Remove ads
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles FRS (6 Juli 1781 – 5 Juli 1826 )[1][2] adalah seorang negarawan Britania, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811–1816), dan Letnan Gubernur Jendral Bengkulu (1818–1824); yang sangat terkenal dikarenakan mampu membawa pendirian Malaysia dan Singapura yang lebih maju dan modern.
Sir Stamford Raffles | |
---|---|
Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu | |
Masa jabatan 1818–1824 | |
Gubernur Jenderal Hindia Belanda | |
Masa jabatan 1811–1816 | |
Ditunjuk oleh | Earl of Minto |
Penguasa monarki | George III |
Pendahulu Robert Rollo Gillespie | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Thomas Stamford Bingley Raffles 5 Juli 1781[1][2] Port Morant, Jamaika |
Meninggal | 5 Juli 1826 45)[2] Highwood House, Highwood Hill, Middlesex, Britania Raya | (umur
Sebab kematian | Tumor otak |
Makam | St Mary's Church, Hendon, London Raya, Britania |
Kebangsaan | Britania |
Suami/istri | |
Anak |
|
Orang tua |
|
Kerabat | William Charles Raffles Flint (keponakan) |
Tempat tinggal | Highwood House, Highwood Hill, Middlesex, Britania |
Almamater | Mansion House Boarding School |
Pekerjaan | Pejabat Kolonial Inggris Zoolog |
Dikenal karena | Pendiri Malaysia dan Singapura modern |
karya terkenal | The History of Java (1817) |
Sunting kotak info • L • B |
Raffles sangat terlibat dalam perebutan pulau Jawa di Indonesia dari Belanda selama Perang Napoleon, dan menjalankan operasi sehari-hari di Singapura. Ia juga menulis The History of Java (1817).[3]
Thomas Stamford Raffles merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Di antara saudaranya, hanya dirinya yang berjenis kelamin laki-laki. Ayahnya bernama Benjamin Raffles dan ibunya bernama Ann Raffles. Ketika Stamford berusia 19 tahun pada tahun 1800, ia memiliki empat adik perempuan, yaitu Harriot Raffles (16 tahun), Leonora Raffles (15 tahun), Mary Anne Raffles (11 tahun) dan Ann Raffles (7 tahun). Pada tahun yang sama, ayahnya pensiun dari pekerjaan sebagai pedagang di Hindia Barat. Karena hal ini, keluarganya mengalami kesulitan keuangan.[4]
Stamford langsung mulai bekerja sebagai seorang juru tulis di London untuk melunasi utang keluarganya. Ia bekerja untuk Perusahaan Hindia Timur Britania. Perusahaan ini merupakan perusahaan dagang semi-pemerintah yang banyak berperan di dalam penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Inggris di negara lain. Pada 1805 ia dikirim ke pulau yang kini dikenal sebagai Penang, di negara Malaysia, yang saat itu masih bernama Pulau Pangeran Wales. Itulah awal-mula hubungannya dengan Asia Tenggara.
Tekad yang dimiliki Raffles saat masih muda dalam mengejar pengetahuan. Ini menyoroti pentingnya penghargaan terhadap waktu bagi setiap pembelajar. Pada usia 14 tahun, ia harus membagi waktu antara belajar secara mandiri dan bekerja sebagai juru tulis junior di Perusahaan India Timur di London. Kematian ayahnya, Benjamin Raffles, yang merupakan kapten kapal milik Hibberts and Co, mengganggu pendidikan Raffles dan mendorongnya untuk menjadi penyokong utama bagi keluarganya.[5]
Raffles memiliki ikatan emosional yang kuat dengan lautan karena ia lahir di atas kapal Ann ketika kapal itu berlabuh di pelabuhan Morant, salah satu pulau di Jamaika pada tanggal 5 Juli 1781 (Boulger, 1999:xxxvi). Ibunya, Anne Lyde Lindeman, adalah adik perempuan dari seorang pastor di London, yaitu John Lindeman. Menurut Hahn, keluarganya mengalami kemiskinan sebagai akibat dari krisis ekonomi dan sistem sosial Inggris yang pada saat itu membuat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan formal yang layak, sehingga mereka tidak memiliki posisi sosial yang baik.[5]
Pada paruh kedua abad ke-18, terjadi dua revolusi yang mengubah tatanan sosial dan budaya masyarakat Eropa secara khusus, dan dunia secara umum. Dua revolusi tersebut adalah Revolusi Amerika pada tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789. Revolusi terakhir, yakni Revolusi Prancis, adalah peristiwa yang menginspirasi pemikiran Raffles bahwa munculnya kelas menengah atau borjuis memaksa kaum bangsawan untuk setuju dengan pembatasan kekuasaan melalui konstitusi.[5]
Raffles adalah salah satu figur yang lahir dan terbentuk dalam konteks gerakan humanisme pada abad ke-18. Cara berpikirnya sangat dipengaruhi oleh semangat pencerahan Prancis, yang pada saat itu menjadi pusat peradaban Eropa, serta oleh pemikiran tiga tokoh pencerahan Eropa utama, yaitu Voltaire, Montesquieu, dan JJ Rousseau.[5]
Revolusi Prancis, seperti revolusi di berbagai belahan dunia lain, merupakan hasil logis dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola urusan rakyatnya. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh penderitaan dan kemiskinan rakyat, tetapi juga oleh kepentingan kaum borjuis yang terdesak dan terancam oleh tindakan sewenang-wenang raja. Kelas menengah ini secara intensif mengkritik kinerja Louis XVI dan Maria Antoinette yang dijuluki sebagai "Madame Defisit" karena pemborosan uang rakyat. Beberapa pemikir seperti Voltaire dengan tajam mengkritik peran rohaniawan yang selalu mendukung raja. Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan harus dibagi menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada raja. Namun, Voltaire, Montesquieu, dan para oposisi lainnya dengan sewenang-wenangnya dipenjarakan oleh raja. Situasi ini semakin memburuk dengan pemberlakuan pajak yang hanya dikenakan pada petani, sedangkan bangsawan dan rohaniawan bebas dari pajak.[5]
