Top Qs
Timeline
Obrolan
Perspektif
Kuala Tungkal (kota)
ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Remove ads
Kuala Tungkal (Melayu: كوالا توڠكل) adalah kota letak pusat pemerintahan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Kuala Tungkal merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tungkal Ilir. Karenanya, selain ibukota kabupaten, Kuala Tungkal juga berfungsi sebagai ibukota kecamatan Tungkal Ilir. Kota ini berada di antara 0°53' – 0 °41' Lintang Selatan dan 103°23' – 104°21' Bujur Timur.


Remove ads
Asal Usul Nama
Ringkasan
Perspektif
Istilah Geografis
Dalam istilah geografis, istilah Kuala atau Muara digunakan untuk nama daerah yang berada di kuala atau muara sungai yang yang mengalirinya. Misalnya Muara Bulian, adalah muaranya Sungai Batang Bulian, Muara Tembesi adalah muaranya Sungai Batang Tembesi. Kuala Dasal adalah muaranya Sungai Dasal. Meski demikian, terdapat juga penamaan yang tidak ada kaitan dengan nama sungai yang mengalirinya sebut saja Kuala Lumpur, Kuala Simpang, Muaro Jambi dan lain-lain.[1][2]
Istilah Kuala Tungkal tidak menunjukkan bahwa sungai yang mengalirinya bernama sungai Tungkal. Nama sungainya tetaplah Sungai Pengabuan, adapun mengapa nama kuala Sungai Pengabuan dinamakan Kuala Tungkal tidak Kuala Pengabuan karena muara atau kuala sungai Pengabuan hanya satu atau tunggal. Muara atau Kuala sungai-sungai besar yang mengalir di Pulau Sumatera yang bermuara di pantai timur Sumatera pada umumnya bercabang. Karena itu, Kuala Sungai Pengabuan disebut Kuala Tunggal, atau kuala yang satu.
Istilah Tunggal berubah menjadi Tungkal oleh perubahan dialek. Jika pendapat tersebut benar adanya, dapat disimpulkan bahwa nama Kuala Tungkal lebih dulu dikenal, dan kehidupan masyarakat di Kuala Tungkal lebih dahulu daripada masyarakat Tungkal Ulu. Ini artinya bertolak belakang dengan pendapat di atas. Dengan demikian, pendapat bahwa nama Tungkal berasal dari kata Tunggal memiliki dasar yang lemah.
Terdapat pula pendapat meyakini nama Tungkal merupakan perubahan etimologis dari nama Kuntala, sebuah nama Kerajaan Budha yang banyak ditulis dalam sejarah. Dalam buku Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, disebutkan bahwa sebelum kedatangan orang-orang Pagaruyung ke Tungkal Ulu, beberapa dusun seperti Merlung, Tanjung Paku, dan Suban sudah berpenghuni yaitu masyarakat sisa-sisa Kerajaan Kuntala yang merupakan Kerajaan yang sudah berdiri sebelum Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang waktu itu merupakan daerah taklukan Kerajaan Singosari.
