Raja Suriah (87-82 SM) Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Antiokhos XII Dionisos Epifanes Filopator Kallinikos (bahasa Yunani Kuno:Ἀντίοχος Διόνυσος Ἐπιφανής Φιλοπάτωρ Καλλίνικος; hidup antara 124 dan 109 SM - 82 SM) adalah seorang raja Kerajaan Seleukia pada periode Helenistik yang memerintah sebagai Raja Suriah antara tahun 87 dan 82 SM. Anthiokos XIII adalah putra bungsu dari Antiokhos VIII dan istrinya yang berasal dari Mesir Tryphaena. Antiokhos XII hidup pada periode perang saudara antara ayahnya dan pamannya, Antiokhos IX. Antiokhos VIII terbunuh pada 96 SM dan mengakibatkan perebutan tahta diantara anak-anaknya dan saudaranya. Empat saudara Antiokhos XII berebut klaim takhta setelah Anthiokhos VIII meninggal. Awalnya mereka menyingkirkan pamannya, Antiokhos IX yang mengklaim takhta. Lalu mereka berperang melawan pewarisnya Antiokhos X.
Fakta Singkat Raja Suriah (Kekaisaran Seleukia), Masa kekuasaan ...
Antiokhos XII Dionisos
Potret Antiokhos XII di bagian depan tetradrakhma, mengenakan diadem kerajaan
Pada 87 SM, perang saudara tersebut menyisakan dua saudara Anthiokhos XII yang berebut wilayah dan kekuasaan: Demetrius III dan Philip I. Wilayah Demetrius III awalnya berpusat di Damaskus tetapi kemudian meluas ke sebagian besar Suriah. Philip I berhasil mengalahkan Demetrius III dan menghukum saudaranya dengan pengasingan di Parthia. Hal ini memungkinkan Antiokhos XII untuk menguasai Damaskus sementara Philip I memilih untuk menetap di ibukota Suriah, Antiokhia. Antiokhos XII mengukuhkan kekuasaannya di dalam wilayah Suriah dan tidak berekspansi ke wilayah Philip I, yang berusaha untuk mencaplok Damaskus tetapi berhasil dipukul mundur. Antiokhos XII memusatkan perhatiannya pada wilayah selatan Suriah, yang sebelumnya diincar oleh orang-orang Yudea dan Nabatea untuk ekspansi.
Antiokhos XII memperkuat perbatasan bagian selatan dan berperang dengan tetangganya. Ia melakukan dua kampanye perang melawan Nabatea, termasuk bekerjasama dengan Yudea. Setelah mengalami beberapa kemenangan dalam kampanye pertamanya, Antiokhos XII terbunuh menjelang akhir kampanye keduanya melawan Nabatea di Pertempuran Kana pada 82 SM. Damaskus berhasil diambil oleh oleh pasukan Raja Nabatea Aretas III. Takhta Suriah diklaim oleh janda Antiokhos X Kleopatra Selini dan putranya, yang naik takhta sebagai Antiokhos XIII.
Antiokhos, kata yunani untuk "teguh dalam pendirian",[1] adalah nama dinasti yang disematkan oleh sebagian besar penguasa Seleukia.[2][3] Pendiri dinasti Seleukia Seleukus I menamai ibukota Siria, Antiokhia, untuk menghormati ayahnya Antiokhos.[4] Antiokhos XII adalah putra bungsu dan kelima dari pasangan Antiokhos VIII dan istri Mesir Ptolemaik-nya yang bernama Trifaena,[note 1][6] yang dinikahi pada 124 SM.[7] Pada 109 SM, Trifaena dibunuh oleh saudara tiri Antiokhos VIII Antiokhos IX,[8] yang berebut takhta Siria dengan Antiokhos VIII sejak 113 SM.[9] Para kakak Antiokhos XII adalah Seleokos VI, Antiokhos XI, Filipos I dan Demetrios III.[10]
Usai pembunuhan Antiokhos VIII pada 96 SM,[11] istri keduanya, saudari Trifaena Kleopatra Selene,[12] menikahi Antiokhos IX dan kemudian putranya Antiokhos X,[13] yang memperjuangkan takhta empat saudara Antiokhos XII.[14] Pada 88 SM, hanya Demetrios III dan Filipos I yang bertahan.[15] Demetrios III awalnya bermarkas di Damaskus sebelum memperluas otoritasnya terhadap sebagian besar Siria.[16] Ia dikalahkan oleh Filipos I dan sekutu Parthia-nya pada 87 SM dan diasingkan ke Parthia. Disana, ia wafat akibat penyakit tak dikenal. Filipos I memegang kekuasaan atas ibukotanya,[17] sementara Kleopatra Selene, yang kini menjanda, ditempatkan di Ptolemais dengan putra-putranya oleh Antiokhos X.[18]
Kepergian Demetrius III meninggalkan kekosongan kekuasaan di Damaskus yang diisi oleh Antiokhos XII.[19] Koin-koin yang dicetak pada masa kekuasaan Demetrios III berasal dari 225 tahun Seleukia (SE) (88/87 SM),[note 2] meskipun koin-koin terawal dicetak pada masa kekuasaan Antiokhos XII berasal dari tahun 226 SE (87/86 SM), menyiratkan bahwa terdapat peningkatan kekuasaan cepat oleh Antiokhos XII.[17] Para penguasa zaman Hellenistik tak memakai nomor regnal, yang merupakan pratek yang lebih modern, namun sebagai gantinya memakai epitet untuk membedakan diri mereka sendiri dari penguasa bernama serupa.[2][21] Tiga dari empat epitet Antiokhos XII, Epifanes (termasyhur)–yang sebelumnya dipakai oleh ayahnya, Philopator (yang dicintai sang ayah) dan Callinicus (kemenangan bangsawan), dipakai untuk menunjukkan leluhur kakeknya Demetrios II berseberangan dengan garis saudaranya Antiokhos VII, yang diwakili oleh Antiokhos IX dan para keturunannya.[22]Callinicus merupakan perwujudan dari epitet Demetrius II Nikator (kemenangan).[note 3] Ia diyakini memakai epitet lainnya Dionisus untuk mengaitkan dirinya dengan dewa anggur Yunani atas perannya selaku penakluk Timur.[note 4][22] Antiokhos XII digambarkan pada koin dengan hidung yang sangat mencung seperti ayahnya, menandakan kekuatan pengesahan penggantiannya.[27]
