Remove ads
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Harijadi Sumodidjojo (25 Juli 1919 – 3 Juni 1997 ) adalah seorang seniman realis yang berkarya di masa Revolusi Indonesia melalui karya seninya yang menjunjung paham kerakyatan.[1] Hasil karyanya mampu menggambarkan wujud fisik dan pikiran rakyat yang dapat dengan nyata dinikmati oleh masyarakat.[2] Beberapa karya seni yang dihasilkannya adalah lukisan Awan Berarak Jalan Bersimpang dan Biografi II di Malioboro, Anak Tetangga Kita, relief batu berjudul Pesta Pura di Bali, dan mural yang dilukis di dinding Museum Sejarah Jakarta.[1] Mural seluas 200 m² yang belum terselesaikan itu menggambarkan kehidupan di kota Batavia dari tahun 1880 hingga 1920.[3]
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada April 2016. |
(2010) | |
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 25 Juli 1919 |
Kematian | 3 Juni 1997 (77 tahun) |
Kegiatan | |
Pekerjaan | pelukis |
Harijadi merupakan salah satu pelukis yang sering diajak berdiskusi tentang lukisan oleh Soekarno.[2] Kepercayaan Harijadi kepada ideologi kebangsaan yang diajarkan Soekarno telah membatasinya untuk berkarya di masa orde baru (1968-1998).[1] Hal ini dikarenakan pada masa tersebut, paham yang berkaitan dengan Soekarno telah menjadi suatu ketakutan.[1] Hingga akhir hidupnya, dia tetap memegang prinsip untuk menggunakan pekerjaan seninya untuk rakyat dan menolak menjadi abdi para penguasa.[1]
Harijadi Sumodidjojo dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1919 di Ketawang, Kutoardjo, Jawa Tengah.[1] Di beberapa sumber, tahun kelahirannya tercatat pada 1921.[4] Ini dilakukan supaya dia bisa masuk menjadi Tentara Pelajar.[5] Ayah Harijadi bernama Samadi, seorang guru bantu dan kepala sekolah di Sekolah Rakyat Ongko Loro, Ketawangrejo, yang dikenal sebagai pecinta sastra dan karawitan.[6] Sedangkan, ibunya bernama Ngadikem binti Mansur, anak juragan tembakau Jember, Jawa Timur.[6]
Sebelum menjadi seniman otodidak, Harijadi sempat menempuh pendidikan di bidang bisnis. Karier melukisnya diawali dengan bekerja sebagai pembuat poster film bioskop.[4] Pada tahun 1940-1941, dia bekerja sebagai seniman komersial pada sebuah firma di Jakarta.[4] Dia dikenal sebagai salah satu seniman tempaan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan Sindoesoedarsono Soedjojono pada tahun 1940-an.[1] Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Harijadi juga menjadi guru di Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP).[7]
Selama Perang Dunia II berlangsung, Harijadi sempat bergabung sebagai ahli meteorologi yang bekerja untuk Tentara Sekutu dan turut berperang di Malaya dan Sumatra.[4] Pada tahun 1949, dia bergabung dengan Brigadir 17 dari TNI untuk bertempur di Yogyakarta selama revolusi berlangsung.[4] Dia diterima dengan pangkat Letnan II kemudian naik menjadi Komandan Detasemen Zeni Brigade 17 Wilayah Kedu Selatan.[8]
Pada tahun 1965, Soekarno mengirim Harijadi dan Puranto Yapung sebagai seniman, serta Drs Soemardjo dan Drs Buchori sebagai sejarawan, untuk belajar mengenai museum di Meksiko.[4][9] Mereka belajar dari tentang pembuatan diorama pada Mario Vasces, ahli antropologi dan museum yang dipercaya pemerintah Meksiko.[9] Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk mengisi museum nasional yang sedang dibangun dengan diorama sejarah Indonesia.[9] Proyek pembuatan diorama tersebut hanya berhasil diselesaikan sebanyak 5 adegan dari total 30 adegan yang direncanakan karena terjadinya G30SPKI.[9] Di Meksiko, Harijadi juga bertemu dengan seniman mural dan pelukis realis kiri Meksiko, Jose David Alvaro Siquiros, dan menjadi salah satu anggota Organisacion International de Muralistos del Mundo di Amerika Selatan.[4][5]
