, dan akhirnya memintanya menyatakan baiat terhadap Abdul Malik sebagai putra mahkota.[71] Setelah Marwan meninggal, Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah tanpa pertentangan dari Khalid maupun Amr.[33] Dengan ini, keputusan pertemuan Jabiyah telah dibatalkan dan prinsip pemilihan khalifah berdasarkan garis keturunan langsung kembali berlaku.[33][72] Selanjutnya, pergantian khalifah dinasti Umayyah biasa dilakukan mengikuti garis keturunan.[72]
Marwan menjadikan keluarga dan kerabatnya sebagai landasan kekuatan di pemerintahan, seperti yang pernah dilakukan Khalifah Utsman, dan bertentangan dengan gaya Muawiyah yang menjaga jarak dari kerabat-kerabatnya.[73] Ia memberikan posisi militer penting kepada putranya Muhammad dan Abdul Aziz, dan memastikan putranya Abdul Malik sebagai khalifah selanjutnya.[73] Walaupun awalnya dipenuhi tantangan, trah "Marwani" (keturunan Marwan) menjadi wangsa penguasa Kekhalifahan Umayyah dan menggantikan trah "Sufyani" (keturunan Abu Sufyan).[63][73]
Menurut penilaian Bosworth, Marwan "jelas sekali adalah pemimpin militer dan negarawan yang memiliki kecakapan dan ketegasan, dipenuhi dengan sifat ḥilm [kesabaran] dan dahiya [kecerdikan], seperti tokoh-tokoh Umayyah terkemuka lainnya."[33] Meski ia tidak memiliki basis kekuatan di Syam sebelum menjadi khalifah dan wilayah tersebut cukup asing baginya, ia berhasil mengambil kendali. Kukuhnya kekuasaan Umayyah di Syam menjadi landasan bagi anaknya, Abdul Malik, yang kelak akan berhasil menyatukan kembali kekhalifahan di bawah dinasti Umayyah. Kekhalifahan Umayyah akan berlanjut selama sekitar 65 tahun selanjutnya, hingga digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750.[33] Menurut sejarawan Wilferd Madelung, naiknya Marwan ke posisi khalifah adalah sebuah "politik tingkat tinggi", puncak dari intrik-intrik yang dimulai dari awal kariernya.[74] Di antara siasat Marwan menurut Madelung adalah menempatkan diri sebagai "yang pertama membalaskan darah [Utsman]" dengan membunuh Thalhah dalam Pertempuran Jamal, serta upaya diam-diam melemahkan kekuasaan para khalifah Sufyani walaupun secara terbuka mendukungnya.[74]
Dalam sebagian riwayat Muslim, Marwan dikenal sebagai pribadi yang kasar kata-katanya (fāḥisy) dan kurang memiliki adab.[33] Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran tampaknya sangat berdampak terhadap kondisi fisiknya.[33] Ia memiliki tubuh kurus dan tinggi sehingga dijuluki khayṭ bāṭil (benang tipis).[33] Riwayat-riwayat anti-Umayyah memberinya julukan ṭarid ibn ṭarid ("sang terusir, putra dari sang terusir") karna ia diusir dari Madinah oleh Ibnu az-Zubair, dan ayahnya al-Hakam juga konon pernah diusir Muhammad ke Thaif. Pihak anti-Umayyah juga menjulukinya abūʾl-jabābirah (bapak para tiran) karena anak cucunya kelak berturut-turut menguasai kekhalifahan.[33]
Beberapa riwayat yang dikutip sejarawan Ahmad al-Baladzuri (meninggal 892) dan Ibnu Asakir (meninggal 1176) menunjukkan kesalehan Marwan, misalnya riwayat dari al-Madaini yang menyebut bahwa Marwan adalah salah seorang yang terbaik dalam membaca Al-Qur'an, dan pernyataan Marwan sendiri bahwa ia telah membaca Al-Qur'an selama 40 tahun sebelum Pertempuran Marj Rahith.[75] Karena Marwan diketahui menamai banyak anaknya dengan nama-nama khas Islam (dan bukan nama tradisional Arab yang umum ketika itu), Fred Donner juga berspekulasi bahwa agaknya Marwan "sangat religius" dan "sangat terkesan" dengan pesan Al-Qur'an untuk memuliakan Allah dan para nabi, termasuk Muhammad.[76] Namun, Donner menyatakan bahwa cukup sulit untuk membuat "penilaian Marwan yang benar-benar sahih", karena kurangnya bukti arkeologi ataupun tulisan langsung, dan banyaknya informasi yang berasal dari sumber-sumber berat sebelah.[77]
Ayah — Al-Hakam bin Abi Al-'Ash bin Umayyah bin 'Abdu-Syam
Ibu — Aminah binti 'Alqamah. Sebelumnya dia adalah istri dari 'Affan bin Abi al-'Ash, ayah Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Setelah bercerai, Aminah menikah dengan Al-Hakam.[7]
Abdul Malik dan cucu-cucu Marwan menjadi penerusnya sebagai Khalifah Umayyah.[78] Dari sepuluh orang saudara lelakinya, ia adalah 'amm (paman melalui jalur ayah) dari setidaknya sepuluh keponakan.[33]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.