Kebijakan dan wilayah kekuasaan
Menurut sejarawan Alfred Bellinger, Antiokhos XII menerima bantuan dari Mesir Ptolemaik untuk meraih takhtanya. Pandangan tersebut terkandung dalam kebijakan-kebijakan Antiokhos XII, yang ditargetkan di selatan Nabataea dan Yudea, namun tak melakukan perluasan ke kerajaan Siria.[28] Wilayah kekuasaannya terbatas pada Siria dalam, yang terpusat di Damaskus, yang dijadikan ibukota dan tempat pencetakan koin utama.[note 5][32] Antiokhos XII juga berkuasa atas kota Gadara, yang diperintah oleh seorang pejabat bernama Filotas.[33] Pada 100 SM, Gadara dikuasai oleh raja HasmoneaYudeaAleksander Jannaeus, yang menghancurkan sebagian temboknya,[34] namun direbut kembali oleh Seleukia pada 93 SM.[note 6][36] Gadara memegang pengaruh strategis besar untuk Siria karena dijadikan pusat militer besar untuk operasi-operasi di selatan. Mengendalikannya adalah hal penting untuk upaya perang melawan Yudea, yang membuat Antiokhos membangun ulang pertahanan kota tersebut pada 228 SE (85/84 SM).[39] Sejarawan Aryeh Kasher menyatakan bahwa Antiokhos XII menggali apa yang sejarawan abad pertama Yosefus sebut "parit Antiokhos" (atau lembah Antiokhos) untuk melindungi Damaskus dari Nabataea. Parit tersebut diyakini terletak di Lembah Hula.[40][41]
Koin-koin Seleukia seringkali memiliki gambar dewa-dewi Yunani mereka,[42] namun koin perak Antiokhos XII menggambarkan dewa Semitik tertinggi Hadad di bagian ekor, mungkin untuk mengakui perbatasan kerajaan tersebut, yang menghimpun pengaruh penguasa terhadap pemujaan-pemujaan lokal.[43] Dengan mempromosikan dewa-dewi lokal, para raja Seleukia berharap untuk meraih dukungan warga non-Yunani mereka.[44] Menurut Bellinger, pemakaian Hadad menandakan bahwa Antiokhos XII menempatkan fokus pada "niatnya menjadi raja Damaskus pertama dan terdepan".[28] Pada masa kekuasaannya, Demetrius III juga menampilkan dewa Semitik, Atargatis, pada mata uangnya. Menurut sejarawan Kay Ehling[de], perubahan gambar koin dari Atargatis ke Hadad mungkin dilakukan untuk dua tujuan: untuk menandakan bahwa Antiokhos XII memiliki fokus kebijakan berbeda ketimbang pendahulunya, dan untuk menunjukkan niatnya untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat Semitik Damaskus, yang menjadi mayoritas penduduk, untuk menghindari ketegangan dengan para pemukim Yunani.[24] Raja-raja Seleukia mempersembahkan diri mereka sendiri selaku pelindung Hellenisme dan melindungi para cendekiawan dan filsuf, namun Antiokhos XII mengadopsi sikap berbeda. ia memerintahkan pengusiran para cendekiawan semacam itu.[note 7][46][47]
Kampanye militer
Pada awal masa kekuasaannya, Antiokhos XII menyerang Nabataea dan Yudea, yang kedua wilayahnya berada di selatan wilayah kekuasaannya sendiri. Konflik tersebut dicatat oleh Yosefus, meskipun ia tak menyebut nama raja Nabataea.[50] Yosefus menyebut dua kampanye melawan Nabataea, namun tak menjelaskan motif yang membuat Raja Siria menyerangnya. Para cendekiawan modern mengajukan sejumlah teori. Menurut Israel Shatzman, Antiokhos XII mengkhawatirkan pertumbuhan kekuatan Nabataea, yang meluas sampai selatan Siria.[51] Zayn Bilkadi berpendepat bahwa Antiokhos XII ingin merebut industri minyak bumi Nabataea,[52] sementara Alexander Fantalkin dan Oren Tal berpendapat bahwa Nabataea secara aktif mendukung Filipos I dalam upayanya untuk merebut kerajaan Antiokhos XII.[53]
Kampanye Nabataea pertama dan serangan-serangan Filipos I