Remove ads
Sejarah
Ringkasan
Perspektif
Masa Melaka
Sejak abad ke-14, aliran Sungai Tungkal telah dihuni dan mendirikan pemerintahan Kademongan mereka masing-masing, yaitu di Merlung, Tanjung Paku, dan Suban. Pemerintahan Kedemongan ini berada di bawah kekuasaan Singasari, kemungkinan pasca Ekspedisi Pamalayu. Barulah setelah lepas dari Majapahit pada abad ke-16, Tungkal menjadi negeri yang tunduk di bawah kekuasaan Melaka. Dalam Sulalatus Salatin, diceritakan Sultan Mansur Shah dari Melaka (1459-1477) mengajak Raja Tungkal ikut serta ke Majapahit dalam rangka meminang Putri Raden Galuh Cendera Kirana dari Majapahit. Di dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan keberangkatan tersebut menggunakan Kapal Mendam Berahi disertai 500 kapal besar dan beberapa kapal kecil. Selain Raja Tungkal, ikut serta pula Raja Indragiri, Raja Jambi, Raja Lingga, dan Raja Palembang dalam rombongan.[3] Namun, setelah Jatuhnya Melaka pada 1511 ke tangan Portugis, Tungkal diketahui tidak lagi beraja sebagaimana diketahui dari Tomé Pires dalam karyanya, Suma Oriental.[4]
Masa Johor
Pada akhir abad ke-16, sebuah rombongan 199 orang dari Periangan Padang Panjang yang dipimpim Datuk Malin Andiko Sri Maharajo atau Datuk Mandaliko tiba di daerah Tungkal. Mereka kemudian menetap dan kemudian dibagi oleh Datuk Mandaliko ke dalam 3 rombongan untuk mendirikan pemukiman-pemukiman baru yang dipimpin oleh anak-anaknya. Rombongan pertama berjumlah yang dipimpin Mandaliko Eleng menetap di Mendaluh. Rombongan kedua yang dipimpin anaknya yang perempuan, Mandaliko Tumpang, menetap di Balik Bukit Sungai Runut. Dan rombongan ketiga yang dipimpin Mandaliko Panai menetap di Tanjung Genting. Mereka kemudian berkembang menjadi Suku Nan Tigo. Setelahnya, Pemukiman di Mendaluh berkembang menjadi Dusun Lubuk Kambing, Balik Bukit menjadi Dusun Rantau Benar dan Dusun Sungai Rotan, dan Tanjung Genting menjadi Dusun Lubuk Bernai dan Dusun Lubuk Lawas.
Namun, jika rombongan tersebut berasal dari Minangkabau, mengapa pemukiman-pemukiman Suku Nan Tigo tersebut tidak dinamakan menggunakan Bahasa Minangkabau. Nama Lubuk Kambing, Rantau Benar, Lubuk Bernai, Penyabungan, Tanjung Paku, Pulau Pauh, Taman Rajo, dan seterusnya menunjukkan nama-nama Melayu. Terindikasi bahwa nama-nama tersebut merupakan hasil interaksi Suku Minangkabau dan Suku Talang Mamak yang bermukim di Reteh dan Kuantan. Dalam Tambo Alam Minangkabau tidak disebutkan adanya hubungan antara Minangkabau dan Tungkal. Namun, terdapat hubunngan antara Minangkabau dan Talang Mamak di Reteh dan Kuatan. Adapun juga, berdasarkan batas-batas negeri Datuk Malin Andiko yang disebutkan berbatasan dengan negeri Talang Mamak di Reteh dan Kuantan.[1]
Kemudian pada awal abad ke-17, Datuk Bendahara Laksamana dari Johor tengah menjalankan perintah Sultan Johor untuk menginspeksi wilayah Indragiri. Di tengah perjalanan tersebut, rombongan Datuk Bendahara Laksamana terkena angin badai dan gelombang besar, sehingga tiga dari empat kapal bahteranyanya rusak. Kapal Datuk Laksamana Bendahara masuk ke sebuah sungai, yang karenanya dikenal sebagai Sungai Mendahara. Adapun mereka menepi ke sebuah sungai untuk memperbaiki kapal bahtera mereka, yang kemudian karena peristiwa ini dikenal sebagai Sungai Betara. Setelah semua kapal diperbaiki, Datuk Laksamana Bendahara memilih untuk melanjutkan ekspedisi ke daerah yang mereka tak ketahui ini. Dalam ekspedisi tersebut ketika sampai di suatu tanjung, Datuk Laksamana Bendahara melihat puntung kayu api yang hanyut. Menandakan adanya pemukiman di sekitar sana.