Selain melukis, Harijadi memiliki kegemaran pada bidang otomotif dan balapan dan hal ini ditunjukkan dengan keikutsertaanya di Persatuan Sport Sepeda Motor Jogjakarta (PSSJ).[10] Pada tahun 1956, dia menjadi juara II Permi TT (Time Trial) Races klas 350 cc di Surabaya dengan mengendarai BSA tipe Gold Star.[10] Kendaraan tersebut dibeli dari Mayor Jenderal Bambang Sugeng, mantan Kepala Staf Angkatan Darat kala itu, seharga Rp 40.000 dengan uang hasil penjualan empat lukisannya.[10] Hingga tahun 1970-an, dia masih aktif di Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan bertugas sebagai pemeriksa keaslian mesin kendaraan calon peserta setiap kali diadakan balap motor di sirkuit Ancol.[10]
Hobi lain yang digeluti Harijadi adalah bernyanyi dan menulis puisi. Pada tahun 1959, dia juga terlibat sebagai aktor dalam teater Hartati yang disutradarai oleh Subagyo Sastrowardoyo.[11] Beberapa film juga pernah dimainkannya, yaitu Badai Selatan (1960) dan Nyoman Cinta Merah Putih (1989).[11]
Semasa hidupnya, dia menikah sebanyak tiga kali dan memiliki delapan orang anak yang bernama Bambang, Niken, Ireng, Rini, Santu, Sani, Lintang dan Layung.[4][12] Istrinya yang pertama bernama Sri Redjeki, tetangganya yang disukai sejak dulu. Kondisi ekonomi keluarga yang tida mapan membuat Sri meninggalkan Harijadi pada tahun 1948.[12] Pada 1 Januari 1950, Harijadi menikah dengan Sumilah, pegawai Kementerian Pertahanan yang juga menjadi pengajar tari Serimpi kepada putri-putri ningrat Pura Mangkunegaran Solo.[12] Untuk mencari penghasilan tambahan bagi keluarga, Sumilah membantu dengan berbagai cara, mulai dari berdagang sembako, menjual perhiasan, sampai menggadaikan batik tulis dan sepeda miliknya.[12] Setelah Sumilah meninggal, Harijadi kembali menikah dengan Siti Habibah binti Natadilaga atas saran dari Sumilah yang merasa suaminya selalu memerlukan pendamping.[12]
Sebagai orang tua, Harijadi dan istrinya mengajarkan anak-anak mereka tentang tata cara hidup melalui contoh dan agar selalu mencintai seni dan budaya, misalnya dengan membiasakan penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil (tingkat paling halus) kepada orang yang lebih tua.[13] Selain itu, dia juga memberikan pengetahuan yang didapatkannya dari luar negeri.[13]
Satu-satunya pameran lukisan tunggal Harijadi berlangsung pada 25 April-5 Mei 1956 di Balai Budaya Jalan Gereja Theresia 47 Jakarta.[14] Dari 54 karya yang dipamerkan, terdapat sebuah lukisan berjudul Balapan yang Terakhir, di mana berisi kegemaran Harijadi terhadap otomotif dan balapan.[10] Kehidupan personal Harijadi selalu dimasukkan dalam setiap karyanya, salah satunya dalam lukisan Beginilah Hidupku yang menggambarkan Harijadi dan Sumilah saat mengalami pertengkaran.[14] Sifat kritis dan idealisme Harijadi tampak dalam berbagai karyanya.[7] Salah satunya adalah lukisan menggunakan wenter dan berjudul Makanan Kami (1948), menggambarkan dua ikan asin dan bawang merah dengan tulisan Makanan kami pelukis yang katanya klas bangsat yang katanya tidak punya visi.[7]
Pada Januari 1955, Soekarno ingin memiliki lukisan Harijadi berjudul Pengungsi-pengungsi dari Daerah Merapi, yang menampilkan karakter Harijadi yang keras namun penyayang.[11] Namun, dia tidak mau menyerahkan lukisan tersebut karena itu sudah dipersiapkan untuk anaknya, Rini, yang saat itu menderita kelainan jantung.[11]
Selain melukis, Harijadi juga mempelajari ilmu memboetseer (membuat patung dari tanah liat dengan model), memahat, seni interior dan etalase, serta arsitektur mebel.[15] Salah satu hasil pahatan Harijadi adalah relief di Bandara Kemayoran yang dibuat tahun 1957 atas keinginan Soekarno untuk menyambut tamu negara.[16] Relief tersebut terdiri dari tiga bidang dan selesai dibuat dalam 10 bulan walaupun Harijadi sempat beristirahat selama 3 bulan akibat patah tangan dalam suatu balapan.[16] Bidang pertama relief dirancang oleh Sudjojono dan bertemakan Manusia Indonesia, bidang kedua dikerjakan oleh Harijadi dengan tema Flora dan Fauna, sedangkan bidang ketiga berisi Legenda Sangkuriang yang dibuat oleh Surono.[16]