Kampanye Nabataea pertama oleh Antiokhos XII diluncurkan pada 87 SM,[54] dan meliputi pertempuran dekat Motho, kini Imtan di wilayah Hauran, sebagaimana yang dicetuskan oleh sejarawan Hans Peter Roschinski, yang tergambar pada karya-karya tulis Stefanus dari Bizantium.[51] Sejarawan Bizantium menunjukkan dalam bukunya, Ethica, fragmen-fragmen dari karya hilang karya sejarawan Uranius dari Apamea, yang menulis buku berjudul Arabica, dari tahun 300 Masehi.[55][56] Dalam catatan Uranius, Raja Antigonus I (m.306–301SM) dibunuh di Motho oleh raja Arab bernama Rabbel.[56] Nama Motho dapat merujuk kepada kota utara di Hauran atau kota selatan di Moab.[note 8][57] Nama Antigonus biasanya "dikoreksi" menjadi Antiokhos oleh para cendekiawan berbeda yang meyakini bahwa Uranius merujuk kepada Antiokhos XII.[note 9][58] Roschinski menganggapnya menyatakan bahwa Stefanus terlibat dalam dua peristiwa yang terjadi pada masa kekuasaan Raja Nabataea Rabbel I: pertempuran kampanye Nabataea pertama pimpinan Antiokhos XII terhadap Motho di utara, dan pertempuran dari kampanye Nabataea kedua kala Antiokhos XII gugur.[54] Di sisi lain, Shatzman menyatakan bahwa dalam penugasannya, Stefanus menyatakan bahwa pertempuran Motho terjadi di utara.[51]
Mengambil kesempatan dari ketiadaan saudaranya, Filipos I merebut Damaskus,[59] dibantu oleh gubernur istana kota tersebut, Milesius, yang membuka gerbang untuknya. Menurut Yosefus, Milesius tak menerima pemberian dari Filipos I, yang mengaitkan pengkhianatan tersebut dengan kekhawatiran jenderal tersebut, yang membuat Milesius mengkhianati Filipos I, yang meninggalkan kota tersebut untuk menghadiri acara di dekat hipodrom. Jenderal tersebut menutup gerbangnya, mengunci Filipos I dari luar, dan menunggu kepulangan Antiokhos XII, yang mengakhiri kampanyenya kala ia mendengar pendudukan saudaranya di kota tersebut.[note 10][61] Para cendekiawan modern menyatakan bahwa mata uang Seleukia, yang dicetak pada masa kampanye melawan pesaingnya (atau perampas takhta), menggambarkan Raja berjanggut.[62] Pada dua tahun pertamanya, gambar Antiokhos XII nampak tak berjenggot, namun diubah pada 228 SE (85/84 SM). Ini mungkin terkait serangan Filipos I di Damaskus, namun keadaan tersebut memiliki dukungan kecil, karena Antiokhos XII gagal mengambil tindakan apapun melawan saudaranya.[63] Tak ada koin yang dicetak pada masa Filipos I merebut Damaskus, hanya mengindikasikan pendudukan singkat kota tersebut.[59]
Kampanye Nabataea kedua, perang di Yudea dan kematian
Meskipun wilayah kekuasaannya bersinggungan langsung dengan wilayah kekuasaan Nabataean, selama kampanye Nabataea keduanya, Antiokhos XII malah memilih mengkirab pasukannya melalui Yudea di sepanjang pesisir,[50] mungkin untuk menyerang Negev yang didominasi Nabataea, yang akan memotong kota pelabuhan Gaza, mengancam perdagangan Laut Tengah Nabataea, dan menumbangkan ambisi Nabataea di Transyordania. Rute tersebut akan memperkenankan Antiokhos XII untuk menjaga Aleksander Jannaeus di teluk.[64] Menurut Yosefus, Raja Yudea mengkhawatirkan niat Antiokhos XII dan memerintahkan "Jalur Yannai" untuk dibangun, yang terdiri dari parit yang mengedepankan tembok pertahanan yang diisi dengan menara-menara kayu. Paritt ersebut membentang sepanjang 28 kilometer (17mi) dari Caphersaba sampai laut dekat Joppa.[53] Antiokhos XII menerobos paritnya, membakar benteng, dan meneruskan kirabnya menuju wilayah Nabataea.[65]
Catatan kampanye, yang ditulis oleh Yosefus, menjadi tema dari beberapa perdebatan. Sejarawan tersebut menulis bahwa pasukan Antiokhos XII mengalahkan pasukan Alexander Jannaeus, namun sejarawan abad kedelapan George Syncellus menyebut kekalahan yang dialami oleh Antiokhos XII di tangan raja Yudea.[note 11][66] keberadaan Jalur Yannai dipertanyakan oleh sejumlah sejarawan,[note 12][65] dan penjelasan Yosefus tentang upaya Alexander Jannaeus untuk menghentikan kirab Antiokhos XII, karena ketakutannya terhadap tujuan Antiokhos XII, tidaklah selaras. Nabataea dan Siria merupakan musuh Yudea dan dimanfaatkan Alexander Jannaeus jika dua kekuatan tersebut bertikai.[70] Syncellus mungkin merujuk kepada konfrontasi sebelumnya antara raja Siria dan Alexander Jannaeus.[66] Sehingga, pernyataan Syncellus mendukung pernyataan bahwa kampanye Nabataea kedua pimpinan Antiokhos XII juga ditujukan ke Yudea. Mungkin, Antiokhos XII berniat untuk mencaplok kota-kota pesisir Alexander Jannaeus sebagai balasan atas kekalahan yang disebutkan oleh Syncellus.[70] Tujuan lainnya adalah penaungan Yudea untuk mempertahankannya dari serangan Siria kala Antiokhos XII disibukkan di Nabataea.[68]
Pertikaian terakhir antara pasukan Antiokhos XII dan Nabataea terjadi di dekat desa Kana,[note 13][71] yang lokasinya tak diketahui, namun umumnya dianggap oleh para cendekiawan modern berada di barat daya Laut Mati.[51] Sejarawan Siegfried Mittmann menganggapnya sebagai sinonim dari Qina, kini Horvat Uza, sebagaimana yang disebutkan oleh Yosefus dalam Buku 15 dari Antiquities buatannya.[72] Menurut Yosefus, pertempuran tersebut membuat Nabataea menarik diri,[73] kemuidan menyerang balik pasukan Siria sebelum mereka dianugerahi pangkat. Antiokhos XII memutuskan untuk mengkirab pasukannya dan melancarkan serangan, namun ia bertarung di garis depan, mengorbankan nyawanya, dan ia kemudian jatuh.[71] Tahun kematian Antiokhos XII diperdebatkan,[74] namun koin terakhirnya yang dicetak di Damaskus tertanggal 230 SE (83/82 SM).[59]
