Remove ads
denominasi Kristen Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Gereja-Gereja Katolik Timur atau Gereja-Gereja Katolik Oriental (bahasa Latin: Ecclesiae Catholicae Orientales) atau Gereja-Gereja Katolik Ritus Timur yang pernah pula disebut Gereja-Gereja Uniat[a] adalah dua puluh tiga Gereja partikular Kristen Timur sui iuris dalam persekutuan paripurna dengan Sri Paus di Roma, sebagai bagian dari Gereja Katolik sedunia. Di bawah pimpinan batrik-batrik, uskup-uskup metropolit, dan uskup-uskup agung utama, pemerintahan Gereja-Gereja Katolik Timur diselenggarakan menurut Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur. Selain itu, tiap-tiap Gereja Katolik Timur memiliki kanon-kanon dan hukum-hukum tersendiri, dan didorong untuk melestarikan tradisinya masing-masing. Menurut data Annuario Pontificio (buku rujukan tahunan Gereja Katolik), keseluruhan umat Gereja-Gereja Katolik Timur berjumlah kurang lebih 16 juta jiwa atau 1,5% dari jumlah seluruh umat Katolik, persentase selebihnya terdiri atas 1,2 miliar lebih umat Gereja Latin (Gereja Barat).
Bagian dari seri Gereja Katolik tentang |
Gereja partikular sui iuris |
---|
Gereja-Gereja partikular berikut dikelompokkan menurut ritus liturgi |
Ritus liturgi Latin |
Ritus Aleksandria |
Ritus Armenia |
Ritus Bizantin |
Ritus Suriah Timur |
Ritus Suriah Barat |
Gereja-Gereja Katolik Timur Portal Kristen |
Gereja Maronit adalah satu-satunya Gereja Katolik Timur yang senantiasa berada dalam persekutuan paripurna dengan Takhta Suci, sementara Gereja-Gereja Katolik Timur lainnya baru bergabung semenjak abad ke-16. Meskipun demikian, Gereja Melkit dan Gereja Katolik Yunani Italia Albania juga mengaku tidak pernah berada di luar ikatan persekutuan paripurna dengan Uskup Roma.
Ikatan persekutuan yang paripurna memungkinkan Gereja-Gereja Katolik Timur dan Gereja Latin untuk saling berbagi sakramen, termasuk sakramen Ekaristi. Di lain pihak, tradisi-tradisi liturgi dari ke-23 Gereja ini–meliputi tradisi liturgi Bizantin, Aleksandria, Armenia, Suriah Timur, dan Suriah Barat–serupa dengan tradisi-tradisi liturgi dalam Gereja-Gereja Kristen Timur di luar persekutuan paripurna dengan Gereja Latin, yakni Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Timur Asyur, dan Gereja Timur Purba. Meskipun ada sejumlah perbedaan pandangan dalam teologi dengan Gereja-Gereja Kristen Timur lainnya, Gereja-Gereja Katolik Timur tetap memperbolehkan umat Gereja-Gereja itu untuk menerima sakramen Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, sesuai dengan aturan hukum kanon Gereja Timur.[b]
Perlu diketahui bahwa banyak Gereja Katolik Timur memiliki aturan yang berbeda dari Gereja Latin terkait kewajiban selibat bagi rohaniwan, dan memperbolehkan kaum pria yang sudah menikah untuk ditahbiskan menjadi rohaniwan.
Gereja-Gereja Katolik Timur mula-mula terbentuk di Timur Tengah, Afrika Timur, Eropa Timur, dan India, namun sejak abad ke-19, sebagian umatnya berdiaspora ke Eropa Barat, Benua Amerika, dan Oseania. Salah satu penyebab arus perpindahan ini adalah persekusi yang dialami umat Katolik Timur di negeri asal mereka. Demi terselenggaranya pelayanan rohani bagi mereka di tempat-tempat bermukim yang baru ini, dibentuklah eparki-eparki Gereja Timur yang tegak berdampingan dengan diosis-diosis Gereja Latin. Di lain pihak, pelayanan rohani bagi umat Katolik Latin di Timur Tengah diselenggarakan oleh Kebatrikan Latin Yerusalem.
Sekalipun umat Katolik Timur berada dalam persekutuan paripurna dengan Sri Paus dan umat Katolik sedunia,[c][d] mereka bukanlah umat Gereja Latin yang menggunakan ritus-ritus liturgi Latin, antara lain Ritus Romawi, yakni ritus yang paling banyak digunakan dalam Gereja Katolik.[e] Sebaliknya, Gereja-Gereja Katolik Timur adalah Gereja-Gereja partikular sui iuris tersendiri, meskipun saling berbagi sakramen dengan umat Gereja Latin dalam ikatan persekutuan yang paripurna dan kedudukan yang setara.
Kata "ritus" mengandung berbagai makna. Selain digunakan sebagai sebutan bagi khazanah warisan liturgi yang dimiliki sebuah Gereja partikular tertentu, kata ini juga kadang kala digunakan sebagai sebutan bagi Gereja partikular itu sendiri. Oleh karena itu, istilah "Ritus Latin" dapat berarti Gereja Latin maupun salah satu atau beberapa dari ritus-ritus liturgi Gereja Barat, yang meliputi Ritus Romawi, Ritus Ambrosian, Ritus Mozarabik, dan lain sebagainya.
