Loading AI tools
artikel daftar Wikimedia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Revolusi Jerman (bahasa Jerman: Novemberrevolution) adalah konflik yang terjadi pada akhir Perang Dunia I. Revolusi ini menghasilkan pergantian kekuasaan dari pemerintahan yang bersifat kekaisaran menjadi republik. Gerakan ini terjadi mulai November 1918 hingga pendirian resmi Republik Weimar pada Agustus 1919.
Revolusi Jerman | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari dampak Perang Dunia I dan Revolusi 1917-1923 | |||||||
Para tentara berpose dengan revolusionis yang tertangkap, Mei 1919 | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Republik Bebas Sosialis Jerman
|
| ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
|
|
Revolusi ini dimulai pada akhir Oktober 1918 dengan pemberontakan pelaut di Kiel. Dalam waktu seminggu, dewan pekerja dan tentara sudah berhasil mengambil alih kendali pemerintahan dan lembaga militer di sebagian besar Kekaisaran Jerman. Pada 9 November, Jerman dinyatakan sebagai republik. Menjelang akhir bulan, semua penguasa monarki, termasuk Kaisar Wilhelm II, dipaksa turun tahta. Pada 10 November, Dewan Deputi Rakyat dibentuk oleh anggota dua partai sosialis utama Jerman. Di bawah kepemimpinan de facto Friedrich Ebert dari Partai Sosial Demokrat Mayoritas (MSPD) yang moderat, Dewan ini bertindak sebagai pemerintahan sementara yang memegang kekuasaan kaisar, kanselir, dan legislatif. Sebagian besar perwira militer, administrasi, dan sistem peradilan lama tetap dipertahankan, karena Dewan membutuhkan keahlian mereka untuk menyelesaikan krisis saat itu dan merasa bahwa menangani masalah-masalah tersebut lebih penting daripada mengganti banyak tokoh pemerintahan demi memastikan demokrasi baru ini kuat melawan para penentangnya.
Dewan Deputi Rakyat segera mencabut beberapa pembatasan ketat dari Kekaisaran, seperti kebebasan berekspresi, dan berjanji untuk menerapkan hari kerja delapan jam serta pemilu yang untuk pertama kalinya memberikan hak suara kepada perempuan. Mereka yang berada di sayap kiri revolusi juga ingin menasionalisasi industri-industri penting, mendemokratisasi militer, dan membentuk republik dewan, tetapi MSPD yang mengendalikan sebagian besar dewan pekerja dan tentara menahan gerakan besar menuju tujuan-tujuan tersebut.[1]
Perpecahan antara sosialis moderat dan radikal memuncak menjadi kekerasan pada akhir 1918, dipicu oleh perselisihan terkait gaji pelaut yang menyebabkan 67 orang tewas. Pada 1 Januari 1919, kaum kiri Spartakus mendirikan Partai Komunis Jerman. Beberapa hari kemudian, protes yang terjadi akibat kekerasan di akhir Desember berubah menjadi demonstrasi besar-besaran di Berlin yang dengan cepat memunculkan pemberontakan Spartakus, sebuah upaya untuk membentuk kediktatoran kaum proletar. Pemberontakan ini dihancurkan oleh pasukan pemerintah dan Freikorps dengan korban jiwa antara 150 hingga 200 orang. Setelah pemberontakan, pemimpin Spartakus, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, dibunuh secara tidak sah oleh Freikorps. Hingga musim semi, masih ada upaya kekerasan untuk mendorong revolusi lebih jauh menuju pembentukan republik dewan, serta republik-republik soviet lokal yang berumur pendek, terutama di Bavaria (Munich), Bremen, dan Würzburg. Semua itu juga dipadamkan dengan jumlah korban jiwa yang cukup besar.[2]
Tanggal akhir revolusi umumnya dianggap 11 Agustus 1919, hari ketika Konstitusi Weimar diadopsi. Namun, revolusi tersebut dalam banyak hal tetap dianggap belum selesai. Sejumlah besar penentangnya masih menduduki posisi-posisi kekuasaan, dan revolusi ini gagal menyelesaikan perpecahan di kalangan kiri antara sosialis moderat dan komunis. Akibatnya, Republik Weimar sejak awal menghadapi banyak penentang, baik dari pihak Kiri maupun – dalam tingkat yang lebih besar – dari pihak Kanan. Perpecahan di kalangan Kiri Jerman yang menjadi permanen selama revolusi ini membuat Adolf Hitler terkenal pada tahun 1933 dan menjadi lebih mudah dibandingkan jika pihak Kiri lebih bersatu.[3]
Ketika Perang Dunia I dimulai, Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) adalah satu-satunya partai politik sosialis yang memiliki pengaruh signifikan di Kekaisaran Jerman, sehingga memainkan peran besar dalam revolusi. Partai ini pernah dilarang pada tahun 1878–1890, dan pada tahun 1914 masih memegang teguh prinsip perjuangan kelas. SPD memiliki hubungan internasional dengan partai-partai sosialis dari negara lain, yang semuanya secara ideologis anti-perang. Namun, patriotisme terbukti menjadi kekuatan yang lebih kuat ketika perang pecah, dan SPD mendukung Tanah Air Jerman.
Pada tahun 1917, beberapa anggota di sayap kiri partai menjadi sangat vokal dalam sikap anti-perang mereka, sehingga mereka dikeluarkan dari SPD dan membentuk partai baru, Partai Demokrat Sosial Independen Jerman (USPD) – dari mana Partai Komunis Jerman terpecah tidak lama setelah perang berakhir. SPD dan USPD mencoba bekerja sama selama hari-hari awal revolusi, tetapi tujuan mereka yang berbeda – republik parlementer versus republik soviet – terbukti tidak dapat didamaikan. Setelah kejatuhan monarki Jerman, meningkatnya ketegangan antara ketiga partai sosialis tersebut memicu kekerasan pada tahap kedua revolusi.