Menurut Yosefus, kematian raja mengakibatkan pengusiran pasukan Siria, dengan kebanyakan gugur dalam tugas atau menarik diri. Para penyintas dari pengusiran tersebut bermukim di Cana. Disana, kebanyakan pasukan meninggal akibat kelaparan.[71] Antiokhos XII menjadi raja Seleukia bertenaga terakhir. Sedikit yang tercatat dari Filipos I usai upayanya mencaplok Damaskus, yang dibiarkan tanpa pelindung usai kematian Antiokhos XII. Mengkhawatirkan penguasa IturaeaPtolemy, masyararakat Damaskus mengundang Aretas III dari Nabataea untuk merebut kota tersebut.[note 14][54] Numismatis Oliver D. Hoover menyatakan bahwa Aretas III tak merebut Damaskus dalam jangka panjang sebelum kota tersebut kembali ke kekuasaan Seleukia.[76]
Identitas istri Antiokhos XII masih tak diketahui,[77] namun menurut sejarawan abad keenam John Malalas, yang karyanya umum dianggap tak layak oleh para cendekiawan,[78] Raja tersebut memiliki dua putri, Kleopatra dan Antiokhis.[79] Kleopatra Selene, yang datang untuk bersembunyi usai kematian Antiokhos X pada 224 SE (89/88 SM),[80][81] mengambil kesempatan kematian Antiokhos XII dan mengangkat putranya Antiokhos XIII menjadi raja[82][83] dengan dirinya sendiri menjadi wali ratu dan pemangku raja.[84][85] Koin-koin yang dikeluarkan pada masa kekuasaannya menunjukkan tanda pencetakan Damaskus. Arkeolog Nicholas L. Wright menyatakan bahwa pangalihalihan Damaskus oleh Kleopatra Selene terjadi usai tahun 80 SM.[82] Yosefus menyebut Antiokhos XII sebagai raja Seleukia terakhir,[86] dan Malalas, menurut terjemahan sejarawan Glanville Downey, mengikutinya.[87] Pada kenyataannya, raja Seleukia terakhir adalah Antiokhos XIII, yang digulingkan pada 64 SM usai Antiokhia dicaplok oleh Tomawi.[note 15][91]
Sumber-sumber kuno tak menyebut nama ibu Antiokhos XII namun umumnya dianggap oleh para cendekiawan modern bahwa ininya adalah Trifaena, yang disebutkan secara jelas oleh Porfiri sebagai ibu kakak kembar Antiokhos XII, Antiokhos XI dan Filipos I.[5]
Beberapa tanggal di artikel ini diberikan menurut era Seleukia. Setiap tanggal Seleukia dimulai pada akhir musim gugur tahun Gregorian. Sehingga, tahun Seleukia meloncat dua tahun Gregorian.[20]
Istilah tersebut juga dapat mengartikan bahwa ia menggambarkan dirinya sendiri selaku prajurit handal yang dapat memeprtahankan rakyatnya melawan musuhnya, Nabataea.[22]
Dionisus memiliki banyak fungsi, termasuk perannya selaku dewa vegetasi, yang mungkin bukan alasan kenapa Antiokhos XII mencantumkannya dalam epitetnya.[23] Beberapa argumen diajukan oleh para cendekiawan modern untuk menjelaskan penyematan epitet tersebut:
Karena ibunya dan neneknya berdarah Ptolemaik, sebutan tersebut juga diyakini menandakan bahwa ia menunjukkan keturunan Ptolemaik-nya karena epitet tersebut dipakai oleh raja-raja Ptolemaik.[24]
Kompleks keagamaan Siro-Foenisia berbasis pada kelompok-kelompok yang meliputi dewa tertinggi, dewi tertinggi, dan putra mereka. Dewa-dewa tersebut memegang peran yang beragam. Diyakini pada 145 SM, Dionisus mengambil peran putranya, sebuah pandangan yang disangkal oleh sejarawan Jane L. Lightfoot.[25] Numismatis Nicholas L. Wright menyatakan hipotesis bahwa raja Seleukia yang muncul di koin-koinnya memakai mahkota radian menandakan perkawinan ritual antara raja dan Atargatis, dewi tertinggi Siria. Sehingga, raja menganggap dirinya merupakan perwujudan dewa tertinggi Siria. Antiokhos VIII muncul dengan mahkota radian, dan mungkin, dalam pandangan Wright, yang dengan menyematkan epitet Dionisus, Antiokhos XII menyatakan bahwa ia tak hanya penerus politik Antiokhos VIII, namun juga pewaris spiritual-nya, menjadi putra dewa tertinggi.[26]
Ernest Babelon mengaitkan beberapa koin Raja dengan tempat pencetakan koin Ptolemais, berdasarkan pada keberadaan monogram , namun pengaitan tersebut disangkal oleh Edward Theodore Newell,[29] yang menjadi konsensus akademik.[30] Monogram tersebut nampak pada sejumlah kecil koin yang dikeluarkan di Ptolemais dan juga muncul pada koin-koin yang dikeluarkan di kota lainnya, membuat pemakaiannya bergantung pada tempat pencetakan tertentu.[31]
