Remove ads
tinjauan umum mengenai kritik dan kontroversi terhadap The Da Vinci Code Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
The Da Vinci Code, sebuah novel populer karya Dan Brown, telah menghasilkan kritik dan kontroversi setelah publikasinya pada tahun 2003. Banyak dari komplain ini berpusat pada spekulasi-spekulasi dalam buku tersebut serta mengklaim berbagai representasi keliru terkait aspek-aspek inti Kekristenan dan sejarah Gereja Katolik Roma. Kritik tambahan diarahkan pada berbagai deskripsi yang tidak akurat seputar geografi, arsitektur, sejarah, dan seni rupa Eropa.[1]
Tuduhan pelanggaran hak cipta juga diajukan oleh novelis Lewis Perdue dan para penulis dari buku tahun 1982 dengan judul The Holy Blood and the Holy Grail yang mengemukakan hipotesis bahwa Yesus historis menikahi Maria Magdalena, anak-anak atau keturunan mereka beremigrasi ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Prancis selatan dan menikah dengan keluarga yang kemudian menjadi Dinasti Meroving, yang mana klaim atas singgasana Prancis sekarang diperjuangkan oleh Biarawan Sion.[2] Brown dibebaskan dari tuduhan-tuduhan pelanggaran hak cipta ini dalam sebuah pengadilan pada tahun 2006.[3][4]
Brown mengawali novelnya dengan sebuah halaman berjudul "Fakta" yang menyatakan bahwa elemen-elemen tertentu dalam novel tersebut adalah benar pada kenyataannya, dan sebuah halaman pada situs webnya mengulangi gagasan-gagasan ini dan hal lainnya.[5] Dalam publisitas awal novel tersebut, Dan Brown membuat pernyataan-pernyataan berulang kali bahwa novel tersebut adalah sebuah karya fiksi; sementara, menurut Brown, informasi sejarah di dalam novel tersebut semuanya akurat dan telah diteliti dengan baik.
Martin Savidge: Ketika kita berbicara tentang da Vinci dan buku Anda, berapa banyak yang benar dan berapa banyak yang dikarang di dalam alur cerita Anda?
Dan Brown: 99 persen darinya benar. Semua arsitektur, seni, ritual-ritual rahasia, sejarah, semua itu benar, injil-injil Gnostik. Semua itu ... semua yang fiksi, tentu saja, adalah bahwa ada seorang simbolog Harvard bernama Robert Langdon, dan semua tindakannya adalah fiktif. Tetapi latar belakangnya semua benar.[6]
Matt Lauer: Berapa banyak darinya yang didasarkan pada realitas dalam hal-hal yang benar-benar terjadi?
Dan Brown: Mutlak semuanya. Tentu saja ada Robert Langdon yang adalah fiktif, tetapi semua seni, arsitektur, ritual-ritual rahasia, komunitas-komunitas rahasia, semua itu adalah fakta historis.[7]
Klaim-klaim semacam ini di dalam buku tersebut dan oleh pengarangnya, dikombinasikan dengan penyajian gagasan-gagasan religius yang dipandang ofensif oleh beberapa kalangan Kristen,[8][9][10][11][12] menyebabkan banyaknya kontroversi dan perdebatan yang mana menjadikannya masuk ke dalam wacana politik di media. Sebagai contoh, sebuah artikel di halaman depan The Independent pada tanggal 10 Mei 2006 menyatakan bahwa Ruth Kelly, seorang menteri senior pemerintahan Britania, dipertanyakan mengenai afiliasinya: "Hari-hari awal Ibu Kelly sebagai Sekretaris Pendidikan didera dengan pertanyaan-pertanyaan tentang agamanya, dan keanggotaannya dalam organisasi Opus Dei yang konservatif yang mana ditampilkan dalam novel laris The Da Vinci Code."[13]
The Da Vinci Code menegaskan bahwa Maria Magdalena berasal dari Suku Benyamin, tetapi para sejarawan membantah klaim ini, dan tidak ada disebutkan mengenai hal ini di dalam Alkitab ataupun sumber-sumber kuno lainnya. Menurut Sandra Miesel dan Carl E. Olson, dalam buku mereka tahun 2004 yang berjudul The Da Vinci Hoax, fakta bahwa Magdala terletak di Israel utara, sedangkan Suku Benyamin tinggal di selatan, menunjukkan keberatan serius terhadap isu ini.[14]
