Loading AI tools
perusahaan asal Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Bank Central Asia atau biasa disingkat menjadi BCA adalah bank swasta terbesar di Indonesia. Bank ini didirikan pada 21 Februari 1957 dan pernah menjadi bagian penting dari Grup Salim. Sekarang bank ini dimiliki oleh salah satu grup produsen rokok terkemuka di Indonesia, Djarum.
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Publik | |
Kode emiten | IDX: BBCA Komponen LQ45 |
Industri | Jasa keuangan |
Didirikan | 10 Agustus 1955 21 Februari 1957 (bank) | (perusahaan)
Kantor pusat | Menara BCA, Jakarta, Indonesia |
Tokoh kunci | Djohan Emir Setijoso (Presiden Komisaris) Jahja Setiaatmadja (Presiden Direktur) Armand Hartono (Wakil Presiden Direktur) |
Pendapatan | Rp 99,9 triliun (2023) |
Rp 48,6 triliun (2023) | |
Total aset | Rp 1.408,1 triliun (2023) |
Total ekuitas | Rp 242,5 triliun (2023) |
Pemilik | PT Dwimuria Investama Andalan (54,94%) |
Karyawan | 26.917 (2023) |
Anak usaha | BCA Insurance BCA Life BCA Finance BCA Syariah BCA Sekuritas BCA Digital BCA Finance Limited Central Capital Ventura |
Situs web | bca |
PT Bank Central Asia Tbk didirikan pada 10 Agustus 1955 dengan nama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory.[1] Awalnya, perusahaan ini bukanlah berbisnis perbankan, melainkan sebuah perusahaan tekstil di Semarang.[2] Tidak lama kemudian, perusahaan tekstil tersebut berubah menjadi sebuah perusahaan bank pada 12 Oktober 1956 bernama NV Bank Asia. Namanya kemudian berganti menjadi Central Bank Asia pada 13 Februari 1957[3] dan NV (kemudian PT) Bank Centraal Asia[4][5][6] pada 21 Februari 1957. Pada hari yang sama, bank ini mulai beroperasi,[7] yang tanggalnya kemudian ditetapkan sebagai hari jadi BCA. Bank Centraal Asia kemudian mendapat izin pemerintah untuk beroperasi sebagai bank pada 14 Maret 1957.[8] Belakangan, dua orang pengusaha, Liem Sioe Liong (kemudian berganti nama menjadi Sudono Salim) dan rekannya, Tan Lip Soin membeli bank tersebut dari tangan pemilik lamanya, Gunardi. Mereka kemudian memindahkan kantor pusat bank itu ke Jakarta. BCA merupakan bank kedua yang dimiliki oleh Liem setelah sebelumnya ia mendirikan Bank Windu Kentjana pada tahun 1954.[2] Sejak 21 Mei 1974, nama PT Bank Centraal Asia disederhanakan menjadi PT Bank Central Asia.[1]
Awalnya, kepemilikan saham BCA dikuasai oleh Liem dan keluarganya. Setelah rekannya, Soeharto naik menjadi Presiden RI, kemungkinan sebagai bentuk "balas jasa", Liem menawarkan saham BCA kepada Soeharto. Namun Pak Harto menolak, dan kemudian saham BCA diserahkan kepada dua anaknya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Sigit Harjojudanto dengan masing-masing sebanyak 10 dan 20%. Belakangan, angka ini dirubah dengan Sigit mendapat 16,7% dan Tutut 13,3%.[2] Totalnya, keduanya memiliki 32% saham di BCA.[9] Pada 31 Januari 1973, BCA melakukan merger pertamanya dengan Bank Sarana Indonesia.[10] Meskipun demikian, karena Liem tidak memiliki pengalaman berbisnis bank, BCA hingga awal 1970-an masih merupakan bank kecil (urutan ke-23 dari 58 bank swasta saat itu), hanya memiliki 2 kantor cabang, beraset hanya Rp 998 juta dan berstatus bank nondevisa. Keadaan berubah ketika bankir Mochtar Riady berhasil dibujuk oleh Liem untuk bergabung di BCA pada tanggal 1 Mei 1975[2] dengan imbalan 17,5% saham BCA (walaupun keluarga Liem masih menjadi pengendali utama).