Beberapa waktu kemudian, Datuk Laksamana Bendahara kembali menyusuri sungai tersebut setelah memiliki persiapan lengkap. Mereka sampai ke sebuah sungai dimana mereka menepi untuk mencari buah-buahan. Disana menemukan Buah Tampui yang rasanya asam. Karena itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Asam. Akhirnya mereka sampai di muara Sungai Kebanyakan di hilir Kuala Dasal. Mereka menemukan pemukiman disana, namun tidak ada penghuninya. Datuk Mangkubumi dan Datuk Bendahara Laksamana kemudian beride untuk meninggalkan makanan yang diberi obat agar esoknya orang yang memakannya akan tidak sadarkan diri di sana. Keesokannya harinya, benar saja didapati orang-orang yang tidak sadarkan diri. Setelah sadar, mereka ditanya siapa pemimpin mereka. Maka, diketahui bahwa pemimpin mereka adalah Datuk Mandaliko Panai dari Tanjung Genting. Sehingga rombongan ekspedisi Johor berhasil menemukan pemukiman-pemukiman Suku Nan Tigo. Melihat besarnya kekuatan Johor, Datuk Malin Andiko akhirnya bersedia tunduk dan membayar upeti tiap tahun kepada Johor. Adapun upeti tersebut berupa hasil bumi berupa Gulo, Geligo, Mastiko, Gading, Hasil Rimbo Gano, dan Ubur-Ubur Gantung Kemudi.
Suatu ketika, saat Datuk Malin Andiko mengantar upeti dari Tungkal ke Johor, dia menemukan Perahu Lambuk yang terombang-ambing di laut di dekat Tanjung Labu. Di dalamnya dia menemukan seorang anak kecil, embok penagsuh, dan beberapa orang. Anak kecil itu kemudian diambilnya sebagai anak dan diasuhnya. Anak tersebut bernama Lamsasti. Lamsasti suatu saat ikut mengantar upeti ke Johor. Saat menghadap Sultan Abdul Jalil Shah III dari Johor, di antara upeti tersebut terdapat pisang yang juga pernah dibawa Datuk Malin Andiko sebelumnya. Sultan Abdul Jalil Shah III dari Johor kemudian menanyakan nama pisang tersebut kepada Datuk Malin Andiko. Datuk Malin Andiko tidak dapat menjawab. Namun, Lamsasti berhasil menjawab dan menyebut pisang tersebut adalag Pisang Raja Kadasun. Atas kecerdasan Lamsasti, Sultan Abdul Jalil Shah III dari Johor membebaskan Tungkal dari kewajiban membayar upeti kepada Johor. Terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai alasan Sultan Johor membebaskan Tungkal dari kewajiban membayar upeti kepada Johor. Ketika melihat Lamsasti, Sultan Abdul Jalil Shah III dari Johor sadar bahwa Lamsasti adalah anaknya yang dahulu dibuang untuk menutupi aibnya.[3]
Pada masa Johor inilah Tungkal dijadikan lokasi perdagangan penting oleh Johor. Dimana Datuk Bandar Laut, salah satu Wakil Raja Johor di Tungkal mendirikan Pelabuhan Dagang di dekat Kamban. Semenjak itu, banyak orang berdagang dan pindah ke Tungkal. Dibawah kekuasaan Johor, Sultan Abdul Jalil Shah III dari Johor (1623-1677) mengangkat anaknya menjadi kepala Pemerintahan di Tungkal dengan gelar Orang Kayo Raja Depati. Bersama Datuk Mandaliko mereka membentuk Pemerintahan Biduando nan Empat yaitu:[5]
- Pemerintahan Lubuk Petai yang dikepalai Orang Kayo Rajo Laksamana;
- Pemerintahan Suku Teberau yang dikepalai Orang Kayo Depati;
- Pemerintahan Suku Sungai Landur (Mandah) yang dikepalai Orang Kayo Lamsasti;
- Pemerintahan Suku Buluh Munti, yang dikepalai Datuk Bandar.