Dalam Bab 58 dikemukakan bahwa pernikahan Yesus dan Maria Magdalena menciptakan suatu "persatuan politis yang kuat dengan potensi membuat klaim yang sah atas takhta."[15] Olson dan Meisel tidak hanya menyatakan bahwa pernyataan ini tanpa dasar sejarah, namun juga mempertanyakan mengapa saat ini kedudukan Salomo sebagai raja memiliki tujuan atau makna yang akan memotivasi suatu konspirasi skala besar. Mereka juga mempertanyakan mengapa seandainya Yesus hanya sekadar seorang "nabi fana", sebagaimana dikemukakan novel tersebut, seorang dewi kerajaan dapat memiliki kepentingan atas Yesus. Olson dan Meisel mengutip perkataan Uskup Agung Chicago Francis Kardinal George: "Yesus bukan Allah tetapi Maria Magdalena adalah seorang dewi? Maksud saya, apa artinya itu? Jika Yesus bukan Allah, mengapa ia menikahi seorang dewi?" Olson dan Meisel juga berpendapat bahwa sebagai keturunan Daud dalam zaman Yesus tidak menjadikan seseorang unik, karena semua kerabat Yusuf (atau Yosef, ayah angkat Yesus), termasuk dua puluh generasi raja-raja Yehuda, juga keturunan Daud. Para penulis itu lalu menyatakan bahwa kaum Benyamin tidak dipandang sebagai pewaris takhta yang sah, dan Perjanjian Baru tidak menyebutkan afiliasi suku Maria Magdalena, sehingga kemungkinan besar ia bukan dari Suku Benyamin; hubungannya dengan suku tersebut dapat ditelusuri ke buku tahun 1982 berjudul The Holy Blood and the Holy Grail, yang mana tidak mendukung gagasan tersebut.[14]
Karakter-karakter dalam buku tersebut mengklaim bahwa Maria Magdalena diberi label pelacur oleh Gereja.[15] Tradisi Katolik pada masa lampau, berbeda dengan tradisi Kristen lainnya, membelanya dari tuduhan ini;[16] menurut Carol Ann Morrow dari AmericanCatholic.org, klaim-klaim ini sekarang ditolak oleh mayoritas akademisi biblika, baik yang Katolik maupun non-Katolik.[17][18] Ajaran Paus Gregorius I mengenai Maria Magdalena, meskipun populer sepanjang sejarah Gereja, tidak pernah secara resmi diintegrasikan ke dalam dogma Katolik; ia juga dipandang tidak berbicara secara ex cathedra pada saat itu, sehingga perkataannya tidak dipandang infalibel. Bagaimanapun, bobot apapun yang dikenakan kepada tradisi ini, tidak terdapat bukti bahwa hal itu digunakan untuk "merusak nama baik" Maria yang mana dipandang sebagai seorang santa yang karena kehormatannya gereja-gereja dibangun. Maria Magdalena juga dihormati sebagai seorang saksi kebangkitan Yesus sebagaimana tertulis dalam Injil.[14]
Cerita dalam The Da Vinci Code mengklaim bahwa "Piala Suci" (atau "Cawan Suci") bukanlah sebuah cawan tetapi garis keturunan yang timbul dari ikatan pernikahan Yesus dan Maria Magdalena. Hal ini bukan merupakan gagasan asli Brown; sebelumnya gagasan ini telah dihipotesiskan oleh orang-orang lain, misalnya Michael Baigent dan Richard Leigh dalam Holy Blood and the Holy Grail. Banyak akademisi sejarah dan tekstual yang telah mencirikan klaim ini sebagai dugaan tanpa bukti.[19]
Kaum wanita dalam Injil umumnya diidentifikasi dengan suami atau kerabat laki-laki, khususnya jika mereka memiliki nama yang sama dengan orang lain. Sebagai contoh, ada banyak disebutkan wanita yang dinamakan "Maria", semuanya disebutkan secara berbeda (meskipun ada kemungkinan identifikasi bersama antara satu dengan yang lainnya). Ada Maria "ibu Yesus", Maria Magdalena, Maria "ibu Yakobus dan Yusuf", Maria "ibu Yakobus", Maria "yang lain", Maria "istri Kl[e]opas" dan Maria dari Betania, saudari Lazarus dan Marta. Maria Magdalena terlihat menonjol daripada kebanyakan Maria lainnya karena ia tidak terkait secara langsung dengan pria mana pun. Maria "Magdalena" berarti "Maria dari Magdala", sama seperti Yesus "orang Nazaret" ("Jesus the Nazarene") berarti "Yesus dari Nazaret" ("Jesus of Nazareth"). Beberapa peneliti mengklaim bahwa, seandainya memang ia menikah dengan Yesus, ia tentu akan disebutkan sesuai kebiasaan saat itu, yaitu Maria "istri Yesus".[20]