Semangat kebebasan di kalangan rakyat semakin berkembang seiring dengan penyebaran tulisan JJ Rousseau tentang kontrak sosial dan kedaulatan rakyat. Rousseau berpendapat bahwa kebebasan adalah keadaan di mana individu tidak memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain. Manusia merasa bebas ketika tidak ada ancaman penaklukan, baik itu melalui persuasi maupun kekerasan. Ia juga mengajukan argumen bahwa manusia yang benar-benar bebas adalah yang taat pada hukum dan peraturan (ia mematuhi hukum, bukan membuat hukum), tetapi tidak menjadi budak aturan tersebut. Kebebasan seperti ini tidak mengarah pada anarki sosial. Manusia yang bebas ini kemudian bersedia bersatu untuk membentuk kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini dikenal sebagai kedaulatan rakyat. Setiap individu yang menyerahkan hak dan kebebasannya tidak kehilangan keduanya. Tugas negara adalah melindungi setiap individu dalam negara, dan jika negara melanggar kehendak umum, maka negara akan mengalami krisis.[5]
Semangat revolusi Prancis, yang mengusung prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, seakan-akan menjadi pendorong bagi setiap individu untuk mengejar kebebasan dan keadilan di dunia. Pemikiran pencerahan membuka pikiran manusia, mengajarkan bahwa setiap orang seharusnya menganggap dirinya sebagai pusat dunia dan tidak lagi hanya mengikuti peraturan dari penguasa atau doktrin gereja. Pada akhir abad ke-18, dunia Eropa menunjukkan dualitas yang sangat mencolok dalam kehidupannya.[5]
Dalam konteks jiwa zaman seperti ini, Raffles tumbuh dan berkembang. Raffles muda, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat memanfaatkan waktunya dengan bijak. Ia bekerja sambil berusaha memperdalam pengetahuannya melalui literatur mengenai Prancis. William Ramsay, salah satu atasannya di Perusahaan India Timur London, merasa heran dengan perilaku Raffles yang selalu datang ke kantor lebih awal dan pulang paling akhir. Raffles sering mengambil jam lembur dan mengalihkan seluruh gajinya kepada orangtuanya. Meskipun dalam kondisi seperti itu, Raffles tidak pernah mengeluh dan justru semakin termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa Prancis. Ia percaya bahwa penguasaan bahasa Prancis akan membantunya mengakses literatur Eropa. Meskipun memiliki keterbatasan waktu untuk berlatih percakapan dalam bahasa Prancis, Raffles ternyata berhasil menguasainya dengan sangat lancar.[5]
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811 ketika Inggris menguasai Pulau Jawa.[6] Pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu yakni Lord Minto. Raffles memperoleh jabatan ini atas jasanya dalam penguasaan seluruh wilayah Hindia Belanda oleh Inggris yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda.[7] Tidak lama kemudian, Raffless dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan banyak hal, yang mana antara lain adalah sebagai berikut: dia mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencarian Raffles akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar sendiri Bahasa Melayu. Mendeskripsikan berbagai jenis hewan di Nusantara seperti monyet kra, siamang, pelanduk kancil, beruang madu, lutung kelabu, tupai tanah, dan simpai. Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh dua orang asistennya yaitu: John Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti[8]. Di Kebun Raya Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang istri.
Pemetaan aspek spasial dan temporal peran Raffles dalam sejarah Indonesia memiliki banyak nuansa yang kompleks. Pembagian waktu yang biasa digunakan dalam Sejarah Indonesia perlu diperbarui karena Raffles memegang kekuasaan bukan hanya dari tahun 1811 hingga 1816, tetapi juga pada tahun 1818 hingga 1824 saat ia menjadi Letnan Gubernur Bengkulu di bawah kendali Gubernur Jenderal Perusahaan India Timur (EIC) di India.[5]
Raffles memiliki keyakinan bahwa jika Jawa berhasil ditaklukkan, wilayah koloninya akan menjadi milik Inggris. Namun, realitasnya adalah banyak raja-raja di Nusantara yang mengambil kebijakan tanpa berkonsultasi dengan Raffles dan seolah-olah beroperasi di luar sistem yang ia jalankan. Untuk mengatasi ini, Raffles berusaha melakukan diplomasi dengan banyak kerajaan untuk mendapatkan pengakuan dari raja-raja tersebut atas kekuasaan Inggris, dan jika perlu, ia menggunakan kekuatan militer untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang menolak mengakui kedaulatan Raja Inggris. Oleh karena itu, Raffles memiliki tugas penting dalam merevisi perjanjian yang mengatur hubungan antara pemerintah Batavia dengan raja-raja Jawa.[5]
Raffles juga berusaha mengambil sebagian besar kekuasaan dari tangan para raja dalam mengatur urusan internal negara-negara tersebut. Contohnya, pada tahun 1813, Sultan Banten dengan sukarela menyerahkan administrasi negara itu kepada pemerintah Britania dengan imbalan dana pensiun tahunan. Dalam beberapa tahun, Raffles berhasil merebut Cirebon, yang menguntungkan penduduk yang sebelumnya tertindas di daerah tersebut.[5]
Selain itu, Raffles berhasil mencapai kesepakatan dan dukungan dari Kesultanan Surakarta dan Banjarmasin terkait dengan perkembangan pemerintahannya (Arschift van Het Contract Met Den Sulthan van Bandjarmasin 1 Oktober 1812). Namun, kekuasaan Yogyakarta dihancurkan oleh Raffles, yang menyerbu keraton Yogyakarta dan merampok harta benda di dalamnya. Demikian pula, Palembang, yang dikenal karena perlakuan yang buruk terhadap rakyatnya, berhasil ditaklukkan oleh Raffles.[5]
Raffles juga terlibat dalam reformasi administrasi dan peradilan. Ia mencoba menggantikan sistem feodal dengan organisasi modern, termasuk pemerintahan langsung oleh pejabat yang digaji, menggantikan pemerintahan tidak langsung yang diwakili oleh kepala-kepala daerah herediter. Namun, reorganisasi ini tidak selalu berhasil, dan ada kesalahan dalam mencoba menerapkan sistem hukum Britania yang tidak dikenal di Belanda ke tanah Jawa.