Pada tahun 1912, Partai Sosial Demokrat (SPD) sudah tumbuh menjadi partai politik terbesar di Jerman, dengan 35% suara nasional dan 110 kursi di Reichstag Kekaisaran terakhir.[4] Meskipun dominan, partai ini tidak punya peran di pemerintahan kekaisaran.[5] Dukungan resminya pada sosialisme revolusioner ala Marxis bikin partai-partai dari golongan tengah dan kanan curiga. Anggotanya sering dicap sebagai "pekerja tanpa tanah air" (Vaterlandslose Gesellen) karena antagonisme kelas mereka dianggap melampaui batas-batas nasional.[6]
SPD sering hadir di kongres-kongres Internasional Kedua sejak 1889, di mana mereka sepakat untuk mendukung resolusi yang menyerukan aksi bersama para sosialis kalau-kalau perang pecah. Setelah Adipati Franz Ferdinand dibunuh pada Juni 1914, SPD, seperti partai sosialis lainnya di Eropa, mereka mengadakan demo anti-perang selama Krisis Juli yang akhirnya berujung pada pecahnya perang.[7]
Sementara ada euforia menyambut perang di kalangan terpelajar (dikenal sebagai "Semangat 1914"), mayoritas koran SPD sebenarnya sangatlah anti-perang, meski ada beberapa yang mendukung dengan alasan ancaman bahaya dari Kekaisaran Rusia, yang mereka anggap sebagai kekuatan paling reaksioner dan anti-sosialis di Eropa.[8] Kanselir Theobald von Bethmann-Hollweg menolak rencana pejabat militer yang berniat membubarkan SPD saat perang dimulai, mereka malah memanfaatkan sikap anti-Rusia partai ini untuk mendapatkan persetujuan mereka.[9]
Setelah Jerman menyatakan perang ke Rusia tanggal 1 Agustus 1914, 96 deputi SPD, termasuk Friedrich Ebert, setuju untuk mendesain obligasi perang yang diminta pemerintahan kekaisaran. Empat belas deputi, dipimpin oleh wakil pemimpin partai Hugo Haase termasuk Karl Liebknecht, sebenarnya menolak obligasi itu, tapi mereka tetap mengikuti protokol partai dan mayoritas suara setuju.[10] Dukungan ini didasarkan pada keyakinan bahwa Jerman sedang berperang dengan gaya bertahan, yang didorong sama propaganda pemerintah.[11] Haase menjelaskan keputusan partai dengan berjata, "Kita tidak akan meninggalkan Tanah Air di saat-saat sulit!"[12] Banyak anggota SPD ingin menunjukkan rasa patriotisme mereka, sebagian untuk membantah tuduhan kalau mereka itu "pekerja tanpa tanah air."[13]
Karena SPD adalah satu-satunya partai yang posisinya benar-benar diragukan, suara bulat mereka untuk obligasi perang disambut dengan antusias besar sebagai tanda persatuan nasional Jerman. Kaisar juga menyambut gencatan politik (Burgfriedenspolitik) di antara partai-partai di Reichstag, di mana mereka sepakat buat nggak mengkritik cara pemerintah menangani perang dan menyimpan perbedaan pendapat mereka dari pandangan publik. Dia pun bilang, "Aku tidak lagi mengenal partai-partai, aku hanya mengenal orang Jerman!"[14]
Seiring perang yang terus berkepanjangan dan jumlah korban tewas makin banyak, makin banyak anggota SPD yang mulai mempertanyakan dukungan partai untuk kepentingan perang. Ketidakpuasan ini makin bertambah ketika Komando Tertinggi Angkatan Darat (OHL) memperkenalkan Undang-Undang Layanan Tambahan pada Desember 1916. Rencana ini bertujuan mobilisasi penuh tenaga kerja, termasuk para perempuan, dan semacam "militerisasi" hubungan kerja. Kebijakan ini mendapat kritik keras, sampai-sampai OHL harus setuju untuk mengajak serikat buruh dan partai-partai di Reichstag agar mau ikut menerapkan undang-undang itu. Mereka juga menyetujui tuntutan yang bertujuan membuat komite arbitrase, dan menambah kekuatan serikat buruh, seetq mencabut undang-undang itu setelah perang selesai.[15][16]
Setelah Revolusi Februari di Rusia pecah pada 1917, aksi mogok yang pertama kali terorganisir selama masa perang terjadi di pabrik-pabrik senjata Jerman pada Januari 1918. 400.000 pekerja mogok di Berlin dan sekitar sejuta orang di seluruh negeri. Tuntutan utama mereka adalah mengakhiri perang. SPD juga ikut ambil bagian dalam mogok ini bertujuan agar Spartakus tidak mengambil alih kepemimpinan, tapi partisipasi ini membuat hubungan SPD dengan partai-partai lain di Reichstag makin rusak. Aksi mogok akhirnya dihentikan oleh para tentara setelah berlangsung seminggu.[17]
Karena konflik dalam partai yang makin besar, terutama para penentang perang, kepemimpinan SPD di bawah Friedrich Ebert mengusir para Spartakus dari partai pada Januari 1917. Spartakus, yang dulu menjadi sayap kiri ekstrim SPD, bergabung dengan revisionis seperti Eduard Bernstein dan Marxis tengah bernama Karl Kautsky untuk membentuk Partai Sosial Demokrat Independen Jerman (USPD) yang anti-perang di bawah pimpinan Hugo Haase pada 6 April 1917. Sejak saat itu, SPD secara resmi diberikan nama, Partai Demokrat Sosial Mayoritas Jerman (MSPD), walaupun masih sering disebut SPD saja.[18] USPD meminta agar perang segera diakhiri dan Jerman lebih didemokratisasi, tapi mereka tidak punya agenda yang jelas soal kebijakan sosial. Baik USPD maupun Spartakus terus menyebarkan propaganda anti-perang di pabrik-pabrik, terutama di pabrik senjata.[19]