Dalam Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur (CCEO) tahun 1990,[5][6] istilah "Gereja otonom" dan "ritus" didefinisikan sebagai berikut:
Sekelompok umat Kristen yang dipersatukan menurut hukum oleh suatu hierarki, dan diakui bersifat otonom oleh kewenangan tertinggi Gereja, baik secara terbuka maupun tidak terbuka, di dalam Kitab ini disebut sebagai sebuah Gereja otonom (kanon 27).[7]
- Ritus adalah khazanah warisan liturgi, teologi, kerohanian, dan tata tertib, budaya, dan keadaan sejarah dari suatu kaum tertentu, yang merupakan wujud nyata dari cara khas kaum itu menjalankan imannya, di dalam setiap Gereja otonom (bahasa Latin: sui iuris).
- Ritus-ritus yang diatur dalam CCEO, kecuali dinyatakan lain, adalah ritus-ritus yang tumbuh dari tradisi-tradisi Aleksandria, Antiokhia, Armenia, Kaldea, dan Konstantinopel" (kanon 28)[8] (bukan hanya warisan liturgi, melainkan juga warisan teologi, kerohanian, dan tata tertib, ciri khas budaya suatu kaum, dan keadaan sejarahnya).
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 (CIC 1983) Gereja Latin, Gereja-Gereja Katolik Timur disebut dengan istilah "Gereja ritual" atau "Gereja ritual sui iuris" (kanon 111 dan kanon 112). Terkait Gereja-Gereja Katolik Timur, CIC 1983 juga mengatur tentang "subjek dari sebuah ritus Timur" (kanon 1015 §2), "ordinaris-ordinaris dari ritus lain" (kanon 450 §1), "umat beriman dari sebuah ritus tertentu" (kanon 476), dan lain sebagainya. Konsili Vatikan II menyebut Gereja-Gereja Katolik Timur sebagai "Gereja-Gereja atau ritus-ritus partikular".[9]
Pada 1999, Konferensi Waligereja Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan: "Kita telah terbiasa menggunakan istilah Ritus Latin (Romawi atau Barat) atau Ritus-Ritus Timur sebagai sebutan bagi Gereja-Gereja yang berbeda-beda ini. Akan tetapi legislasi Gereja sekarang ini, sebagaimana termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik dan Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur, dengan jelas mengimbau agar kita sebaiknya tidak menggunakan istilah ritus, melainkan Gereja. Kanon 112 dalam Kitab Hukum Kanonik menggunakan frasa Gereja-Gereja ritual sebagai sebutan bagi Gereja-Gereja yang beragam ini."[10] Seorang penulis dalam sebuah terbitan berkala pada bulan Januari 2006 mengeluhkan: "Gereja-Gereja Timur masih saja secara keliru disebut Gereja-Gereja 'ritus Timur', yang mengacu pada keberagaman sejarah liturgi mereka. Gereja-Gereja ini sepatutnya disebut Gereja-Gereja Timur, atau Gereja-Gereja Katolik Timur."[11] Meskipun demikian, istilah "ritus" masih saja digunakan. CIC 1983 melarang seorang uskup Latin untuk menahbiskan, tanpa izin Takhta Suci, seorang subjek dalam yurisdiksinya yang "berasal dari sebuah ritus Timur" (bukan "yang menggunakan sebuah ritus Timur", yakni izin yang kadang-kadang diberikan kepada rohaniwan ritus Latin).[12] Dalam Summorum Pontificum, motu proprio yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI pada 2007, ditegaskan bahwa "setiap imam Katolik dari ritus Latin",[f] dengan syarat-syarat tertentu, "boleh menggunakan salah satu dari kedua" edisi Buku Misa Romawi yang ada.[14]
Istilah "uniat" pernah digunakan sebagai sebutan bagi Gereja-Gereja Katolik Timur yang berpisah dari Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, atau Gereja Timur Asyur. Istilah ini kadang kala dianggap sebagai penghinaan,[15][16] namun pernah beberapa kali digunakan oleh umat Katolik Latin maupun umat Katolik Timur sebelum Konsili Vatikan II.[g] Dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik tidak lagi menggunakan istilah ini karena dianggap bernada negatif.[16] Menurut John Erickson dari Seminari Teologi Ortodoks Santo Vladimirus, "istilah uniat itu sendiri pernah digunakan dengan bangga di kalangan persekutuan Gereja Roma, lama sebelum dianggap sebagai penghinaan. Istilah Katolik Ritus Timur pun tidak lagi lazim digunakan karena dianggap menimbulkan kesan seolah-olah umat Katolik Timur hanya berbeda dari umat Latin dalam aspek-aspek lahiriah peribadatan belaka. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa umat Katolik Timur merupakan Gereja-Gereja yang terpanggil untuk menjembatani Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Timur yang terpisah darinya."[19]
Persekutuan antar-Gereja telah retak akibat selisih pendapat perihal iman Kristen. Masing-masing pihak menuduh pihak lain sebagai ahli bidah (penyesat) atau telah menyimpang dari iman sejati (iman yang ortodoks). Keretakan persekutuan antar-Gereja juga diakibatkan oleh selisih pendapat perihal kewenangan atau kesahihan pengangkatan uskup tertentu. Terkait selisih pendapat perihal kewenangan dan kesahihan jabatan ini, masing-masing pihak menuduh pihak lain sebagai penyebab skisma, bukan sebagai ahli bidah.