Lord Minto sebelumnya telah memulai reformasi pajak dengan menghapus paksaan dan kuota serta mengubah sistem hak milik dan hak guna tanah. Raffles melanjutkan upaya ini dengan mengumumkan dekrit pada tanggal 15 Oktober 1813 tentang penyewaan tanah pemerintah kepada kepala-kepala desa, dengan persyaratan tertentu dan harga sewa yang adil. Selama pemerintahan Raffles, hak-hak penyewa tanah di bawah pemerintah dilindungi seadil-adilnya.[5]
Namun, masa jabatan Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa tidak berlangsung lama. Hal ini terkait dengan berakhirnya masa jabatan Lord Minto yang digantikan oleh Lord Moira. Raffles dipecat karena Moira merasa bahwa Raffles hanya membebani anggaran pusat dan tidak mendukung kebijakan Moira. Raffles meninggalkan Jawa pada tanggal 25 Maret 1816 dan kembali ke Inggris.[5]
Selama kembali ke Inggris, Raffles disambut dengan baik oleh beberapa keluarga bangsawan, dan ia mendapatkan banyak pujian atas hadiah-hadiah yang dibawanya dari Jawa. Salah satu keluarga kerajaan yang dekat dengannya adalah Putri Charlotte yang diberikan hadiah meja yang sangat bagus dari Jawa. Hadiah-hadiah dari Raffles mendapatkan banyak pujian sehingga bahkan neneknya yang menjadi istri Raja George III mengundangnya.[5]
Raffles tiba di Bengkulu pada tanggal 22 Maret 1818 setelah melakukan perjalanan selama 4 bulan. Selama tinggal di sana, ia membaca banyak karya Mardsen dan mengumpulkan informasi tentang Sumatera. Raffles menerapkan kebijakan yang serupa dengan saat ia berkuasa di Jawa. Ia menghapus unsur pemaksaan dan perbudakan dengan memberikan sertifikat kebebasan kepada para tahanan. Selain itu, ia juga menentang praktik perjudian dan adu jago yang dianggapnya sebagai penyebab gangguan ketertiban sosial dan pemerintahan yang baik. Raffles percaya bahwa dua aktivitas tersebut bisa memicu tindak pembunuhan dan perampokan.[5]
Raffles sangat memahami pentingnya Perusahaan India Timur (EIC) dalam mengamankan perdagangan di Asia Tenggara. Oleh karena itu, ia menetapkan wilayah-wilayah strategis, dengan menyoroti khususnya Selat Melaka. Pulau Penang berada jauh dari Selat Melaka, sementara Bengkulu menghadap Samudera Hindia dan Selat Sunda. Ini membuatnya tertarik pada pulau Tumasik, yang kemudian dikenal sebagai Singapura.[5]
Dengan keterampilannya dalam diplomasi, Raffles berhasil mendapatkan izin dari Sultan Johor untuk membangun Singapura dengan membayar uang tahunan kepada sultan. Setelah ia yakin bahwa pembangunan proyek mercusuar di Singapura telah selesai pada pertengahan Juli 1823 dan bahwa India telah mengonfirmasi penunjukan John Crawfurd sebagai residen Singapura dan MacKenzie di Bengkulu, Raffles kembali ke Inggris pada tanggal 22 Agustus 1824. Sebuah tahun setelahnya, pada tahun 1825, ia meninggal dunia.[5]
Ramsay menyadari potensi besar dalam bakat dan kemampuan Raffles. Ketika dewan direksi mengusulkan pengembangan anak perusahaan di Penang (Prince of Wales' Island) pada tahun 1805, Ramsay mengusulkan nama Stamford Raffles kepada Sir Hugh Inglis. Dengan rekomendasi kuat dari Ramsay, yang kemudian menjabat sebagai sekretaris Dewan Direksi Perusahaan India Timur (EIC), Raffles berhasil mendapatkan kesempatan untuk menjadi asisten Sekretaris di Penang.[5]
Selama perjalanan panjang selama lima bulan menuju Penang, Raffles menghabiskan banyak waktu untuk membaca literatur yang berhubungan dengan dunia Melayu dan mempelajari bahasa Melayu. Ketika tiba di Penang pada pertengahan September 1805, ia telah berhasil menguasai bahasa Melayu. Selama pengabdiannya di Penang sebagai asisten sekretaris Pearson, Raffles terus meluangkan waktu untuk belajar bahasa dan budaya masyarakat di kepulauan timur, serta mendalami sejarahnya. Raffles dengan cepat mengembangkan kemampuan manajerial yang baik dan pengetahuan umum yang berkaitan dengan sejarah, pemerintahan, dan kepentingan politik tetangga terdekatnya, seperti Malaka. Ia sering mengunjungi berbagai kalangan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan mereka secara aktif. Raffles meneruskan tradisi orang Inggris yang ahli dalam memenangkan hati masyarakat Nusantara. Ia berusaha untuk memahami budaya setempat sambil memantau kondisi wilayah tersebut untuk keperluan pengembangan perdagangan, pertumbuhan populasi, dan pengembangan jalur perdagangan di Penang.[5]
Raffles dikenal sebagai penulis buku berjudul "History of Java". Dalam karyanya ini, ia tampak memiliki tujuan untuk mengedepankan sistem pemerintahan yang lebih liberal di wilayah jajahan tersebut. Ia mengkritik Kongsi Dagang Belanda (VOC), yang menurutnya hanya berfokus pada mencari keuntungan dan memperlakukan penduduk Jawa sebagai sumber eksploitasi. Di bawah pemerintahan VOC dan penguasa lokal, petani tidak mendapatkan bayaran yang layak, dan hasil panen serta harta benda mereka sering kali dirampas sewaktu-waktu oleh penguasa. Raffles melihat praktik seperti ini sebagai tindakan korupsi oleh pejabat-pejabat VOC yang serakah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor pertanian dan kesejahteraan masyarakat tidak mengalami peningkatan yang signifikan.[5]