Setelah lama memerintah, Orang Kayo Depati pulang ke Johor dan digantikan oleh Orang Kayo Syahbandar yang berkedudukan di Lubuk Petai. Setelah Orang Kayo Syahbandar, kemudian digantikan lagi oleh Orang Kayo Ario Santiko yang berkedudukan di Tanjung Agung (Lubuk petai) dan Datuk Bandar Dayah yang berkedudukan di Batu Ampar, daerahnya meliputi Tanjung rengas sampai ke Hilir Kuala Tungkal atau Tungkal Ilir sekarang.[6]
Masa Orang Kayo dan Datuk Bandar
Sebagai hasil Peperangan Johor-Jambi (1666-1681), Tungkal jatuh ke bawah kekuasaan Kesultanan Jambi. Selain itu, Tungkal kehilangan perannya sebagai salah satu kota dagang penting di pesisir Sumatra. Ekonomi dan perdagangan Tungkal benar-benar hancur akibat peperangan tersebut. Barpun demikian, kontrol Jambi atas Tungkal sangat lemah. Pasca peperangan, Jambi terjebak utang dan kontrak dengan VOC yang membantu selama Peperangan Johor-Jambi. Ditambah pecahnya Perang Saudara Jambi (1690-1711), membuat Jambi tidak bisa fokus memerintah Tungkal. Bahkan pada saat Perang Saudara Jambi, Tungkal tampil seperti sebuah negeri tersendiri, dimana Tungkal mendukung Pemerintahan Sri Maharajo Batu di Mangunjayo. Pada masa ini, Jambi sangat bergantung pada bantuan VOC dalam melindungi wilayah pesisirnya. Lemahnya kekuasaan Jambi ini dimanfaatkan masyarakat setempat dengan mendirikan Pemerintahan Datuk Kayo Kerajaan Lubuk Petai di hilir Dusun Mudo. Pemerintahan Datuk Kayo ini tetap mempertahankan sistem pemerintahan pada masa kekuasaan Johor.[3]
Barulah memasuki abad ke-18, Kesultanan Jambi coba mengkonsolidasikan kekuasaanya atas Tungkal. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman Nazaruddin dari Jambi, dikirimkan utusan ke Tungkal agar orang Tungkal mengakui kekuasaan Jambi. Pada percobaan pertama ini, Jambi hanya berhasil mendapat pengakuan dari orang-orang Melayu di Tungkal Ilir. Kemudian pada percoban kedua diutus saudara sultan Pangeran Hadi, barulah Tungkal mengakui kekuasaan Jambi. Sultan Abdul Rahman Nazaruddin dari Jambi mengutus Pangeran Kesumo alias Pangeran Badik Uzaman gelar Pangeran Ario Joyo Kusumo sebagai wakil Jambi dan dia menetap di Rantau Benar. [1]
Masa Jambi
Kedatangan Pangeran Badik Uzaman ini awalnya disambut baik oleh Orang Kayo Ario Santiko dan Datuk Bandar Dayah. Namun, kekuasaan Jambi kemudian ditentang oleh Pemerintahan Datuk Bandar dan Orang Kayo dari Kerajaan Lubuk Petai. Maka, sekitar tahun 1858-1872 terjadi peperangan sengit di Ambunan Tulang, Lubuk Petai, dan Batu Ampar dekat Pelabuhan Dagang. Perang berakhir setelah adanya bantuan Pangeran Hadi dari Jambi. Akhirnya Jambi berhasil sepenuhnya menaklukkan Tungkal. Di bawah kekuasaan Jambi, Tungkal dipecah menjadi dua. Pangeran Wirokusumo berkuasa atas daerah Ilir dari Lumahan hingga Kuala Tungkal. Sedangkan Pangeran Badik Uzaman memerintah dari Lumahan hingga Lubuk Kambing. Jambi kemudian mengutus Mantri Berangas dengan menetap di sebuah pemukiman orang bugis dan Melayu Brunei, yang sekarang dikenal sebagai Kota Kuala Tungkal.
Setelah terbukanya Kota Kuala Tungkal maka semakin banyak orang mulai datang, sekitar tahun 1902 dari suku Banjar yang berimigrasi dari Pulau Kalimantan melalui Malaysia. Mereka ini berjumlah 16 orang antara lain : H.Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan Gelar Kucir, Buaji dan kemudian mereka ini berdatangan lagi dengan jumlah agak lebih besar yaitu 56 orang yang dipimpin oleh Haji Anuari dan iparnya Haji Baharuddin, Rombongan 56 orang ini banyak menetap di Bram Itam Kanan dan Bram Itam Kiri. Selanjutnya datang lagi dari suku Bugis, Jawa, Suku Donok atau Suku Laut yang banyak hidup dipantai/laut, dan Cina serta India yang datang untuk berdagang.
