Remove ads
variasi dan variabilitas bentuk kehidupan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi. Keanekaragaman hayati biasanya merupakan ukuran variasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem.[1] Biodiversitas daratan (terestrial) biasanya lebih besar di sekitar khatulistiwa,[2] akibat iklim yang hangat dan produktivitas primer (aliran energi) yang tinggi.[3] Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di Bumi, dan paling bervariasi di daerah tropis.[4] Meskipun ekosistem hutan tropis hanya mencakup 10 persen dari permukaan Bumi, tetapi ekosistem ini memiliki sekitar 90 persen spesies yang ada di dunia.[5] Keanekaragaman hayati laut biasanya tertinggi di sepanjang pantai Samudra Pasifik bagian barat, tempat suhu permukaan laut paling tinggi, dan di pita lintang tengah di semua lautan. Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi gradien lintang.[6] Keanekaragaman hayati umumnya cenderung mengelompok di titik panas,[7] dan telah meningkat seiring waktu,[8][9] tetapi kemungkinan akan melambat di masa depan.[10]
Perubahan lingkungan yang cepat biasanya menyebabkan kepunahan massal.[11][12][13] Lebih dari 99,9 persen dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi, yang berjumlah lebih dari lima miliar spesies,[14] diperkirakan telah punah.[15][16] Perkiraan jumlah spesies Bumi saat ini berkisar antara 10 juta hingga 14 juta;[17] sekitar 1,2 juta spesies telah dicatat, tetapi lebih dari 86 persen di antaranya belum dideskripsikan.[18] Pada Mei 2016, para ilmuwan melaporkan bahwa diperkirakan ada 1 triliun spesies yang berada di Bumi saat ini, dan hanya seperseribu dari satu persen yang telah dideskripsikan.[19] Jumlah total pasangan basa DNA di Bumi diperkirakan 5,0 x 1037 dengan berat 50 miliar ton.[20] Sebagai perbandingan, total massa biosfer diperkirakan sebanyak 4 TtC (triliun ton karbon).[21] Pada Juli 2016, para ilmuwan mengidentifikasi satu set yang terdiri atas 355 gen dari leluhur universal terakhir (LUCA) dari semua organisme yang hidup di Bumi.[22]
Usia Bumi diperkirakan sekitar 4,54 miliar tahun.[23][24][25] Bukti yang tak terbantahkan tentang awal kehidupan di Bumi paling tidak berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu,[26][27][28] yaitu selama era Eoarkean setelah kerak geologis mulai mengeras, setelah sebelumnya meleleh pada eon Hadean. Ada fosil tikar mikrob yang ditemukan di batupasir berumur 3,48 miliar tahun di Australia Barat.[29][30][31] Bukti fisik awal lain dari zat biogenik adalah grafit pada batuan metasedimentari berumur 3,7 miliar tahun yang ditemukan di Greenland Barat.[32] Pada tahun 2015, "sisa-sisa kehidupan biotik" ditemukan di batuan berumur 4,1 miliar tahun di Australia bagian barat.[33][34] Menurut salah satu peneliti, "Jika kehidupan muncul relatif cepat di Bumi .. maka ia bisa menjadi hal yang umum di alam semesta."[33]
Sejak kehidupan dimulai di Bumi, lima kepunahan massal besar dan beberapa peristiwa kecil telah menurunkan keanekaragaman hayati secara besar dan mendadak. Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir) ditandai dengan pertumbuhan keanekaragaman hayati yang cepat melalui letusan Kambrium, sebuah periode ketika mayoritas filum organisme multiseluler pertama kali muncul.[35] Selama 400 juta tahun berikutnya terjadi beberapa kali kepunahan massal, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran. Pada periode Karbon, hancurnya hutan hujan menyebabkan hilangnya kehidupan tumbuhan dan hewan.[36] Peristiwa kepunahan Perm–Trias yang berlangsung 251 juta tahun lalu merupakan kepunahan terburuk; organisme vertebrata memerlukan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.[37] Kepunahan terakhir, yaitu peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang terjadi 65 juta tahun lalu, lebih menarik perhatian dibandingkan peristiwa kepunahan lainnya karena mengakibatkan kepunahan dinosaurus non-avian.[38]
Sejak munculnya manusia, pengurangan keanekaragaman hayati dan hilangnya keanekaragaman genetik terus berlangsung. Peristiwa ini dinamakan kepunahan Holosen, yaitu pengurangan yang terutama diakibatkan oleh manusia, terutama penghancuran habitat.[39] Sebaliknya, keanekaragaman hayati memberi pengaruh positif terhadap kesehatan manusia melalui berbagai cara, walaupun beberapa dampak negatifnya sedang dipelajari.[40]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan periode tahun 2011–2020 sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati PBB,[41] dan periode 2021–2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB.[42] Menurut Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem pada tahun 2019 oleh IPBES, 25% spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia.[43][44][45]
Istilah "keanekaragaman hayati" paling banyak dipakai untuk menggantikan istilah yang sudah lebih dahulu didefinisikan dengan jelas, yaitu keanekaragaman spesies dan kekayaan spesies.[52] Ahli biologi sering kali mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai "keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah".[53][54] Keuntungan dari definisi ini yaitu menggambarkan sebagian besar keadaan dan menyajikan pandangan terpadu tentang jenis keanekaragaman hayati tradisional yang telah diidentifikasi sebelumnya:
Definisi eksplisit yang konsisten dengan interpretasi ini pertama kali dituliskan dalam makalah Bruce A. Wilcox yang ditugaskan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) dalam Konferensi Taman Nasional Dunia 1982. Definisi Wilcox yaitu "Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan ... pada semua tingkat sistem biologis (yaitu, molekuler, organisme, populasi, spesies, dan ekosistem) ...".[57] Pada tahun 1984, Wilcox kembali mendefisikan keanekaragaman hayati secara genetis sebagai keanekaragaman alel, gen, dan organisme, yang mempelajari proses seperti mutasi dan transfer gen yang mendorong terjadinya evolusi.[57]
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 mendefinisikan "keanekaragaman hayati" sebagai "variabilitas di antara organisme hidup dari semua sumber, termasuk, antara lain, ekosistem darat, ekosistem laut dan perairan lainnya, serta kompleks ekologis di tempat mereka menjadi bagiannya: termasuk keanekaragaman dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem".[58] Definisi ini digunakan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.[58] Sementara itu, definisi Gaston dan Spicer dalam buku mereka "Biodiversity: an Introduction" adalah "variasi kehidupan di semua tingkatan organisasi biologis".[59]
Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata. Sifatnya sangat beragam di seluruh penjuru Bumi, serta di dalam kawasan tertentu. Beberapa faktor memengaruhi keanekaragaman semua makhluk hidup (biota), misalnya suhu, curah hujan, ketinggian, tanah, geografi, dan keberadaan spesies lain. Studi tentang distribusi spasial organisme, spesies, dan ekosistem, adalah ilmu biogeografi.