Menurut pandangan Raffles, petani menjadi objek penindasan dan eksploitasi oleh pihak-pihak lain. Dia berpendapat bahwa pemerintah harus menghapus praktik penindasan ini dan menerapkan sistem bagi hasil yang lebih adil. Salah satu perubahan yang diausulkan adalah reformasi sistem penerimaan dana pemerintah, termasuk perubahan dalam hal pajak pertanian. Raffles juga menginginkan penghapusan semua layanan feodal serta berhenti melakukan pemerasan terhadap hasil panen petani. Selain itu, dia ingin memberikan kebebasan kepada petani, sambil memastikan bahwa pemerintah mengawasi semua aspek pertanian, termasuk pengelolaan hasil dan pengumpulan sewa tanah. Terpenting, dia berusaha mengurangi campur tangan berlebihan pemerintah dalam kehidupan petani. Inilah awal mula pengenalan konsep liberalisme dan kapitalisme di masyarakat Nusantara melalui upaya Raffles.[5]
Setelah sistem sewa tanah berjalan selama dua tahun, Raffles melihat adanya perbaikan dalam kondisi penduduk Jawa dan peningkatan produksi pertanian. Namun, ironisnya, regulasi yang diterapkan oleh Raffles justru tidak membebaskan petani sepenuhnya, seperti yang ia harapkan. Meskipun Raffles membatasi kekuasaan para bupati, kebiasaan dan penghormatan tradisional terhadap mereka tetap sulit dihilangkan. Selain itu, masalah kurangnya data yang akurat dalam menetapkan jumlah pajak berarti bahwa rakyat, terutama petani, masih sering dieksploitasi.[5]
Selain sebagai reformator pemerintahan, Raffles juga memperhatikan budaya dan sastra Jawa. Ini mendorongnya untuk mendirikan Museum Ethnografi Batavia, yang kemudian menjadi Museum Gajah di Jakarta. Selain itu, Raffles juga dikenal sebagai pecinta lingkungan dan biologi. Dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society di London, yang masih terkenal hingga hari ini di Inggris. Kontribusinya juga tercermin dalam memberikan nama binatang dan tumbuhan, seperti Rhizomys sumatranensis (tikus bambu besar) dan tumbuhan Rafflesia, sebagai penghargaan atas dedikasinya.[5]
Reformasi sistem administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh Raffles memiliki tujuan utama adalah menggantikan sistem feodal menjadi suatu pemerintahan dengan struktur organisasi yang lebih modern. Raffles menerapkan sistem pemerintahan langsung rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji. Sistem ini menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya yang merupakan pemerintahan tidak langsung yang penunjukan pejabatnya masih bersifat turun temurun. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah hilangnya hak-hak otonomi para bupati dan membuat mereka menjadi pejabat yang berada di bawah kontrol residen.[9]
Reformasi juga terjadi pada sistem peradilan. Raffles mengenalkan sistem juri, sebuah sistem yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan dan memberikan perlakuan lebih baik terhadap tahanan. Namun ini adalah sebuah usaha yang sia-sia karena penerapan sistem baru tidak dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara terburu-buru. Sistem ini tidak dikenal dalam sistem peradilan Belanda sementara orang Jawa sangat asing dengan sistem baru ini. Perubahan ini akhirnya gagal dan diganti ketika Belanda berkuasa kembali.[9]
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Raffles menemukan gambaran tentang kondisi sosial orang Jawa yang mirip dengan orang Benggala di India yang dijadikan sebagai alasan untuk melakukan reformasi sistem pajak berdasarkan sistem pajak yang dilakukan oleh Perusahaan Hindia Timur Inggris di India. Berdasarkan penelitian tersebut, ia mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua hak milik tanah di seluruh negeri menjadi milik penguasa berdaulat, yakni pemerintah di Batavia. Hal inilah yang menjadi latar belakang Raffles menerapkan sistem pajak dengan menggunakan sewa tanah.[9] Pajak tanah dilakukan dengan cara pemerintah menguasai semua tana di Jawa dan para petani harus membayar sejumlah uang tertentu senilai seperempat dari hasil panennya.[10]
Reformasi sistem pajak ini dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan para petani dari cengkraman elit priyayi. Pada masa itu, hal ini merupakan sebuah ide yang revolusioner. Namun, pelaksanaan reformasi sistem pajak menemui beberapa hambatan. Sistem pajak sewa tanah yang mengadopsi hukum pajak di Benggala ini menimbulkan konsekuensi yang serius. Misalnya bahwa semua tanah yang tidak dibudidayakan berada langsung di bawah pemerintah dan bebas digunakan untuk apa saja. Suatu ketidakadilan bagi orang Jawa yang menganggap wilayah tanah yang tak diolah sebagai tanah cadangan yang akan diolah bila jumlah penduduk meningkat. Kalau pemerintah memutuskan menjual tanah ini kepada petanam Eropa atau Cina akan timbul suatu kaum tak bertanah dan berbagai permasalahan yang menyertainya.[9] Selain itu, pemerintahan Raffles juga terhambat oleh tidak adanya pengetahuan yang akurat tentang sistem penguasaan tanah dan jumlah tanah subur yang tersedia sehingga pemerintah mau tak mau mengandalkan informasi dari dari para pejabat Jawa yang terbiasa menggunakan sistem pengukuran tanah yang berbeda-beda di setiap wilayah.[10]