Keretakan-keretakan terparah bermula dari peristiwa-peristiwa penting sebagai berikut:
Pada 431, Gereja-Gereja yang menerima keputusan Konsili Efesus (mengutuk ajaran-ajaran Nestorius) digolongkan sebagai ahli bidah oleh Gereja-Gereja yang menolak keputusan konsili itu. Gereja Negeri Timur, yang berpusat di wilayah Kekaisaran Sasani, tidak pernah bersedia menerima ajaran-ajaran Konsili Efesus. Di kemudian hari, Gereja ini menyebar ke seluruh penjuru benua Asia, namun akhirnya terpuruk setelah bangsa Mongol menginvasi Timur Tengah pada abad ke-14.
Monumen-monumen yang membuktikan keberadaan Gereja Negeri Timur masih dapat dijumpai di Tiongkok. Kini umatnya tidak seberapa banyak, dan terbagi-bagi dalam empat Gereja berbeda. Yang terbesar di antara keempat Gereja ini adalah Gereja Kaldea yang berada dalam ikatan persekutuan dengan Roma. Umat Gereja Negeri Timur di India berada dalam yurisdiksi Sri Paus, namun kelak mendapatkan hak otonomi dan membentuk Gereja Suriah Malabar. Umat Gereja Negeri Timur selebihnya terbagi dalam Gereja Timur Asyur dan pecahannya, Gereja Timur Purba.
Pada 451, Gereja-Gereja yang menerima keputusan Konsili Kalsedon menggolongkan Gereja-Gereja yang menolak keputusan konsili sebagai ahli bidah Monofisit. Gereja-Gereja yang menolak keputusan konsili ini justru menganggap dirinya sebagai pihak yang ortodoks. Mereka menampik sebutan monofisit dan menyebut diri mereka sebagai kaum Miafisit. Kini mereka disebut Gereja-Gereja Ortodoks Oriental agar dapat dibedakan dari Gereja-Gereja Ortodoks Timur.
Sebenarnya istilah oriental semakna dengan istilah timur, namun digunakan sebagai label-label pembeda dua kelompok Gereja yang berlainan. Gereja-Gereja yang berlabel oriental juga disebut Gereja-Gereja pra-Kalsedon, non-Kalsedon, atau anti-Kalsedon. Beberapa pihak mengkhususkan istilah "ortodoks" bagi Gereja-Gereja Ortodoks Timur saja, namun tindakan semacam ini dikecam oleh Gereja-Gereja Ortodoks Oriental.
Skisma Timur-Barat timbul dalam konteks perbedaan budaya antara umat Kristen penutur bahasa Yunani di timur dan umat Kristen penutur bahasa Latin di barat. Skisma ini juga timbul dalam konteks persaingan antara Gereja Roma, yang mengklaim memiliki kedudukan utama bukan hanya dalam jenjang kehormatan melainkan juga dalam kewenangan, dan Gereja Konstantinopel, yang mengklaim memiliki kedudukan yang setara dengan Gereja Roma.[20] Sengitnya persaingan dan terbatasnya pemahaman memunculkan beragam kontroversi yang mulai mengemuka dalam Konsili Trullo pada 692. Dalam Konsili Firenze (1431–1445), kontroversi-kontroversi seputar ajaran teologi yang ditambah-tambah dan tata cara yang digunakan oleh Gereja Barat dijabarkan sebagai berikut:
Menurut kesepakatan umum, skisma ini terjadi pada 1054, manakala Batrik Konstantinopel, Mikhael I Kerularios, dan utusan Paus, Humbertus de Silva Candida, saling melontarkan maklumat ekskomunikasi (maklumat-maklumat ekskomunikasi ini ditarik kembali oleh Roma maupun Konstantinopel pada 1965). Bertahun-tahun selepas peristiwa itu, kedua Gereja masih saling berhubungan secara akrab dan tampaknya tidak merasakan adanya perpecahan yang bersifat resmi atau final.[22]
Meskipun demikian, jurang pemisah antara kedua Gereja lambat laun melebar. Pada 1190, Teodoros Balsamon, teolog Ortodoks Timur yang menjabat sebagai Batrik Antiokhia kala itu menulis bahwa "tak seorang pun umat Latin yang boleh diberi Komuni sebelum berikrar akan menjauhkan diri dari ajaran-ajaran dan adat-istiadat yang membedakan dirinya dari kita".[23]
Peristiwa pembantaian orang-orang Latin (umat Katolik) di Konstantinopel pada 1182, dan peristiwa penjarahan kota Konstantinopel pada 1204 oleh bala tentara Katolik dalam Perang Salib IV menimbulkan permusuhan terbuka di antara kedua Gereja pada abad ke-12 dan ke-13. Masing-masing pihak menganggap pihak lain tidak lagi menjadi bagian dari Gereja yang ortodoks dan katolik. Seiring berlalunya waktu, pihak timur akhirnya lazim disebut sebagai Gereja Ortodoks dan pihak barat disebut Gereja Katolik, meskipun masing-masing pihak tetap mengklaim sebagai satu-satunya Gereja yang sungguh-sungguh ortodoks sekaligus sungguh-sungguh katolik.