Pada April 1917, pemerintah Jerman memfasilitasi kepulangan Vladimir Lenin ke Rusia dari pengasingannya di Swiss, dengan harapan dia bisa melemahkan rezim tsar dan cara mereka menjalani perang.[20] Setelah Revolusi Oktober 1917 yang menempatkan Lenin dan Bolshevik di puncak kekuasaan, banyak orang di Rusia dan Jerman yang berharap bahwa Rusia Soviet akan membantu menggugah revolusi komunis di Jerman sebagai balasan atas bantuan mereka. Bagi kaum kiri ekstrem di Jerman, kemenangan Lenin memberi harapan untuk sukses mereka sendiri, sementara bagi sosialis moderat, ditambah dengan kelas menengah dan atas, hal ini jadi sumber ketakutan bahwa perang saudara berdarah seperti yang terjadi di Rusia juga bisa saja pecah di Jerman.[21]
Kepemimpinan SPD yang moderat pun mulai menjauh dari sikap resmi partai sebagai sosialis revolusioner. Otto Braun menjelaskan posisi SPD dalam artikel berjudul "Bolshevik dan Kami" (Die Bolschewiki und Wir) di surat kabar partai Vorwärts pada 15 Februari 1918: "Sosialisme tidak bisa dibangun di atas bayonet dan senapan mesin. Jika ingin bertahan, ia harus direalisasikan dengan cara-cara demokratis. ... Oleh karena itu, kita harus menarik garis pemisah yang tegas dan terlihat antara kita dan Bolshevik."[22][23]
Pada 3 Maret 1918, pemerintah Soviet yang baru dibentuk menandatangani Perjanjian Brest-Litovsk dengan Jerman untuk mengakhiri keterlibatan Rusia dalam perang. Perjanjian ini bisa dibilang mengandung syarat yang lebih berat bagi Rusia dibandingkan dengan syarat yang akan diajukan Perjanjian Versailles terhadap Jerman nanti.[24]
Pada 29 September 1918, Komando Tertinggi Angkatan Darat memberi tahu Kaisar Wilhelm II dan Kanselir Georg von Hertling bahwa situasi militer sudah tidak mungkin diperbaiki lagi, mengingat musuh memiliki keunggulan signifikan dalam hal jumlah pasukan dan peralatan. Erich Ludendorff sebagai komandan militer menyarankan agar segera mengajukan permintaan gencatan senjata kepada poros Sekutu. Dengan harapan mendapatkan syarat perdamaian yang lebih menguntungkan, Ludendorff juga merekomendasikan menerima permintaan Woodrow Wilson, agar pemerintahan kekaisaran dapat didemokratisasi. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi reputasi Angkatan Darat Kekaisaran dengan menimpakan tanggung jawab atas kekalahan dan konsekuensi-konsekuensinya kepada partai-partai demokratis di Reichstag.[25][26]
Dalam sindiran yang ditujukan kepada para pekerja yang sempat melakukan aksi mogok di pabrik senjata, Sosial Demokrat yang mendukung Resolusi Perdamaian Reichstag pada Juli 1917, serta kaum Spartakus radikal yang menginginkan kediktatoran proletariat, Ludendorff berkata kepada perwira stafnya pada 1 Oktober:
“Aku telah meminta Yang Mulia untuk melibatkan orang-orang yang paling bertanggung jawab atas keadaan kita saat ini ke dalam pemerintahan. Biar mereka yang mengurus perdamaian yang harus dibuat. Mereka harus menelan sup yang telah mereka hidangkan kepada kita!”[27]
Pernyataan itu menjadi cikal bakal dari mitos "tikaman dari belakang" (Dolchstoßlegende), di mana sosialis revolusioner dan politisi republik dituduh mengkhianati tentara yang sebenarnya belum kalah, dan mengubah kemenangan yang hampir pasti menjadi kekalahan.[28]
Meskipun terkejut dengan laporan Ludendorff dan kabar tentang kekalahan yang tak terelakkan, mayoritas partai di Reichstag, terutama SPD, bersedia mengambil alih tanggung jawab pemerintahan. Hertling menolak usulan untuk memperkenalkan sistem parlementer dan akhirnya mengundurkan diri. Pada 3 Oktober, Kaisar Wilhelm II menunjuk Pangeran Maximilian dari Baden sebagai kanselir kekaisaran yang baru. Pangeran Max dikenal sebagai sosok yang liberal sekaligus bagian dari keluarga kerajaan. Kebanyakan anggota kabinetnya adalah orang-orang independen, tapi ada juga dua anggota dari SPD. Keesokan harinya, pemerintahan baru mengajukan tawaran gencatan senjata kepada Sekutu, seperti yang Ludendorff tekankan sebelumnya, dan pada tanggal 5, masyarakat Jerman diberi tahu tentang situasi suram yang sedang dihadapi.[29][30] Sampai saat itu, propaganda pemerintah dan media telah membuat rakyat percaya bahwa perang masih bisa dimenangkan. Kabar kekalahan yang mendekat mengejutkan banyak orang, menimbulkan "kepahitan dan keputusasaan yang menyakitkan", hal ini membuka jalan bagi mereka ingin segera menghentikan perang.