Setelah menerima instruksi dari Lord Minto, Stamford Raffles bergabung dengan armada militer yang terdiri dari hampir 100 kapal dan 12.000 serdadu. Bersama pasukan ini, ia berhasil menggagalkan upaya Janssens di Batavia. Ketika pertama kali tiba di Tanah Jawa, Raffles berada di bawah komando Gubernur Jendral Lord Minto, dengan pangkat Letnan Gubernur. Ekspedisi ini dilakukan setelah wilayah Belanda jatuh ke tangan Prancis. Raffles tiba di Tanah Jawa dengan tujuan mengatur ekspedisi militer melawan Belanda. Pada awalnya, Pulau Jawa direncanakan oleh Prancis sebagai basis pertahanan mereka, tetapi Lord Minto memiliki visi untuk menjadikan Jawa sebagai koloni Inggris. Penyerbuan militer ini dipimpin oleh beberapa tokoh penting, termasuk Admiral Robert Stopford, Jendral Wetherhall, dan Kolonel Gillespie.[11]
Ketika Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai Gubernur Jendral di Pulau Jawa dari tahun 1811 hingga 1816, ia melakukan perubahan signifikan dalam sistem kepemilikan tanah. Raffles menggantikan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan sistem Pajak Bumi atau sewa tanah (Landrente). Menurut pandangan Raffles, pelaksanaan Pajak Bumi harus didasarkan pada hukum adat Jawa, dan sistem ini telah diterapkan dengan sukses di India sebelumnya.[5]
Selama kepemimpinannya, Raffles berusaha untuk menghapus penyerahan wajib, kerja rodi, dan memberikan kepastian serta kebebasan kepada para petani, terutama dalam menentukan tanaman apa yang akan mereka tanam, bukan hanya untuk kepentingan ekspor pemerintah. Dalam hal ini, Raffles dipengaruhi oleh cita-cita revolusi Prancis yang mengusung semboyan "kebebasan, persamaan, dan persaudaraan" bagi seluruh warga, meskipun ia menyadari bahwa di konteks Jawa, tidak semua aspek cita-cita tersebut dapat terwujud sepenuhnya.[11]
Saat Inggris menguasai Jawa, Raffles pertama-tama berusaha mengubah kebijakan kolonialisme yang sebelumnya diterapkan, yaitu sistem tanam paksa, dengan sistem yang dianggapnya lebih manusiawi. Ia menentang sistem VOC karena keyakinannya yang sekarang disebut sebagai liberalisme, serta pandangannya bahwa eksploitasi yang dilakukan VOC tidak menguntungkan. Ia ingin menggantikan sistem VOC dengan sistem pertanian di mana para petani memiliki kebebasan untuk menanam tanaman dagangan (cash crops) yang dapat diekspor ke luar negeri. Dalam sistem ini, pemerintah kolonial hanya bertugas menciptakan pasar yang dibutuhkan untuk merangsang para petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Pendekatan Raffles ini bertentangan dengan sistem VOC yang dianggapnya tidak memberikan kebebasan kepada penduduk pribumi, terutama dalam sektor pertanian, dan dianggap tidak menguntungkan.[11]
Kebijakan Landrent yang diterapkan di Pulau Jawa oleh pemerintah Inggris berlangsung selama lima tahun dan terinspirasi dari pengalaman yang mereka miliki di India, di mana kebijakan serupa telah berhasil diterapkan. Raffles ingin menerapkan Landrent di Pulau Jawa sebagai bagian dari upaya untuk menghapus sistem tanam paksa yang sebelumnya berlaku di sana. Penerapan kebijakan pajak atas tanah di Jawa didasarkan pada pengalaman yang dimiliki di India, di mana selama Kekaisaran Moghul (1526-1707), negara dianggap sebagai pemilik tanah atau super land-lord. Pengalaman ini kemudian membawa konsep pajak tanah mulai diperkenalkan di Jawa.[5]
Raffles mendeklarasikan bahwa hak kepemilikan atas tanah di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Dalam deklarasinya, tanah yang tidak digarap atau dibiarkan selama lebih dari 3 tahun dianggap sebagai tanah yang tidak memiliki pemilik. Ini adalah peraturan yang mudah dideklarasikan oleh pemerintah Inggris, tetapi sulit untuk orang Pribumi pada saat itu karena mereka tidak memiliki akses yang sama ke proses formalitas yang diperlukan untuk mengklaim tanah. Selama upaya Inggris untuk menguasai Pulau Jawa, mereka juga melakukan diplomasi dengan banyak kerajaan Pribumi dan mencoba mendapatkan pengakuan dari raja-raja tersebut atas kedaulatan Inggris. Diplomasi ini membantu mereka memperluas wilayah kekuasaan mereka.[5]
Penaklukan daerah tertentu seperti Banten dan Cirebon dilakukan dengan kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak, sehingga penduduk setempat tidak dirugikan. Namun, penaklukan Yogyakarta, yang dikuasai oleh Sultan Hamangkubuwono II, memerlukan tindakan militer langsung oleh Mayor Jenderal Gillespie dan Legiun Mangkunegaraan. Keraton Yogyakarta berhasil ditaklukkan, dan sultan dibawa ke Batavia untuk diadili. Pulau Jawa bagian Timur tampaknya lebih mudah dikuasai oleh Inggris karena pemerintah daerah merupakan satu-satunya pemilik tanah, dan tidak ada perjanjian antara masyarakat petani dan penguasa lokal. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Landrent, daerah-daerah ini tidak memiliki banyak kesulitan. Meskipun Landrent diterapkan di daerah-daerah seperti Banten, Cirebon, dan Jawa bagian Timur, rincian lebih lanjut tentang pelaksanaannya tidak selalu diketahui dengan jelas dalam sumber-sumber sejarah.[5]