Dalam setiap Gereja yang tidak lagi bersekutu dengan Gereja Roma, muncul segolongan umat yang merasa perlu untuk memulihkan persekutuan itu. Pada 1438, diselenggarakan Konsili Firenze sebagai ajang dialog untuk memahami perbedaan-perbedaan teologi Gereja Timur dan Gereja Barat, yang diharapkan dapat mempersatukan kembali Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks.[24] Beberapa Gereja Timur menyatakan keberpihakannya pada Gereja Roma dan membentuk Gereja-Gereja Katolik Timur. Takhta Keuskupan Roma menerima mereka dengan tangan terbuka tanpa mewajibkan mereka untuk mengadopsi adat-istiadat Gereja Latin, sehingga semua Gereja Katolik Timur memiliki "warisan liturgi, teologi, kerohanian, dan tata tertib sendiri, yang dibedakan oleh budaya dan keadaan sejarah umatnya, dan yang terwujud dalam cara khas masing-masing Gereja sui iuris menjalankan imannya".[25]
Pada 1993, Panitia Internasional Bersama untuk Dialog Teologis Antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks mengajukan dokumen berjudul Uniatisme, metode persatuan di masa lampau, dan usaha mencapai persekutuan paripurna di masa kini, atau deklarasi Balamand, "kepada para petinggi Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks untuk disetujui dan diterapkan."[26] Dokumen ini berisi pernyataan bahwa prakarsa-prakarsa yang "menyebabkan paguyuban-paguyuban tertentu bersatu dengan Takhta Keuskupan Roma, dan yang oleh karena itu keluar dari persekutuan dengan Gereja-Gereja Timur induknya ... terjadi bukan tanpa melibatkan kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan gerejawi".[26]
Panitia juga membenarkan bahwa "pejabat-pejabat sipil tertentu telah berusaha" memaksa umat Katolik Timur untuk bersatu kembali dengan Gereja Ortodoks dengan "cara-cara yang tidak pantas".[26] Wawasan misioner dan proselitisme yang seiring sejalan dengan Unia[26] dinilai tidak sesuai dengan langkah Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks untuk mengakui satu sama lain sebagai saudara.[26] Oleh karena itu, panitia berkesimpulan bahwa "kerasulan misioner ..., yang disebut 'uniatisme', tidak lagi dapat diterima, baik sebagai metode untuk diikuti maupun sebagai model persatuan yang dikehendaki oleh Gereja-Gereja kita."[26]
Di saat yang sama, panitia juga menyatakan bahwa:
Sebagian besar Gereja Katolik Timur muncul karena ada sekelompok umat dalam Gereja Kristen Ortodoks yang berselisih paham dengan Roma memilih untuk masuk dalam persekutuan paripurna dengan tahta keuskupan Roma. Meskipun demikian, Gereja Maronit mengklaim tidak pernah berpisah dengan Roma, dan tidak memiliki Gereja Ortodoks tandingan di luar persekutuan dengan Sri Paus. Gereja Katolik Italo-Albania juga tidak pernah berpisah dari Roma, tetapi, tidak seperti Gereja Maronit, Gereja ini menggunakan ritus liturgi yang sama dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur. Gereja Siro-Malabar, berbasis di Kerala, India, juga mengklaim tidak pernah secara sadar berpisah dengan Roma. Umat Kristiani Kerala lainnya, yang awalnya berasal dari tradisi Siria-Timur yang sama, justru beralih ke tradisi Siria-Barat dan kini menjadi bagian dari Ortodoksi Oriental (sebagian umat Ortodoks Oriental di India bersatu kembali dengan Gereja Katolik pada 1930 dan menjadi Gereja Katolik Siro-Malankara).
Hukum kanon yang dimiliki bersama oleh Gereja-Gereja Katolik Timur telah dikodifikasi dalam Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium (Hukum Kanon Gereja-Gereja Timur) tahun 1990. Dalam Curia Romana, dicasterium yang bekerja sama dengan Gereja-Gereja Katolik Timur adalah Kongregasi bagi Gereja-gereja Oriental, yang, berdasarkan hukum, mencakup sebagai anggota semua batrik dan uskup agung utama Katolik Timur.
Seluruh umat katolik tunduk pada uskup dari eparki atau keuskupan (Gereja partikular lokal) di tempat mereka masing-masing. Mereka juga secara langsung tunduk pada Sri Paus, sebagaimana yang dinyatakan dalam kanon 43 dari Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium dan kanon 331 dari Codex Iuris Canonici. Kebanyakan, namun tidak semua, umat Katolik Timur juga tunduk secara langsung pada seorang batrik, uskup agung utama/Katolikos, atau metropolit yang memiliki otoritas atas semua uskup dan umat beriman dari Gereja partikular otonom (kanon 56 dan 151 dari Hukum Kanon Gereja-Gereja Timur).