Raja Nabataea Obodas I mengalahkan Yudea beberapa kali sebelum tahun 93 SM. Ini ditnadai dari catatan Yosefus, yang menyatakan bahwa menyusul kekalahan tersebut, Alexander Jannaeus tertangkap dalam perang saudara yang berlangsung selama enam tahun. Karena perang tersebut baru berakhir dengan campur tangan Demetrius III yang kehilangan takhtanya pada 87 SM, kemudian tahun 93 SM menjadi terminus post quem untuk kekalahan tersebut.[35] Filotas memajukan sebuah inskripsi, yang tertanggal tahun 228 SE (85/84 SM), yang menyanjung rekonstruksi tembok pertahanan Gadara.[36] Gadara nampaknya membebaskan dirinya dari Yudea usai kekalahannya di tangan Nabataea.[37][38]
Sebuah surat dari raja bernama Antiokhos, terkait pengisran seluruh filsuf dari kerajaan, tercantum dalam Deipnosophistae yang ditulis oleh retorikawan abad kedua Athenaeus.[45] Raja tersebut menginginkan agar para filsuf diasingkan karena mengusik pria muda. Pria muda tersebut digantung dan para ayah mereka diselidiki. Terdapat indikasi dalam dokumen bahwa Antiokhia berkuasa pada zaman Seleukia akhir. Menganggap perlindungan Seleukia umum terhadap para filsuf, sejarawan Edwyn Bevan menyatakan bahwa perintah tersebut "menakjubkan". Menurut Bevan, sikap tersebut dapat dijelaskan oleh keberuntungan yang terkikis dari kerajaan tersebut pada zaman Seleukia akhir. Kota-kota di Siria dan Kilikia menyatakan kemerdekaan mereka, dan akan bersifat logis bagi raja untuk beralih melawa para filsuf jika mereka menunjukkan tanda-tanda "republikanisme ".[46] Petunjuk lainnya adalah raja mengirim suratnya kepada seorang pejabat bernama "Fanias", yang nampaknya merupakan pejabat berpangkat tertinggi di kerajaan tersebut, memerintahkannya untuk mengusir para filsuf dari polis dan chora (kota dan wilayahnya).[47][45] Bevan tak yakin bahwa Antiokhos ingin para filsuf diusir dari kerajaan, namun mungkin dari satu kota, mungkin Antiokhia.[46] Namun, menurut sejarawan Jörg-Dieter Gauger[de], polis dan chora dinyatakan selaku seluruh kerajaan karena istilah tersebut membuat esensi kecil jika hal tersebut meliputi satu kota dan wilayahnya. Para filsuf dapat meneruskan usaha "jahat" mereka di kota lain. Jika seorang pejabat, Fanias, yang pada bahasa surat tersebut mengindikasikan bahwa hanya ia yang memiliki komando yang lebih tinggi dan bukan panglima kota sebenarnya, dapat mengeksekusi perintah raja di seluruh wilayah tersebut, kemudian wilayah kerajaan tersebut tidaklah substansial, menandakan masa kala Seleukia menguasai Siria.[47] Bevan menganggapnya sebagai Antiokhus XIII (m.82–64SM), sementara Gauger menganggapnya sebagai Antiokhos XII atau Antiokhos XIII selaku raja yang memerintahkan pencekalan para filsuf.[48][47] Franz Altheim menganggap raja Antiokhos IV (m.175–164BC) selaku raja yang mengirim surat tersebut. Keotentikan dokumen tersebut dipertanyakan: Ludwig Radermacher menganggap surat tersebut sebagai pemalsuan Yahudi untuk menyudutkan musuh mereka Antiokhos IV, sementara Michel Austin, dosen senior sejarawan kuno di University of St Andrews, tak menanggapi latar sejarah dari surat tersebut namun meragukan keotentikannya.[49]
Dalam Notitia Dignitatum, Motho berada di CohorsRomawi I Augusta Thracum Equitata dikerahkan. Kota Mu'tah di Moab, di tempat Equites Scutarii Illyriciani dikerahkan, disebut Motha dalam Notitia Dignitatum.[57]
Sejarawan Józef Milik menolak pratek pengkoreksian karya Uranius. Milik meyakini bahwa alih-alih Antigonus I atau Antiokhos XII, penyebutan tersebut merujuk kepada Athenaeus, seorang perwira Antigonus yang bertarung dengan Nabataea.[58]
Istana tersebut disebut "akra" oleh Yosefus. Sebuah kata yang menandakan kamp benteng bergarisun yang berada di pinggiran kota. Yosefus juga menyatakan bahwa istana tersebut dekat dengan hipodrom Damaskus, yang masih berada di bawah pemakaman Dahdah[ar] tepat di luar kota kuno.[60]
Syncellus menunjukkan bahwa ia tak hanya mengambil catatan Yosefus dan sumber lainnya. Heinrich Gelzer berpendapat bahwa Syncellus memakai catatan Yustus dari Tiberias.[66] Yosefus diyakini menghiraukan kemenangan Alexander Jannaeus. ini dapat dijelaskan lewat pendapat Yosefus terhadap sejarawan abad pertama SM Nikolaus dari Damaskus, yang menganggap dinasti Hasmonea bertikai karena perannya dalam menghancurkan banyak pusat Helenistik.[67]