Menurut The Da Vinci Hoax, penggunaan istilah "mempelai Kristus" atau "pengantin Kristus" bagi Gereja di dalam beberapa surat Paulus (Efesus 5:25–27, 2 Korintus 11:2–3) dan Kitab Wahyu menunjukkan bahwa Yesus tidak menikah. Para penulis karya tersebut juga menduga kalau perkataan Yesus bahwa "ada orang yang [tidak kawin] karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga" (Matius 19:12) adalah untuk menanggapi kritik terhadap Yesus sendiri yang menjalani selibat.[14]
Dalam The Da Vinci Code dikutip suatu garis keturunan dari Injil Filipus di mana Maria Magdalena disebut sebagai "pendamping" Yesus, dan salah satu karakter dalam novel tersebut mengatakan bahwa para akademisi Aramaik mengetahui kalau hal ini berarti "istri". James M. Robinson, salah seorang ahli injil gnostik, menanggapi bagian ini dengan menunjukkan bahwa istilah "pendamping" belum tentu terkait seksual. Selain itu Injil Filipus ditulis dalam bahasa Koptik, diterjemahkan dari bahasa Yunani, sehingga tidak ada satu kata pun dalam teks tersebut yang patut diperhatikan oleh seorang akademisi bahasa Aram. Injil Filipus menggambarkan Maria sebagai koinonos Yesus, yaitu suatu istilah Yunani yang mengindikasikan seorang 'teman dekat', 'pendamping' atau, kemungkinan, seorang kekasih. Dalam konteks keyakinan Gnostik, tulisan-tulisan Gnostik menggunakan Maria untuk menggambarkan hubungan rohani seorang murid dengan Yesus, sehingga hubungan jasmani dalam hal apapun dipandang tidak relevan.[14]
Banyak sejarawan seni telah membantah bahwa lukisan terkenal Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci menggambarkan Maria Magdalena di sebelah Yesus.[21][22]
Menurut Sir Leigh Teabing dalam Bab 55 novel tersebut, Gereja awal mula mengkonsolidasi kekuatannya dengan cara menekan gagasan-gagasan mengenai perempuan suci dan mengangkat nabi fana Yesus menjadi makhluk ilahi. Menurut Religion Facts, pertanyaan-pertanyaan yang dibahas oleh Konsili bukanlah keilahian Yesus, sebagaimana para penulis Perjanjian Baru meyakini keilahian Yesus, tetapi mengenai hubungan secara tepat antara Yesus dengan Allah. Secara khusus, Konsili mengambil keputusan terkait pertanyaan apakah Yesus adalah homoousios, "dari satu substansi" dengan Allah Bapa, atau apakah Yesus adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, lebih rendah dari Bapa namun sama seperti-Nya, tetapi masih lebih tinggi daripada semua makhluk lainnya (lih. Arianisme), atau apakah Yesus hanyalah substansi yang sama seperti Bapa, atau homoiousios.[23][24]
The Da Vinci Code mengklaim bahwa Konstantinus menghendaki Kekristenan untuk menyatukan Kekaisaran Romawi tetapi berpikir bahwa hal ini akan menarik bagi kaum pagan hanya jika menampilkan suatu sosok setengah dewa yang mirip dengan para pahlawan pagan, sehingga ia menghancurkan Injil-Injil Gnostik yang mengatakan bahwa Yesus adalah seorang nabi insani dan mempromosikan Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, yang mana menggambarkan Yesus sebagai sosok ilahi.[25]
Namun, secara historis, Kekristenan Gnostik tidak sekadar menggambarkan Yesus sebagai manusia. Bahkan sosok Yesus dalam Gnostik kurang manusiawi dibandingkan dengan Yesus dalam Kekristenan ortodoks. Kekristenan ortodoks pada umumnya memandang Yesus sebagai ilahi sekaligus insani, sementara aliran-aliran Gnostik memandang Yesus sebagai murni ilahiah dengan tubuh manusia yang hanya sekadar ilusi (lih. Doketisme). Banyak kalangan Gnostik memandang materi sebagai hal yang jahat, dan meyakini bahwa roh ilahi tidak akan pernah mengambil rupa tubuh jasmani.[26][27] Beberapa varian Gnostisisme berpandangan lebih jauh dengan meyakini bahwa Allah orang Yahudi hanyalah seorang pencipta dunia yang telah terperangkap dalam penjara kedagingan; dan bahwa Yesus adalah suatu emanasi Allah yang sejati, diutus untuk membebaskan manusia dari perbudakan daging. (lih. Marsionisme, Aeon, Arkhon).[butuh rujukan]
Karakter-karakter dalam The Da Vinci Code mengklaim Kekristenan telah menekan perempuan suci, representasi dari bumi atau ibu kekuatan mistik Dewi yang sering dikaitkan dengan simbol-simbol kesuburan dan reproduksi seperti Venus dan Isis.