Berdasarkan Kitab Kanon Gereja-Gereja Timur, Sri Paus sewajarnya adalah pemegang kewenangan tertinggi, paripurna, langsung, dan universal di dalam Gereja Katolik secara keseluruhan, yang senantiasa dapat ia jalankan secara bebas, termasuk atas Gereja-Gereja Katolik Timur,[27][i] dan pemimpin-pemimpinnya.[29]
Istilah Gereja-Gereja Katolik Timur digunakan untuk menyebut 23 dari ke-24 Gereja partikular otonom yang berada dalam persekutuan dengan Paus Roma. Gereja-Gereja ini menganut tradisi-tradisi liturgis Kristiani Timur yang berbeda-beda yakni tradisi liturgis Alexandria, Antiokhia, Armenia, Byzantium, dan Kaldea.[30] Secara kanonik, tiap Gereja katolik Timur adalah sui iuris (dengan hukum sendiri) atau otonom dalam hubungannya dengan Gereja-Gereja Katolik lainnya, baik Timur maunpun Latin, semuanya menerima otoritas spiritual dan yuridis Sri Paus. Jadi seorang umat Katolik Maronit normalnya tunduk hanya pada seorang uskup Maronit, bukannya pada seorang uskup Katolik Ukraina atau Latin misalnya. Akan tetapi, jikalau dalam suatu negara jumlah anggota dari beberapa Gereja partikular sangat sedikit sehingga belum didirikan hierarki mereka sendiri di negara itu, maka pemeliharaan spiritual mereka dipercayakan kepada seorang uskup dari ritus lain. Hal ini juga berlaku bagi bagi umat Katolik Ritus Latin di Eritrea, mereka ditempatkan dibawah bimbingan para uskup dari Gereja Katolik Ethiopia. Secara teologis, semua Gereja partikular dapat dipandang sebagai "Gereja-Gereja Bersaudari" (sister churches)."[31] Menurut Konsili Vatikan II Gereja-Gereja Timur ini, beserta Gereja Latin yang lebih besar sama-sama memiliki "kehormatan yang setara, sehingga tak satu pun di antaranya yang lebih superior dari yang lain dalam hal ritus, serta semuanya memiliki hak-hak yang sama dan mengemban kewajiban-kewajiban yang sama, juga dalam hal memberitakan Injil ke seluruh dunia (lih. Markus 16:15) di bawah bimbingan Uskup Roma."[32]
Gereja-Gereja Katolik Timur yang menjalin persekutuan paripurna dalam iman dan penerimaan otoritas tahta keuskupan Roma, tetap mempertahankan ritus-ritus, hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan liturgis, serta devosi-devosi tradisional tersendiri, dan memiliki penekanan-penekanan teologis sendiri. Terminologi yang digunakan boleh saja berbeda-beda: sebagai contoh, diosis dan eparki, vikaris jenderal dan protosinselus, Penguatan dan Krisma berturut-turut adalah istilah-istilah Gereja Barat dan Gereja Timur untuk realita-realita yang sama. Menurut tradisi kuno Gereja Katolik yang sampai sekarang masih dipelihara dalam Gereja-Gereja Timur, Sakramen ("Misteri") Pembaptisan dan Krisma umumnya dilayankan bersamaan, yang satu segera sesudah yang lainnya. Setelah dibaptis dan diberi sakramen krisma, bayi-bayi juga diberi sakramen Ekaristi.[33]
Rohaniwan Katolik wajib merayakan sakramen-sakramen menurut ritus asalnya masing-masing.[34] Beberapa klerus dapat diizinkan merayakan liturgi menurut Ritus lain. Jadi seorang imam Ritus Timur tertentu dapat diotorisasi untuk mendoakan Misa dalam kesempatan tertentu ataupun untuk seterusnya menurut Ritus lain, baik Ritus Timur maupun Ritus Barat, sesuai dengan Ritus umat beriman yang dilayaninya, sebaliknya seorang imam Ritus Latin dapat pula diotorisasi untuk menggunakan Ritus Timur tertentu. Bilamana izin biritual diberikan, biasanya dibatasi pada satu Ritus tertentu sebagai tambahan pada Ritus asli dari imam yang bersangkutan.
Satu pengecualian adalah jikalau seorang imam ditahbiskan dalam suatu Ritus yang bukan Ritus di mana dia dibaptis, dan belum dilakukan pertukaran-Ritus atau penyesuaian, maka dia bebas menggunakan Ritus aslinya sekaligus Ritus adopsinya, karena seseorang senantiasa diperbolehkan menggunakan Ritus di mana dia dibaptis tanpa pengecualian serius.
Sri Paus, sebagai kepala semua Gereja, dapat dan memang mendoakan Misa menurut Ritus manapun; meskipun demikian, karena dia sekaligus adalah juga Uskup Roma, dan Keuskupan Roma adalah sebuah keuskupan Ritus Latin, maka lebih umum bagi Paus untuk merayakan Misa menurut ritus Gereja Roma, yakni Ritus Romawi, salah satu dari ritus-ritus liturgi Latin. Dalam keadaan tertentu dan dengan izin dari uskup setempat, para imam dari Ritus-Ritus yang berbeda boleh bebas merayakan Misa bersama-sama (konselebrasi), dengan sepenuhnya mengikuti Ritus dari selebran utama dan bebas menggunakan vestimentum menurut Ritusnya masing-masing.[35]
Umat Kristiani Gereja Timur dan Barat menganut tradisi yang berbeda sehubungan dengan keharusan selibat bagi klerus. Perbedaan tradisi ini beserta kontroversi yang ditimbulkannya telah memainkan suatu peranan dalam hubungan antara kedua kelompok tersebut di beberapa negara Barat.