Parit Alexander Jannaeus dinamai "Jalur Yannai" oleh Jacob Kaplan pada 1950-an. Kaplan menafsirkan reruntuhan arkeologi dari Bnei Brak dan Tel Aviv sebagai bagian dari jalur tersebut dan kesimbulannya umum diterima oleh kebanyakan cendekiawan.[65] Bezalel Bar-Kochva menyatakan pertanyaan terkait jalur tersebut, dengan menyatakan bahwa jalur tersebut diambil Antiokhos XII pada sepuluh sampai lima belas hari untuk berkirab dari Damaskus ke dataran Sharon di tempat jalur tersebut dikatakan didirikan, yang bukanlah waktu yang layak untuk proyek semacam itu dibangun.[53] Kenneth Atkinson berpendapat bahwa Alexander Jannaeus membangun Jalur Yannai usai mengalahkan Antiokhos XII, dalam antisipasi kepulangan Antiokhos XII.[68] Bar-Kochva berpendapat bahwa jalur tersebut didirikan lebih dulu ketimbang invasi Antiokhos XII, mungkin untuk menghadapi musuh berbeda. Ia berpendapat bahwa dataran sepanjang 4 kilometer (2,5mi) antara barat Samaria dan Tel Afek di timur mata air Sungai Yarkon River menjadi tempat jalur tersebut.[53] Reruntuhan arkeologi yang ditafsirkan oleh Kaplan sebagai bukti untuk jalur tersebut tak selaras dengan waktu invasi Antiokhos XII dan mungkin termasuk pendirian sipil non-militer.[69]
Jika catatan Uranius diterima, dan jika ia mengartikan Antiokhos XII alih-alih Antigonus I, kemudian pertempuran terakhir terjadi di dekat Motho di Moab.[56]
Tidak diketahui apakah Aretas III yang mengalahkan Antiokhos XII.[56] Identitas musuh Nabataea yang menjadi raja Siria banyak diperdebatkan.[74]Albert Kammerer[fr] dan Philip C. Hammond memakai catatan Uranius dan menyatakan bahwa ia adalah Rabbel I.[54]Jean Starcky berpendapat bahwa penguasa Nabataea-nya adalah Obodas I,[75] yang dikatakan oleh Maurice Sartre bahwa ia mungkin tak lama bertahan hidup usai bertempur dengan Antiokhos XII.[56]
Salinan paling lengkap yang masih ada dari karya Malalas, yang ditulis pada abad keenam, adalah manuskrip Baroccianus Graecus dari abad kesebelas, yang meliputi banyak singkatan dan kata yang hilang.[88] Malalas sendiri memakai penyebutan Yunani, menjadikan bahasanya terkadang sulit untuk dipahami.[89] para cendekiawan berbeda mempersembahkan bacaan mereka dari kronik-kronik Malalas:
Bacaan Glanville Downey terkandung "Antiokhos Dionisus si kusta, ayah dari Kleopatra dan Antiokhis".[90] Downey menyatakan bahwa Malalas membenturkan Antiokhos XII dengan penerusnya Antiokhos XIII, yang menyerah kepada Romawi pada 64 SM. Sejarawan Bizantium tersebut mengaitkan tindakan penyerahan diri tersebut dengan Antiokhos XII. Versi Yunani dari karya Malalas memiliki judul "Antiochus Dionikous" sementara versi Slavonik Gerejawi yang lebih tua memiliki judul "Antiochus Dionysos".[91] Terjemahan Jerman oleh Johannes Thurn[de] dan Mischa Meier[de] menyesuaikan bacaan Inggris karya Downey.[92]
Dalam terjemahan Elizabeth Jeffreys (et al.), kalimat yang tercantum: "Antiokhos, putra Dionikes orang kusta, ayah Kleopatra dan Antiokhis."[93]
Tigranes II dari Armenia merebut Siria pada sekitar tahun 74 SM.[94] Menurut Malalas, Antiokhos Dionisos membujuk Pompey untuk memulihkan takhta menyusul penggulingan Tigranes II oleh Romawi. Raja Siria tersebut mengabulkan keinginannya dan dalam kehendaknya, ia menyerahkan Siria kepada Romawi, sehingga mengakhiri dinasti Seleukia.[91] Bellinger menyatakan kontradiksi pernyataan Malalas, seperti yang disebutkan oleh sejarawan Bizantium pada masa sebelumnya pada catatannya bahwa Pompey merebut Antiokhia. Dalam pandangan Bellinger, catatan Malalas tak berdasar.[95] Downey juga mempertanyakan catatan tersebut namun menganggapnya mungkin bahwa Malalas memakai sumber-sumber Antiokhene lokal yang berniat untuk merendahkan tindakan pencaplokan yang beriringan dengan kisah penggulingan, yang peristiwa itu sendiri tidaklah dipertanyakan, dan memberikan landasan dalam sejarah Romawi. Attalus II dari Pergamon menyerahkan kerajaannya ke Roma pada 138 sM.[91]
Avi-Yonah, Mikhaʼel (2002) [1977]. Rainey, Anson Frank, ed. The Holy Land: a Historical Geography from the Persian to the Arab Conquest (536 B.C. to A.D. 640) (edisi ke-revised). Carta. ISBN978-9-652-20502-5.
Bar-Kochva, Bezalel (1996). Pseudo Hecataeus, "On the Jews": Legitimizing the Jewish Diaspora. Hellenistic Culture and Society. 21. University of California Press. ISBN978-0-520-26884-5.
Bellinger, Alfred R. (1949). "The End of the Seleucids". Transactions of the Connecticut Academy of Arts and Sciences. Connecticut Academy of Arts and Sciences. 38. OCLC4520682.
Bennett, Christopher J. (2002). "Tryphaena". C. J. Bennett. The Egyptian Royal Genealogy Project hosted by the Tyndale House Website. Diakses tanggal 25 October 2018.
Burgess, Michael Roy (2004). "The Moon Is A Harsh Mistress– The Rise and Fall of Cleopatra II Selene, Seleukid Queen of Syria". The Celator. Kerry K. Wetterstrom. 18 (3). ISSN1048-0986.