Devosi umat Kristen awal terhadap martir perempuan (seperti Perpetua dan Felicitas) dan tulisan-tulisan apokrif mengenai tokoh seperti Tekla tampaknya mengindikasikan bahwa kaum perempuan memainkan suatu peranan dalam Gereja awal mula, jauh melebihi yang diketahui Dan Brown ataupun beberapa kritikus modern akan Kekristenan, meskipun bukti sejarah tidak memberi kesan bahwa laki-laki dan perempuan berbagi semua peran dalam pelayanan.[14] Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks secara khusus menghormati Perawan Maria yang melahirkan Yesus, tetapi novel tersebut menganggap hal ini sebagai suatu aspek deseksualisasi feminitas yang menekan perempuan suci. Dan Brown menyebut akademisi seperti Joseph Campbell saat mengatakan bahwa penggambaran Maria ini berasal dari Isis dan Horus anaknya.[28] Meisel dan Olson menyampaikan bahwa simbol "Ibu dan Anak" tersebut, sebagai suatu bagian universal dari pengalaman manusiawi secara umum, dapat ditemukan dalam keyakinan-keyakinan lainnya sehingga Kekristenan tidak menyalin elemen ini dari mitologi Mesir.[14]
Berbagai tradisi dan dokumen Kristen cenderung menekankan kebajikan perempuan yang murni sesuai dengan dorongan Kekristenan secara umum terkait kemurnian bagi kedua gender. Kaum Gnostik mengekspresikan pandangan antiperempuan, misalnya ayat terakhir yang terkenal dalam Injil Tomas di mana Yesus mengatakan bahwa Maria akan dijadikan seorang laki-laki agar layak untuk masuk ke dalam Kerajaan.[14]
Karakter Robert Langdon mengklaim bahwa Bangsa Israel awal mula menyembah dewi Shekinah sebagai yang setara dengan Yahweh, sehingga hal ini dipandang bertentangan dengan ideologi Yahudi. Yudaisme sejak dahulu adalah agama monoteistik, dan keyakinan pada seorang dewi sebagai mitra Allah merupakan hal yang tidak logis dan secara tegas dilarang. Pada kenyataannya istilah Shekinah (berasal dari kata Ibrani yang berarti "kediaman") sama sekali tidak tampak dalam Yudaisme awal, tetapi belakangan Yudaisme Talmud menggunakannya untuk menyebut "kediaman" atau kehadiran Allah di antara umat-Nya. Istilah tersebut menggambarkan suatu pancaran rohaniah. Para kritikus berpendapat bahwa ini berasal dari suatu pemahaman akan Kabala, yang mana berbicara tentang Allah dengan atribut "laki-laki" dan "perempuan" di dalam Sefirot.[29]
Carl Olson dan Sandra Miesel menyatakan hal yang bertentangan dengan klaim dalam The Da Vinci Code, yakni berbagai Injil Gnostik (misalnya Injil Tomas, Injil Filipus, Injil Maria, dan Injil Yudas) juga tidak lebih berfokus pada kemanusiaan Yesus. Injil-injil lain yang diketahui, kebanyakan bagiannya memandang Yesus lebih sebagai sosok dari dunia lain dan kekurangan rincian manusiawi sebagaimana dilaporkan oleh Alkitab.[14] Penegasan tulisan "lebih dari delapan puluh injil", dengan hanya empat yang lazim yang terpilih sebagai kanonik, dipandang sangat melebih-lebihkan jumlah Injil Gnostik yang pernah ditulis.[14][20]
Pernyataan bahwa Gulungan Laut Mati, yang mana ditemukan pada tahun 1947 (bukan tahun 1950-an sebagaimana diprediksi oleh Dan Brown), berisikan Injil yang hilang atau tersembunyi juga dipandang keliru. Gulungan-gulungan naskah tersebut berisikan kitab-kitab dari Alkitab Ibrani, apokrif, dan pseudopigrafa, serta pedoman-pedoman yang digunakan oleh komunitas Yahudi di Qumran. Tidak ada satupun dokumen definitif Kekristenan—ortodoks, Gnostik, atau lainnya—yang pernah ditemukan di situs tersebut,[14] kecuali mungkin 7Q5.