[2] Ia memperbaiki sistem kerja di bank tersebut dan merapikan arsip-arsip bank yang kala itu ruangannya jadi sarang laba-laba.[11] Mochtar kemudian menyadari bahwa Liem sebagai salah satu pengusaha terkuat di era Orde Baru merupakan potensi bagi pertumbuhan BCA. Bisnis Liem berupa monopoli cengkih, terigu Bogasari dan semen Indocement, dimanfaatkan oleh Mochtar sebagai "kunci" menjaring nasabah sebesar-besarnya. Karena itulah, logo BCA yang digunakan hingga kini (sejak 1977) bermotif cengkih.[2] Strategi seperti ekspansi cabang dan penurunan suku bunga pun dilakukan.[8]
Pada 30 Juni 1976, BCA melakukan merger kembali, dengan Bank Gemari[10] yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kantor Bank Gemari pun dijadikan kantor cabang BCA. Merger itu membuat BCA bisa menjadi bank devisa,[11] terhitung sejak 28 Maret 1977.[1] Kemudian, di tanggal 30 Maret 1979, BCA melakukan mergernya yang terakhir, yaitu dengan PT Indo-Commercial Bank.[10] Dalam perkembangannya, dibantu oleh anak Liem, Anthony Salim dan Andree Salim, Mochtar sejak tahun 1979 mulai mengembangkan BCA ke arah yang inovatif. Di awal periode tersebut, BCA mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia agar diperbolehkan mengeluarkan dan mengedarkan kartu kredit atas nama BCA yang berlaku internasional, bekerjasama dengan MasterCard;[11] produk kartu kredit bernama "BCA Card" ini diluncurkan pada tahun 1979 sebagai kartu kredit pertama di Indonesia.[12] BCA juga memperluas jaringan kantor cabang secara agresif sejalan dengan deregulasi sektor perbankan di Indonesia. BCA mengembangkan berbagai produk dan layanan maupun pengembangan teknologi informasi, dengan menerapkan online system dan komputerisasi untuk jaringan kantor cabang. BCA kemudian juga membangun banyak ATM, dan memperkenalkan kartu ATM pada tahun 1987.[12] Hasilnya, BCA berkembang menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia pada akhir 1970-an,[8] suatu prestasi yang masih dipertahankannya hingga kini. Asetnya pun meroket, dari Rp 998 juta pada 1974, menjadi Rp 24,8 miliar pada 1976, dan pada tahun 1986 menjadi Rp 1 triliun.[13] Hal ini terjadi meskipun pada tahun 1980-an BCA sempat mengalami sejumlah tantangan, seperti pengeboman dua cabangnya di tahun 1984 dan kerugian akibat permainan valas oleh anak Mochtar, Andrew Riady pada tahun 1986 yang menyebabkannya dicopot dari posisi penting di BCA.[2]
Meskipun demikian, kemajuan lebih pesat lagi didapat setelah munculnya Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (PAKTO 88) yang meliberalisasi industri perbankan di Indonesia. Sebagai respon atas PAKTO 88, BCA meluncurkan produk utamanya (sampai saat ini), yaitu Tabungan Hari Depan (Tahapan) pada tahun 1989 yang awalnya dipasarkan bersama beberapa bank lain.[12] Pasca periode tersebut, angka pinjaman dan aset BCA naik lebih dari 80%, sedangkan cabangnya dibangun dengan masif - dari 50 buah pada 1988 menjadi 173 di akhir 1989, ditambah 148 cabang baru di tahun 1990. Tahapan BCA kemudian dipasarkan secara masif dengan aneka promosi oleh bank ini.[2] Di tahun 1991, BCA mulai menempatkan 50 unit ATM di berbagai tempat di Jakarta. Pengembangan jaringan dan fitur ATM dilakukan secara intensif. BCA bekerja sama dengan institusi terkemuka, antara lain PT Telkom untuk pembayaran tagihan telepon melalui ATM BCA. BCA juga bekerja sama dengan Citibank agar nasabah BCA pemegang kartu kredit Citibank dapat melakukan pembayaran tagihan melalui ATM BCA.