Chaniotis, Angelos; Corsten, Thomas; Stroud, Ronald S.; Tybout, Rolf A., ed. (2007). "1907. Petra. Rock-Cut Dedication by a Panegyriarch (?), Late 2nd/3rd Cent. A.D.". Supplementum Epigraphicum Graecum. Brill. LIII. ISBN978-9-004-15630-2. ISSN0920-8399.
Dąbrowa, Edward (2003). The Roman Near East and Armenia. Electrum: Journal of Ancient History. 7. Instytut Historii. Uniwersytet Jagielloński (Department of Ancient History at the Jagiellonian University). ISBN978-8-323-31792-0. ISSN1897-3426.
Downey, Glanville (1938). "Seleucid Chronology in Malalas". American Journal of Archaeology. Archaeological Institute of America. 42 (1): 106–120. doi:10.2307/498832. ISSN0002-9114. JSTOR498832. Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Downey, Glanville (1951). "The Occupation of Syria by the Romans". Transactions and Proceedings of the American Philological Association. The Johns Hopkins University Press. 82: 149–163. doi:10.2307/283427. ISSN2325-9213. JSTOR283427.
Downey, Robert Emory Glanville (2015) [1961]. A History of Antioch in Syria from Seleucus to the Arab Conquest. Princeton University Press. ISBN978-1-400-87773-7.
Dumitru, Adrian (2016). "Kleopatra Selene: A Look at the Moon and Her Bright Side". Dalam Coşkun, Altay; McAuley, Alex. Seleukid Royal Women: Creation, Representation and Distortion of Hellenistic Queenship in the Seleukid Empire. Historia – Einzelschriften. 240. Franz Steiner Verlag. ISBN978-3-515-11295-6. ISSN0071-7665.
Fitzgerald, John Thomas (2004). "Gadara: Philodemus' Native City". Dalam Fitzgerald, John Thomas; Obbink, Dirk D.; Holland, Glenn Stanfield. Philodemus and the New Testament World. Supplements to Novum Testamentum. 111. Brill. ISBN978-9-004-11460-9. ISSN0167-9732.
Gauger, Jörg-Dieter (2000). Authentizität und Methode: Untersuchungen zum Historischen Wert des Persisch-Griechischen Herrscherbriefs in Literarischer Tradition. Studien zur Geschichtsforschung des Altertums (dalam bahasa Jerman). 6. Verlag dr Kovač. ISBN978-3-830-00107-2. ISSN1435-6600.
Hallo, William W. (1996). Origins. The Ancient Near Eastern Background of Some Modern Western Institutions. Studies in the History and Culture of the Ancient Near East. 6. Brill. ISBN978-90-04-10328-3. ISSN0169-9024.
Hoover, Oliver D. (2000). "A Dedication to Aphrodite Epekoos for Demetrius I Soter and His Family". Zeitschrift für Papyrologie und Epigraphik. Dr. Rudolf Habelt GmbH. 131. ISSN0084-5388.
Hoover, Oliver D. (2005). "Dethroning Seleucus VII Philometor (Cybiosactes): Epigraphical Arguments Against a Late Seleucid Monarch". Zeitschrift für Papyrologie und Epigraphik. Dr. Rudolf Habelt GmbH. 151. ISSN0084-5388.
Houghton, Arthur; Lorber, Catherine; Hoover, Oliver D. (2008). Seleucid Coins, A Comprehensive Guide: Part 2, Seleucus IV through Antiochus XIII. 1. The American Numismatic Society. ISBN978-0-980-23872-3.
Josephus, Flavius (1833) [c. 94]. Burder, Samuel, ed. The Genuine Works of Flavius Josephus, the Jewish Historian. Diterjemahkan oleh Whiston, William. Kimber & Sharpless. OCLC970897884.
Kasher, Aryeh (1988). Jews, Idumaeans, and Ancient Arabs: Relations of the Jews in Eretz-Israel with the Nations of the Frontier and the Desert During the Hellenistic and Roman Era (332 BCE–70 CE). Texte und Studien zum Antiken Judentum. 18. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN978-3-161-45240-6. ISSN0721-8753.
Kindler, Arie (1978). "Akko, A City of Many Names". Bulletin of the American Schools of Oriental Research. The American Schools of Oriental Research. 231 (231): 51–55. doi:10.2307/1356745. ISSN0003-097X. JSTOR1356745. Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kosmin, Paul J. (2014). The Land of the Elephant Kings: Space, Territory, and Ideology in the Seleucid Empire. Harvard University Press. ISBN978-0-674-72882-0.
Leeming, Henry; Leeming, Kate, ed. (2003). "Synoptic Comparison". Josephus' Jewish War and Its Slavonic Version: A Synoptic Comparison of the English Translation by H. St. J. Thackeray with the Critical Edition by N.A. Meščerskij of the Slavonic Version in the Vilna Manuscript Translated Into English by H. Leeming and L. Osinkina. Arbeiten Zur Geschichte Des Antiken Judentums Und Des Urchristentums. 46. Brill. ISBN978-9-004-11438-8. ISSN0169-734X.
Malalas, John (1940) [c. 565]. Chronicle of John Malalas, Books VIII–XVIII. Translated from the Church Slavonic. Diterjemahkan oleh Spinka, Matthew; Downey, Glanville. University of Chicago Press. OCLC601122856.
Malalas, John (2009). Meier, Mischa; Drosihn, Claudia; Priwitzer, Stefan; Enderle, Katharina, ed. Johannes Malalas: Weltchronik. Bibliothek der Griechischen Literatur (dalam bahasa Jerman). 69. Diterjemahkan oleh Thurn, Johannes; Meier, Mischa. Anton Hiersemann Verlag. ISBN978-3-777-20911-1.
