Remove ads
Alat penyerap air hujan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah sebagai metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Metode ini dicetuskan oleh Dr. Kamir Raziudin Brata,[1][2] salah satu peneliti dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.[3]
Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama biopori.
Selain IPB yang menjadi inventor biopori, berbagai kampus lain kini telah memulai membuat biopori untuk penghijauan.[4][5] Sejumlah BUMN, perusahaan swasta, stasiun televisi, biro surat kabar, hingga individu telah membuat biopori sebagai tema utama Hari Bumi 2014.[6]
Kamir R. Brata, sebagai penemu, sebetulnya sudah meneliti tentang biopori sejak ia mengikuti perkuliahan S2 bidang studi Soil Physics di University of Western Australia mulai tahun 1992.[7] Semula istilah yang dipakai untuk biopori adalah mulsa vertikal (vertical mulch). Beberapa penelitian yang dilakukannya antara lain “Pemanfaatan Sisa Tanaman Sebagai Mulsa Vertikal dalam Usaha Konservasi Tanah dan Air pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga” (1993), “Efektivitas Mulsa Vertikal dalam Pengendalian Aliran Permukaan, Erosi, dan Kehilangan Unsur Hara Pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga” (1994), dan “Penggunaan Cacing Tanah Untuk Peningkatan Efektivitas Mulsa Vertikal Sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terpadu pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga” (1995).[7] Berdasar temuan penelitian-penelitiannya, maka mulsa vertikal yang semula digunakan terutama untuk penyehatan pohon dan tumbuhan lain,[8] bertambah manfaatnya juga untuk penyerapan air, kesehatan tanah, dan penanganan limbah organik.
Penelitian-penelitian tersebut mulai dikenal luas ketika terjadi peristiwa banjir di Jakarta pada tahun 2007.[7][9] Pada saat itu, kalangan media-massa ramai mencari berbagai solusi untuk mengatasi banjir. Sebagian diantaranya datang dan bertanya ke IPB. Ketika Kamir R. Brata menerangkan teknologi mulsa vertikal hasil penelitiannya, mereka sangat terkesan. Waktu itu, kalangan media mengusulkan agar teknologi mulsa vertikal tersebut diganti namanya menjadi biopori agar lebih mudah diingat dan diucapkan.[7] Hal tersebut disetujui oleh Kamir R. Brata sehingga sampai sekarang teknologi itu lebih dikenal sebagai biopori.
Biopori memiliki segudang manfaat secara ekologi dan lingkungan, yaitu memperluas bidang penyerapan air, sebagai penanganan limbah organik, dan meningkatkan kesehatan tanah. Selain itu, biopori juga bermanfaat secara arsitektur lanskap sehingga telah digunakan sebagai pelengkap pertamanan di berbagai rumah mewah dan rumah minimalis yang menerapkan konsep rumah hijau.[10][11] Biopori kini menjadi pelengkap penerapan kebijakan luas minimum ruang terbuka hijau di perkotaan bersamaan dengan pertanian urban.[12] Bahkan pemerintah Kota Sukabumi sangat menganjurkan ruang terbuka hijau memiliki biopori.[13]
Biopori mampu meningkatkan daya penyerapan tanah terhadap air[14] sehingga risiko terjadinya penggenangan air (waterlogging) semakin kecil. Air yang tersimpan ini dapat menjaga kelembaban tanah bahkan di musim kemarau.[15] Keunggulan ini dipercaya bermanfaat sebagai pencegah banjir. Dinding lubang biopori akan membentuk lubang-lubang kecil (pori-pori) yang mampu menyerap air. Sehingga dengan lubang berdiameter 10 cm dan kedalaman 100 cm, dengan perhitungan geometri tabung sederhana akan didapatkan bahwa lubang akan memiliki luas bidang penyerapan sebesar 3.220,13 cm2. Tanpa biopori, area tanah berdiameter 10 cm hanya memiliki luas bidang penyerapan 78 cm persegi.[16] Biopori telah dibuat di berbagai tempat di Jakarta dengan tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya genangan air.