Tingkat keanekaragaman secara konsisten lebih tinggi di daerah tropis dan di beberapa wilayah lokal lainnya, seperti Wilayah Tanjung Floristik, dan umumnya lebih rendah di wilayah kutub. Hutan hujan yang sejak lama memiliki iklim basah, seperti Taman Nasional Yasuní di Ekuador, memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.[61][62]
Keanekaragaman hayati darat diperkirakan 25 kali lebih besar dibandingkan keanekaragaman hayati lautan.[63] Metode baru yang digunakan pada tahun 2011, memperkirakan keseluruhan jumlah spesies di Bumi sebesar 8,7 juta, dengan 2,1 juta di antaranya diperkirakan hidup di lautan.[64] Namun, perkiraan ini tampaknya kurang mewakili keanekaragaman mikroorganisme.
Secara umum, keanekaragaman hayati semakin meningkat dari daerah kutub ke daerah tropis. Dengan demikian, lokasi yang garis lintangnya lebih rendah memiliki lebih banyak spesies dibandingkan daerah yang garis lintangnya lebih tinggi. Hal ini sering disebut sebagai gradien lintang dalam keanekaragaman spesies. Beberapa faktor ekologis mungkin berkontribusi pada gradien ini, tetapi faktor utamanya adalah suhu rata-rata yang di ekuator yang tinggi dibandingkan dengan kutub.[65][66][67]
Meskipun keanekaragaman hayati darat semakin menurun dari garis khatulistiwa ke kutub,[68] beberapa penelitian menyimpulkan bahwa sifat ini tidak diverifikasi dalam ekosistem perairan, terutama dalam ekosistem laut.[69] Distribusi parasit secara latitudinal tampaknya tidak mengikuti aturan ini.[70]
Pada tahun 2016, hipotesis alternatif ("keanekaragaman hayati fraktal") diusulkan untuk menjelaskan gradien lintang keanekaragaman hayati.[71] Dalam studi ini, ukuran kumpulan spesies dan sifat fraktal ekosistem digabungkan untuk memperjelas beberapa pola umum gradien ini. Hipotesis ini mempertimbangkan suhu, kelembaban, dan produksi primer bersih (NPP) sebagai variabel utama ceruk ekosistem dan sebagai poros dari hipervolume ekologis. Dengan cara ini, dimungkinkan untuk membangun hipervolume fraktal, yang dimensi fraktalnya naik menjadi tiga, yang bergerak ke arah khatulistiwa.
Titik panas keanekaragaman hayati adalah wilayah dengan spesies endemik tingkat tinggi yang telah mengalami pengrusakan habitat yang luar biasa.[72] Istilah titik panas (hotspot) diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Norman Myers.[73][74][75][76] Meskipun titik panas tersebar di seluruh dunia, kebanyakan di antaranya merupakan kawasan hutan dan sebagian besar terletak di daerah tropis.
Hutan Atlantik Brasil dianggap sebagai salah satu titik panas, yang berisi sekitar 20.000 spesies tumbuhan, 1.350 vertebrata, dan jutaan serangga, sekitar setengahnya tidak ditemukan di tempat lain.[77][butuh rujukan] Pulau Madagaskar dan India juga sangat terkenal. Kolombia dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan tingkat spesies tertinggi berdasarkan satuan luas di seluruh dunia dan memiliki jumlah endemik terbesar (spesies yang secara alami tidak ditemukan di tempat lain) di negara mana pun. Sekitar 10% dari spesies organisme di Bumi dapat ditemukan di Kolombia, termasuk lebih dari 1.900 spesies burung, lebih banyak daripada di Eropa dan Amerika Utara, Kolombia memiliki 10% spesies mamalia dunia, 14% spesies amfibi, dan 18% dari spesies burung di dunia.[78] Hutan kering Madagaskar dan hutan hujan dataran rendah memiliki rasio endemisme yang tinggi.[79][butuh rujukan] Karena pulau ini terpisah dari daratan Afrika 66 juta tahun yang lalu, banyak spesies dan ekosistemnya yang berevolusi secara mandiri.[80] Dengan 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas 1.354.555 mil persegi (1.904.560 km2) dan memiliki 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari [[mamalia, serta 17% dari reptil, amfibi, dan burung.[81] Banyak daerah dengan keanekaragaman hayati dan/atau endemisme yang tinggi muncul dari habitat khusus yang memerlukan adaptasi yang tidak biasa, misalnya, lingkungan pegunungan Alpen di pegunungan tinggi, atau rawa gambut Eropa Utara.[butuh rujukan] Sulit untuk mengukur perbedaan keanekaragaman hayati secara akurat. Bias seleksi di antara para peneliti dapat menimbulkan penelitian empiris yang bias untuk perkiraan modern mengenai keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati merupakan hasil dari evolusi selama 3,5 miliar tahun. Asal-usul kehidupan belum dipastikan oleh sains, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa kehidupan mungkin telah ada hanya beberapa ratus juta tahun setelah Bumi terbentuk. Hingga sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu, semua kehidupan terdiri dari mikroorganisme, yaitu arkea, bakteri, serta protozoa dan protista bersel tunggal.
Sejarah keanekaragaman hayati pada Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir), dimulai dengan pertumbuhan yang cepat melalui letusan Kambrium, yaitu periode ketika hampir setiap filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama kurang lebih 400 juta tahun berikutnya, keanekaragaman invertebrata menunjukkan sedikit peningkatan tren secara keseluruhan, sementara keanekaragaman vertebrata menunjukkan tren peningkatan eksponensial secara keseluruhan.[83] Peningkatan dramatis dalam keanekaragaman ini juga diikuti dengan hilangnya keanekaragaman besar secara berkala yang digolongkan sebagai peristiwa kepunahan massal.[83] Kerugian yang signifikan terjadi ketika hutan hujan mengalami kerusakan pada periode Karbon.[36] Kepunahan yang terburuk adalah peristiwa kepunahan Perm-Trias, 251 juta tahun yang lalu. Organisme vertebrata membutuhkan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.[37]
Catatan fosil menunjukkan bahwa beberapa juta tahun terakhir memiliki keanekaragaman hayati terbesar sepanjang sejarah.[83] Namun, tidak semua ilmuwan mendukung pandangan ini, karena ada ketidakpastian mengenai seberapa kuat rekaman fosil tersebut mengalami bias akibat ketersediaan dan pelestarian fosil yang lebih besar pada periode geologi baru-baru ini. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dengan melakukan koreksi atas pengambilan sampel artefak, keanekaragaman hayati modern mungkin tidak jauh berbeda dari keanekaragaman hayati 300 juta tahun yang lalu,[84] sedangkan peneliti lain menganggap catatan fosil telah cukup mencerminkan diversifikasi kehidupan.[83] Perkiraan keanekaragaman spesies makroskopis global saat ini berkisar dari 2 juta hingga 100 juta, dengan perkiraan terbaik sekitar 9 juta,[64] sebagian besar di antaranya merupakan artropoda.[85] Keragaman tampaknya terus meningkat tanpa adanya seleksi alam.[86]