Malalas, John (2017) [1986]. Jeffreys, Elizabeth; Jeffreys, Michael; Scott, Roger, ed. The Chronicle of John Malalas. Byzantina Australiensia. 4. Diterjemahkan oleh Jeffreys, Elizabeth; Jeffreys, Michael; Scott, Roger; Croke, Brian; Ferber, Jenny; Franklin, Simon; James, Alan; Kelly, Douglas; Moffatt, Ann; Nixon, Ann; Parker, Brian; Witaboski, Witold. Brill. ISBN978-0-959-36362-3.
McGing, Brian C. (2010). Polybius' Histories. Oxford University Press. ISBN978-0-199-71867-2.
Mittmann, Siegfried (2006). "Die Hellenistische Mauerinschrift von Gadara (Umm Qēs) und die Seleukidisch Dynastische Toponymie Palästinas". Journal of Northwest Semitic Languages (dalam bahasa Jerman). Department of Ancient Studies: Stellenbosch University. 32 (2). ISSN0259-0131.
Newell, Edward Theodore (1939). Late Seleucid Mints in Ake-Ptolemais and Damascus. Numismatic Notes & Monographs. 84. American Numismatic Society. OCLC2461409.
Ogden, Daniel (1999). Polygamy, Prostitutes and Death: The Hellenistic Dynasties. Duckworth with the Classical Press of Wales. ISBN978-0-715-62930-7.
Otto, Walter Gustav Albrecht; Bengtson, Hermann (1938). Zur Geschichte des Niederganges des Ptolemäerreiches: ein Beitrag zur Regierungszeit des 8. und des 9. Ptolemäers. Abhandlungen (Bayerische Akademie der Wissenschaften. Philosophisch-Historische Klasse) (dalam bahasa Jerman). 17. Verlag der Bayerischen Akademie der Wissenschaften. OCLC470076298.
Retso, Jan (2003). The Arabs in Antiquity: Their History from the Assyrians to the Umayyads. RoutledgeCurzon. ISBN978-1-136-87282-2.
Roschinski, Hans Peter (1980). "Geschichte der Nabatäer". Bonner Jahrbücher (dalam bahasa Jerman). Rheinland-Verlag Köln. In Kommission bei Rudolf Habelt Verlag GmbH Bonn. In Verbindung mit Verlag Butzon & Bercker Kevelaer Rhld. und Böhlau Verlag Köln-Wien. 180. ISSN0938-9334.
Ross, Alan S. C. (1968). "Aldrediana XX: Notes on the Preterite-Present Verbs". English Philological Studies. W. Heffer & Sons, Ltd for the University of Birmingham. 11. ISSN0308-0129.
Schürer, Emil (1973) [1874]. Vermes, Geza; Millar, Fergus; Black, Matthew, ed. The History of the Jewish People in the Age of Jesus Christ (175 B.C.–A.D. 135). II (edisi ke-2014). Bloomsbury T&T Clark. ISBN978-0-567-29891-1.
Scott, Roger (2017) [1989]. "Malalas and his Contemporaries". Dalam Jeffreys, Elizabeth; Croke, Brian; Scott, Roger. Studies in John Malalas. Byzantina Australiensia. 6. Brill. ISBN978-9-004-34462-4.
Shatzman, Israel (1991). The Armies of the Hasmoneans and Herod: From Hellenistic to Roman Frameworks. Texte und Studien zum Antiken Judentum. 25. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN978-3-161-45617-6. ISSN0721-8753.
Sievers, Joseph (2005). "What's in a Name? Antiochus in Josephus' Bellum Judaicum". The Journal of Jewish Studies. Oxford Centre for Hebrew and Jewish Studies. 56 (1): 34–47. doi:10.18647/2582/JJS-2005. ISSN0022-2097.
Starcky, Jean (1966). "Pétra et la Nabatène". Supplément au Dictionnaire de la Bible (dalam bahasa Prancis). Editions-Librairie Letouzey & Ané. 7. OCLC1010909134.
Stern, Menaḥem (1981). "Judea and her Neighbors in the Days of Alexander Jannaeus". The Jerusalem Cathedra: Studies in the History, Archaeology, Geography and Ethnography of the Land of Israel. Wayne State University Press. 1. ISSN0333-7618.
Stern, Menaḥem (1987) [1976]. "The Jews in Greek and Latin Literature". Dalam Safrai, Shmuel; Stern, Menaḥem; Flusser, David; van Unnik, Willem Cornelis. The Jewish People in the First Century, Volume 2. Historical Geography, Political History, Social, Cultural and Religious Life and Institutions. Compendia Rerum Iudaicarum ad Novum Testamentum. 2. Van Gorcum. ISBN978-9-023-21436-6. ISSN1877-4970.
Taylor, Michael J. (2013). Antiochus the Great. Pen and Sword. ISBN978-1-848-84463-6.
Whitby, Michael (1988). "Malalas. The Chronicle of John Malalas. Trans. E. Jeffreys [and others]. (Byzantina Australiensia, 4.) Sydney: Australian Association for Byzantine Studies (with Melbourne University), 1986. pp. xli + 371". The Journal of Hellenic Studies. The Society for the Promotion of Hellenic Studies. 108. doi:10.2307/632717. ISSN0075-4269. JSTOR632717. Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Wright, Nicholas L. (2005). "Seleucid Royal Cult, Indigenous Religious Traditions and Radiate Crowns: The Numismatic Evidence". Mediterranean Archaeology. Sydney University Press. 18. ISSN1030-8482.
Wright, Nicholas L. (2012). Divine Kings and Sacred Spaces: Power and Religion in Hellenistic Syria (301–64 BC). British Archaeological Reports (BAR) International Series. 2450. Archaeopress. ISBN978-1-407-31054-1.
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Antiochus XII.