Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Daniel 8 (disingkat Dan 8) adalah pasal kedelapan Kitab Daniel dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Berisi riwayat Daniel yang berada di Babel pada abad ke-6 SM.[1][2]
Daniel 8 | |
---|---|
Kitab | Kitab Daniel |
Kategori | Nabi-nabi Besar |
Bagian Alkitab Kristen | Perjanjian Lama |
Urutan dalam Kitab Kristen | 27 |
"Tanah Permai" diterjemahkan dari kata "ha·tze·bi" (="Yang Permai"), di mana "tze·bi" bermakna "indah, permai" untuk tanah atau harta (atau dapat juga bermakna "rusa, kijang" seperti pada Ulangan 12:15). Kata "tanah" sendiri tidak ada di ayat ini, tetapi dipakai untuk memperjelas apa yang disebut "permai", sebagaimana yang ditulis lebih lengkap pada Daniel 11:16 "ארץ־הצבי" (’e·retz-ha·tze·bi; "tanah permai").[10]
Dalam penglihatan yang dicatat di pasal ini Daniel melihat seekor domba jantan dan kemudian seekor kambing jantan, yang menggambarkan raja-raja yang akan berkuasa di wilayah tersebut (termasuk tanah Israel) setelah masa hidup Daniel.
Tampak domba jantan berdiri di depan sungai itu; tanduknya dua (2) dan kedua tanduk itu tinggi, tetapi yang satu lebih tinggi dari yang lain, dan yang tinggi itu tumbuh terakhir. Domba jantan itu menanduk ke barat, ke utara dan ke selatan, dan tidak ada seekor binatangpun yang tahan menghadapi dia, dan tidak ada yang dapat membebaskan dari kuasanya; ia berbuat sekehendak hatinya dan membesarkan diri.[14]
Sementara domba jantan itu bertingkah, tampak seekor kambing jantan datang dari sebelah barat, yang melintasi seluruh bumi tanpa menginjak tanah; dan kambing jantan itu mempunyai satu tanduk yang aneh di antara kedua matanya. Ia datang pada domba jantan yang dua tanduknya dan yang berdiri di depan sungai itu, lalu menyerangnya dengan keganasan yang hebat.[15] Ditanduknya domba jantan itu, dipatahkannya kedua tanduknya, dan domba jantan itu tidak berdaya untuk tahan menghadapi dia; dihempaskannya dia ke bumi, diinjak-injaknya, dan tidak ada yang melepaskan domba jantan itu dari kuasanya.[16] Kambing jantan itu sangat membesarkan dirinya, tetapi ketika ia sampai pada puncak kuasanya, patahlah tanduk yang besar itu, lalu pada tempatnya tumbuh empat tanduk yang aneh, sejajar dengan keempat mata angin yang dari langit.[17]
Maka dari salah satu tanduk itu muncul suatu tanduk kecil, yang menjadi sangat besar ke arah selatan, ke arah timur dan ke arah Tanah Permai. Ia menjadi besar, bahkan sampai kepada bala tentara langit, dan dari bala tentara itu, dari bintang-bintang, dijatuhkannya beberapa ke bumi, dan diinjak-injaknya. Bahkan terhadap Panglima bala tentara itupun ia membesarkan dirinya, dan daripada-Nya diambilnya korban persembahan sehari-hari, dan tempat-Nya yang kudus dirobohkannya. Suatu kebaktian diadakan secara fasik menggantikan korban sehari-hari, kebenaran dihempaskannya ke bumi, dan apapun yang dibuatnya, semuanya berhasil.[18]
Di akhir penglihatan itu Daniel mendengar suara dari apa yang disebutnya "seorang kudus" berbicara, dan "seorang kudus" lain (umumnya ditafsirkan sebagai para malaikat) berkata kepada yang berbicara itu: "Sampai berapa lama berlaku penglihatan ini, yakni korban sehari-hari dan kefasikan yang membinasakan, tempat kudus yang diserahkan dan bala tentara yang diinjak-injak?" Maka dijawab: "Sampai lewat 2300 (dua ribu tiga ratus) petang dan pagi, lalu tempat kudus itu akan dipulihkan dalam keadaan yang wajar."[19]