Setelah keluar dari SIM karena tidak sejalan dengan prinsip Sudjojono, Harijadi mendirikan Sanggar Selabinangun (Sangsela) bersama Sumilah.[17] Pemerintah meminta Sangsela untuk membuat relief beton di ruang VIP Bandara Adisucipto dan mereka mengerjakannya dengan biaya mandiri dan asupan dana permerintah.[17] Setelah dua tahun dikerjakan, pembuatan relief yang sering disebut Rara Jonggrang tersebut dihentikan karena kesulitan dana.[17] Setelah proyek tersebut, Soekarno meminta Harijadi dan Sangsela untuk membuat relief batu andesit berjudul Pesta Pura di Bali, seluas 68 m² yang diletakkan di dinding Hotel Indonesia.[1][18] Pada 20 April 1964, felief tersebut diserahkan ke Departemen Perhubungan Darat Pos Telekomunikasi dan Pariwisata.[18] Di bagian kiri bawah relief tersebut, dipahat pedoman Sangsela yang berbunyi, "Kerasnya batu masih kalah dengan kerasnya tekad guna menyelesaikan revolusi."[18]
Pada awal tahun 1970-an, petugas PBB dalam bidang rencana pembangunan mengusulkan kepada Ali Sadikin selaku Gubernur Jakarta saat itu, untuk melakukan revitalisasi kawasan tua dan bersejarah di Jakarta sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan di bidang pariwisata.[19] Usulan tersebut diterima dan Ali Sadikin memanggil beberapa seniman untuk membuat karya yang menarik bagi bekas Balai Kota yang diubah menjadi Museum Sejarah Jakarta.[19] Pada awalnya, Harijadi Sumodidjojo direncanakan akan melukis di kanvas seluas 20 m² yang akan dipajang di salah satu ruangan museum itu.[19] Ternyata, dia malah membuat mural secara langsung di permukaan dinding seluas 200 m².[19] Bagian atas mural setinggi enam meter masih berupa sketsa tanpa warna dan tidak diselesaikan oleh Harijadi sampai akhir hayatnya.[3] Lokasi museum yang berada sangat dekat dengan laut dan konstruksi bangunan abad ke-18 menyebabkan dinding tersebut menjadi terlalu lembap dan tidak bisa ditempeli cat.[19]
Sejak tahun 1974, ruangan berisi mural tersebut sempat dipakai untuk penyimpanan objek etnografi sehingga dikenal sebagai Ruang Etnografi.[19] Namun, ruangan itu akhirnya digunakan sebagai ruang penyimpanan barang karena petugas museum sulit menjelaskan keberadaan mural tersebut apabila ditanyakan oleh pengunjung.[19] Hingga pada tahun 2010, sekelompok seniman Inggris dan Indonesia tak sengaja menemukan mural itu kembali.[3] Mereka bekerja bersama berbagai ahli dalam dan luar negeri untuk menerjemahkan misteri lukisan tersebut dan membuatnya menjadi proyek Misteri Batavia yang dapat dinikmati melalui pertunjukkan interaktif.[3][20]
Secara keseluruhan, lukisan ini menggambarkan kehidupan di Batavia antara tahun 1980-1920. Interaksi manusia yang hidup bersama di kota itu diceritakan berasal dari berbagai kultur dan etnik, mulai dari Melayu, Arab, Cina, dan Eropa.[19] Di bagian atas mural yang belum diwarnai, terlukis Stasiun Jatinegara, Harmoni, Kota, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok, serta pecinan.[19] Selain itu, digambarkan pula adanya pintu gerbang Amsterdam dan Kali Ciliwung.[3] Berbagai pemandangan sehari-hari yang terjadi di Batavia ditampilkan di mural tersebut, di antaranya suasana pasar, pedagang pikul dan gerobak dorong, nelayan, saudagar Arab yang sedang mengawasi hasil laut, tukang cukur, pesta makan malam yang dihiasi budak, gambaran keluarga yang diusir dari rumahnya, serta pencopet yang berada di balik pesta topeng ondel-ondel.[3][19] Mural tersebut juga berisi berbagai model transportasi yang pernah ada di Batavia pada masa itu, mulai dari sado atau delman yang ditarik kuda, sepeda, trem, mobil tua, hingga penggunaan Sungai Ciliwung.[19]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.