Pangeran Badik Uzaman selama berkuasa atas Tungkal terkenal sebagai penguasa yang lalim. Karena itu dia dikenal sebagai Datuk Garang. Semasa pemerintahannya Merlung diberikan hak bebas upeti karena Pangeran Badik Uzaman menikah dengan putri Merlung bernama Mentawah. Dari Mentawah lahir Raden Usman. Adapun dalam memerintah, Pangeran Badik Uzaman berkuasa secara lalim dan memungut upeti dengan sangat besar. Sehingga banyak orang berusaha meruntuhkan kekuasaannya. Hingga seorang perantau asal Medan bernama Dodo Tomok berhasil membunuh Pangeran Badik Uzaman. Pangeran Badik Uzaman dimakamkan di Tebing Pinggir Sungai Pengabuan, Rantau Benar.
Pasca kemangkatan Pangeran Badik Uzaman, kekuasaan atas Tungkal Ulu dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Ali gelar Pangeran Citro Kusumo. Dan Tungkal Ilir diserahkan kepada Raja Muda dari Reteh dan Lumahan diperintah oleh Raja Dulah. Tungkal sempat diduduki Kolonia Belanda pada 1901 dimana Belanda menempatkan Kontrolirnya di Pematang Pauh. Pendudukan ini ditentang oleh penduduk Tungkal. Di bawah pimpinan Raden Usman, Belanda berhasil dihalau dari Tungkal. Pada 1902, Pangeran Muhammad Ali wafat dan digantikan oleh saudaranya, Pangeran Puspo gelar Pangeran Joyoningrat. Pada masa kekuasaan Pangeran Puspo ini Belanda kembali mencoba menduduki Tungkal. Belanda berhasil menduduki Tungkal pada 1903. Pada 1904, Raden Mat Taher, Pangeran Puspo, dan Raden Usman bergabung mencoba mengusir Kolonial Belanda, Namun berhasil dimenangkan oleh Belanda. Sebagai akibatnya, mereka bertiga diburu oleh Kolonial Belanda. Raden Usman berhasil dibunuh setelah dikepung Letnan Towsen pada 1904. Pangeran Puspo sempat dikejar Kopral De Jonge di dekat Sungai Langkat, Merlung dan berhasil kabur hingga dinyatakan tewas pada 1905. Pada 1906, kedudukan Kontrolir Belanda atas Tungkal berpindah dari Rantau Benar ke Pelabuhan Dagang.
Masa Belanda
Pendudukan militer Kolonial Belanda berakhir setelah dibentuknya pemerintahan Keresidenan Jambi, dimana Tungkal berstatus sebagai Onderafdeeling yang membawahi dua marga, Marga Tungkal Ilir dan Marga Tungkal Ulu. Adapun untuk mengisi posisi marga, Belanda setuju untuk Datuk Kayo Sontel atau H. Muhammad Dahlan yang masih keturunan Raja Lubuk Petai untuk menjadi Pasirah dan menyusun pemerintahan lokal di Tungkal. Tindakan Datuk Kayo Sontel ini membuat Raden Mattaher menyerang rumahnya. Beruntung Datuk Kayo Sontel selamat, namun kakinya patah dan terluka parah. Datuk Kayo Sontel kemudian diangkat sebagai Pasirah sehingga dikenal sebagai Pasirah Patah. Adapun hasil susunan pemerintaha H. M. Dahlan alias Pasirah Patah adalah Tungkal dibagi menjadi Marga Tungkal Ulu dan Marga Tungkal Ilir.