Kebanyakan Gereja Timur menggolongkan klerus menjadi dua, yakni "klerus monastik" dan "klerus non-monastik." Digolongkan sebagai klerus monastik tidaklah berarti para klerus yang bersangkutan hidup sebagai biarawan atau di dalam biara, melainkan karena mereka telah menjalani sekurang-kurangnya sebagian dari masa pelatihan mereka sebagai biarawan. Kaul monastik mereka mencakup kaul kemurnian yakni ikrar untuk menjalani hidup selibat.
Uskup-uskup biasanya dipilih dari kalangan klerus monastik, dan dalam kebanyakan Gereja Timur suatu persentase besar dari para imam dan diakon juga selibat, sementara sebagian klerus (biasanya para pastor paroki) boleh menikah. Jika seorang calon imam atau diakon hendak menikah, pernikahannya harus dilangsungkan sebelum ditahbiskan ke jenjang diakonat. Meskipun di beberapa negara pernikahan semacam itu biasanya masih diprakarsai oleh keluarga, perubahan-perubahan kultural kadang-kadang mempersulit para siswa seminari untuk mendapatkan perempuan-perempuan yang siap menjadi isteri seorang imam, sehingga mengharuskan adanya suatu masa lowong dalam studi para siswa seminari.
Di negara-negara yang umat Kristianinya menganut tradisi Timur, seorang klerus yang menikah hanya menimbulkan sedikit kontroversi; namun hal yang sama menimbulkan pertentangan di negara-negara lain ke mana umat Katolik Timur tersebut berimigrasi. Atas permintaan para uskup Latin di negara-negara tersebut, Kongregasi Suci untuk Propaganda Iman menetapkan seperangkat aturan dalam sepucuk surat tertanggal 2 Mei 1890 yang ditujukan kepada Uskup Agung Paris,[36] yang juga diterapkan kongregasi tersebut pada 1 Mei 1897 untuk Amerika Serikat,[37] menyatakan bahwa hanya imam yang selibat atau yang sudah menduda yang datang tanpa anak-anaknya yang diizinkan berkarya di Amerika Serikat. Aturan ini diterapkan kembali sehubungan dengan keberadaan umat Katolik Ritus Ruthenia dengan dekret Cum data fuerit tertanggal 1 Maret 1929, yang selanjutnya diperbaharui untuk sepuluh tahun berikutnya pada 1939. Ketidakpuasan banyak umat Katolik Ruthenia di Amerika Serikat mengakibatkan munculnya Keuskupan Ortodoks Karpato-Rusia Amerika. Aturan ini dihapuskan dengan dikeluarkannya Dekret mengenai Gereja-Gereja Katolik Ritus Timur; sejak itu, kaum pria beristeri juga ditahbiskan menjadi imam di Amerika Serikat, dan banyak imam beristeri yang datang dari negara-negara Timur untuk melayani paroki-paroki di Amerika.[38]
Beberapa Gereja Katolik Timur telah memutuskan untuk mengadopsi keharusan hidup selibat bagi kaum klerus, seperti dalam Gereja Latin. Gereja-Gereja Timur tersebut adalah Gereja Katolik Siria, Gereja Katolik Siro-Malankara, dan Gereja Katolik Ethiopia.
Di bawah ini adalah daftar Gereja Katolik Timur beserta pusat dan yurisdiksi masing-masing, sebagaimana tercantum dalam Annuario Pontificio, ditambah dengan tarikh persatuan atau pendirian dan jumlah umat masing-masing. Keseluruhan umat Gereja-Gereja Ritus Timur berjumlah kurang lebih 16.336.000 jiwa.
Eternal Word Television Network (EWTN) juga mengeluarkan daftar serupa, namun tidak diurut secara alfabetis seperti dalam Annuario Pontificio dan CCEO kanon 28 Diarsipkan 2021-01-28 di Wayback Machine., serta menambahkan pula Eksarkat Apostolik bagi umat Katolik ritus Bizantin di Republik Ceko, sehingga terkesan sebagai sebuah Gereja otonom tersendiri, sementara Takhta Suci menggolongkan eksarkat apostolik itu sebagai bagian dari Gereja Katolik Bizantium Rutenia.[39]
Umat Gereja-Gereja Katolik Timur merupakan persentase kecil dalam Gereja Katolik bilaman dibandingkan dengan umat Gereja Latin yang berjumlah lebih dari 1,2 miliar. Menurut data statistik 2008 yang disusun oleh Catholic Near East Welfare Association (CNEWA), persentase umat Kristen Suryani mencapai 47% dan umat Kristen Bizantin mencapai 46% dari jumlah keseluruhan umat Katolik Timur. Menurut data statistik yang lebih mutakhir, tiga Gereja Timur terbesar adalah Gereja Katolik Yunani Ukraina dengan 5,3 juta umat[44] (25% dari keseluruhan jumlah umat Katolik Timur pada 2008), Gereja Katolik Suriah Malabar dengan 4,6 juta umat[45] (23% dari keseluruhan jumlah umat Katolik Timur pada 2008), dan Gereja Katolik Maronit dengan 3,29 juta umat (20% dari keseluruhan jumlah umat Katolik Timur pada 2008).[46]
Umat Katolik Ritus Bizantin Georgia belum diakui sebagai sebuah Gereja partikular.[j] Mayoritas umat Katolik Timur di Republik Georgia beribadat menggunakan ritus liturgi Armenia.