Sistem Landrent yang diterapkan di Pulau Jawa didasarkan pada kebijakan politik yang sebelumnya diterapkan di India oleh pemerintah Inggris. Namun, kelemahan utama dalam pelaksanaannya adalah kurang memahami perbedaan struktural dan budaya antara masyarakat India dan masyarakat Jawa. Raffles mungkin telah mengabaikan perbedaan-perbedaan ini dan meremehkannya, sementara sebenarnya ada perbedaan yang signifikan dalam struktur masyarakat dan tingkat perkembangan ekonomi antara kedua wilayah tersebut. Secara umum, tingkat perkembangan ekonomi India lebih tinggi daripada Jawa.[11]
Salah satu kesalahan yang dilakukan Raffles adalah melanggar aturan yang telah ditetapkan, seperti yang tercantum dalam Instruksi Pajak 1814 poin 6. Meskipun aturan tersebut tidak secara tegas menyebutkan peran pribumi, termasuk kepala pribumi, dalam pengumpulan pajak, dalam pelaksanaannya Raffles melibatkan golongan Timur Asing untuk menggantikan posisi pribumi dalam beberapa kasus di distrik timur. Ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan.[11]
Ketika sistem sewa tanah mulai diterapkan selama dua tahun, Raffles melihat perbaikan dalam kondisi masyarakat Jawa, produksi pertanian, dan penurunan angka kejahatan. Namun, Raffles memang membatasi kekuasaan para bupati, tetapi kebiasaan dan respek tradisional rakyat terhadap bupati sulit dihapuskan. Selain itu, kurangnya data yang baik dan dapat dipercaya untuk menentukan jumlah pajak menyebabkan rakyat, khususnya petani, menjadi korban pemerasan. Akibatnya, regulasi yang diberlakukan oleh Raffles justru membatasi petani atau bahkan tidak membebaskan mereka seperti yang diharapkan sebelumnya.[11]
Kepemimpinan Raffles di Jawa berlangsung singkat karena berakhirnya masa jabatan Lord Minto, yang digantikan oleh Lord Moira. Pada saat itu, kekuasaan Inggris di Pulau Jawa kembali diserahkan kepada pemerintah Belanda. Meskipun masa pemerintahan Inggris di Jawa hanya berlangsung singkat, kebijakan Raffles, terutama terkait sewa tanah, sangat memengaruhi pandangan pejabat pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1816.[11]
Masa pemerintahan Raffles mungkin tidak sangat berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, tetapi ia memberikan perhatian khusus kepada petani, sesuai dengan janjinya pada awal kedatangannya. Selain itu, Raffles juga memberikan perhatian besar pada ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang biologi, serta seni dan budaya Jawa. Dia mendirikan Museum Ethnografi Batavia.[11] yang kemudian menjadi Museum Gajah di Jakarta. Raffles juga dikenal sebagai pecinta lingkungan dan mendirikan London Zoo dan Zoological Society di London, yang masih terkenal hingga saat ini. Namanya juga dikenal dalam sejumlah nama binatang dan tumbuhan, seperti Rhizomys sumatranensis (tikus bambu besar) dan Rafflesia arnoldii. Raffles juga memperkenalkan aturan tentang lalu lintas jalan, termasuk berjalan di sebelah kiri, yang diadopsi dari Inggris untuk meningkatkan ketertiban dalam perjalanan. Selama pemerintahannya, dia juga memberikan perhatian lebih besar pada peninggalan bersejarah, termasuk patung dan ukiran, yang sebelumnya terkesan ditinggalkan dan menjadi perhatian utama selama pemerintahannya.[11]
Minat Raffles terhadap bahasa dan adat istiadat Indonesia sangat kuat. Dia menghabiskan banyak waktu dan surat-menyuratnya untuk kepentingan etnologis. Membangkitkan kembali Masyarakat Kesenian dan Keilmuan Batavia yang sudah mati suri adalah salah satu tindakan pertamanya. Dia menulis beberapa karya untuk perkumpulan itu yang kemudian bersama ahli-ahli Indologi lain dari Britania dan Belanda diterbitkan dalam publikasi perkumpulan yang bernama Verhandelingen. Dia juga mendorong studi botani dan menjadikan Dr. Thomas Horsefield sebagai salah satu temannya.[9]
Pada 1814, ketika berkunjung ke Semarang, ia mendapat informasi bahwa di Desa Bumisegara di dekat Magelang terdapat sebuah bangunan besar yang dikenal sebagai Candi Borobudur. Karena tidak bisa mengunjunginya, ia menyuruh H.C. Cornelius untuk menyelidiki dan mengadakan pembersihan untuk menampakan kembali Candi Borobudur. Pada waktu itu yang terlihat hanya sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan tampak susunan batu. Candi Borobudur baru tampak setelah dua bulan dan dibantu dengan pekerja sebanyak 200 orang untuk menebang pohon, membakar semak, dan menggali tanah yang menutupi bangunan. Tugas Cornelius kemudia dilanjutkan oleh Hartmann, kemudian oleh Ijzerman dilakukan penggalian di bagian kaki Borobudur dan penemuan relief Kharmawibangga. Sebelum bagian kaki tersebut ditutup, semua relief difoto oleh Kassian Cephas.[12]
Pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda setelah Perang Napoleon selesai. Pada 1817 ia menulis dan menerbitkan buku History of Java, yang melukiskan sejarah pulau itu sejak zaman kuno.