Selama bulan Oktober, Wilson merespons permintaan gencatan senjata dengan tiga catatan diplomatik. Sebagai syarat awal negosiasi, dia menuntut Jerman mundur dari semua wilayah yang diduduki, menghentikan aktivitas kapal selam, dan secara tidak langsung menuntut agar Kaisar turun takhta.[31] Setelah catatan ketiga pada 24 Oktober, yang menekankan bahaya terhadap perdamaian internasional akibat kekuasaan "Raja Prusia" dan "otoritas militer Kekaisaran",[32] Erich Ludendorff juga mengundurkan diri dan digantikan oleh Wilhelm Groener sebagai Kepala Staf Umum.[33]
Pada 28 Oktober, Reichstag mengesahkan reformasi konstitusi yang mengubah Jerman menjadi monarki parlementer. Kanselir dan menteri-menterinya kini bergantung pada dukungan mayoritas parlemen, bukan lagi pada kaisar.[34] Perjanjian perdamaian dan deklarasi perang pun harus mendapat persetujuan dari Reichstag. Karena kanselir juga bertanggung jawab atas tindakan kaisar sesuai konstitusi, hak militer kaisar kini menjadi tanggung jawab kanselir dan berada di bawah kontrol parlemen.[35] Bagi kaum Sosial Demokrat, Konstitusi ini memenuhi semua tujuan konstitusional penting partai.[36] Ebert menganggap pembentukan pemerintahan Baden sebagai titik balik demokrasi Jerman. Karena Kaisar secara sukarela menyerahkan kekuasaan, dia merasa revolusi tidak lagi diperlukan.[37]
Pada 5 November, Sekutu setuju untuk memulai negosiasi gencatan senjata. Setelah catatan ketiga, banyak tentara mulai berharap perang segera berakhir dan sangat merindukan pulang. Mereka sudah kehilangan semangat bertarung lebih lama lagi, dan desersi semakin meningkat.[38]
Sosiolog Max Weber mengatakan kalau runtuhnya Kekaisaran Jerman gara-gara standar tradisional Jerman "digerogoti" selama perang. Ekspansi pasar gelap juga menunjukkan kegagalan ekonomi dan moneter dari sistem Wilhelmine. Karena Kaisar Wilhelm adalah simbol dari sistem yang bikin rakyat susah bertahun-tahun di rumah dan hampir kalah perang, makin banyak yang yakin kalau dia harus turun takhta. Sejarawan Eberhard Kolb melihat adanya "kelumpuhan kemauan" secara besar-besaran dalam kemampuan negara untuk menjaga ketertiban, sementara rakyat ingin perubahan politik dan sosial secara menyeluruh.[39]
Waktu permintaan gencatan senjata datang, rakyat Jerman yang sudah sangat lelah dengan perang merasa seperti disambar petir. Mulai saat itu, mereka hanya ingin kedamaian. Empat Belas Pasal-nya Wilson membuat orang-orang percaya kalau Jerman bakal mendapatkan perdamaian yang adil kalau negaranya menjadi demokratis, lalu keinginan untuk berdamai berujung ke tuntutan demokrasi.[40] Kelompok revolusioner yang tadinya lemah dan tidak terorganisir mulai berani, bahkan kelas menengah mulai takut kalau-kalau reformasi konstitusi tidak cukup cepat untuk mengakhiri perang tanpa Kaisar turun tahta.[41]
Revolusi Jerman dimulai gara-gara pemberontakan para pelaut di pelabuhan Laut Utara, Kiel dan Wilhelmshaven, pada akhir Oktober 1918. Sementara pasukan dan rakyat Jerman yang sudah letih menunggu perang selesai, Komando Angkatan Laut Kekaisaran di Kiel, di bawah pimpinan Laksamana Franz von Hipper dan Laksamana Reinhard Scheer, yang secara diam-diam telah membuat rencana untuk mengirim satu armada mereka ke pertempuran terakhir melawan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di Laut Utara bagian selatan.[42]
Perintah pelayaran yang dikeluarkan pada 24 Oktober 1918 dan persiapan untuk berlayar membuat para pelaut yang terlibat marah. Mereka tidak ada niat mengorbankan nyawa mereka, apalagi saat perang hampir selesai, dan mereka yakin kalau serangan angkatan laut di momen sepenting ini bakal merusak kredibilitas pemerintahan baru yang lagi sibuk mecari solusi gencatan senjata dengan pihak Sekutu.[43]
Pemberontakan dimulai dari beberapa kapal yang berlabuh di lepas pantai Wilhelmshaven. Menghadapi pembangkangan para pelaut, komando angkatan laut akhirnya membatalkan serangan malam 29–30 Oktober, mereka menangkap ratusan pelaut yang memberontak, dan menyuruh kapal-kapal mereka balik ke pelabuhan. Pada 3 November, polisi dan tentara menghadang para pelaut yang demo menuju penjara di Kiel, tempat para pemberontak ditahan. Tentara mulai menembak dan membunuh setidaknya sembilan orang. Keesokan harinya, pekerja di Kiel mengumumkan mogok massal sebagai dukungan untuk para pendemo, dan pelaut dari barak-barak di Wik, sebelah utara Kiel, turut bergabung, jumlah mereka sama banyaknya dengan tentara yang dikirim untuk memadamkan aksi protes.[44]
Situasi yang semakin memanas ini membuat Laksamana Wilhelm Souchon, komandan angkatan laut di Kiel, melepaskan pelaut yang ditahan dan mengajak para pendemo mengirim delegasi guna melangsungkan pertemuan dengan dia dan dua wakil pemerintah Baden yang baru saja tiba dari Berlin. Para pelaut punya daftar tuntutan yang terdiri dari empat belas poin, termasuk pengurangan hukuman militer yang keras dan kebebasan penuh untuk berbicara dalam pers di Kekaisaran. Salah satu wakil pemerintah, Gustav Noske dari partai SPD, berhasil memenangkan situasi dengan janji amnesti, tapi saat itu Kiel sudah dikuasai oleh dewan pekerja dan tentara, serta kelompok pelaut yang telah menyebar ke kota-kota terdekat guna memberitahukan aksi pemberontakan. Dalam hitungan hari, revolusi sudah meluas ke bagian barat Jerman.
Pada 7 November, semangat revolusi sudah menguasai semua kota besar di wilayah pesisir – Lübeck, Bremen, Hamburg – dan menyebar ke Braunschweig, Cologne, bahkan sampai ke selatan Munich. Di Munich, Kurt Eisner dari Partai Demokrat Sosial Independen Jerman (USPD) yang radikal, terpilih sebagai presiden Dewan Pekerja, Petani, dan Prajurit Bavaria, lalu pada 8 November ia mendeklarasikan Negara Bagian Bavaria. Raja Ludwig III beserta keluarganya melarikan diri ke Austria, di mana ia kemudian secara resmi membebaskan semua pegawai negeri dan personel militer dari sumpah setia kepada dirinya melalui Deklarasi Anif pada 12 November, yang pada dasarnya menandakan abdikasinya dari takhta Wangsa Wittelsbach.[45]
Menjelang akhir bulan, semua penguasa dinasti di negara-negara bagian Jerman lainnya juga menyerahkan takhta mereka tanpa pertumpahan darah. Hampir tidak ada perlawanan terhadap pembentukan dewan-dewan ini. Para prajurit biasanya memilih rekan yang paling mereka hormati untuk menjadi pemimpin, sementara para pekerja memilih anggota komite eksekutif lokal dari SPD atau USPD.[46] Bersama dukungan warga, mereka membebaskan para tahanan politik dan menduduki balai kota, fasilitas militer, serta stasiun kereta. Otoritas militer menyerah atau kabur, dan pejabat sipil menyadari bahwa mereka sekarang berada di bawah kendali dewan-dewan, bukan lagi militer, namun tetap menjalankan tugas mereka.