Penggambaran Opus Dei sebagai suatu ordo (kongregasi) monastik yang merupakan "prelatur personal" Paus dipandang tidak akurat. Pada kenyataannya tidak ada rahib di dalam Opus Dei, yang mana keanggotaannya terutama adalah kaum awam, dan kaum awam yang selibat disebut numerari. Namun hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa Silas disebut sebagai seorang rahib kebanyakan oleh para protagonis, Langdon dan Neveu, yang mana terbukti memiliki sedikit pengetahuan tentang Opus Dei. Kata numerari digunakan oleh para anggota Opus Dei yang sebenarnya untuk menyebut Silas, seperti misalnya oleh seorang karakter di pusat Opus Dei di London. Selain itu, Opus Dei mendorong para anggotanya yang kaum awam untuk menghindari praktik-praktik dari dunia luar yang dianggap sebagai fundamentalis. Istilah prelatur personal tidak merujuk pada suatu hubungan khusus dengan Paus; istilah ini berarti suatu institusi yang mana yurisdiksi dari prelatusnya tidak terkait dengan suatu wilayah tapi atas orang-orang di mana pun mereka berada.[14]
Silas, sang "rahib Opus Dei", menggunakan cilice (busana kasar yang utamanya terbuat dari rambut hewan) dan mempraktikkan flagelasi atas dirinya sendiri. Beberapa anggota Opus Dei melakukan praktik mortifikasi atau mematikan keinginan daging secara sukarela, suatu tradisi Kristen setidaknya sejak St. Antonius pada abad ke-3, serta dipraktikkan juga oleh Bunda Teresa, Padre Pio, dan Óscar Romero. Pada periode Tudor, baik Santo Thomas More maupun Ratu Inggris Catarina d'Aragón juga mengenakan 'busana rambut' tersebut.[30]
Para kritikus menuduh The Da Vinci Code menggambarkan Opus Dei sebagai misoginis, suatu klaim yang mana para pembela ordo tersebut mengatakan bahwa novel ini tidak memiliki dasar dalam realitas karena setengah posisi kepemimpinan Opus Dei dipegang oleh kaum perempuan.[30]
Para kritikus juga mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan dalam The Da Vinci Code terhadap hubungan antara Paus Yohanes Paulus II dan ordo ini terkait Bank Vatikan juga tidak memiliki dasar dalam kenyataannya. Tuduhan tersebut menyatakan bahwa karena hubungan ini pendiri Opus Dei dinyatakan sebagai seorang Santo hanya 20 tahun setelah kematiannya. Pada kenyataannya, Josemaría Escrivá dikanonisasikan 27 tahun setelah kematiannya, kendati lebih cepat dibandingkan dengan beberapa orang lainnya namun hal ini dipandang terkait dengan penyederhanaan keseluruhan proses dan keputusan Paus Yohanes untuk menjadikan pesan dan kesucian Escriva diketahui secara luas.[30]
Dalam The Da Vinci Code, pimpinan Opus Dei melakukan berbagai perjalanan sendirian dan membuat keputusan-keputusan penting sendiri. Dalam kehidupan nyata, pimpinan Opus Dei biasanya didampingi oleh dua imam lainnya yang disebut custode atau wali. Pengambilan keputusan dalam Opus Dei bersifat "kolegial", yakni pimpinan hanya memiliki satu suara.[30]
Anggapan bahwa Mona Lisa dilukis oleh Leonardo da Vinci sebagai manusia yang "sepenuhnya" androgini yang merepresentasikan kedua gender dipertentangkan dalam buku karya Olson dan Meisel, di mana mereka menyatakan bahwa para sejarawan seni terkemuka telah menjelaskan bahwa lukisan tersebut potret seorang wanita yang dibuat oleh seorang ahli. Olson dan Meisel juga mempersoalkan gagasan bahwa Leonardo melukis Mona Lisa sebagai sebuah potret diri, dan bahwa gagasan ini didasarkan pada kenyataan ditemukannya titik-titik kongruensi antara wajah Leonardo dan Mona Lisa. Olson dan Meisel menanggapi bahwa titik-titik kongruensi dapat ditemukan di antara banyak wajah, yang dengannya dapat memfasilitasi teknik morphing wajah dengan bantuan komputer.[14]