Mochtar sendiri kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur BCA (presiden direktur saat itu dijabat oleh Abdullah Ali) karena ingin berfokus pada banknya sendiri, Bank Lippo sejak Desember 1990. Mochtar lalu menyerahkan sahamnya kepada keluarga Liem (Salim Group) kembali, sedangkan sebaliknya Salim menyerahkan kepemilikannya di Bank Lippo kepada keluarga Riady (Lippo Group).[2] Di tahun 1995, cabang BCA di Indonesia mencapai 450 ditambah kantor cabang di Hong Kong, New York dan Singapura,[11] dan menjadi bank terbesar kelima di Indonesia setelah sejumlah bank-bank pemerintah.[8] Asetnya menjelang akhir 1997 mencapai Rp 43,4 triliun.[2] Pemasarannya kemudian diperkuat dengan beberapa kali undian "Gebyar BCA" dan acara bernama sama yang ditayangkan di stasiun TV milik Salim Group, Indosiar.[14][15]
Kepemilikan Salim Group dalam banknya ini harus berakhir pada akhir 1990-an akibat sejumlah krisis. Sebenarnya, tanda-tanda itu sudah muncul di akhir 1997. Di saat krisis finansial Asia 1997 mulai menimpa Indonesia, di tanggal 14 November 1997 (dua minggu setelah likuidasi 16 bank), tersiar kabar burung dari Medan bahwa Liem sebagai pengendali BCA wafat dan cabangnya di Singapura ditutup. Sontak saja, masyarakat yang baru trauma atas likuidasi bank, menyerbu kantor cabangnya dan menarik dananya (bank run/rush) yang mencapai Rp 500 miliar. Untuk menepis kabar tersebut, Liem yang saat itu ada di Singapura, kembali ke Jakarta dan hadir di peluncuran produk baru Indomobil untuk meyakinkan masyarakat lewat siaran televisi bahwa ia sehat-sehat saja.[2][16]
Setelah rumor itu pergi, Salim Group mulai menjajaki rencana konsolidasi bank dalam menghadapi krisis moneter. Pada tanggal yang sama saat rumor palsu tentang kematian Liem beredar, anaknya Anthony menyepakati pembelian 19% saham Bank Danamon yang direncanakan akan ditingkatkan bagi menyehatkan keuangan bank swasta tersebut. Tidak hanya itu, juga muncul wacana akan adanya merger antara BCA dengan sejumlah anak usahanya di bidang perbankan, seperti Bank Windu Kentjana, Bank Multicor, Bank Risjad Salim Internasional dan Bank Yama.[17] Meskipun demikian, rencana tersebut kemudian hanya menjadi wacana, dan ide meningkatkan kepemilikan saham di Bank Danamon sendiri harus dibatalkan akibat bank tersebut menderita kesulitan likuiditas dan harus diambilalih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 1998.[2]
Akhirnya, citra BCA sebagai bank kuat pun runtuh bersama dengan kejatuhan rekan Liem, Presiden Soeharto pada Mei 1998. Keterkaitan Liem dengan sang Presiden, membuat banyak cabang BCA dirusak, dibakar dan dijarah pada Kerusuhan Mei 1998 - diperkirakan mencapai 122 cabang dan 150 ATM di berbagai wilayah yang terdampak kerusuhan dengan kerugian Rp 3 miliar. Tidak lama setelah itu, BCA terdampak rush keduanya yang lebih dahsyat dibanding pada November 1997, yang berlangsung sejak 18 Mei dan makin besar sejak 21 Mei 1998. Hanya dalam beberapa hari, 12% simpanan BCA sudah ditarik massal oleh nasabahnya. Entah disengaja atau tidak, yang pasti menurut Anthony Salim, hal tersebut wajar mengingat keterkaitan BCA dengan rezim Orde Baru yang baru saja tumbang dan dibenci publik. Bukannya mereda, penarikan massal pun makin menggila ketika pada 25 Mei 1998, kabar burung lain beredar bahwa Liem meninggal.[2]
Meskipun Anthony dan Abdullah Ali berusaha menepis kabar kebangkrutan BCA dengan rencana menyuntikkan Rp 1 triliun ke bank tersebut, dan upaya bantuan dari sejumlah bank untuk membantu BCA, akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengambilalih pengendalian BCA sebagai Bank Take Over (BTO) di tanggal 28 Mei 1998. Sebelumnya, sejak 25 Mei, BCA sudah diletakkan di bawah pengawasan BPPN sebagai bank dalam penyehatan.[18] Menurut Liem, pengambilalihan itu tidak adil karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk menyelamatkan asetnya yang berharga tersebut. Belakangan, pemegang saham dari keluarga Cendana (Sigit dan Tutut) juga menyerahkan seluruh sahamnya ke pemerintah sejak Juni 1998.[2] Sebagai ganti manajemen Salim Group, pemerintah menempatkan orang-orang BRI dan BNI sebagai pengelola baru bank ini.[19] Beralihnya pengendalian BCA ke tangan pemerintah berhasil mengembalikan kepercayaan nasabahnya akan bank ini, dimana di bulan Desember 1998, dana pihak ketiga telah kembali ke tingkat sebelum krisis dan asetnya mencapai Rp 67,93 triliun, lebih tinggi dari Desember 1997 yang sebesar Rp 53,36 triliun.