[17] Selain di Jakarta, biopori juga dibuat di daerah yang tidak memiliki risiko banjir. Biopori tersebut bermanfaat untuk menjaga keberadaan air tanah dan kelestarian mata air.[18][19] Biopori menjadi alternatif penyerapan air hujan di kawasan yang memiliki lahan terbuka yang sempit.[20] Di Puncak, Bogor, biopori dibangun untuk mengembalikan fungsi penyerapan air di kawasan tersebut sehingga kondisi hulu sungai Ciliwung menjadi lebih sehat. Sejak dijadikan sebagai perkebunan teh, kawasan villa, dan kawasan wisata, Puncak mengalami penurunan kemampuan penyerapan air hujan sehingga risiko erosi dan peluapan air sungai di musim hujan menjadi lebih besar.[21]
Namun menurut penelitian oleh LIPI, biopori tidak mampu mencegah banjir, tetapi efektif dalam menangani genangan air. Dengan dimensi pori-pori yang kecil, maka laju penyerapan air dikatakan relatif lebih lambat dibandingkan dengan debit aliran air ketika terjadi banjir bandang.[22] Inventor biopori, Kamir R Brata sendiri pun mengingatkan bahwa fungsi biopori bukan hanya sebagai penyerap air karena hujan dan genangan air tidak terjadi sepanjang tahun, tetapi sampah organik dapat menumpuk setiap saat dan itulah yang seharusnya menjadi fokus dari biopori.[23] Efektivitas dalam mengatasi genangan air tersebut diyakini juga dapat menangani jentik nyamuk pembawa penyakit.[24]
Biopori juga dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Pengomposan sampah organik mengurangi aktivitas pembakaran sampah yang dapat meningkatkan kandungan gas rumah kaca di atmosfer. Setelah proses pengomposan selesai, kompos ini dapat diambil dari biopori untuk diaplikasikan ke tanaman. Kemudian biopori dapat diisi dengan sampah organik lainnya.[14][16] Sampah organik yang dapat dikomposkan di dalam biopori diantaranya sampah taman dan kebun (dedaunan dan ranting pohon), sampah dapur (sisa sayuran dan tulang hewan), dan sampah produk dari pulp (kardus dan kertas).[25] Sama seperti proses pengomposan secara umum, rasio C/N menentukan kualitas kompos yang akan didapatkan. Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, sehingga dekomposisi berjalan lambat. Untuk mengatasinya, penambahan limbah yang mengandung unsur N tinggi seperti limbah hewani perlu dilakukan. Namun penambahan demikian perlu dicermati karena terlalu banyak limbah hewani akan menyebabkan kompos menjadi berbau pada tahap awal pengomposan.[25]
Biopori juga dapat meningkatkan aktivitas organisme dan mikroorganisme tanah sehingga meningkatkan kesehatan tanah dan perakaran tumbuhan sekitar. Organisme dan mikrorganisme tanah memiliki peran penting dalam ekologi diantaranya sebagai detritivora dan pengikat nitrogen dari atmosfer. Pengikatan nitrogen mampu meningkatkan kadar nitrogen tanah sehingga penggunaan pupuk anorganik urea akan berkurang fandia.[16][26][27]
Di area rumah, biopori dapat dibuat bahkan di tempat yang tanahnya tertutup semen, seperti di depan garasi mobil.[10] Kawasan hijau di halaman rumah dapat dilengkapi dengan biopori.[10] Penerapan 3R (reduce, reuse, dan recycle) di lingkungan rumah dapat dilakukan dengan biopori.[10] Ketika masih menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Rachmat Witoelar membuat biopori di rumah dinas Menteri Lingkungan Hidup.[28] Selebritis asal Bandung, Meyda Sefira juga membuat biopori di halaman rumahnya.[29] Wakil Wali Kota Bekasi, Ahmad Syaikhu membuat biopori di halaman rumah dinasnya sebagai percontohan bagi warganya.[30]
Berbagai tempat di Indonesia telah membuat biopori dengan disponsori oleh pemerintah daerah, pihak swasta, sekolah, yayasan, maupun swadaya masyarakat:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.