Salah satu karakter dalam The Da Vinci Code terang-terangan menyatakan bahwa Leonardo da Vinci adalah seorang "homoseksual yang flamboyan". Walau terdapat petunjuk mengenai kehidupan pribadi Leonardo yang dapat mengesankan bahwa ia adalah seorang homoseksual, hal ini tidak berarti konklusif, dan tidak ada kesepakatan keilmuan tentang hal ini. Seandainya Leonardo adalah homoseksual, ia seharusnya akan lebih berhati-hati dan tidak flamboyan. Menjadi "flamboyan" dipandang berbahaya karena tindakan sodomi homoseksual pada saat itu biasanya terancam hukuman mati.[14]
Judul buku ini tidak konsisten dengan konvensi penamaan, karena "Da Vinci" bukan nama belakang atau nama keluarga Leonardo. Tom Chivers dari The Daily Telegraph berkomentar, "[Leonardo] berasal dari Vinci. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh banyak kritikus, menyebutnya The Da Vinci Code adalah sama seperti mengatakan Tuan Dari Arabia atau bertanya Apa yang akan Dari Nazaret Lakukan?"[a]
Tuduhan bahwa Paus Klemens V membakar para Ksatria Templar dan melemparkan abunya ke Sungai Tiber di Roma dipandang salah. Para pemimpin terakhir Kesatria Templar dibunuh di Prancis pada tahun 1314 oleh Raja Philippe IV dari Prancis, mereka dibakar pada tiang pancang di sebuah pulau kecil di Sungai Seine. Kepemimpinan Paus Klemens V saat itu bukanlah di Roma, karena ia telah memindahkan pusat kepausan ke Avignon.[14]
Legenda Piala Suci (Holy Grail, Cawan Suci) memuat dugaan adanya sebuah relikui suci (dalam banyak versi dapat berupa cawan yang digunakan saat Perjamuan Terakhir, atau cawan yang dikatakan telah digunakan Yusuf dari Arimatea untuk menampung darah Yesus, atau keduanya), yang mana dianggap akan memberikan berkah tak terkira bagi setiap kesatria murni yang menemukannya. Legenda ini muncul sekitar masa Perang Salib dan ditampilkan dalam Le Morte d'Arthur karya Thomas Malory. Dalam bahasa Prancis Lama, Piala Suci ditulis San Graal. Namun The Da Vinci Code, dengan mengambil petunjuk dari buku The Holy Blood and the Holy Grail, menafsirkannya sebagai "Sang Réal" dan menerjemahkannya sebagai "darah bangsawan".
Pada awal mula legenda Piala Suci, graal sebenarnya menandakan sebuah piring besar untuk ikan, yang juga suatu simbol religius Kristen, dan bukan cawan. Gagasan akan sebuah cawan tampaknya berkembang dengan cepat sepanjang akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13, dipengaruhi oleh cerita-cerita religius apokrif seperti yang mengisahkan Yusuf dari Arimatea, dan berbagai cerita pagan tentang wadah ajaib yang—sebagai contoh—menghasilkan makanan tiada habisnya (dikaitkan dengan keyakinan Kristen tentang 'Roti Hidup' yang dihasilkan saat Perjamuan Terakhir). Cawan ini karenanya tampak menyajikan suatu perpaduan yang sesuai, sama seperti banyak cerita yang sekarang diasosiasikan dengan legenda Pencarian Piala Suci dan Raja Arthur, antara ajaran-ajaran Kristen (kendati apokrif) dan tradisi-tradisi pagan.[14]
Beberapa klaim terkait Gereja Saint-Sulpice di Paris diperdebatkan. Terdapat sebuah garis kuningan yang membujur dari utara ke selatan di dalam bangunan gereja tersebut, tetapi bukanlah bagian dari meridian Paris. Garis tersebut merupakan sebuah gnomon atau jam matahari, digunakan untuk menandai titik balik matahari dan ekuinoks. Selain itu, tidak ada bukti bahwa pernah ada sebuah kuil Isis di situs ini. Catatan berikut ini dipajang di dalam Gereja Saint-Sulpice:[32]