Di pabrik-pabrik, tidak banyak perubahan selain hilangnya semangat disiplin militer yang sudah berlaku selama masa perang. Properti pribadi tetap aman, tidak ada yang disentuh. Max Weber yang terlibat dalam dewan pekerja di Heidelberg, terkejut karena kebanyakan anggota dewan justru terdiri dari kaum liberal Jerman yang moderat. Dewan-dewan ini mengambil alih distribusi makanan, kepolisian, serta penyediaan tempat tinggal dan logistik untuk prajurit-prajurit garis depan yang perlahan-lahan kembali ke rumah.[47]
Dewan pekerja dan prajurit ini sebagian besar diisi oleh anggota SPD dan USPD. Program mereka menuntut diakhirinya perang dan menghapuskan negara monarki otoriter. Selain keluarga-keluarga dinasti, mereka hanya mencabut kekuasaan dan hak istimewa komando militer. Hampir tidak ada penyitaan properti atau pendudukan pabrik. Administrasi sipil kekaisaran dan jabatan-jabatan seperti polisi, pemerintahan kota, serta pengadilan, tidak dibatasi atau diganggu. Agar bisa menciptakan eksekutif yang mendukung revolusi dan masa depan pemerintahan baru, dewan-dewan ini untuk sementara waktu membiarkan pejabat pemerintah tetap berada di posisinya, namun mengambil alih pengawasan mereka dari komando militer yang telah ditempatkan selama perang.
Perlu dicatat, sentimen revolusi hampir tidak menyentuh wilayah timur Jerman, kecuali beberapa kasus kerusuhan di Breslau, Silesia, dan Königsberg di Prusia Timur.
Friedrich Ebert, pemimpin SPD, sepakat dengan Kanselir Pangeran Maximilian dari Bayern bahwa revolusi sosial harus dicegah dan ketertiban harus dijaga apapun caranya. Dalam restrukturisasi negara, Ebert ingin merangkul partai-partai kelas menengah yang sudah bekerja sama dengan SPD di Reichstag pada tahun 1917, serta elite-elite lama Kekaisaran Jerman. Ia ingin menghindari radikalisasi revolusi seperti yang terjadi di Rusia dan khawatir kalau suplai makanan yang sudah genting bisa benar-benar hancur, yang ujung-ujungnya bisa membuat pemerintahan jatuh ke tangan para revolusioner yang belum berpengalaman. Ebert yakin kalau SPD bisa menjalankan rencana reformasi mereka di masa depan karena mereka punya suara mayoritas di parlemen.
Ebert berusaha keras untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan lama dan berniat menyelamatkan monarki. Ia berharap dengan kepergian Kaisar dan pendirian pemerintahan sementara, yaitu monarki konstitusional yang baru saja didirikan pada 28 Oktober bisa diselamatkan. SPD pun mendesak Wilhelm untuk turun tahta pada 7 November. Menurut catatan Kanselir Maximillian, Ebert pernah mengatakan padanya, "Jika Kaisar tidak turun tahta, revolusi sosial pasti terjadi. Tapi aku tidak mau itu terjadi, aku benci namanya revolusi seperti halnya aku membenci dosa."[48]
Sementara itu, Wilhelm II yang masih berada di markasnya di Spa, sempat mempertimbangkan untuk kembali ke Jerman memimpin pasukan dan meredam kerusuhan di Berlin. Meskipun Jenderal Groener sudah bilang padanya kalau tentara tidak lagi mendukungnya, Wilhelm tetap tidak mau turun tahta.[49] Kanselir bahkan berencana pergi ke Spa untuk meyakinkan Wilhelm secara langsung, tapi rencana itu gagal karena situasi di Berlin semakin memburuk dengan cepat.[50]
Alih-alih pergi ke Spa untuk bertemu Kaisar secara langsung, Kanselir Maximilian meneleponnya pada pagi hari tanggal 9 November dan mencoba membujuknya agar menyerahkan takhta kepada seorang wali yang nantinya secara konstitusional akan menunjuk Ebert sebagai kanselir. Namun, usahanya gagal. Tanpa izin dari Kaisar, Baden lantas mengumumkan kepada publik bahwa Kaisar dan Putra Mahkota telah melepaskan takhta Jerman dan Prusia.[51] Tak lama setelah itu, setelah rapat singkat dengan kabinet, Maximillian menyerahkan jabatan kanselir kepada Friedrich Ebert, meskipun langkah ini tidak sesuai dengan konstitusi.[52] Ebert pun langsung mengeluarkan pernyataan tentang pembentukan "pemerintahan rakyat" yang tugas utamanya adalah mengakhiri perang secepat mungkin dan memastikan pasokan makanan yang cukup bagi rakyat Jerman, yang saat itu masih menderita akibat blokade Sekutu. Pernyataan itu diakhiri dengan kalimat, "Tinggalkan jalanan! Jaga ketertiban dan kedamaian!"[53]
Namun berita tentang pengunduran diri Kaisar yang datang terlalu dini itu tak berpengaruh apa-apa pada para demonstran yang sudah memadati jalanan Berlin. Tidak ada yang memperhatikan seruan-seruan publik tersebut. Saat sedang makan siang di gedung Reichstag, wakil ketua SPD, Philipp Scheidemann, mendengar kabar bahwa Karl Liebknecht dari Liga Spartakus berencana untuk mendeklarasikan republik sosialis. Scheidemann tidak ingin membiarkan Liebknecht dan Spartakus mengambil tindakan befitu, ia lalu segera melangkah ke jendela gedung Reichstag dan mendeklarasikan republik di hadapan kerumunan besar demonstran yang berkumpul di sana. Ebert, yang yakin bahwa keputusan tentang bentuk masa depan pemerintahan Jerman harus diserahkan pada majelis nasional yang berisi wakil rakyat yang terpilih secara demokratis, sangat marah pada Scheidemann karena pengumuman spontan tersebut.[54] Beberapa jam kemudian, di Berlin Lustgarten, Liebknecht mendeklarasikan republik sosialis, yang kembali dia tegaskan dari balkon Istana Berlin kepada kerumunan yang berkumpul di sekitar pukul 4 sore.[55]
Kaisar memang telah mangkat, tetapi bentuk pemerintahan yang baru masih menjadi perdebatan.