Keberadaan daya dukung global, yang membatasi jumlah kehidupan yang dapat hidup sekaligus pada satu waktu, masih diperdebatkan. Timbul pula pertanyaan seperti apakah batas tersebut juga akan membatasi jumlah spesies. Catatan kehidupan di laut menunjukkan pola pertumbuhan logistik, sementara kehidupan di darat (serangga, tanaman, dan tetrapoda) menunjukkan peningkatan keanekaragaman yang eksponensial. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah penelitian bahwa, "Tetrapoda belum menginvasi 64 persen area yang berpotensi layak huni dan bisa jadi bahwa tanpa pengaruh manusia, keanekaragaman hayati dan taksonomi tetrapoda akan terus meningkat secara eksponensial sampai mengisi sebagian besar atau semua area ekologis yang ada."[83] Selain itu, keanekaragaman juga terlihat terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama setelah kepunahan massal.[87]
Di sisi lain, perubahan selama Eon Fanerozoikum berkorelasi jauh lebih baik dengan model hiperbolik (model yang banyak digunakan dalam biologi populasi, demografi dan sosiologi makro, serta keanekaragaman hayati fosil) dibandingkan dengan model eksponensial dan logistik. Model logistik menyiratkan bahwa perubahan dalam keanekaragaman dipandu oleh umpan balik positif tingkat pertama (lebih banyak leluhur, lebih banyak keturunan) dan/atau umpan balik negatif yang timbul dari keterbatasan sumber daya. Model hiperbolik menyiratkan umpan balik positif tingkat kedua. Perbedaan dalam kekuatan umpan balik tingkat kedua akibat intensitas persaingan antarspesies mungkin menjelaskan rediversifikasi Ammonoidea yang lebih cepat dibandingkan dengan Bivalvia setelah kepunahan Permian akhir.[88] Model hiperbolik pertumbuhan populasi dunia muncul dari umpan balik positif tingkat kedua antara ukuran populasi dan laju pertumbuhan teknologi.[89] Karakter hiperbolik dari pertumbuhan keanekaragaman hayati dapat juga dijelaskan dengan umpan balik antara keragaman dan kompleksitas struktur komunitas. Kesamaan antara kurva keanekaragaman hayati dan populasi manusia mungkin berasal dari fakta bahwa keduanya berasal dari campur tangan tren hiperbolik dengan dinamika siklus dan stokastik.[89][90]
Namun, sebagian besar ahli biologi sepakat bahwa periode sejak kemunculan manusia adalah bagian dari kepunahan massal baru, yang disebut peristiwa kepunahan Holosen, yang terutama disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan.[91] Tingkat kepunahan saat ini dipandang cukup untuk menghilangkan sebagian besar spesies di planet Bumi dalam 100 tahun.[92]
Spesies baru ditemukan secara rutin (rata-rata antara 5–10.000 spesies baru setiap tahun, kebanyakan merupakan serangga) dan banyak di antara mereka yang belum diklasifikasikan (diperkirakan bahwa hampir 90% dari semua artropoda belum diklasifikasikan).[85] Sebagian besar keanekaragaman terestrial ditemukan di hutan tropis dan secara umum, wilayah daratan memiliki lebih banyak spesies dibandingkan lautan; sekitar 8,7 juta spesies mungkin ada di Bumi dan sekitar 2,1 juta di antaranya hidup di lautan.[64]
"Jasa ekosistem adalah rangkaian manfaat yang disediakan ekosistem bagi umat manusia."[93] Spesies alami, atau biota, merupakan penjaga semua ekosistem. Seolah-olah dunia alami adalah rekening bank yang besar dari aset modal yang mampu membayar dividen seumur hidup tanpa batas waktu, tetapi hanya jika modalnya dipertahankan.[94]
Manfaat ini meliputi tiga bentuk layanan:
Ada banyak klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem ini, terutama layanan penyediaan dan pengaturan. Survei mendalam melalui tinjauan sejawat dilakukan untuk mengevaluasi 36 klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem. Hasilnya, 14 klaim tersebut divalidasi, 6 klaim bercampur antara didukung atau tidak didukung, 3 klaim tidak benar, dan 13 klaim kekurangan cukup bukti untuk mendapatkan kesimpulan definitif.[93]
Keanekaragaman pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu keanekaragaman intraspesifik, yang mencakup variasi genetik dalam satu spesies, seperti kentang (Solanum tuberosum) yang terdiri dari berbagai bentuk dan jenis (misalnya di AS yang membandingkan kentang cokelat muda dengan kentang baru atau kentang ungu, semua kentang tersebut berbeda, tetapi merupakan bagian dari spesies yang sama, S. tuberosum). Kategori kedua disebut keanekaragaman interspesifik dan mengacu pada jumlah dan jenis spesies yang berbeda. Contoh keanekaragaman yaitu berbagai tumbuhan berbeda yang ditanam oleh petani sayuran kecil, misalnya kentang, wortel, paprika, selada, dan sebagainya.
Keanekaragaman pertanian juga dapat dibagi menjadi keanekaragaman yang 'direncanakan' atau keanekaragaman 'terkait'. Pengelompokan ini merupakan klasifikasi fungsional dan bukan sifat intrinsik kehidupan. Keanekaragaman yang direncanakan misalnya tumbuhan yang didukung, ditanam, atau dibesarkan oleh petani (misalnya tanaman, simbion, dan hewan ternak), yang dapat dibedakan dengan keanekaragaman 'terkait' yang muncul dari tumbuhan tanpa diatur (misalnya herbivora serta spesies gulma dan patogen).[96]
Pengendalian keanekaragaman hayati terkait merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi petani. Pada pertanaman tunggal (monokultur), pendekatan yang diambil untuk memberantas keanekaragaman terkait umumnya menggunakan pestisida yang merusak secara biologis, peralatan mekanis dan teknik rekayasa transgenik, kemudian rotasi tanaman. Meskipun sebagian petani pertanaman campuran (polikultur) menggunakan teknik yang sama, mereka juga menggunakan strategi pengendalian hama terpadu serta strategi yang lebih padat karya, tetapi umumnya kurang bergantung pada modal, bioteknologi, dan energi.
Keanekaragaman interspesifik juga menentukan sebagian variasi makanan kita. Keanekaragaman intraspesifik, berupa variasi alel dalam satu spesies, juga menawarkan kita pilihan untuk memilih diet. Jika pertanaman tunggal mengalami kegagalan panen, kita mengandalkan keanekaragaman pertanian untuk menanam kembali lahan dengan tumbuhan baru. Jika tanaman gandum dihancurkan oleh hama, kita mungkin menanam varietas gandum yang lebih kuat pada tahun berikutnya, dengan mengandalkan keanekaragaman intraspesifik. Kita juga dapat meninggalkan produksi gandum di daerah tersebut dan menanam spesies lain yang berbeda, tergantung pada keanekaragaman interspesifik. Bahkan, masyarakat agraris yang terutama menanam secara monokultur, pada titik tertentu tetap bergantung pada keanekaragaman hayati.