Bertentangan dengan tuduhan-tuduhan fantastis dalam sebuah novel laris baru-baru ini, [garis di lantai] ini bukanlah sisa-sisa sebuah kuil pagan. Tidak pernah ada kuil semacam itu di tempat ini. Garis tersebut tidak pernah disebut Garis Mawar. Garis tersebut tidak bertepatan dengan meridian yang menelusuri bagian tengah Observatorium Paris, yang mana berfungsi sebagai suatu referensi untuk peta di mana garis-garis bujur diukur dalam satuan derajat Timur atau Barat Paris. Perlu diketahui juga bahwa huruf P dan S pada jendela-jendela kecil yang bundar di ujung kedua transept juga dapat merujuk pada Petrus dan Sulpisius, para santo pelindung gereja ini.[32][33]
Penyebutan bahwa Paris didirikan oleh Dinasti Meroving (Bab 55) dipandang salah; pada kenyataannya, kota ini telah menjadi pemukiman orang Galia pada abad ke-3 SM. Orang Romawi, yang mana saat itu menyebutnya Lutetia, merebutnya pada tahun 52 SM di bawah kepemimpinan Julius Caesar, dan meninggalkan cukup banyak reruntuhan di kota ini, termasuk sebuah amfiteater (yaitu Arènes de Lutèce) dan pemandian umum (yaitu Thermes de Cluny). Kaum Merovingian baru berkuasa di Prancis pada abad ke-5 M, saat itu Prancis telah berusia setidaknya 800 tahun.[14]
Dan Brown mencirikan siklus planet Venus sebagai "menyusuri suatu pentakel yang sempurna di langit ekliptika setiap empat tahun".[34] Kesalahan ini diperbaiki menjadi "delapan tahun" pada beberapa edisi berikutnya seperti pada paperback Britania dan cetakan hardcover Amerika Serikat bulan April 2003.[35]
Steve Olson, penulis Memetakan Sejarah Manusia: Gen, Ras, dan Asal Usul Kita Bersama, menulis dalam sebuah artikel di Nature, mengatakan bahwa gagasan mengenai adanya sejumlah orang yang hidup saat ini adalah satu-satunya keturunan dari orang tertentu yang hidup ribuan tahun lalu, seperti Yesus dan Maria, adalah cacat secara statistik. Menurut Olson, "Jika ada orang yang hidup pada saat ini merupakan keturunan dari Yesus, demikian pula kebanyakan dari kita di planet ini."[36]
Menjelang akhir novel, Sophie dan Langdon berdiri di luar Kapel Rosslyn pada sore hari, Brown menggambarkan mereka sedang melihat ke arah timur menyaksikan naiknya planet Venus ke atas cakrawala. Secara astronomis, karena lokasi orbitnya di antara bumi dan matahari, Venus hanya akan terlihat naik di sisi timur pada pagi hari sesaat sebelum matahari terbit atau terbenam pada sore hari di sisi barat sesaat sebelum matahari terbenam. Adalah tidak mungkin menyaksikan Venus naik di atas ufuk timur pada sore hari.
Dua tuntutan hukum pernah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan plagiarisme dalam The Da Vinci Code.[37]
Pada 11 April 2015 novelis Lewis Perdue menggugat Dan Brown dan Random House penerbitnya dengan tuduhan melakukan plagiat atas novel-novel karyanya, yaitu The Da Vinci Legacy (1983) dan Daughter of God (2000), dengan klaim "ada terlalu banyak persamaan antara buku-buku saya dan The Da Vinci Code untuk dapat dikatakan suatu ketidaksengajaan." Pada 4 Agustus 2005, Hakim Distrik George B. Daniels mengabulkan mosi untuk summary judgment dan menghentikan gugatan tersebut, memutuskan bahwa "rata-rata pengamat awam yang sewajarnya tidak akan menyimpulkan bahwa The Da Vinci Code secara substansial mirip dengan Daughter of God. Elemen apapun yang agak mirip berada dalam tingkatan gagasan umum atau hal lainnya yang tanpa perlindungan." Ia menegaskan bahwa The Da Vinci Code tidak melanggar hak cipta yang dipegang oleh Perdue.[38]
Pada bulan Februari 2006, Michael Baigent dan Richard Leigh, dua dari ketiga penulis Holy Blood, Holy Grail, mengajukan penerbit The Da Vinci Code di Britania ke pengadilan atas pelanggaran hak cipta, dengan tuduhan plagiarisme.[39] Beberapa sumber mengemukakan bahwa gugatan tersebut adalah suatu aksi publisitas[40] yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan The Holy Blood and the Holy Grail (suatu dorongan yang ternyata memang terjadi). Namun biaya pengadilan diperkirakan lebih besar dari 1 juta poundsterling, setidaknya secara substansial mengurangi keuntungan finansial akibat gugatan tersebut.[41]