Dalam ayat 14 Daniel mendapat informasi mengenai suatu masa yang lamanya "2300 petang dan pagi". Ada yang menafsirkan bahwa "petang dan pagi" merujuk kepada persembahan korban dua kali sehari, sehingga seluruhnya adalah 1150 days.[20] Namun ini berkontradiksi (dua kali dalam satu kalimat) dengan informasi pada akhir Daniel 12, di mana dikatakan bahwa "sejak dihentikan korban sehari-hari ... ada 1.290 hari; berbahagialah orang yang tetap menanti-nanti dan mencapai 1.335 hari" (Daniel 12:11–12): bilangan yang berbeda-beda, pertama 1.150 hari, kemudian 1.290, akhirnya 1.335, dianggap revisi-revisi yang dibuat ketika bilangan sebelumnya berlalu tanpa penggenapan, tetapi pandangan ini tidak diterima secara universal.[21]
Periode yang dibahas asalnya adalah lamanya penajisan Bait Suci, tetapi 1.150 hari itu sedikit kurang dari tiga setengah tahun, sedangkan penajisan itu lamanya hanya 3 tahun.[20] Ada pendapat bahwa di sini fokus penulis bergeser dari penajisan kepada dedikasi ulang Bait Suci pada akhir sejarah, yang akan ditandai dengan kebangkitan orang mati: bilangan terakhir dalam Daniel 12:12 diikuti oleh instruksi kepada Daniel untuk "pergilah sampai tiba akhir zaman, dan engkau akan beristirahat, dan akan bangkit untuk mendapat bagianmu pada kesudahan zaman."[21]
Penafsiran bahwa 2300 petang dan pagi setara dengan 1150 hari tampaknya dianut oleh cukup banyak orang, tetapi C. L. Seow, seorang sarjana kitab Daniel, menerimanya sebagai 2300 hari penuh, yang setara dengan sekitar tujuh tahun; menganggap bahwa titik akhirnya adalah dedikasi ulang Bait Suci dan pemulihan korban sehari-hari pada tahun 164 SM, sedangkan titik awalnya adalah pembunuhan Imam Besar Onias III pada tahun 171 SM, sebuah tahun penting dalam peristiwa-peristiwa yang menuju kepada penajisan Bait Suci.[22]
Saat Daniel berusaha memahami penglihatan itu, maka tampaklah seorang yang rupanya seperti seorang laki-laki berdiri di depannya dan dari tengah sungai Ulai itu ada suara manusia yang berseru: "Gabriel, buatlah orang ini memahami penglihatan itu!" Lalu datanglah Gabriel ke tempat Daniel berdiri dan berkata kepada Daniel: "Pahamilah, anak manusia, bahwa penglihatan itu mengenai akhir masa!"[23]
Setelah Daniel sempat pingsan dan dibangunkan kembali, Gabriel berkata lagi "Kuberitahukan kepadamu apa yang akan terjadi pada akhir murka ini, sebab hal itu mengenai akhir zaman."[24]
Gabriel berkata: "Adapun penglihatan tentang petang dan pagi itu, apa yang dikatakan tentang itu adalah benar. Tetapi engkau, sembunyikanlah penglihatan itu, sebab hal itu mengenai masa depan yang masih jauh."[29]
Setelah menerima penglihatan itu Daniel menjadi lelah dan jatuh sakit beberapa hari lamanya; baru kemudian dapat melakukan pula urusan raja. Daniel menyatakan tercengang-cengang tentang penglihatan itu, tetapi tidak memahaminya.[30]
Domba bertanduk dua di mana tanduk yang tumbuh terakhir lebih tinggi dari tanduk yang pertama menurut Gabriel adalah Kerajaan Media dan Persia. Kerajaan Media tumbuh terlebih dahulu dan bertumbuh kuat sehingga "di pertengahan abad ke-7 SM kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Media (Medes)."[31] Sejarawan Yunani, Herodotus, menulis pada abad ke-5 SM, menggambarkan pembentukan Kerajaan Media dari sejumlah perkampungan kecil yang dipersatukan oleh seorang bernama Deioces. Kemudian orang ini membangun ibu kota besar yang dikenal sebagai Ekbatana. Menurut sejarawan itu, ia memerintah selama 53 tahun dan mempersatukan paling sedikit 6 kelompok regional menjadi Kerajaan Media. Herodotus kemudian mencatat bahwa putra Deioces, Phraortes, memerintah selama 22 tahun meneruskan ayahnya. Ia digantikan oleh putranya, Cyaxares, “mempersatukan seluruh Asia di seberang Halys di bawah kekuasaanya” (1:95-103).