Pertanaman tunggal adalah faktor yang berkontribusi terhadap bencana pertanian, termasuk runtuhnya industri anggur Eropa pada akhir abad ke-19, dan epidemi penyakit busuk daun pada jagung di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1970.[99]
Meskipun sekitar 80 persen dari pasokan makanan manusia berasal dari 20 jenis tumbuhan saja,[butuh rujukan] [100] manusia menggunakan setidaknya 40.000 spesies.[butuh rujukan] Banyak orang tergantung pada spesies ini untuk makanan, tempat tinggal, dan pakaian.[butuh rujukan] [100] Keanekaragaman hayati yang masih hidup menyediakan sumber daya untuk meningkatkan variasi makanan dan produk lainnya yang cocok untuk digunakan manusia, meski laju kepunahan memperkecil potensi tersebut.[92]
Relevansi keanekaragaman hayati terhadap kesehatan manusia menjadi isu politik internasional, ketika bukti ilmiah menunjukkan implikasi kesehatan dunia akibat hilangnya keanekaragaman hayati.[101][102][103] Masalah ini terkait erat dengan isu perubahan iklim,[104] karena banyak risiko kesehatan—yang mengantisipasi perubahan iklim—dikaitkan dengan perubahan keanekaragaman hayati (misalnya perubahan populasi dan distribusi vektor penyakit, kelangkaan air bersih, dampak terhadap keanekaragaman hayati pertanian dan sumber makanan, dan lain-lain). Spesies yang paling mungkin hilang adalah mereka menjadi penyangga melawan penularan penyakit infeksi, sementara spesies yang bertahan cenderung merupakan spesies yang meningkatkan penularan penyakit, seperti pada kasus infeksi virus West Nile, penyakit Lyme, dan infeksi Hantavirus, menurut sebuah penelitian di Universitas Cornell.[105]
Meningkatnya permintaan dan kurangnya ketersediaan air minum di planet ini merupakan tantangan tambahan bagi masa depan kesehatan manusia. Sebagian masalahnya terletak pada keberhasilan pemasok air untuk meningkatkan suplai, dan kegagalan kelompok penggerak pelestarian sumber daya air.[106] Meskipun distribusi air bersih meningkat, di beberapa bagian dunia tetap tidak setara. Menurut WHO pada 2008, hanya 71% populasi dunia yang dapat mengakses air bersih yang bisa diminum.[107]
Sebagian masalah kesehatan dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati, seperti keamanan dan ketahanan pangan, penyakit menular, ilmu dan sumber daya kedokteran, serta kesehatan sosial dan psikologis.[108] Keanekaragaman hayati juga diketahui berperan penting dalam mengurangi risiko bencana dan dalam upaya pemulihan pascabencana.[109][110]
Keanekaragaman hayati memberi dukungan penting dalam penemuan obat dan ketersediaan sumber daya obat.[111][112] Sebagianobat berasal dari sumber biologi (baik secara langsung atau tidak langsung): setidaknya 50% senyawa farmasi di pasar AS berasal dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, sementara sekitar 80% populasi dunia berrgantung pada obat-obatan dari alam (yang digunakan baik dalam praktik medis modern maupun tradisional) untuk kesehatan primer.[102] Hanya sebagian kecil spesies liar yang telah diteliti untuk mengetahui potensi medisnya. Keanekaragaman hayati merupakan hal penting untuk kemajuan seluruh bidang bionik. Analisis pasar dan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa penurunan keluaran dari sektor farmasi sejak pertengahan 1980-an dapat dikaitkan dengan perpindahan dari eksplorasi produk alami (pencarian hayati) menjadi pendekatan genomik dan kimia sintetis, karena nilai dari produk farmasi yang belum ditemukan mungkin tidak memberikan insentif yang cukup tinggi bagi perusahaan di pasar bebas untuk mencarinya akibat tingginya biaya riset dan pengembangan;[113] sementara itu, produk alami memiliki sejarah panjang dalam mendukung inovasi dalam bidang ekonomi dan kesehatan yang signifikan.[114][115] Ekosistem laut sangat penting,[116] walaupun pencarian hayati yang tidak sesuai dapat meningkatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta melanggar hukum masyarakat dan negara tempat sumber tersebut diambil.[117][118][119]
Banyak bahan baku industri diambil langsung dari sumber biologis, termasuk bahan bangunan, serat, pewarna, karet, dan minyak. Keanekaragaman hayati juga penting untuk keamanan sumber daya seperti air, kayu, kertas, serat, dan makanan.[120][121][122] Akibatnya, hilangnya keanekaragaman hayati merupakan faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan bisnis dan ancaman bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.[123][124]
Keanekaragaman hayati memperkaya kegiatan rekreasi seperti mendaki, mengamati burung, atau mempelajari sejarah alam. Keanekaragaman hayati mengilhami musisi, pelukis, pemahat, sastrawan, dan seniman lainnya. Banyak kebudayaan melihat diri mereka sebagai bagian integral dari alam yang mengharuskan mereka untuk menghormati makhluk hidup lainnya.
Kegiatan populer seperti berkebun, memelihara ikan, dan mengumpulkan spesimen sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Jumlah spesies terlibat dalam kegiatan tersebut mencapai puluhan ribu, meskipun sebagian besar tidak diperdagangkan.
Hubungan yang cukup kompleks dan kurang dipahami terjadi antara habitat alam asli dari hewan dan tumbuhan ini (yang sering kali bersifat eksotik) dengan kolektor, pemasok, peternak, dan pelaku budi daya komersial, serta orang-orang yang mempromosikan pemahaman dan kenikmatan mereka. Masyarakat umum memberi respons yang baik terhadap paparan organisme langka dan tidak biasa, yang mencerminkan nilai yang melekat pada mereka.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati memiliki nilai estetika dan spiritual yang intrinsik untuk umat manusia itu sendiri. Gagasan ini dapat digunakan sebagai penyeimbang terhadap anggapan bahwa hutan tropis dan ekologi alam lain hanya layak dikonservasi karena manfaat yang mereka berikan.[125]
Keanekaragaman hayati mendukung banyak layanan ekosistem:
"Sekarang ada bukti nyata bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi pada komunitas ekologis yang menangkap sumber daya biologis penting, menghasilkan biomassa, menguraikan dan mendaur ulang nutrisi penting biologis ... Ada bukti kuat bahwa keanekaragaman hayati meningkatkan stabilitas fungsi ekosistem melalui waktu ... Komunitas yang beragam lebih produktif karena mengandung spesies kunci yang memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas dan perbedaan sifat fungsional di antara organisme yang meningkatkan penangkapan jumlah sumber daya... Dampak hilangnya keanekaragaman terhadap proses ekologis mungkin cukup besar untuk menyaingi dampak dari banyak pendorong global perubahan lingkungan lainnya... Mempertahankan berbagai proses ekosistem di berbagai tempat dan waktu membutuhkan tingkat keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan proses tunggal di satu tempat dan waktu."[93]
Keanekaragaman hayati berperan dalam mengatur kimiawi atmosfer dan persediaan air kita, serta terlibat secara langsung dalam pemurnian air, daur ulang nutren, dan penyediaan tanah yang subur. Eksperimen dengan lingkungan terkendali menunjukkan bahwa manusia tidak dapat membangun ekosistem untuk mendukung kebutuhan manusia dengan mudah;[126] misalnya penyerbukan serangga tidak dapat ditiru, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan penyerbuk buatan menggunakan pesawat tanpa awak.[127] Kegiatan ekonomi penyerbukan saja mewakili antara $ 2,1–14,6 miliar pada tahun 2003.[128]
Menurut penelitian Mora dan rekannya, jumlah spesies darat diperkirakan sekitar 8,7 juta, sementara jumlah spesies laut jauh lebih rendah, diperkirakan 2,2 juta. Para penulis menyampaikan bahwa perkiraan ini paling diyakini untuk organisme eukariota dan kemungkinan mewakili batas bawah keanekaragaman prokariota.[129] Perkiraan lain termasuk:
Karena tingkat kepunahan meningkat, banyak spesies yang masih ada dapat punah sebelum dideskripsikan.[141] Tidak mengherankan, pada filum hewan, kelompok yang paling banyak dipelajari adalah burung dan mamalia, sedangkan ikan dan artropoda adalah kelompok hewan yang paling sedikit dipelajari.[142]
Kita tidak lagi harus membenarkan keberadaan hutan tropis lembab dengan alasan lemah bahwa mereka mungkin memiliki tumbuhan obat-obatan yang menyembuhkan penyakit manusia. Teori Gaia memaksa kita untuk melihat bahwa mereka menawarkan lebih dari hal ini. Dengan kapasitas untuk melakukan evapotranspirasi sejumlah besar uap air, mereka berfungsi untuk menjaga planet ini tetap dingin dengan mengenakan kerai berupa awan putih pemantul. Mengganti mereka dengan lahan pertanian dapat memicu bencana yang berskala global.