Dan Brown berulangkali mengatakan dalam pembelaannya bahwa sejarah tidak dapat diplagiat dan tuduhan-tuduhan kedua penulis tersebut adalah keliru. Leigh menyatakan, "Ini bukan berarti bahwa Dan Brown mengangkat ide-ide tertentu karena sejumlah orang telah melakukan itu sebelumnya. Ini lebih karena ia mengangkat keseluruhan arsitektur–seluruh teka-teki jigsaw–dan menggantungnya pada kait sebuah thriller fiksi".[42] Dan Brown mengakui bahwa beberapa ide yang diambil dari karya Baigent dan Leigh mutlak diperlukan untuk bukunya tetapi ia menyatakan bahwa juga ada banyak sumber di balik itu. Bagaimanapun Brown mengakui bahwa baik dia maupun istrinya telah membaca buku karya Baigent dan Leigh ketika ia menghasilkan "sinopsis" asli novelnya.[43] Salah satu argumen Michael Baigent dan Richard Leigh yaitu nama pemberian dari karakter Sir Leigh Tebing adalah sama dengan nama belakang Richard Leigh, dan "Teabing" merupakan sebuah anagram dari "Baigent".[44]
Pada 7 April 2006, hakim Pengadilan Tinggi Sir Peter Smith menolak klaim pelanggaran hak cipta oleh Michael Baigent dan Richard Leight, sehingga Random House memenangkan kasus ini.[3][4] Namun dalam petikan putusannya yang dipublikasikan,[45] sang hakim mengkritik tidak hadirnya Blythe Newlon (istri Dan Brown) dan ketidakjelasan bukti yang diberikan Dan Brown dengan mengatakan, "Ia telah menampilkan dirinya sebagai seorang peneliti yang cermat dan mendalam... Bukti dalam kasus ini menunjukkan bahwa, berkenaan dengan DVC [The Da Vinci Code], bukti tersebut sama sekali tidak benar dalam kaitannya dengan pembacaan-pembacaan historis. ... realitas penelitiannya adalah bahwa itu dangkal."[46][47][48]
Sang hakim juga menyertakan suatu kode dalam putusannya. Sepanjang putusan tertulis itu, sepertinya ada huruf-huruf acak yang dimiringkan dan membentuk suatu pesan. Huruf-huruf dalam paragraf pertama dieja "smithy code" dan secara keseluruhan ditampilkan sebagai "jaeiextostgpsacgreamqwfkadpmqzv". Ini kemudian diterjemahkan sebagai "Kode Smithy Jackie Fisher kamu siapa Dreadnought"[b], mengacu pada seorang admiral Britania yang dikagumi Hakim Smith. Sebagaimana novel The Da Vinci Code, pesan rahasia ini menggunakan bilangan Fibonacci untuk pengkodeannya.
Dalam suatu konferensi pada 28 April 2006 Uskup Agung Angelo Amato, sekretaris Kongregasi bagi Doktrin Iman, yaitu salah satu departemen kuria Vatikan, secara khusus menyerukan pemboikotan versi film The Da Vinci Code, mencirikan film tersebut sebagai "penuh fitnah, penghinaan, serta kesalahan historis dan teologis".[8] Film tersebut diberi peringkat "ofensif secara moral" oleh Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat.[9][50]
Di India, kediaman bagi 18 juta umat Katolik (1,8% dari populasi), Badan Pusat Sertifikasi Film memberikan film The Da Vinci Code peringkat dewasa dengan ketentuan pencantuman sanggahan (disclaimer) di bagian awal dan akhir film yang menyebutkan bahwa film tersebut merupakan sebuah karya fiksi.[12]
Sikap berbeda diperlihatkan oleh beberapa kelompok Katolik yang berupaya menggunakan ketertarikan publik atas novel dan film The Da Vinci Code sebagai suatu sarana untuk memberikan edukasi kepada umat Katolik dan non-Katolik mengenai sejarah Gereja Kristen dan mengenai apa yang diajarkannya terkait Yesus Kristus.[10][11] Beberapa kalangan Kristen lainnya juga telah melihat peluang untuk menggunakan film tersebut sebagai alat bagi penginjilan.[50]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.