[32] Cyaxares memerintah 40 years, mati, dan digantikan oleh putranya, Astyagas. Dalam masa pemerintahan Astyagas, orang-orang Persia memberontak terhadap orang Media. Di bawah pimpinan Koresh Agung, tentara Persia mengalahkan pasukan Astyagas, dan Koresh naik tahta memerintah Kerajaan Media dan Persia (1:127-130). Tawarikh Nabonidus juga memuat catatan kemenangan Koresh atas Astyagas. Jadi tepat seperti penglihatan Daniel, mulanya Media tumbuh lebih dulu menjadi penguasa, kemudian Persia di bawah pimpinan Koresh mengalahkan Media dan selanjutnya malah menjadi penguasa Asia (yaitu Timur Tengah dan Timur Jauh) (1:130),[8] menggenapi perkataan "kedua tanduk itu tinggi, tetapi yang satu lebih tinggi dari yang lain, dan yang tinggi itu tumbuh terakhir".[33]
Kerajaan Media dan Persia di bawah pimpinan Koresh dicatat oleh Herodotus mula-mula berkembang "ke barat" (dan "ke utara") menguasai seluruh Asia (yaitu Asia Kecil, sekarang wilayah Turki), menaklukkan orang Ionia di Laut Aegea (1:169).[32] Dikatakan oleh sejarawan itu bahwa Koresh mempunyai "ambisi yang tak kenal lelah" dan "melakukan agresi terus menerus terhadap satu per satu negara" (1:190).[32] Cambyses (dikenal sebagai Cambyses/Kambisus II), yang meneruskan tahta ayahnya, juga mempunyai ambisi kuat. Ia "menanduk ke selatan", menguasai wilayah sejauh Mesir (3:1-27).[32] Darius Agung, yang naik tahta setelah Cambyses, menguasai banyak negara sejauh Armenia di sebelah utara (menurut Inskripsi Behistun yang dibuatnya). Jadi tidak ada keraguan bahwa domba bertanduk dua itu memang melambangkan Kerajaan Media dan Persia, sesuai perkataan malaikat Gabriel.[8]
Kambing jantan yang berbulu kesat itu menurut Gabriel ialah raja negeri Yunani dan tanduk besar yang di antara kedua mata kambing jantan itu ialah raja yang pertama.[26] Sejarah jelas mencatat bahwa raja pertama Yunani yang juga berhasil mengalahkan raja Media dan Persia tidak lain adalah Aleksander Agung, putra raja Filipus II dari Makedonia. Aleksander adalah salah satu pemimpin militer paling sukses dalam sejarah dunia.[8] Sejarawan Romawi pada abad pertama Masehi, Quintus Curtius Rufus, menyatakan bahwa Aleksander mempunyai “nafsu untuk memperoleh kemuliaan dan ketenaran mencapai suatu derajat yang melampui segala perbandingan” (2001, 10:29).[34] Keberhasilannya menguasai dunia begitu lengkap, Rufus menyatakan: “Nasib menunggunya untuk melengkapi pendudukan wilayah Timur dan mencapai "Samudera", mencapai apa saja yang paling mungkin dilakukan oleh seorang manusia” (10:36).[34] Rufus mencatat sejumlah peperangan di mana Aleksander mengalahkan raja Persia, Darius III sampai akhirnya Kerajaan Media dan Persia seluruhnya dikuasai dan diasimilasi ke dalam Kerajaan Yunani (Books 3 and 4).[34]
Quintus Curtius Rufus menulis bahwa setelah Aleksander mati mendadak dan tidak menunjuk ahli waris yang jelas, sejumlah orang berebut tahta yang ditinggalkannya (10:12).[34] Dalam perselisihan itu, kerajaannya segera terpecah menjadi 4 bagian: scramble for Alexander’s throne, his kingdom was divided into four segments: “Kerajaan Makedonia terpecah menjadi 4 kerajaan utama — diperintah oleh Seleukos (Asia), Ptolemaios (Mesir), Lysimachus (Thrace), dan putra Antipater, Cassander (Makedonia, termasuk Yunani)” [35] Sejarawan purba, Plutarch, mencatat pembagian ini dengan teliti dalam pemaparannya kepada Demetrius:[36]
Para pengikut Ptolemaios di Mesir atas inisiatif sendiri ... memberinya gelar raja. Dan dengan demikian diikuti oleh penerus-pemnerus Aleksander yang lain. Karena Lysimachus mulai memakai tiara, dan Seleukos juga ketika menemui orang-orang Yunani …. Namun, Cassander, meskipun yang lain memberinya gelar raja dan surat-surat maupun penyebutan mereka, menulis surat-suratnya dengan nama tanpa gelar (1920, 18).