Setelah monarki tumbang akibat tekanan dari dewan pekerja dan tentara, para pemimpin partai sosialis di Berlin harus segera membentuk pemerintahan baru dan menangani berbagai masalah besar yang dihadapi Jerman. Dari awal, SPD yang moderat memimpin karena mereka didukung oleh banyak pekerja dan juga oleh birokrasi kekaisaran, meski dengan rasa enggan. Ketika Ebert bersedia menggunakan militer dan kelompok Freikorps untuk melawan kelompok sosialis kiri yang menentang, ketegangan langsung muncul antara SPD dan USPD. Ini akhirnya berujung pada bentrokan jalanan dengan kelompok Spartakus dan komunis.
Ebert berusaha menenangkan suasana revolusi dan memenuhi tuntutan demonstran pada 9 November yang menginginkan persatuan antara partai buruh. Dia menawarkan USPD kesempatan untuk berpartisipasi secara setara dalam pemerintahan, bahkan bersedia menerima Karl Liebknecht sebagai menteri. Namun, USPD, atas desakan Liebknecht, meminta agar perwakilan serikat pekerja dan tentara yang terpilih memiliki kendali penuh atas pemerintah, baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. SPD menolak permintaan ini, dan negosiasi pun berhenti pada hari itu.[56]
Sekitar pukul 8 malam, sekelompok 100 pekerja yang dikenal sebagai Pengawas Revolusioner dari pabrik-pabrik besar di Berlin menduduki gedung Reichstag. Dipimpin oleh Richard Müller dan Emil Barth, mereka membentuk semacam parlemen revolusi. Kebanyakan dari mereka adalah pemimpin dalam pemogokan kerja awal tahun 1918. Mereka tidak percaya pada kepemimpinan SPD dan sebenarnya telah merencanakan kudeta pada 11 November, meski belum siap dengan kejadian revolusi yang dimulai di Kiel. Untuk mengambil alih inisiatif dari Ebert, mereka memutuskan untuk mengadakan pemilihan pada keesokan harinya. Setiap pabrik di Berlin akan memilih dewan pekerja, dan setiap resimen militer akan memilih dewan tentara yang malamnya akan membentuk pemerintahan revolusioner dari anggota SPD dan USPD. Pemerintahan ini dirancang untuk mengambil alih peran Ebert sebagai kanselir.[57]
Pada malam 9 November, pimpinan SPD mendengar rencana pemilihan ini. Karena tidak bisa mencegahnya, Otto Wels menggunakan pengaruh partai untuk memengaruhi pemungutan suara di dewan tentara, dan mayoritas mereka akhirnya mendukung SPD. Pagi harinya, sudah jelas bahwa SPD akan mendapat dukungan mayoritas dalam pertemuan dewan malam itu.[58]
Ketua USPD, Hugo Haase, kembali dari Kiel pada pagi 10 November dan berhasil mencapai mufakat dalam negosiasi dengan SPD terkait pemerintahan baru. Pemerintahan revolusioner ini, yang dinamai Dewan Deputi Rakyat (Rat der Volksbeauftragten) sesuai permintaan USPD, memberikan beberapa tuntutan USPD. Dewan ini terdiri dari tiga wakil SPD (Ebert, Scheidemann, dan Otto Landsberg) serta tiga wakil USPD (Haase, Wilhelm Dittmann, dan Emil Barth). Dewan pekerja dan tentara akan diberi kekuasaan politik, namun tidak dengan kendali penuh atas pemerintah. Rencana pembentukan majelis nasional baru akan dibahas nanti, setelah situasi revolusi sudah stabil.[59]
Di pertemuan dewan-dewan yang baru terpilih yang digelar sore hari di Circus Busch, hampir semua dewan tentara dan sebagian besar wakil pekerja mendukung pihak SPD. Setelah anggota Dewan Deputi Rakyat diratifikasi, Emil Barth mengusulkan dibentuknya komite aksi untuk mengawasi mereka dan mengajukan daftar nama yang disusun oleh Revolutionary Stewards. Usulan ini mengejutkan pimpinan SPD dan memicu perdebatan sengit di dalam pertemuan. Ebert berhasil mendorong terbentuknya "Dewan Eksekutif Dewan Pekerja dan Tentara Berlin Raya" (Vollzugsrat des Arbeiter-und Soldatenrates Grossberlin) yang terdiri dari tujuh anggota SPD, tujuh dari USPD, dan empat belas wakil tentara independen. Dewan ini bertugas mengawasi Deputi Rakyat sampai terbentuknya majelis nasional, dengan Richard Müller dari USPD dan Brutus Molkenbuhr yang mewakili pihak tentara sebagai ketuanya.[60]
Di malam hari yang sama, panggilan telepon antara Ebert dan Wilhelm Groener, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, menghasilkan perjanjian rahasia tak resmi antara mereka yang dikenal sebagai Pakta Ebert-Groener. Sebagai imbalan atas jaminan dukungan militer dari Groener "demi kebaikan negara", Ebert berjanji tidak akan mengubah struktur hierarki dan komando militer. Ebert pun tidak berusaha untuk mendemokratisasi militer yang otoriter itu. Seperti yang Groener tulis dalam memoarnya: "Elemen terbaik dan terkuat dari Prusianisme lama berhasil diselamatkan untuk Jerman yang baru."[61]
Di tengah kekacauan hari itu, penerimaan pemerintah Ebert terhadap syarat gencatan senjata dari Sekutu yang begitu keras hampir tidak mendapat perhatian, padahal permintaan itu datang lagi dari Komando Tertinggi Angkatan Darat. Pada 11 November, wakil Partai Tengah, Matthias Erzberger, menandatangani perjanjian gencatan senjata di Compiègne, Prancis, atas nama pemerintah di Berlin, dan Perang Dunia I pun berakhir.[62]
Pada 12 November, Dewan Deputi Rakyat mengeluarkan program pemerintah mereka dalam deklarasi "Untuk Rakyat Jerman". Mereka membatalkan keadaan darurat dan sensor, memberikan amnesti untuk semua tahanan politik, menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan pers, serta membatalkan aturan yang mengatur hubungan antara majikan dan pelayan. Mereka juga menjanjikan pemilu langsung, setara, dan terbuka untuk semua kalangan laki-laki dan perempuan di atas 20 tahun, hari kerja delapan jam, dan peningkatan tunjangan buat pengangguran, asuransi sosial, dan kompensasi pekerja.[63]