Tetapi pada tahun 1818 ia kembali ke Sumatra dan pada tanggal 29 Januari 1819 ia mendirikan sebuah pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari menjadi negara kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani, berlawanan dengan kebijakan Britania untuk tidak menyinggung Belanda di wilayah yang diakui berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam enam minggu, beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak, dan Raffles kemudian mendapatkan persetujuan dari London.
Raffles menetapkan tanggal 6 Februari tahun 1819 sebagai hari jadi Singapura modern. Kekuasaan atas pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania. Akhirnya pada tahun 1823, Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah siap untuk berkembang menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang sebagai pusat perdagangan dengan pajak rendah.
Di Inggris Raffles juga merupakan pendiri dan ketua pertama Zoological Society of London. Raffles dijadikan seorang Bangsawan pada tahun 1817.
Ia meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, pada 5 Juli 1826, karena apopleksi atau stroke. Karena pendiriannya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan mengebumikannya di halaman gereja setempat (St. Mary's, Hendon). Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an, kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.
Di Singapura, nama Raffles banyak dipakai: Raffles Junior College, Raffles Institution, Raffles Girls' School, Raffles Girls' Primary School, Raffles Hotel, Stamford Road, Stamford House, Raffles City, stasiun MRT Raffles Place, kelas Raffles di pesawat Singapore Airlines dan Museum Penelitian Keanekaragaman Hayati Raffles.
Thomas Stamford Raffles memang memiliki peran ganda sebagai seorang administrator kolonial dan seorang ilmuwan alam yang tertarik pada pengetahuan tentang flora dan fauna di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Inggris, termasuk Nusantara. Ia tidak hanya berfokus pada administrasi pemerintahan kolonial, tetapi juga pada eksplorasi alam dan ilmu pengetahuan alam. Raffles memainkan peran penting dalam menjalankan tugasnya sebagai administrator kolonial. Misalnya, ketika mengelola daerah di luar Bengkulu, ia bekerja sama dengan orang Bugis untuk mengatur sistem tribute sesuai dengan kebijakan kolonial yang ia tetapkan. Ini adalah contoh bagaimana ia menggunakan struktur lokal dan kerja sama dengan pihak setempat untuk menerapkan kebijakan Inggris.[5]
Di samping tugas administratifnya, Raffles juga sangat tertarik pada penelitian ilmiah. Ia bekerja sama dengan berbagai ilmuwan dan ahli alam terkenal pada masanya, seperti Dr. Arnold, Diard, dan Dwaucel, untuk mempelajari flora dan fauna di Nusantara. Salah satu penelitian terkenalnya adalah penelitian tentang bunga padma raksasa (Rafflesia arnoldii) yang ia temukan di Sumatra. Raffles juga mempelajari dugong dan anatomi hewan tersebut. Kerja sama dengan ilmuwan dan penelitian ilmiahnya membantu memperluas pengetahuan tentang kekayaan alam di wilayah kolonial Inggris. Dengan demikian, Raffles tidak hanya berperan sebagai seorang administrator kolonial, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan alam di wilayah tersebut. Jaringan pengetahuan yang ia bentuk juga dapat dianggap sebagai bagian dari imperialisme ilmiah yang umum pada masa penjajahan kolonial, di mana pengetahuan alam dan etnografi daerah-daerah jajahan menjadi topik penting bagi ilmuwan dan pemerintah kolonial.[5]
Karya monumental Raffles, The History of Java, yang diterbitkan pada 10 Mei 1817, menuai berbagai pujian di London. Terbitnya buku ini sukses merubah citra Rafles yang tadinya hanya seorang juru tulis rendahan dI EIC menjadi seorang sastrawan dan dianugerahi gelar ksatria (Sir) oleh Raja George IV (yang kala itu masih berstatus putra mahkota). Namun ada sisi gelap di balik kesuksesan ini. Karier Raffles sebagai sastrawan bisa melesat karena menggunakan karya-karya orang lain tanpa seizin mereka. Dirangkum dengan terburu-buru dari berbagai sumber selama empat bulan, antara bulan Oktober 1816 hingga Januari 1817, ketika jabatannya diturunkan dari Letnan-Gubernur Jawa menjadi Letnan-Gubernur Bengkulu (ia tiba di Bengkulu pada 10 Maret 1818), masih tinggal di 23 Barnes Street, London, buku ini masih merupakan sekumpulan karya hasil plagiarisme.[13] Raffles dikenal sebagai penulis buku berjudul "History of Java". Dalam karyanya ini, ia tampak memiliki tujuan untuk mengedepankan sistem pemerintahan yang lebih liberal di wilayah jajahan tersebut.