Diodorus Siculus mendukung pernyataan ini dalam Buku 19 karyanya dengan menulis: “Ketika mereka dibawa ke hadapan dewan, mereka menuntut agar Kapadokia dan Lycia diberiikan kepada Cassander, Hellespontine Phrygia kepada Lysimachus, seluruh Siria kepada Ptolemeus dan Babilonia kepada Seleukus” (19:57).[37] Kedua penulis menyinggung bahwa Antigonus dan putranya Demetrius berperang merebut sejumlah wilayah untuk mereka sendiri tetapi setelah kalah, Plutarch menulis: “Raja-raja yang menang mencabik wilayah yang tadinya dikuasai oleh Antigonus dan Demetrius, seakan-akan suatu bangkai besar, dan masing-masing mengambil bagiannya untuk ditambahkan ke jumlah provinsi yang sudah dimiliki para pemenang itu” (1920, 30).[36]
Demikianlah, lebih dari 250 tahun setelah Daniel mendapatkan penglihatan pada tahun ke-3 pemerintahan raja Belsyazar, kerajaan Aleksander "patah" terbagi dan diperintah oleh "empat tanduk" yaitu empat kerajaan yang "tidak sekuat yang terdahulu", tepat menurut perkataan Gabriel yang dibuktikan kebenarannya oleh sejarah.
"Dari salah satu tanduk itu muncul suatu tanduk kecil" yang dilihat Daniel, oleh Gabriel diberi penjelasan merupakan "seorang raja dengan muka yang garang dan yang pandai menipu". Dari kerajaan Seleukia muncul seorang raja yang mengambil nama Antiokhus IV Epiphanes yang memerintah dari tahun 175 SM sampai 164 SM. Pemerintahannya diwarnai dengan tirani, penipuan dan kekejian, khususnya berhubungan dengan "tanah Permai" yaitu Israel.[8] Sejumlah hal spesifik dalam sejarah antara lain dipaparkan di sini.
Ada tertulis bahwa tanduk kecil itu "bahkan terhadap Panglima bala tentara itupun ia membesarkan dirinya" [38] Menurut penjelasan Gabriel raja itu "akan membesarkan dirinya dalam hatinya”[39] Pakar Alkitab H.W. Hoehner menemukan bahwa Antiokhus Epiphanes IV “memakai gelar Theos Epiphanes artinya ‘penjelmaan Allah’” (1976, 1:192-193). Mata uang logam yang dicetak pada masa pemerintahannya memberi bukti bahwa ia meninggikan dirinya dalam kedudukan sebagai dewa. Mahlon H. Smith mempunyai detail mata uang logam perak tetradrachma yang bertuliskan “Basileos Antiochou Theou Epiphaniou Nikephorou,” artinya “milik Raja Antiokhus, Penjelmaan Allah, Pembawa Kemenangan” (2008). Smith juga memiliki mata uang logam perunggu yang bergambar Antiokhus IV dengan frasa “Penjelmaan Allah”. Demikian kelakuannya dalam meninggikan diri terhadap Allah.