Rupanya, BCA kemudian telah menyedot Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam jumlah yang amat besar - mencapai Rp 26,5 triliun pada rush tersebut yang diberikan pada 25 Mei, 28 Mei dan 26 Juni 1998.[18][20] Hutang tersebut masih belum ditambah suntikan modal pemerintah ke BCA dan denda yang diberikan setelah BCA diambilalih pemerintah ketika terbongkar bahwa BCA melanggar batas peminjaman (lending limit) ke perusahaan-perusahaan milik Grup Salim sendiri (diperkirakan mencapai 90% dari pinjamannya),[14][20] dengan total semuanya mencapai US$ 5 miliar.[2][21] Untuk menyelesaikannya, Salim kemudian menyerahkan banyak asetnya (108 buah) ke BPPN yang ditampung oleh PT Holdiko Perkasa, mencapai Rp 52,7 triliun.[22] Meskipun penyelesaian utang BCA ke pemerintah ini dalam perkembangannya menuai kontroversi, karena adanya dugaan penggelembungan harga aset dan permainan harga, yang diduga menguntungkan Salim,[2][21] yang pasti sejak 11 Maret 2004, Anthony Salim sudah mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN yang melepaskannya dari masalah hutangnya diatas.[23] Menurut Anthony, kehilangan BCA merupakan suatu pengalaman menyedihkan bagi dirinya.[2] Belakangan, baru pada Januari 2017, Grup Salim baru memasuki dunia perbankan kembali dengan membeli Bank Ina Perdana.[24]
Sementara Salim Group menyelesaikan masalahnya di BCA, pemerintah kemudian hadir sebagai pemegang saham 92,8% PT Bank Central Asia lewat skema rekapitalisasi, menjadikannya pemegang saham mayoritas dari sebelumnya hanya mengendalikan operasionalnya sejak akhir Mei 1998. Diperkirakan, pada tahun 1999, sekitar Rp 58 triliun disuntikkan ke BCA dalam bentuk obligasi untuk menyehatkan bank swasta terbesar di Indonesia ini.[22] Kemudian, pada 31 Mei 2000, setelah sempat tertunda beberapa kali, pemerintah melepas 22% sahamnya BCA di Bursa Efek Jakarta, menjadikannya perusahaan publik sampai sekarang dengan harga penawaran Rp 1.400/lembar (kode emiten BBCA).[25][26] Belakangan, dengan secondary offering, 10% saham BCA juga dilepas ke publik di Juni-Juli 2001,[13] membuat saham pemerintah menjadi 60,3%. BPPN kemudian juga berusaha menyehatkan keuangan BCA, yang hasilnya cukup baik sehingga sejak 27 April 2000 pengendalian BCA sudah dikembalikan dari BPPN ke tangan Bank Indonesia sebagai bank pertama yang sehat.[27]
Kemudian, meskipun sempat menjadi polemik, atas tekanan IMF yang memaksa pemerintah melepas sahamnya di BCA selambat-lambatnya akhir 2001,[28] pemerintah terpaksa membuka rencana penjualan BCA ke investor. Dari yang awalnya hendak melepas 40%, kemudian 30%, akhirnya pemerintah dan DPR menyepakati divestasi 51% sahamnya di BCA pada Agustus-September 2001. Pada pertengahan 2001, BPPN membuka tender untuk membeli saham BCA yang diminati 98 calon investor. Belakangan, jumlah ini menyusut menjadi 9 dan terakhir menjadi dua, yaitu konsorsium Standard Chartered (sebuah bank Inggris) dan Farallon Capital (sebuah manajer investasi Amerika Serikat) di tanggal 26 Februari 2002. Hal ini terjadi setelah dari 4 peminat terakhir (28 Januari 2002), dua konsorsium lain (dari GKBI dan Bank Mega) gagal lulus seleksi tender ini.[27]
Akhirnya, pada 15 Maret 2002, Farindo Investment (Mauritius) Limited, konsorsium bentukan Farallon Capital resmi ditetapkan pemerintah sebagai pemenang tender 51% saham BCA dengan harga Rp 5,3 triliun,[2][29] yang kemudian dilunasi pada April 2002.[30] Dalam Farindo, rupanya tergabung juga salah satu raksasa kretek di Indonesia, Djarum lewat Alaerka Investment Ltd. sebanyak 10%.[31][32] Bagaimanapun, tender BCA ini pun juga tidak lepas dari kontroversi. Tender dan penjualan ini tercatat sempat ditolak sejumlah karyawan BCA yang melakukan demo,[33][34] ditolak oleh salah satu menteri saat itu, Kwik Kian Gie,[29] adanya anggapan Salim berusaha menggunakan "proksi" untuk merebut kembali bank miliknya (seperti lewat Bank Mega dan Farindo/Djarum),[2][31] dan dugaan banyak pihak bahwa divestasi itu dilakukan dengan harga yang terlalu rendah, di saat BCA yang memiliki aset, keuntungan dan obligasi rekapitalisasi yang jauh lebih tinggi dibanding harga Rp 5,3 triliun.[22]