Beberapa karya yang ia kutip dalam pembuatan buku ini seperti data untuk tabel statistik ekonomi dan demografi diambil dari survei Kolonel Colin Mackenzie (bertugas 1811-1813). Untuk bahan pengamatan tentang sejarah alam ia mengutip karya Dr Thomas Horsefield. Denah-denah dan gambar-gambar candi dan barang antik dari Jawa disediakan oleh Mayor H.C. Cornelius, Kapten Godfrey-Phipps Baker, dan yang lainnya. Untuk sejarah pemerintahan Belanda di Jawa ia berhutang budi kepada mantan koleganya di Dewan Jawa, Herman Wagner Mutinghe.[13]
Selain itu, sejumlah informan pribumi yang terdiri dari kaum bangsawan, Jawa, Arab, dan Madura yang menyumbangkan banyak materi yang unik bagi Raffles seperti tentang sejarah, adat-istiadat, dan sistem hukum Jawa, nyaris tak diakui sama sekali. Dengan demikian kontribusi-kontribusi dari Paku Alam I, Sultan Paku Nataningrat dari Sumenep, dan Bupati Semarang, Kiai Adipati Suroadimenggolo V dalam bidang hukum Jawa hanya dijadikan catatan kaki dalam karya Raffles.[13]
Tidak seperti umumnya seseorang yang berasal dari kelas bawah lalu berhasil menjadi pemimpin yang selalu berusaha untuk mengayomi bawahannya, Raffles kadang menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap nasib karyawannya. Salah satunya adalah sekretaris pribadi Raffles, George Augustus Addison. Sebagai bawahan Raffles, Addison harus bekerja dari subuh hingga larut malam untuk mengurus korespondensi Raffles dari Istana Bogor, Selain itu, ia juga menemani Raffles dalam perjalanan singkat dan kunjungan ke pedalaman. Beberapa bulan sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh tiga, Addison meninggal secara tiba-tiba karena radang paru-paru setelah tur inspeksi kilat ke Selat Sunda bersama Raffles pada awal Januari 1815. Di tengah guyuran hujan deras dalam perjalanan kembali ke Bogor yang membuat seragam Addison basah kuyup dan dia mulai menggigil karena kelelahan. Namun Raffles yang tergesa-gesa tidak mengizinkan sekretarisnya untuk mengganti seragam. Setibanya di istana pada larut malam, Addison menderita demam tinggi dan tidak lama kemudian pejabat muda itu meninggal dunia. Nasib serupa juga dialami oleh ahli botani penemu bunga Rafflesia yang juga merupakan sahabat karib Raffles, Dr Joseph Arnold. Ia meninggal dunia karena demam berdarah dalam perjalanan pulang ke Bengkulu setelah menjelajahi pedalaman Sumatera.[13]
Stamford Raffles adalah seorang individu yang ingin melihat perubahan terjadi. Dia menganggap bahwa Jawa memiliki banyak kesamaan dengan India dan ini mendorongnya untuk menerapkan sistem sewa tanah. Namun, ketika sistem ini tidak memadai untuk mendukung operasional pemerintahan, dia memutuskan untuk menjual tanah yang dianggap tidak produktif oleh masyarakat. Meskipun Raffles melihat tanah tersebut sebagai tidak produktif, pandangan ini berbeda dengan pandangan penduduk pribumi, yang melihat tanah tersebut sebagai cadangan untuk generasi mendatang. Karena tindakan ini, Raffles dianggap sebagai seorang imperialis.[5]
Raffles adalah anggota masyarakat kelas menengah yang dipengaruhi oleh kondisi revolusi. Perbedaan karakteristik antara borjuasi di Prancis dan Inggris menyebabkan perbedaan dalam kesadaran mereka. Borjuasi Inggris biasanya bekerja sebagai pedagang yang mengandalkan inisiatif dan kebebasan berusaha, sedangkan borjuasi Prancis cenderung bekerja sebagai pengacara atau birokrat yang berharap mendapatkan dukungan dari pemerintah. Raffles, sebagai seorang empiris, belajar dari pengalaman sekitarnya sepanjang hidupnya. Dia menyadari bahwa prestasi adalah hal yang harus diperjuangkan dan penting untuk kelangsungan hidup keluarganya setelah kematian ayahnya. Dia selalu memantau perkembangan zaman dengan membaca literatur Prancis yang saat itu menjadi pusat peradaban Eropa. Ketika bekerja di Penang, Batavia, dan Bengkulu, dia aktif memeriksa berbagai aspek tentang wilayah tempat dia tinggal dan berkomunikasi dengan berbagai ahli pengetahuan tentang dunia Timur, seperti John Leyden dan William Marsden. Dia juga rajin berkorespondensi tentang topik-topik ini dan akhirnya menulis manuskripnya sendiri. Kebiasaan ini berlanjut hingga kematiannya.[5]
Namun, kematian Raffles tidak mendapatkan perhatian sebanyak yang diaharapkan, meskipun dia telah berkontribusi signifikan dalam perluasan kekaisaran Inggris di dunia Timur. Orang-orang di kampung halamannya tidak banyak yang tahu tentangnya, bahkan saat kematiannya hanya dihadiri oleh sedikit orang, berbeda dengan saudara sepupunya yang dihadiri oleh ribuan orang. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti kolusi dan nepotisme dalam birokrasi EIC yang dapat memengaruhi karier dan reputasi seseorang. Ada juga teori yang mengaitkan nasib buruk Raffles dan kematian misteriusnya dengan pemindahan Prasasti Sangguran ke Lord Minto di India. Prasasti tersebut dibawa ke Kalkuta pada tahun 1813, dan setelah itu, Raffles dipulangkan ke Inggris pada tahun 1818 dan kemudian meninggal pada tahun 1826. Hingga saat ini, lokasi makamnya di Hendon masih belum pasti. Mungkin ada kaitan dengan kutukan dalam Prasasti Sangguran, yang mengancam sanksi bagi siapa pun yang melanggar dan memindahkan prasasti tersebut, sebagaimana terdapat pada baris 28 hingga 39 dalam prasasti tersebut.[5]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.