Daniel melihat bahwa "tanduk kecil" itu "menjadi sangat besar ke arah selatan, ke arah timur dan ke arah Tanah Permai."[9] Istilah “Tanah Permai” (lihat pembahasan ayat 9 di atas) merujuk kepada Yudea dan Yerusalem. Fakta ini didukung dengan pernyataan bahwa tanduk kecil itu akan mengambil (menghentikan) korban persembahan sehari-hari di Bait Suci di Yerusalem. Tercatat dalam sejarah dan dalam Kitab 1 Makabe bahwa Antiokhus IV menyatakan perang kepada Ptolemaios VI Philometor pada tahun 171 SM, kemudian pada tahun 170 SM berhasil menguasai Mesir ("menjadi besar ke arah selatan") dengan membunuh banyak orang, dan ketika kembali ke ibu kotanya di arah utara, ia menyimpang ke timur untuk menjarah Yerusalem. Dalam 1 Makabe 1:16-19 ditulis: "Maka ketika kerajaan menjadi kuat di bawah Antiokhus, ia berniat menguasai Mesir, agar ia berkuasa atas dua wilayah. Karenanya ia memasuki Mesir dengan tentara yang besar jumlahnya, dengan kereta kuda, dan gajah-gajah, dan pasukan berkuda, dan angkatan laut yang besar. Dan berperang melawan Ptolemeus, raja Mesir: tetapi Ptolemeus takut kepadanya, dan melarikan diri; dan banyak yang terluka sampai mati. Maka mereka merebut kota-kota kuat di tanah Mesir, dan ia mengambil jarahan darinya." Dua tahun kemudian (tahun 168 SM) Antiokhus IV mengutus seorang jenderal bernama Mysarch yang menghancurkan banyak kota di Yudea dan membunuh sejumlah besar orang Yahudi. Lagipula ia mengirim surat ke Yerusalem "untuk menghentikan persembahan korban bakaran dan korban sajian dan korban tuangan di Bait Suci, untuk melarang peringatan Sabat serta hari-hari raya." Dan pada tahun 167 SM ia menajiskan altar di Bait Suci, yang di Kitab 1 Makabe ditulis sebagai "kekejian yang membinasakan" (bahasa Ibrani: השקוץ משומם, "ha·syi·qūtz mə·syō·mêm"; bahasa Inggris: abomination of desolation).[40]
Malaikat Gabriel mengatakan bahwa raja yang dilambangkan dengan tanduk kecil itu akan dihancurkan "tanpa perbuatan tangan manusia."[39] Hal ini tepat sesuai dengan cara matinya Antiokhus. Ia tidak mati dalam perang atau dibunuh seperti banyak pendahulunya, melainkan mati akibat kegilaan atau demam, menurut catatan sejarah. Flavius Yosefus pada abad pertama Masehi menyatakan:
Polybius, sejarawan Yunani dari abad ke-2 SM, menyatakan bahwa Antiokhus “mati di Tabae, Persia, dihinggapi kegilaan, sebagaimana beberapa orang berkata, merupakan manisfetasi tertentu dari ketidaksenangan para dewa"[42] Appian, sejarawan Romawi dari abad ke-2 Masehi, mengatakan bahwa ia mati akibat "penyakit yang menggerogoti".[43] Dan Diodorus Siculus pada abad pertama SM mencatat bahwa Antiokhus IV Epiphanes “dibuat gila oleh sejumlah penglihatan dan kegentaran, dan akhirnya mati akibat penyakit” (31:18a).[37] Baik Siculus dan Polybius menghubungkan penyakit Antiokhus dengan ketidaksenangan para dewa karena serangannya pada kuil dewi Artemis, sedangkan Yosefus menghubungkannya dengan tindakan penghinaan akan Bait Suci orang Yahudi. Namun, para sejarawan sependapat bahwa Antiokhus Epiphanes mati akibat penyakit atau kegilaan, bukan karena "perbuatan tangan manusia", sebagaimana penglihatan Daniel.
Penglihatan Daniel dan penjelasan Gabriel sedemikian akurat sehingga sejumlah skeptik menganggap tulisan itu dibuat setelah kejadian telah berlangsung—yaitu setelah tahun 164 SM, sebagai suatu "catatan sejarah"—bukan ditulis pada tahun 550 SM sesuai informasi pemerintahan raja Belsyazar di Babel. Menjelang awal abad ke-5 Masehi, Hieronimus yang menjadi penulis Kristen terkemuka waktu itu, menulis sebuah komentari Kitab Daniel, di mana ia menyebut seorang skeptik bernama Porphyry,
Alasan semacam ini masih muncul di kalangan skeptik pada zaman modern ini, meskipun muncul lebih banyak bukti bahwa Kitab Daniel ini benar-benar telah lengkap ditulis sebelum kejadiannya berlangsung dan secara khusus pasal 8 ini ditulis pada abad ke-6 SM. Bukti-bukti tersebut antara lain dapat dicantumkan di sini.