Pada abad ke-21, penurunan keanekaragaman hayati semakin banyak diamati. Pada tahun 2007, Menteri Lingkungan Federal Jerman Sigmar Gabriel mengutip perkiraan bahwa hingga 30% dari semua spesies akan punah pada tahun 2050.[144] Dari jumlah tersebut, sekitar seperdelapan spesies tumbuhan yang diketahui saat ini terancam punah.[145] Perkiraan kepunahan mencapai 140.000 spesies per tahun (berdasarkan teori spesies-area).[146] Angka ini menunjukkan praktik ekologi yang tidak berkelanjutan karena hanya sedikit spesies yang muncul setiap tahun.[butuh rujukan] Hampir semua ilmuwan mengakui bahwa laju kehilangan spesies pada saat ini lebih besar dibandingkan dengan seluruh periode sejarah manusia, dengan laju kepunahan terjadi ratusan kali lebih tinggi dibandingkan laju kepunahan normal.[145] Pada 2012, beberapa penelitian menunjukkan bahwa 25% dari semua spesies mamalia dapat punah dalam 20 tahun.[147]
Secara absolut, planet ini telah kehilangan 58% keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 menurut sebuah studi 2016 oleh Dana Dunia Untuk Alam (WWF).[148] The Living Planet Report 2014 yang diterbitkan WWF mengklaim bahwa "jumlah mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan di seluruh dunia, rata-rata, sekitar setengah ukurannya pada 40 tahun yang lalu". Dari jumlah tersebut, 39% merupakan angka untuk hilangnya satwa liar darat, 39% untuk satwa liar laut, dan 76% untuk satwa liar air tawar. Keanekaragaman hayati mengalami pukulan terbesar di Amerika Latin, yaitu anjlok sebesar 83 persen. Negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan peningkatan 10% dalam keanekaragaman hayati, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah mengalami penurunan. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi menggunakan sumber daya ekologis lima kali lebih banyak dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, negara-negara kaya melakukan alih daya penipisan sumber daya ke negara-negara miskin, yang menderita kerugian ekosistem terbesar.[149]
Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam PLOS One menemukan bahwa biomassa kehidupan serangga di Jerman telah menurun tiga perempat dalam 25 tahun terakhir. Dave Goulson dari Universitas Sussex menyatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa manusia "tampaknya membuat bidang tanah luas yang tidak ramah untuk sebagian besar bentuk kehidupan, dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju kehancuran total ("Armageddon") ekologis. Jika kita kehilangan serangga maka semuanya akan runtuh."[150]
Pada tahun 2006, banyak spesies secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies langka atau genting atau terancam; para ilmuwan juga memperkirakan bahwa jutaan spesies lainnya memiliki risiko yang belum diakui secara formal. Sekitar 40 persen dari 40.177 spesies yang dinilai menggunakan kriteria Daftar Merah IUCN sekarang terdaftar sebagai terancam punah, totalnya yaitu 16.119.[151]
Jared Diamond menggambarkan "Kuartet Jahat", yaitu pengrusakan habitat, pemburuan berlebihan, spesies pendatang, dan kepunahan sekunder.[152] Edward O. Wilson lebih memilih akronim HIPPO, yang merujuk pada pengrusakan habitat (habitat destruction), spesies invasif (invasive species), polusi, overpopulasi manusia, dan panen berlebih (over-harvesting).[153][154] Klasifikasi yang paling otoritatif yang digunakan saat ini adalah Klasifikasi Ancaman langsung IUCN [155] (versi 2.0 dirilis pada 2016) yang telah diadopsi oleh organisasi konservasi internasional utama seperti The Nature Conservancy AS, World Wildlife Fund, Conservation International, dan BirdLife International.
Ada 11 ancaman langsung utama terhadap konservasi, yaitu:
Kerusakan habitat berperan penting dalam kepunahan, terutama terkait dengan kerusakan hutan tropis.[156] Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hilangnya habitat meliputi overkonsumsi, overpopulasi, berubahnya penggunaan tanah, penggundulan hutan, pencemaran (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah), dan pemanasan global atau perubahan iklim.[157][158]
Ukuran habitat dan jumlah spesies saling berkaitan secara sistematis. Spesies yang fisiknya lebih besar dan spesies yang tinggal di lintang rendah atau di hutan atau lautan lebih sensitif terhadap pengurangan area habitat.[159] Konversi ke ekosistem standar yang "sederhana" (misalnya pembuatan monokultur setelah penggundulan hutan) secara efektif menghancurkan habitat beragam spesies yang telah menempati lokasi tersebut sebelum konversi. Bahkan bentuk-bentuk pertanian yang paling sederhana pun memengaruhi keanekaragaman, melalui pembersihan atau pengeringan lahan, mencegah gulma dan hama, serta hanya mendorong sejumlah spesies tumbuhan dan hewan tertentu secara terbatas. Di sejumlah negara, hak milik atau lemahnya penegakan hukum dikaitkan dengan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Sebuah studi pada 2007 yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional menemukan bahwa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetik bersifat kodependen, artinya keanekaragaman di antara spesies membutuhkan keanekaragaman dalam satu spesies, dan sebaliknya. "Jika salah satu tipe dihapus dari sistem, siklusnya dapat rusak dan komunitas menjadi didominasi oleh satu spesies."[160] Saat ini, ekosistem yang paling terancam merupakan ekosistem air tawar, menurut Penilaian Ekosistem Milenium pada 2005, yang dikonfirmasi oleh "Penilaian Keragaman Hewan Air Tawar", yang diselenggarakan oleh platform keanekaragaman hayati, dan Institut Prancis, Institut de recherche pour le développement.[161]
Kepunahan bersama adalah salah satu bentuk kerusakan habitat. Hal ini terjadi ketika kepunahan atau penurunan pada satu spesies menyertai proses serupa pada spesies lainnya, seperti pada tumbuhan dan kumbang.[162]
Sebuah laporan pada 2019 mengungkapkan bahwa lebah dan serangga penyerbuk lainnya telah dihilangkan dari hampir seperempat habitat mereka di Britania Raya. Kecelakaan populasi telah terjadi sejak 1980-an dan memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan pertanian industri dan penggunaan pestisida, yang dikombinasikan dengan penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim, mengancam masa depan serangga ini dan pertanian yang mereka dukung.[163]
Penghalang seperti sungai, laut, samudra, gunung, dan gurun yang besar mendorong keanekaragaman dengan memungkinkan evolusi independen di kedua sisi penghalang tersebut, melalui proses spesiasi alopatrik. Istilah spesies invasif diberikan pada spesies yang menembus penghalang alami yang biasanya membuat mereka terkekang. Tanpa adanya penghalang, spesies tersebut menempati wilayah baru, sering kali menggantikan spesies asli dengan menduduki relung mereka, atau dengan menggunakan sumber daya yang biasanya akan mempertahankan kehidupan spesies asli.