Masa Jepang
Setelah penandatangan Perjanjian Kalijati yang menyatakan menyerahnya Hindia Belanda kepada Jepang pada 8 Maret 1942, Kuala Tungkal menjadi pusat pemerintahan Gunco (Kewedanan) Tungkal. Jepang pertama kali masuk ke Kuala Tungkal dengan mengerahkan 30 orang tentara. Kedatangan Jepang tidak mendapat perlawanan, malah disambut baik oleh masyarakat Tungkal. Di bawah pemerintahan Jepang, banyak pemuda Tungkal yang direkrut ke dalam kepolisian dan menerapkan Rōmusha kepada masyarakat. Orang Tungkal yang terkena Rōmusha akan dikirim dan dipakasa beekrja ke Palembang selama 3 bulan tanpa upah. Adapun yang memerintah saat itu adalah M. Bachsan Siagin sebagai Gunco (Wedana) dan M. Kamil sebagai Fuku Gunco (Asisten Wedana). Dan markas tentara Jepang di Kuala Tungkal terletak di dekat Kantor Pos Lama Kuala Tungkal.[3]
Masa Revolusi Nasional Indonesia
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito dari Jepang (1926-1989) mengumumkan menyerahnya Jepang lewat pidatonya yang dikenal sebagai Gyokuon-hōsō.[7] Kabar menyerahnya Jepang ini kemudian mendorong dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai ke Kuala Tungkal pertama kali ke telinga H. M. Kurchi, Kepala Kantor Telegraf Kuala Tungkal. H. M. Kurchi mendengarnya melalui siaran-siaran radio yang didengarnya secara sembunyi-sembunyi. Berita itu kemudian disebarluaskannya kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda. Pengibaran Bendera Indonesia pertama di Kuala Tungkal dilaksanakan di puncak Masjid Agung al-Istiqomah pada 19 Agustus 1945 dengan mengganti Bendera Jepang dengan Sang Saka Merah Putih. Pengibaran itu dilaksanakan oleh H. M. Kasim, Tuhirang, Dulhadji, Mahyudin Harahap, dan Supomo menggunakan tanggan bambu. Pengibaran kedua dilaksanakan esoknya, 20 Agustus 1945 oleh H. M. Kasim, Tuhirang, dan Dulhadji pada jam 07.00 pagi di Pelabuhan Kuala Tungkal. Setelah itu, diikuti masyarakat dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di rumahnya masing-masing. Selain itu, akibat tersebarnya berita tentang Proklamasi, terjadi penyerbuan terhadap gudang-gudang beras, senjata, dan markas tentara Jepang di Kuala Tungkal[3][8]
Beberapa hari setelah pengibaran Bendera Merah Putih pertama, diadakan pertemuan antar tokoh-tokoh masyarakat Kuala Tungkal. Hasil pertemuan tersebut antara lain.[8]
- Membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) Kuala Tungkal yang dipimpin oleh H. Syarkawi dan wakilnya Indar Zaini;
- Membentuk Barisan Hisbullah yang dipimpin oleh H. M. Daud.
Beberapa hari kemudian disusul pembentuan Lasykar Hulu Balang yang dipimpin oleh A. Manan. Dan pada 2 September 1945, dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Kewedanan Tungkal di Kuala Tungkal dengan Ketua Demang A. Keras dan Wakil Ketua M. Salim Hasan dan Mahyuddin Diah.[8]
Pasca Kemerdekaan
Seiring bergulirnya perkembangan zaman berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonsia (KNI) untuk Pulau Sumatera di Kota Bukit Tinggi (Sumbar) pada tahun 1946 tanggal 15 April 1946, maka pulau Sumatera di bagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan.
Pada waktu itu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Batanghari dan Sarolangun Bangko, tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah yang dikukuhkan dengan undang – undang darurat Nomor 19 Tahun 1957, kemudian dengan terbitnya undang – undang Nomor 61 Tahun 1958 pada tanggal 6 januari 1958 Keresidenan Jambi menjadi Provinsi Tingkat I Jambi yang terdiri dari : Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Kerinci.
Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Kabupaten Dati II Batanghari dengan Ibukota Kenaliasam, Kabupaten Dati II Tanjung Jabung dengan Ibukotanya Kuala Tungkal. Kabupaten Dati II Tanjung Jabung diresmikan menjadi daerah kabupaten pada tanggal 10 Agustus 1965 yang dikukuhkan dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1965), yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal Ilir dan kecamatan Muara Sabak.
Setelah memasuki usianya yang ke-34 dan seiring dengan bergulirnya Era Desentralisasi Daerah, dimana daerah di beri wewenang dan keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka kabupaten Tanjung Jabung sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tanggal 4 Oktober 1999 tentang pemekaran wilayah kabupaten dalam Provinsi Jambi telah memekarkan diri menjadi dua wilayah yaitu :
Remove ads
Demografi
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Remove ads