Alasan utama menganggap Kitab Daniel ditulis pada abad ke-2 adalah keakurasiannya. Hal ini merupakan penalaran berputar (circular reasoning), di mana para skeptik mengakui tulisan itu benar-benar akurat dan karena itu tidak mungkin ditulis sebelumnya, hanya karena mereka mengambil asumsi yang salah bahwa nubuat atau ramalan apapun tidak mungkin terjadi.[8] Jadi mereka tidak mau mengatakan bahwa Kitab Daniel merupakan nubuat ramalan karena mereka tidak mengakui nubuat ramalan itu ada.[8]
Kitab Daniel dikatakan ditulis oleh seorang bangsa Israel bernama Daniel yang berada dalam pembuangan di Babel, dan ini dicantumkan beberapa kali dalam buku ini sendiri (ayat-ayat 7:2,15; 8:1,27; 9:2; 12:5). Tambahan pula, buku ini memberikan pernyataan yang spesifik misalnya, “pada tahun kedua pemerintahan Nebukadnezar” (ayat 2:1), “pada tahun ketiga pemerintahan raja Belsyazar” (ayat 8:1), dan “pada tahun pertama Darius putra Ahasuerus” (ayat 9:1), yang merujuk penanggalan tertentu pada abad ke-6 SM. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tahun-tahun itu tidak masuk akal.[8]
Sejumlah salinan kitab Daniel ditemukan di dalam gua-gua Qumran di antara kumpulan naskah kuno dari abad ke-3 SM yang disebut sebagai Naskah Laut Mati. Pertama, fakta bahwa ada banyak salinan kitab ini menunjukkan bahwa nubuat Daniel dipandang dengan rasa hormat. Bruce Waltke menyatakan: “Penemuan naskah-naskah Daniel di Qumran berasal dari periode Makabe membuat tidak mungkin kitab itu disusun pada zaman Makabe” (133:321).[45] Pada zaman Makabe, Kitab Daniel sudah dihormati sedemikian rupa, sebagai kitab suci yang disalin dan disimpan bersama-sama naskah kuno berharga lainnya di Qumran. Kedua, ketika mempelajari bagian dari Kitab Ayub yang ditemukan di Qumran, fragmen yang diberi kode 11QtJob, Robert Vasholz menyatakan bahwa komposisi fragmen “tampaknya berasal dari akhir abad ke-3 atau awal abad ke-2 SM” (halaman 319).[46] Ia membandingkan fragmen ini dengan bagian naskah kitab Daniel dan menyimpulkan bahwa data-data "menunjukkan salinan kitab Daniel dibuat sebelum 11QtJob dan membuat kami percaya bahwa sekarang ada bukti dari Qumran yang mengindikasikan penanggalan sebelum abad ke-2 bagi naskah bahasa Aram kitab Daniel” (halaman 320).[46] Jadi bukan hanya adanya salinan kitab itu di Qumran yang memberi bukti penulisannya sebelum abad ke-2 SM, tetapi juga bahasa Aram yang dipakai dalam kitab itu merujuk kepada waktu yang lebih lampau.[8]
Selama bertahun-tahun, pencantuman nama "Belsyazar" dalam kitab Daniel mendapat kecaman kuat sebagai kesalahan sejarah, karena selama itu hanya diketahui bahwa Nabonidus adalah raja terakhir Babilon dan tidak pernah muncul nama Belsyazar, sehingga dianggap sebagai rekaan penulis. Sejarawan Yunani pada abad ke-5 SM, Xenophon[47] maupun Herodotus[48] menceritakan jatuhnya Babel ke tangan Koresh Agung, tetapi keduanya tidak menyebutkan nama raja Babel. Lebih jauh, daftar raja yang disusun oleh Berossus dan Ptolemeus menyebutkan nama Nabonidus (bahasa Akkadia: Nabû-nā'id) sebagai Raja Babel terakhir, namun tidak menyebutkan nama Belsyazar. Sekarang telah ditemukan sejumlah prasasti kuno, antara lain Silinder Nabonidus, yang menunjukkan bahwa “dalam sebagian besar masa pemerintahan Nabonidus, putra sulungnya, Belsyazar, bertindak sebagai raja bersama” (133:328).