Jumlah spesies invasif telah meningkat setidaknya sejak awal 1900-an. Berbagai spesies semakin banyak dipindahkan oleh manusia (sengaja dan tidak sengaja). Dalam beberapa kasus, spesies yang berpindah mengakibatkan perubahan drastis dan kerusakan pada habitat baru mereka (misalnya kerang zebra dan kumbang Agrilus planipennis di wilayah Danau-Danau Besar dan ikan singa atau lepu di sepanjang pantai Atlantik Amerika Utara). Beberapa bukti menunjukkan bahwa spesies invasif lebih kompetitif di habitat barunya mereka karena mereka lebih sedikit mengalami gangguan oleh patogen.[164] Studi lainnya melaporkan bukti yang membingungkan yang kadang-kadang menunjukkan bahwa komunitas yang kaya spesies memiliki banyak spesies asli dan eksotik secara bersamaan,[165] sementara beberapa studi mengatakan bahwa ekosistem yang beragam lebih tangguh dan tahan terhadap tumbuhan dan hewan invasif.[166] Pertanyaan pentingnya adalah, "Apakah spesies invasif menyebabkan kepunahan?" Banyak penelitian mengutip dampak spesies invasif pada spesies asli,[167] tetapi tidak mengakibatkan kepunahan. Spesies invasif tampaknya meningkatkan keanekaragaman lokal (yaitu keanekaragaman alfa), yang mengurangi pergantian keanekaragaman (yaitu keanekaragaman beta). Keanekaragaman gama secara keseluruhan dapat diturunkan karena spesies akan punah akibat sebab lainnya.[168] Meskipun demikian, bahkan beberapa pendatang yang paling berbahaya (misalnya penyakit elm Belanda, kumbang penggerek abu zamrud, kumbang penggerek kastanye di Amerika Utara) tidak menyebabkan spesies inangnya punah. Kepunahan lokal, penurunan populasi, dan homogenisasi keanekaragaman hayati regional jauh lebih umum ditemukan. Aktivitas manusia sering kali menjadi penyebab spesies invasif melintasi penghalang mereka,[169] yang memindahkan mereka untuk dimakan atau untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas manusia memungkinkan spesies untuk bermigrasi ke daerah baru (dan dengan demikian menjadi invasif) terjadi pada skala waktu yang jauh lebih pendek dibandingkan waktu alami yang diperlukan bagi suatu spesies untuk memperluas jangkauannya.
Tidak semua spesies pendatang bersifat invasif, atau semua spesies invasif tidak sengaja didatangkan. Dalam kasus-kasus seperti kerang zebra, invasi saluran air AS terjadi tanpa disengaja. Dalam kasus lain, seperti garangan di Hawaii, perpindahan dilakukan dengan sengaja tetapi tidak efektif (tikus yang nokturnal tidak rentan terhadap garangan yang diurnal). Dalam kasus lain, seperti kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, perpindahan menghasilkan manfaat ekonomi yang substansial, tetapi manfaat tersebut disertai dengan konsekuensi mahal yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, spesies pendatang mungkin secara tidak sengaja merugikan spesies yang tergantung pada spesies yang digantikannya. Di Belgia, tanaman perdu Prunus spinosa dari Eropa Timur membentuk daun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya di Eropa Barat sehingga mengganggu kebiasaan makan kupu-kupu Thecla betulae (yang memakan daun). Kedatangan spesies baru sering mengakibatkan spesies endemik dan spesies lokal lainnya tidak dapat bersaing dengan spesies eksotik dan tidak dapat bertahan hidup. Organisme eksotik dapat berupa predator, parasit, atau hanya mengalahkan spesies asli untuk mendapatkan nutrisi, air dan cahaya.
Saat ini, beberapa negara telah mengimpor begitu banyak spesies eksotik, terutama tanaman pertanian dan tanaman hias, sehingga fauna atau flora asli mereka mungkin kalah jumlah. Misalnya, pengenalan kudzu dari Asia Tenggara ke Kanada dan Amerika Serikat telah mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.[170]
Spesies endemik dapat terancam punah[171] melalui proses pencemaran genetik, yaitu persilangan, introgresi, dan kelebihan genetik yang tidak terkendali. Pencemaran genetik menyebabkan homogenisasi atau penggantian genom lokal sebagai hasil dari keuntungan numerik dan/atau kesesuaian dari suatu spesies pendatang.[172] Persilangan dan introgresi merupakan efek samping dari kedatangan dan invasi. Fenomena ini dapat sangat merugikan spesies langka yang terpapar dengan spesies yang lebih berlimpah. Spesies yang berlimpah dapat kawin silang dengan spesies langka dan membanjiri lungkang gennya. Masalah ini tidak selalu terlihat dari pengamatan morfologis (penampilan luar) saja. Beberapa tingkat aliran gen merupakan adaptasi normal, dan tidak semua konstelasi gen dan genotipe dapat dilestarikan. Namun, persilangan dengan atau tanpa introgresi dapat mengancam keberadaan spesies langka.[173][174]
Eksploitasi berlebihan terjadi ketika sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi di darat dalam bentuk perburuan dan penebangan kayu yang berlebihan, konservasi tanah yang buruk di bidang pertanian, dan perdagangan satwa liar ilegal. Sekitar 25% perikanan dunia saat ini ditangkap secara berlebihan sampai pada titik ketika biomassa mereka saat ini berada di bawah tingkat yang memaksimalkan keberlangsungan mereka.[175]
Hipotesis perburuan berlebihan, yaitu suatu pola kepunahan hewan besar yang dihubungkan dengan pola migrasi manusia, dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kepunahan megafauna dapat terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.[176]
Dalam pertanian dan peternakan, Revolusi Hijau memopulerkan penggunaan persilangan konvensional untuk meningkatkan hasil produksi. Sering kali keturunan hasil persilangan berasal dari negara-negara maju dan selanjutnya disilangkan dengan varietas lokal di negara berkembang untuk menciptakan galur berproduksi tinggi yang tahan terhadap iklim dan penyakit setempat. Pemerintah dan industri lokal telah mendorong persilangan. Sebelumnya, lungkang gen yang sangat besar dari keturunan liar dan keturunan asli telah runtuh dan menyebabkan erosi genetik dan pencemaran genetik yang luas. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman genetik dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan.[177]
Organisme termodifikasi secara genetika memiliki materi genetik yang diubah oleh rekayasa genetik. Tanaman rekayasa genetik telah menjadi sumber umum bagi pencemaran genetik, tidak hanya pada varietas liar tetapi juga pada varietas domestik yang berasal dari persilangan klasik.[178][179][180][181][182]
Erosi genetik dan pencemaran genetik berpotensi menghancurkan genotipe unik, sehingga bisa menciptakan ancaman terhadap ketahanan pangan. Penurunan keanekaragaman genetik melemahkan kemampuan tanaman dan ternak untuk disilangkan dalam rangka melawan penyakit dan bertahan hidup dari perubahan iklim.[177]
Pemanasan global merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati global.[183][184] Misalnya, terumbu karang—yang menjadi titik panas keanekaragaman hayati—akan hilang pada abad ini jika pemanasan global terus berlanjut dengan laju saat ini.[185][186]
Perubahan iklim terbukti memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan karbon dioksida di atmosfer pasti memengaruhi morfologi tumbuhan[187] dan mengasamkan samudra,[188] sementara perubahan suhu memengaruhi jangkauan hidup spesies,[189][190][191] fenologi,[192] dan cuaca,[193] tetapi, untungnya, dampak utama yang diprediksi masih merupakan potensi yang akan muncul di masa depan. Kepunahan besar belum diprediksi, bahkan ketika perubahan iklim secara drastis mengubah biologi banyak spesies.