Secara teori, Dewan Eksekutif Dewan Pekerja dan Tentara Berlin Raya adalah dewan tertinggi di rezim revolusioner, jadi Richard Müller sebenernya seperti kepala negara Republik Sosialis Jerman yang baru dideklarasikan.[64] Tapi, dalam praktiknya, inisiatif Dewan Eksekutif ini terhalang sama konflik kekuasaan internal. Selama delapan minggu kekuasaan ganda antara Dewan Eksekutif dan pemerintah yang dipimpin Ebert, pemerintahan Ebert selalu menjadi yang dominan. Meskipun Haase secara resmi adalah wakil ketua Dewan Deputi Rakyat dengan hak yang sama, administrasi tingkat atas hampir selalu lebih milih kerja bareng Ebert yang lebih moderat dan SPD.[65]
Pemerintah melihat tugas utamanya adalah menjalankan syarat-syarat dari Perjanjian Versailles, demobilisasi, menyediakan makanan dan bahan bakar untuk negara yang masih di bawah blokade Sekutu, dan menjaga keamanan dalam negeri serta luar negeri dari separatis di Provinsi Rhine dan para pemberontak Polandia di Timur. Demi memastikan demokrasi baru ini kuat, pemerintah sebenernya harus membuat pemutusan total dari institusi lama, tapi SPD merasa krisis pasca-perang harus dihadapi terlebih dahulu. Karena itu, mereka harus bergantung pada struktur dan keahlian yang sudah ada di pemerintah maupun di swasta. Meskipun setelah 9 November, tidak semuanya runtuh. Administrasi tetap jalan. Pegawai negeri dari era kekaisaran tetap kerja di bawah pengawasan dewan, tapi posisi mereka tak berubah, dan mereka tetap kerja seperti biasa. Sistem hukum dan pendidikan hampir tak terpengaruh oleh revolusi, dan setelah Pakta Ebert-Groener, Komando Tertinggi Angkatan Darat malah menjadi mitra Dewan Deputi Rakyat. Jenderal-jenderal dan perwira tinggi lainnya tetap di posisi mereka. Pemerintah Ebert butuh OHL yang dapat mengurangi masalah besar demobilisasi, tapi Dewan Deputi Rakyat tak nyoba membatasi kekuasaan mereka ke tugas yang paling penting. Tak ada usaha untuk mengambil alih tanah bangsawan di Elbia Timur (yang dulu banyak menghasilkan perwira) atau pemilik dengan kekuasaan tanah dari kalangan borjuis.[66]
SPD dan USPD kepepet segera bertindak. Saat kedua partai ini membuat aliansi, mereka memutuskan untuk menjalankan pemerintahan di luar konstitusi kekaisaran. Mereka memberikan instruksi agar Reichstag tak kumpul lagi dan memerintahkan Dewan Federal negara-negara bagian cuma boleh menjalankan fungsi administratifnya, bukan kekuasaan legislatifnya. Dewan ini pada dasarnya mengambil alih peran mantan kaisar, kanselir, Bundesrat, dan Reichstag. Dewan mulai kerja sesuai aturan pada 12 November.[67] Aturan ini melarang intervensi administratif tanpa izin dari anggota dewan. Instruksi ke sekretaris negara harus dikeluarkan secara kolektif dan hanya sebagai panduan, bukan sebagai kasus-kasus individu.[68]
Lewat berbagai dewan, kaum sosialis bisa membangun basis kuat di level lokal. Tapi walaupun mereka merasa sudah bertindak demi kepentingan tatanan baru, para pimpinan SPD melihat mereka sebagai ancaman pada transisi kekuasaan damai yang mereka pikir sudah terjadi.[69] Bersama partai-partai kelas menengah, mereka mendorong agar pemilu ke majelis nasional segera diadakan buat menentukan bentuk negara baru pasca perang. Sikap ini membuat SPD cepat-cepat bentrok dengan banyak revolusioner. USPD masih ingin menunda pemilu sampai pencapaian revolusi benar-benar terkonsolidasi.[70]
Walaupun Ebert berhasil menyelamatkan posisi penting SPD dan mengehindari revolusi sosial, dia tak puas sama hasilnya. Ia merasa kalau dewan-dewan itu, termasuk Dewan Eksekutif, malah mengehalangi transisi mulus dari monarki ke sistem pemerintahan baru. Seluruh pimpinan SPD malah lebih curiga ke dewan-dewan ini ketimbang elit lama di militer dan administrasi. Di sisi lain, mereka juga melebih-lebihkan loyalitas elit lama ke republik baru. Ebert tak bisa lagi bertindak sebagai kanselir di depan OHL atau rekan-rekannya dari kelas menengah di kabinet dan Reichstag, tapi dia hanya dianggap sebagai ketua pemerintahan revolusioner. Meskipun dia mengambil alih revolusi demi menghentikan pertengkaran, kaum konservatif tetap melihat dia sebagai pengkhianat.[71]
Atas desakan perwakilan USPD, Dewan Deputi Rakyat membentuk "Komite Nasionalisasi" yang isinya termasuk para ahli teori Marxis seperti Karl Kautsky dan Rudolf Hilferding, ketua Serikat Pekerja Tambang Sosialis Otto Hue, dan beberapa ekonom terkenal. Komite ini harus memeriksa industri mana yang "layak" untuk dinasionalisasi dan mulai persiapan nasionalisasi industri batu bara. Para anggotanya menjabat sampai 7 April 1919 tapi tak menghasilkan hasil yang nyata.[72] "Badan Swakelola" hanya dipasang di tambang batu bara dan potas. Dari situ muncullah yang sekarang kita kenal sebagai Dewan Pekerja Jerman modern, atau Komite Pabrik.[73]
Sama seperti para moderat SPD, serikat pekerja juga takut pada dewan pekerja, karena pendukung dewan itu melihat mereka dapat mengganti serikat pekerja. Untuk menghindari hal ini, pemimpin serikat pekerja Carl Legien (SPD) bertemu dengan perwakilan industri berat yang dipimpin Hugo Stinnes di Berlin dari tanggal 9 sampai 12 November.[74] Lalu pada 15 November, mereka menandatangani Perjanjian Stinnes–Legien, yang memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Pengusaha mengakui serikat pekerja sebagai wakil resmi tenaga kerja dan menyetujui hak negosiasi upah. Kesepakatan ini juga memperkenalkan hari kerja selama 8 jam, membolehkan pembentukan dewan pekerja dan komite arbitrase di perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan, dan menjamin kalau tentara yang balik dari perang punya hak buat mendapatkan kembali pekerjaan mereka sebelum perang.[75]
Dengan kesepakatan ini, dewan pekerja dapat beberapa tuntutan lama mereka, tapi dengan mengakui perusahaan swasta, mereka malah membuat usaha nasionalisasi alat produksi menjadi lebih susah.