[45] Hal ini menyebabkan Waltke menyimpulkan: “Jelaslah, bahwa dari pembacaan langsung kitab Daniel, penulis memiliki pengetahuan sejarah yang lebih akurat tentang sejarah Neo-Babylonia dan awal Akhameniyah Persia daripada sejarawan manapun sejak abad ke-6 SM.” (halaman 328).[45] Pada dasarnya, nama Belsyazar (Belshazzar) lenyap dari catatan sejarah sejak sekitar tahun 450 SM, sampai Tawarikh Nabonidus ditemukan dan dipublikasikan pada tahun 1882. Dengan demikian penulis kitab Daniel tidak mungkin dari abad ke-2 SM, karena saat itu tidak ada yang mengetahui perihal pemerintahan bersama Nabonidus dan Belsyazar.[8]
Sejarawan Yahudi dari abad pertama Masehi, Flavius Yosefus, menuliskan sejarah Yahudi untuk pembaca Romawi, mendukung fakta bahwa kitab Daniel ditulis jauh sebelum abad ke-2 SM. Pertama, Yosefus menyatakan kepercayaan orang-orang Yahudi bahwa Kitab Daniel termasuk buku nubuat yang tergolong kitab suci. Ia menulis bahwa orang yang ingin tahu aspek tertentu buku nubuat wajib “dengan rajin membaca Kitab Daniel, yang termasuk ke dalam kumpulan kitab suci”[49] Beberapa paragraf kemudian, setelah menyampaikan informasi yang dikutip langsung dari kitab Daniel, Yosefus menulis, “Jangan ada orang yang menyalahkanku karena menuliskan semuanya ini dengan cara demikian, karena aku menemukannya dalam kitab-kitab kuno kami” (10:10:6). Jadi Yosefus memandang kitab Daniel sebagai “kitab suci” dan "kitab kuno" yang tidak diragukan keasliannya oleh seluruh komunitas Yahudi.
Juga dalam bukunya "Melawan Apion" (Against Apion), Yosefus menjelaskan bahwa bangsa Yahudi menghormati ke-22 kitab suci mereka sebagai ilham ilahi, termasuk di antaranya, Kitab Daniel. Mengenai tahun penulisan kitab, Yosefus mengatakan: “Sejak kematian Musa sampai masa pemerintahan raja Artahsasta, raja Persia, yang memerintah setelah Xerxes, para nabi, yang hidup setelah Musa, menuliskan apa yang terjadi dalam masa hidup mereka dalam 13 kitab” (1:8). Kemudian dijelaskan bahwa para penulis Yahudi tertentu telah menulis kitab-kitab sejarah setelah masa Artahsasta, tetapi tulisan mereka tidak dihargai “dengan otoritas sebagaimana yang terdahulu oleh para leluhur kami” (1:8). Jadi Yosefus memandang kitab Daniel sebagai kitab suci dan menyatakan bahwa tidak ada kitab suci yang ditulis setelah masa pemerintahan Artahsasta yang oleh pakar sejarah ditetapkan antara tahun 465 SM sampai 424 SM (“Artaxerxes,” 2011). Dengan demikian Yosefus dan bangsanya memandang kitab Daniel sudah dihormati sebelum tahun 424 SM.
Lagipula, ketika Yosefus menulis mengenai penaklukan oleh Aleksander Agung (336-324 SM), ia menyebut Kitab Daniel lagi. Dicatatnya ketika Aleksander tiba di tanah Yudea, salah satu imam menunjukkan kitab Daniel: “Dan ketika kitab Daniel ditunjukkan kepadanya, di mana Daniel menyatakan orang Yunani akan menghancurkan kerajaan Persia, ia menganggap orang itu adalah dia sendiri” (Antiquitates Iudaicae, 11:8:5). Aleksander datang ke Yerusalem, memperlakukan Imam Besar “dengan luar biasa,” dan mempersembahkan korban bagi Allah di dalam Bait Suci. Ia juga berjanji untuk membiarkan orang Yahudi “menikmati hukum-hukum para leluhur mereka.” Lagipula, setelah Yosefus membahas nubuat Daniel di pasal 8, ia menyatakan: “Dan sesungguhnya hal itu terjadi, bahwa bangsa kami menderita semua ini di bawah Antiokhus Epiphanes, menurut penglihatan Daniel, dan ia menulisnya bertahun-tahun sebelum peristiwa itu terjadi” (Antiquitates Iudaicae, 10:11:7).[41]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.