Pada tahun 2004, sebuah studi kolaboratif internasional di empat benua memperkirakan bahwa 10 persen spesies akan punah pada tahun 2050 karena pemanasan global. "Kita perlu membatasi perubahan iklim atau kita akan berada dalam kesulitan bersama banyak spesies lain, mungkin punah," kata Dr. Lee Hannah, salah satu penulis makalah dan kepala ahli biologi perubahan iklim di Pusat Ilmu Pengetahuan Keanekaragaman Hayati Terapan di Konservasi Internasional.[194]
Sebuah penelitian pada 2015 memperkirakan bahwa hingga 35% karnivora dan ungulata terestrial dunia akan menghadapi risiko kepunahan yang lebih tinggi pada tahun 2050 akibat efek perubahan iklim ditambah penggunaan lahan yang diprediksi dengan skenario laju pembangunan manusia masa kini.[195]
Perubahan iklim telah mengubah waktu ketika kelelawar ekor bebas Brasil (Tadarida brasiliensis) muncul untuk mencari makan menjadi senja hari. Perubahan ini diyakini terkait dengan pengeringan daerah akibat kenaikan suhu. Kemunculan yang lebih awal ini membuat kelelawar menjadi pemangsa yang lebih besar dan meningkatkan persaingan dengan serangga lain yang mencari makan pada waktu senja atau siang hari.[196]
Populasi dunia berjumlah hampir 7,6 miliar pada pertengahan 2017 (kira-kira satu miliar lebih banyak dibandingkan tahun 2005) dan diperkirakan akan mencapai 11,1 miliar pada tahun 2100.[197] Sir David King, mantan kepala penasihat ilmiah untuk pemerintah Inggris, mengatakan pada parlemen: "Sudah jelas bahwa pertumbuhan populasi manusia secara besar-besaran selama abad ke-20 berdampak lebih besar pada keanekaragaman hayati dibandingkan faktor tunggal lainnya."[198][199] Paling tidak sampai pertengahan abad ke-21, hilangnya keanekaragaman hayati murni di seluruh dunia mungkin akan sangat bergantung pada tingkat kelahiran manusia di seluruh dunia.[200] Ahli biologi seperti Paul R. Ehrlich dan Stuart Pimm mencatat bahwa pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi berlebihan adalah pendorong utama kepunahan spesies.[201][202][203]
Menurut sebuah studi pada tahun 2014 oleh WWF, populasi manusia global sudah melebihi biokapasitas planet; dibutuhkan 1,5 kali biokapasitas Bumi untuk memenuhi kebutuhan kita saat ini.[204] Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa jika semua orang di planet ini memiliki jejak kaki dari rata-rata penduduk Qatar, kita akan membutuhkan 4,8 Bumi dan jika kita menjalani gaya hidup penduduk AS yang khas, kita akan membutuhkan 3,9 Bumi.[149]
Tingkat penurunan keanekaragaman hayati dalam kepunahan Holosen (kepunahan massal keenam) setara atau melebihi tingkat penuruhan pada lima peristiwa kepunahan massal sebelumnya menurut catatan fosil.[205][206][207][208][209][210][211] Hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan hilangnya modal alami yang menyediakan kebutuhan barang dan layanan pada ekosistem. Dari perspektif metode yang dikenal sebagai Ekonomi Alam, nilai ekonomi dari 17 layanan ekosistem untuk biosfer Bumi (dihitung pada tahun 1997) diperkirakan memiliki nilai US $ 33 triliun (3,3x1013) per tahun.[212]
Pada tahun 2019, Platform Kebijakan-Ilmu Pengetahuan Antar Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem menerbitkan Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem, sebuah studi terbesar dan paling komprehensif hingga saat ini mengenai keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Laporan ini dibuat sebagai ringkasan bagi para pembuat kebijakan. Kesimpulan utamanya yaitu
Biologi konservasi mulai matang pada pertengahan abad ke-20 ketika ahli ekologi, naturalis, dan ilmuwan lain mulai meneliti dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan penurunan keanekaragaman hayati global.[216][217][218]
Etika konservasi menyarankan pengelolaan sumber daya alam untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam spesies, ekosistem, proses evolusi, serta budaya manusia dan masyarakat.[206][216][218][219][220]
Biologi konservasi mengalami perubahan terkait rencana strategis yang akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati.[216][221][222] Melestarikan keanekaragaman hayati global merupakan prioritas dalam rencana konservasi strategis yang dirancang untuk melibatkan kebijakan publik dan isu yang berpengaruh di dalam masyarakat, ekosistem, dan budaya dalam skala lokal, regional dan global.[223] Rencana aksi yang disusun mengidentifikasi cara mempertahankan kesejahteraan manusia menggunakan modal alam, modal pasar, dan layanan ekosistem.[224][225]
Dalam Pedoman Uni Eropa 1999/22/EC, kebun binatang digambarkan memiliki peran dalam pelestarian keanekaragaman hayati hewan liar dengan melakukan penelitian atau berpartisipasi dalam program pemuliaan.
Penghilangan spesies eksotik akan memungkinkan spesies yang telah terdampak negatif oleh mereka untuk memulihkan relung ekologinya kembali. Spesies eksotik yang telah menjadi hama dapat diidentifikasi secara taksonomi (misalnya dengan Sistem Identifikasi Otomatis Digital [DAISY], dengan menggunakan kode batang kehidupan).[226][227] Secara praktis, penghilangan hanya dilakukan pada kelompok individu besar karena pertimbangan biaya ekonomi.
Ketika populasi spesies asli yang tersisa di suatu daerah dapat hidup berkelanjutan dan hidupnya menjadi terjamin, spesies yang "hilang" yang menjadi kandidat untuk reintroduksi (pendatangan kembali) dapat diidentifikasi menggunakan basis daya seperti Encyclopedia of Life dan Fasilitas Informasi Keanekaragaman Hayati Global.