Sebenarnya, pasca beberapa kali pergantian kepemilikan tersebut, tercatat pemilik lama masih memiliki sedikit saham. Salim Group sendiri awalnya memiliki 7,2% sahamnya pasca BCA diambilalih pemerintah, yang kemudian merosot menjadi hanya 1,76% (milik Anthony Salim) dan sampai saat ini masih dipegangnya.[35] Saham itu berkurang akibat harus diserahkan lagi ke pemerintah dalam rangka pembayaran BLBI BCA.[36] Kemudian, pemerintah juga sempat memiliki sisa saham pasca penjualan BCA ke Farallon. Saham ini dilepas pada tahun 2004-2005, masing-masing 1,4% dan 5,02% oleh BPPN dan Pemerintah Republik Indonesia melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA).[13] Seperti telah dijelaskan, bahwa pemegang saham BCA pasca divestasi adalah Farindo Investment yang merupakan perusahaan patungan Alaerka (Djarum) dan Farallon.[31] Sebenarnya, bisnis perbankan bukan barang baru bagi perusahaan milik keluarga Hartono tersebut, karena sebelumnya mereka sudah memiliki Bank Haga dan Hagakita. Awalnya, kendali Djarum di konsorisum Farindo hanya sebesar 5%.[37]
Belakangan, di awal tahun 2007, Djarum (lewat Alaerka) membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment, menjadikan mereka pemegang saham pengendali. Untuk memuluskan hal ini, Djarum lalu menjual Bank Haga dan Hagakita ke Rabobank.[38] (Uniknya, kemudian Rabobank justru menjual bisnisnya di Indonesia pada tahun 2020 kembali ke BCA yang juga dimiliki Djarum).[39] Namun, pada tanggal 25 Juni 2009, Farindo melepas 3,99% sahamnya di BCA, menyisakan sekitar 47,15%.[40] Layaknya kesuksesan BCA dengan Sudono Salim yang pernah menghantarkannya sebagai orang terkaya di Indonesia, nasib yang sama juga dialami oleh keluarga Hartono, dimana dengan BCA, dua bersaudara (Robert Budi dan Michael Bambang Hartono) kini juga berada di posisi tersebut.[41] Belakangan, sejak 11 November 2016, saham Farindo Investment telah dialihkan ke perusahaan duo Hartono lain, yaitu PT Dwimuria Investama Andalan yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah (kantor pusat Djarum).[42][43] Kemudian, sejak 12 April 2017, PT Dwimuria kembali menaikkan sahamnya di BCA menjadi 54,94% (13 miliar lembar saham).[44]
Pada periode 2000-an BCA memperkuat dan mengembangkan produk dan layanan, terutama perbankan elektronik dengan memperkenalkan Debit BCA, Tunai BCA, internet banking KlikBCA, mobile banking m-BCA, EDCBIZZ, dan lain-lain. BCA mendirikan fasilitas Disaster Recovery Center di Singapura. BCA meningkatkan kompetensi di bidang penyaluran kredit, termasuk melalui ekspansi ke bidang pembiayaan mobil melalui anak perusahaannya, BCA Finance. Tahun 2007, BCA menjadi pelopor dalam menawarkan produk kredit kepemilikan rumah dengan suku bunga tetap. BCA meluncurkan kartu prabayar, Flazz Card serta mulai menawarkan layanan Weekend Banking untuk terus membangun keunggulan di bidang perbankan transaksi. BCA secara proaktif mengelola penyaluran kredit dan posisi likuiditas di tengah gejolak krisis global, sekaligus tetap memperkuat kompetensi utama sebagai bank transaksi. Tahun 2008 & 2009, BCA telah menyelesaikan pembangunan mirroring IT system guna memperkuat kelangsungan usaha dan meminimalisasi risiko operasional. BCA membuka layanan Solitaire bagi nasabah high net-worth individual.