Dewan Eksekutif mengeluarkan panggil untuk mengadakan rapat dewan pekerja dan tentara dari seluruh negeri yang diadakan di Berlin mulai 16 Desember. Saat Kongres Dewan Pekerja dan Tentara bertemu di aula Dewan Perwakilan Rakyat Prusia, mayoritas anggotanya pendukung SPD. Bahkan Karl Liebknecht atau Rosa Luxemburg tidak terpilih untuk menghadiri kongres, hal itu membuat Liga Spartakus tak mempunyai pengaruh. Pada 19 Desember, Dewan melakukan pemungutan untuk menolak sistem dewan menjadi dasar konstitusi baru dan hasil suaranya 344 berbanding 98. Mereka malah mendukung keputusan pemerintah untuk segera mengadakan pemilu untuk majelis nasional konstituen yang bakal memutuskan sistem negara masa depan.[76]
Kongres lalu menyetujui proposal SPD yang memberikan kekuasaan legislatif dan eksekutif ke Dewan Deputi Rakyat sampai majelis nasional membuat keputusan final tentang bentuk pemerintahannya. Pengawasan Dewan dialihkan dari Dewan Eksekutif Berlin ke Dewan Pusat Republik Sosialis Jerman yang baru. Setelah Kongres menyetujui definisi pengawasan parlementer dari SPD, USPD melakukan boikot terhadap pemilu Dewan Pusat, dan hasilnya Dewan itu hanya diisi anggota SPD saja.[77]
Dengan pengawasan dari Dewan Eksekutif Berlin, Deputi Rakyat bakal punya wewenang komando militer untuk mengakhiri militerisme. Kongres mencapai mufakat untuk demokratisasi militer seperti yang dijelaskan di Poin-Poin Hamburg: tak akan ada lagi tanda pangkat, tak boleh membawa senjata kalau tak lagi tugas, tentara memilih sendiri perwiranya, dewan tentara bertanggung jawab buat mendisiplinkan para tentara, dan tentara tetap akan diganti oleh tentara rakyat. Komando Angkatan Darat nentang keras Poin-Poin Hamburg ini, dan akhirnya tak ada jejak dari poin-poin itu di Konstitusi Weimar.[78]
Pada 6 Desember 1918, ada kemungkinan percobaan kudeta dari sekelompok mahasiswa bersenjata dan tentara, termasuk beberapa anggota Divisi Angkatan Laut, datang ke kantor Kanselir dan meminta Friedrich Ebert untuk menerima jabatan presiden dengan kekuasaan seperti diktator.[79] Tapi Ebert menolaknya dengan hati-hati. Di waktu yang hampir bersamaan – meskipun ada beberapa sumber yang mengatakan keterlambatan demonstran yang sama – sekelompok tentara sempat menangkap anggota Dewan Eksekutif. Lalu, beberapa jam kemudian, dalam insiden yang tak ada hubungannya, anggota Resimen Garde-Füsilier, yang bertanggung jawabnya mengamankan wilayah pemerintahan Berlin, menembak para demonstrasi Spartakus yang sudah disetujui. Akibatnya, 16 orang tewas dan 12 lainnya luka parah.[80] Sampai sekarang belum jelas siapa yang memberikan perintah untuk menembak atau siapa yang ada di balik percobaan kudeta itu. Sejarawan Heinrich August Winkler menyalahkan "perwira dan pejabat tinggi" yang katanya sudah merencanakan semua ini agar Ebert membubarkan dewan pekerja dan tentara dengan dukungan militer.[81]
Ebert bersama Komando Tinggi Angkatan Darat (OHL) sudah setuju kalau pasukan yang balik dari garis depan bakal parade di Berlin pada 10 Desember. Ebert menyambut mereka dengan pidato yang membara, termasuk kata-kata yang akhirnya memunculkan mitos "Jerman dikhianati dari belakang": "Tak ada musuh yang mengalahkan kalian." Groener ingin menggunakan pasukan itu unuk melucuti senjata warga sipil Berlin dan mengusir Spartakus dari sana, tapi kebanyakan tentara hanya ingin pulang dan ngerayain Natal bersama keluarga mereka. Jadi, setelah parade selesai, mereka menyebar begitu saja ke kota. Ketidakpedulian mereka untuk melanjutkan pertempuran membuat harapan Groener pupus. Ia tak bisa menuntun kesuksesan pasukan di dalam negeri dan membuat OHL menjadi kekuatan yang diakui dalam memulihkan ketertiban.[82]
Dari kejadian itu, potensi kekerasan dan bahaya kudeta dari kalangan kanan mulai kelihatan. Rosa Luxemburg, lewat koran Spartakus, menuntut agar para pekerja Berlin membubarkan tentara yang balik secara damai. Ia berkeinginan agar dewan tentara tunduk pada parlemen revolusioner dan tentaranya di dididik ulang.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.