Investasi sumber daya yang difokuskan pada area terbatas dengan potensi keanekaragaman hayati yang lebih tinggi diperkirakan membawa hasil yang lebih besar dan cepat dibandingkan menyebarkan sumber daya secara merata atau berfokus pada area yang keanekaragamannya rendah.[229] Strategi kedua berfokus pada area yang mempertahankan sebagian besar keanekaragaman asli mereka, yang biasanya hanya membutuhkan sedikit restorasi atau bahkan tidak ada. Area ini biasanya merupakan area nonperkotaan dan nonpertanian. Daerah tropis sering kali cocok dengan kedua kriteria tersebut, mengingat keanekaragaman aslinya yang tinggi dan pembangunan yang relatif kurang.[230]
Kawasan perlindungan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada hewan liar dan habitatnya yang juga mencakup cagar hutan dan cagar biosfer.[231] Kawasan perlindungan didirikan di seluruh dunia dengan tujuan spesifik untuk melindungi dan melestarikan tumbuhan dan hewan. Beberapa ilmuwan meminta komunitas global untuk menetapkan 30 persen dari Bumi sebagai kawasan perlindungan pada tahun 2030 dan 50 persen pada tahun 2050, untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh manusia.[232]
Taman nasional adalah area yang dipilih oleh pemerintah atau organisasi swasta untuk melindungi area tersebut secara khusus dari kerusakan atau degradasi dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap. Taman nasional biasanya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah nasional atau negara bagian. Jumlah pengunjungnya dibatasi, terutama untuk memasuki area rapuh tertentu. Para pengunjung hanya diizinkan masuk untuk tujuan belajar, budaya, dan rekreasi. Operasi kehutanan, penggembalaan hewan, dan perburuan hewan diatur, sementara eksploitasi habitat atau satwa liar dilarang.
Cagar alam dan suaka margasatwa (wildlife sanctuaries) hanya bertujuan untuk mengonservasi spesies dan memiliki karakteristik:
Hutan memainkan peran penting untuk menyimpan berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik. Spesies tumbuhan dan hewan yang terbatas pada wilayah geografis tertentu disebut spesies endemik. Pada hutan yang dilindungi, hak untuk melakukan beberapa kegiatan seperti berburu dan merumput kadang-kadang diberikan kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, yang mempertahankan mata pencaharian mereka sebagian atau seluruhnya dari sumber daya hutan atau produknya. Hutan yang tidak diklasifikasikan memiliki karakteristik berupa hutan besar yang tidak dapat diakses, banyak di antaranya yang tidak dihuni, dan dinilai kurang penting secara ekologis dan ekonomis.
Di kebun binatang, hewan hidup dipelihara untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan konservasi. Kebun binatang modern memiliki layanan kedokteran hewan, memberikan peluang bagi spesies terancam untuk berkembang biak di penangkaran, dan biasanya membangun lingkungan yang mensimulasikan habitat asli hewan dalam lingkungan perawatan mereka. Kebun binatang memainkan peran utama dalam membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan alam.
Di kebun botani atau kebun raya, tumbuhan ditanam dan dipajang terutama untuk tujuan ilmiah dan pendidikan. Mereka terdiri dari koleksi tanaman hidup yang ditanam di luar ruangan atau di bawah kaca pada rumah kaca dan konservatori. Kebun botani juga dapat mencakup koleksi tumbuhan kering atau herbarium dan fasilitas seperti ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, museum, dan penanaman eksperimental atau penelitian.
Kesepakatan global seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati, memberikan "hak nasional yang berdaulat atas sumber daya hayati" (bukan properti). Perjanjian tersebut mengikat suatu negara untuk "melestarikan keanekaragaman hayati", "mengembangkan sumber daya untuk keberlanjutan", dan "berbagi manfaat" yang dihasilkan dari penggunaannya. Negara dengan keanekaragaman hayati yang memungkinkan untuk melakukan pencarian hayati atau mengumpulkan produk alami, mengharapkan untuk mendapat sebagian manfaat alih-alih membiarkan individu atau lembaga yang menemukan sumber daya tersebut hanya untuk keperluan pribadi mereka. Pencarian hayati dapat menjadi salah satu jenis pembajakan hayati ketika prinsip-prinsip tersebut tidak dihormati.[233]
Prinsip kedaulatan dapat mengandalkan pada apa yang dikenal sebagai Perjanjian Berbagi Akses dan Perjanjian (ABAs). Konvensi Keanekaragaman Hayati menyiratkan persetujuan antara negara sumber dan kolektor, untuk menentukan sumber daya mana yang akan digunakan dan untuk apa, serta untuk menciptakan perjanjian yang adil mengenai pembagian keuntungan.
Pada bulan Mei 2020, Uni Eropa (UE) menerbitkan Strategi Keanekaragaman Hayati untuk tahun 2030. Strategi ini merupakan bagian penting dari strategi mitigasi perubahan iklim Uni Eropa. Dari 25% anggaran Eropa yang akan digunakan untuk memerangi perubahan iklim, sebagian besar akan digunakan untuk mengembalikan keanekaragaman hayati dan solusi berbasis alam.
Strategi Keanekaragaman Hayati UE untuk tahun 2030 mencakup target berikutnya:
Menurut halaman strategi tersebut, sekitar setengah dari PDB global bergantung pada alam. Di Eropa, banyak unsur ekonomi yang menghasilkan triliunan € per tahun, tergantung pada alam. Manfaat Natura 2000 saja di Eropa berkisar antara € 200 hingga € 300 miliar per tahun.[235]
Keanekaragaman hayati dipertimbangkan dalam beberapa keputusan politik dan hukum:
Akan tetapi, keseragaman standar hukum yang mengatur penggunaan keanekaragaman hayati belum tercapai. Bosselman berpendapat bahwa keanekaragaman hayati tidak boleh digunakan sebagai standar hukum dan mengklaim bahwa masih ada area ketidakpastian ilmiah yang menyebabkan tidak efisiennya administrasi dan meningkatkan litigasi meningkat tanpa mempromosikan tujuan pelestarian.[237]
India meloloskan Undang-Undang Keanekaragaman Hayati pada tahun 2002 untuk mengonservasi keanekaragaman hayati di India. Undang-undang ini juga mencakup mekanisme pembagian manfaat secara adil dari penggunaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional.
Dari semua spesies yang telah dideskripsikan, kurang dari 1% yang telah diteliti lebih lanjut dari sekadar mencatat keberadaan mereka.[238] Sebagian besar spesies Bumi merupakan mikrob. Fisika keanekaragaman hayati kontemporer dianggap "terpaku tegas pada dunia yang terlihat [makroskopik]".[239] Sebagai contoh, kehidupan mikrob secara metabolik dan lingkungan lebih beragam dibandingkan kehidupan multiseluler (misalnya pada ekstremofil). "Pada pohon kehidupan, didasarkan pada analisis subunit kecil RNA ribosom, kehidupan yang terlihat oleh mata hanya meliputi ranting kecil yang hampir tak terlihat. Hubungan terbalik antara ukuran makhluk hidup dan populasinya berulang lebih tinggi pada tangga evolusi "pada perkiraan pertama, semua spesies multiseluler di Bumi adalah serangga".[240] Tingkat kepunahan serangga yang tinggi mendukung hipotesis kepunahan Holosen.[241][242]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.