Daftar di atas memperlihatkan bahwa sebuah Gereja partikular dapat saja memiliki yurisdiksi-yurisdiksi (Gereja-Gereja partikular lokal) berbeda di beberapa negara.
Gereja Katolik Yunani Rutenia memiliki struktur organisasi yang unik karena memiliki satu metropolia, yakni Gereja Metropolia Katolik Bizantium Pittsburgh yang secara tidak resmi disebut pula sebagai Gereja Katolik Bizantin di Amerika. Berdasarkan hukum kanon, metropolia ini diperlakukan sebagai sebuah Gereja partikular otonom (sui iuris) karena desakan situasi pada saat pembentukannya sebagai sebuah provinsi gerejawi pada 1969. Kala itu situasi di kampung halaman orang Rusin, yang dikenal dengan sebutan Karpatia Rus, tidak memungkinkan adanya jalan keluar lain, karena Gereja Katolik Bizantin telah dibubarkan secara paksa oleh pemerintah Uni Soviet. Sesudah era pemerintahan komunis berakhir, Eparki Katolik Bizantin Mukachevo (didirikan pada 1771) muncul kembali. Eparki ini melayani sekitar 320.000 umat, jauh lebih banyak daripada jumlah umat di Metropolia Pittsburgh. Selain itu, sebuah eksarkat apostolik telah didirikan pada 1996 untuk melayani umat Katolik ritus Bizantin di Republik Ceko yang dianggap sebagai bagian dari Gereja Katolik Rutenia.
Pada situs web EWTN, Eksarkat Apostolik untuk Umat Katolik Ritus Bizantin di Republik Ceko dicantumkan dalam daftar Gereja-Gereja Timur, bersama-sama dengan Gereja-Gereja partikular otonom.[39] Hal ini merupakan suatu kekeliruan, karena pengakuan status otonom sebuah Gereja partikular dalam Gereja Katolik hanya boleh dikeluarkan oleh Takhta Suci[j] yang justru menggolongkannya sebagai salah satu Gereja partikular lokal dalam lingkut Gereja Katolik Rutenia yang otonom (sui iuris).
Sebagian pihak juga menganggap umat Katolik Ritus Bizantin dalam Gereja Katolik di Georgia sebagai sebuah Gereja partikular tersendiri dengan tarikh persatuan 1861 atau 1917.
Semenjak invasi Amerika Serikat atas Irak, umat Kristen mulai mengalami persekusi yang terus meningkat di negara-negara Muslim. Sebelumnya, pemerintah Irak, Suriah, dan negara-negara Muslim lain melindungi umat Kristen sebagai kaum minoritas di wilayahnya masing-masing. Umat Kristen mengalami diskriminasi akut, persekusi, dan dalam beberapa kasus dijatuhi pidana mati di sejumlah negara Muslim, Yahudi, dan Asia Selatan, yakni di Irak, Iran, Israel, Suriah, Teritorial Palestina, Mesir, Arab Saudi, Turki, Qatar, Uzbekistan, Yordania, Oman, Kuwait, Kazakstan, Tajikistan, Turkmenistan, Kirgistan, Eritrea, Uni Emirat Arab, Kosovo, dan Chechnya.[49][50]
Menurut sebuah kajian yang disusun oleh Methodios Stadnik, "Eksarka Katolik Bizantin Georgia, Rama Shio Batmanishviii [sic], dan dua orang imam Gereja Latin dieksekusi mati oleh pemerintah Uni Soviet pada 1937 setelah dipenjarakan di rumah tahanan Solovki dan gulag-gulag di daerah utara sejak 1923."[51] Dalam bukunya, The Forgotten, Christopher Zugger memaparkan bahwa "pada 1936, Gereja Katolik Ritus Bizantin di Georgia terdiri atas dua paguyuban dengan jumlah umat mencapai 8.000 jiwa, yang dilayani oleh seorang uskup beserta empat orang imam," dan uskup tersebut adalah Shio Batmalashvili.[52] Dalam situs web Persatuan Hak Asasi Manusia Helsinki Ukraina, Vasyl Ovsiyenko menyebutkan bahwa "administrator Katolik di Georgia, Shio Batmalashvili," adalah salah satu dari orang-orang yang dieksekusi mati sebagai "unsur-unsur anti-Soviet" pada 1937.[53]
Christopher Zugger dengan jelas mengemukakan bahwa Shio Batmalashvili adalah seorang uskup; Methodios Stadnik bersikap ambigu, menyebutnya sebagai seorang eksarka tetapi menggelarinya "rama"; Vasyl Ovsiyenko hanya menyebutnya sebagai "administrator Katolik" tanpa merinci status (uskup atau imam) maupun tugasnya (yurisdiksi Latin atau yurisdiksi Bizantin).