Kini, BCA merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia, dengan aset pada Desember 2021 mencapai Rp 1,22 triliun, menempatkan dirinya sebagai bank swasta terbesar dan bank terbesar ketiga.[45] BCA juga merupakan satu dari sedikit bank besar yang saat ini dimiliki oleh pemegang saham lokal.[46] Kapitalisasi pasarnya juga pada Maret 2022 sudah mencapai Rp 1.000 triliun, yang merupakan angka terbesar di Bursa Efek Indonesia[47] dan merupakan perusahaan bank dengan kapitalisasi terbesar di Asia Tenggara.[48] Harga sahamnya juga terus menunjukkan tren positif dengan naik dari Rp 1.400/lembar pada tahun 2000 menjadi Rp 30.000/lembar pada 2019.[49] Tidak hanya itu, BCA juga sudah berkembang menjadi perusahaan induk yang memayungi sejumlah perusahaan keuangan, seperti BCA Finance (perusahaan pembiayaan), BCA Syariah (bank syariah), BCA Life (asuransi jiwa), dan lainnya.[50] Per tanggal 31 Maret 2022, perseroan mencatatkan 1.241 kantor cabang, 18.050 ATM dan lebih dari 29 juta rekening yang tersebar di seluruh Indonesia.[51]
Kantor pusat BCA kini berada di Menara BCA yang terletak di atas pusat perbelanjaan Grand Indonesia di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat sejak 1 September 2008. Sebelumnya, kantor pusat BCA sejak tahun 1987 adalah di Wisma BCA, Jl. Jenderal Sudirman dari tahun 1987-2008 (kini bangunan ini sudah dibongkar dan sebelumnya tidak lagi dimiliki BCA sejak tahun 2000), dan pernah juga berkantor pusat di Asemka pada 1957-1987 (saat ini masih menjadi kantor cabang).[52][53]
Pemegang Saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA) per 31 Oktober 2020, adalah:[54]
Nama | Jumlah saham (dalam jutaan) | Prosentase | Keterangan |
---|---|---|---|
PT Dwimuria Investama Andalan | 13,546 | 54,94% | Robert Budi Hartono 51% dan Michael Bambang Hartono 49%. Merupakan Pemegang Saham Pengendali BCA. |
Lain-lain | 3,198 | 45,06% | Terdiri dari 2,49% dimiliki oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan PT Dwimuria Investama Andalan (grup Djarum). Dewan Komisaris dan Direksi memiliki 1,95% saham BCA. |
Dewan Komisaris | |||
1 | Presiden Komisaris | Djohan Emir Setijoso | |
2 | Komisaris | Tonny Kusnadi | |
3 | Komisaris | Cyrillus Harinowo* | |
4 | Komisaris | Raden Pardede* | |
5 | Komisaris | Sumantri Slamet Iman Santoso* | |
Dewan Direksi | |||
1 | Presiden Direktur | Jahja Setiaatmadja[55] | |
2 | Wakil Presiden Direktur | Armand Wahyudi Hartono | |
3 | Wakil Presiden Direktur | Gregory Hendra Lembong | |
4 | Direktur | Subur Tan | |
5 | Direktur | Rudy Susanto | |
6 | Direktur | Lianawaty Suwono | |
7 | Direktur | Santoso | |
8 | Direktur | Vera Eve Lim | |
9 | Direktur | Haryanto Tiara Budiman | |
10 | Direktur | Frengky Chandra Kusuma | |
11 | Direktur | John Kosasih | |
12 | Direktur | Antonius Widodo Mulyono |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.