Jika benar Shio Batmalashvili adalah seorang eksarka, bukannya seorang uskup yang memiliki kaitan dengan Keuskupan Tiraspol dari ritus Latin di Saratov, dekat Sungai Volga, pusat pelayanan rohani bagi umat Katolik ritus Latin maupun ritus Bizantin di Georgia,[54] maka Gereja Katolik Bizantin Georgia memang benar-benar ada, sekalipun hanya berstatus sebuah Gereja partikular lokal. Akan tetapi karena pembentukan sebuah yurisdiksi hierarkis harus dipublikasikan dalam Acta Apostolicae Sedis, dan karena tidak pernah ada pemberitaan mengenai pembentukan sebuah yurisdiksi bagi umat Katolik Bizantin di Georgia dalam majalah berita resmi Takhta Suci itu, maka klaim tersebut agaknya tidak memiliki dasar yang kuat.
Edisi-edisi Annuario Pontificio pada era 1930-an juga tidak pernah menyebut-nyebut nama Shio Batmalashvili. Jika benar ia adalah seorang uskup, maka boleh jadi ia adalah salah satu dari orang-orang yang ditahbiskan secara rahasia untuk melayani umat Katolik di wilayah Uni Soviet oleh uskup Yesuit berkebangsaan Prancis, Michel d'Herbigny, Presiden Komisi Kepausan untuk Rusia dari 1925 sampai 1934. Situasi pada masa itu memang tidak memungkinkan Takhta Suci untuk membentuk sebuah eksarkat Bizantin baru di dalam wilayah Uni Soviet, karena umat Katolik Bizantin di Uni Soviet dipaksa untuk bergabung dengan Gereja Ortodoks Rusia.
Shio Batmalashvili tidak termasuk di antara keempat orang yang diangkat menjadi administrator apostolik "bawah tanah" (hanya satu di antaranya yang ditahbiskan menjadi uskup) untuk melayani empat bagian dari keuskupan Tiraspol selepas pengunduran diri uskup terakhirnya, Josef Alois Kessler, pada 1930.[55] Menurut sumber ini, administrator apostolik untuk "Tbilisi dan Georgia" adalah Rama Stefan Demurow yang dieksekusi mati pada 1938. Menurut sumber-sumber lain, Rama Stefan Demurow adalah pemimpin umat Katolik di Azerbaijan yang wafat dalam tahanan di sebuah gulag di Siberia.[56]
Sampai dengan 1994, terbitan tahunan di Amerika Serikat, Catholic Almanac, mencantumkan "Gereja Georgia" dalam daftar Gereja-Gereja Katolik Bizantin.[57] Sebelum akhirnya dikoreksi pada 1995, tampaknya Catholic Almanac telah melakukan kekeliruan yang sama dengan yang dilakukan oleh situs EWTN sehubungan dengan umat Katolik Bizantin di Ceko.
Suatu gerakan Katolik Bizantin pernah muncul di kalangan suku bangsa Estonia dalam Gereja Ortodoks di Estonia selama periode antarperang pada abad ke-20. Para pengusung gerakan ini terdiri atas dua sampai tiga paroki, namun tidak dijadikan sebuah Gereja partikular lokal yang memiliki pimpinan sendiri. Kelompok ini dibubarkan oleh rezim Soviet dan lenyap sampai sekarang.
Meskipun tidak menghadapi ancaman hukuman fisik maupun aniaya dari pejabat pemerintah sebagaimana yang terjadi di Eropa Timur atau di Timur Tengah, umat Gereja-Gereja Katolik Timur di Amerika Serikat, yang sebagian besar adalah kaum pendatang dari Eropa Timur, menghadapi kesulitan akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh kaum rohaniwan Ritus Latin yang mendominasi hierarki Katolik di Amerika Serikat. Kaum rohaniwan Ritus Latin menganggap mereka sebagai kaum yang aneh, terutama karena imam-imamnya yang beristri. Imam beristri merupakan hal yang lumrah dalam Gereja-Gereja Katolik Ritus Timur, namun merupakan hal yang benar-benar langka dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Imigrasi imam-imam beristri ini dilarang atau sangat dibatasi, dan sejumlah uskup Ritus Latin secara aktif mengganggu gugat karya penggembalaan imam-imam beristri yang datang ke Amerika Serikat. Beberapa orang uskup bahkan berusaha agar seluruh imam Katolik selain Ritus Latin dilarang untuk datang ke Amerika Serikat. Banyak imigran Katolik Timur yang tiba di Amerika Serikat kala itu terpaksa bergabung dengan umat Gereja Katolik Ritus Latin atau menjadi umat Gereja Ortodoks Timur. Salah seorang mantan imam Katolik Timur, Aleksey Toth, menjadi terkenal karena meninggalkan Gereja Katolik setelah dipersulit oleh John Ireland, uskup Ritus Latin di kota Saint Paul, dan bergabung dengan Gereja Ortodoks. Di kemudian hari, Aleksey Toth dikanonisasi menjadi orang kudus oleh Gereja Ortodoks karena berjasa menuntun 20.000 umat Katolik Timur, yang kecewa akibat perlakuan tidak adil dari rohaniwan Ritus Latin, menjadi umat Gereja Ortodoks.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.