Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Astronomi Mesir bermula pada Zaman Prasejarah, dalam Zaman Prawangsa. Susunan batu-batu yang membentuk lingkaran di Nabta Playa dari milenium ke-5 SM diduga ditata menurut hasil perhitungan astronomi. Pada Zaman Sejarah, dalam Kurun Waktu Wangsa-Wangsa yang bermula pada milenium ke-3 SM, Kalender Mesir dengan 365 hari dalam setahun sudah dipergunakan, dan pengamatan bintang-bintang berperan penting dalam prakiraan banjir tahunan Sungai Nil. Piramida-piramida Mesir dengan cermat disejajarkan dengan Bintang Kutub, dan kuil Amun-Re di Karnak disejajarkan dengan titik terbit Matahari di cakrawala pada pertengahan musim dingin. Astronomi turut dilibatkan dalam penentuan hari-hari raya keagamaan dan pembagian waktu di malam hari, dan para ahli nujum kuil pada khususnya sangat piawai menilik bintang-bintang dan mengamati kesejajaran, perubahan tampilan, dan saat terbitnya Matahari, Bulan, dan planet-planet.
Pada Zaman Wangsa Ptolemaios, ilmu astronomi Mesir bercampur dengan ilmu astronomi Yunani dan Babel. Kota Aleksandria di wilayah Mesir Hilir menjadi pusat kegiatan ilmiah bagi seluruh dunia peradaban Helenistis. Pada masa penjajahan Romawi, Mesir menghasilkan astronom terbesar kala itu, Klaúdios Ptolemaîos (90-168 M). Karya-karyanya dalam bidang astronomi, termasuk Almagestum, menjadi kitab-kitab yang paling berpengaruh dalam sejarah astronomi dunia Barat. Sesudah ditaklukkan kaum Muslim, Mesir didominasi budaya Arab dan astronomi Islam. Astronom Ibnu Yunus (ca. 950-1009) mengamati kedudukan Matahari selama bertahun-tahun dengan menggunakan sebuah astrolab raksasa, dan hasil-hasil pengamatan gerhana yang dilakukannya masih dirujuk berabad-abad kemudian. Pada 1006, Ali Ibnu Ridwan mengamati SN 1006, sebuah supernova yang dianggap sebagai peristiwa perbintangan yang terlihat paling terang dalam catatan sejarah, dan meninggalkan uraian paling rinci mengenainya. Pada abad ke-14, Najm al-Din al-Misri menulis sebuah risalah yang merinci lebih dari 100 macam peranti ilmiah dan astronomi, banyak di antaranya adalah hasil ciptaannya sendiri. Pada abad ke-20, Farouk El-Baz dari Mesir bekerja di NASA dan terlibat dalam pendaratan-pendaratan di bulan melalui program Apollo. Ia ikut membantu menyusun rencana eksplorasi ilmiah di bulan.[2]
Astronomi Mesir bermula pada Zaman Prasejarah. Keberadaan lingkaran batu di Nabta Playa, Mesir Hulu, diperkirakan berasal dari milenium ke-5 SM membuktikan betapa pentingnya astronomi bagi kehidupan beragama Mesir Kuno bahkan pada Zaman Prasejarah. Pengamatan ortus heliacus, yakni penampakan perdana kasatmata dari bintang-bintang saat fajar menyingsing, telah dipraktikkan oleh orang Mesir Kuno, khususnya untuk memprakirakan waktu terjadinya banjir tahunan Sungai Nil. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika daur 365 hari setahun sudah digunakan dalam pembuatan kalender Mesir sedari awal Zaman Sejarah Mesir. rasi-rasi bintang yang dimiliki bangsa Mesir pun tampaknya merupakan hasil reka cipta pribumi Mesir sendiri.
Ketepatan orientasi piramida-piramida Mesir menjadi bukti abadi tingginya taraf kemahiran teknis dalam pengamatan kubah langit yang telah dicapai bangsa Mesir pada milenium ke-3 SM. Telah diketahui bahwa piramida-piramida sengaja dibangun menghadap Bintang Kutub, yang oleh karena presesi ekuinoks, kala itu adalah Bintang Thuban, sebuah bintang redup dalam rasi bintang Draco.[3] Evaluasi atas situs kuil Amun-Re di Karnak, yang mencermati pula perubahan oblikuitas bumi dari masa ke masa, telah menyingkap bahwa kuil agung itu telah sengaja dibangun menghadap ke titik terbitnya Matahari pada pertengahan musim dingin.[4] Panjang serambi kuil yang terjangkau pancaran sinar matahari akan berkurang pada waktu-waktu lain sepanjang tahun.
Astronomi juga bermanfaat bagi kehidupan beragama bangsa Mesir, yaitu untuk menetapkan hari-hari raya, dan untuk menetapkan pembagian waktu di malam hari. Beberapa kitab milik kuil mengabadikan pencatatan peredaran dan perubahan tampilan Matahari, Bulan, dan bintang-bintang. Terbitnya Bintang Sirius (bahasa Mesir: Sopdet, bahasa Yunani Kuno: Sothis) pada permulaan banjir menjadi penting untuk ditetapkan dalam kalender tahunan. Salah satu naskah astronomi Mesir yang terpenting adalah Kitab Nut, yang berasal dari Zaman Kerajaan Pertengahan atau lebih awal lagi.
Semenjak Zaman Wangsa IX, bangsa Mesir Kuno telah menyusun 'tabel-tabel bintang diagonal', yang lazimnya dilukis pada permukaan sebelah dalam dari tutup peti mati kayu.[5] Kebiasaan ini bertahan sampai dengan Zaman Wangsa XII.[6] 'Tabel-tabel bintang diagonal' atau peta-peta bintang ini dikenal pula sebagai 'jam-jam bintang diagonal'; di masa lampau tabel-tabel ini juga dikenal sebagai 'kalender-kalender bintang', atau 'jam-jam dekan'.[7] Peta-peta bintang yang berisi gambar dewa-dewi Mesir, dekan-dekan, rasi-rasi bintang, serta hasil-hasil pengamatan bintang ini juga dilukis pada langit-langit makam dan kuil.
Dari tabel-tabel bintang di langit-langit makam Ramesses VI dan makam Ramesses IX, tampak bahwa orang menentukan waktu di malam hari dengan cara duduk di lantai menghadap si ahli nujum pada posisi tertentu sehingga garis pengamatan Bintang Kutub melintas tepat di tengah-tengah puncak kepalanya. Pada hari-hari berbeda dalam setahun tiap jam ditentukan oleh saat sebuah bintang tetap mencapai atau hampir mencapai titik kulminasinya pada hari itu, dan letak bintang-bintang pada jam itu disajikan dalam tabel-tabel seperti di tengah-tengah, pada mata kiri, pada pundak kanan, dst. Menurut naskah-naskah Mesir Kuno, penentuan arah utara ketika mendirikan atau membangun kembali kuil-kuil dilakukan dengan menggunakan sarana yang sama, dan dapat disimpulkan bahwa tabel ini merupakan tabel yang lazim digunakan dalam pengamatan astronomi. Di tangan orang-orang yang teliti, tabel ini dapat menghasilkan perhitungan dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Teori tatanan benda-benda langit yang menyatakan bahwa Bumi berotasi pada porosnya, dan bahwa planet-planet dalam, yakni Merkurius dan Venus, berevolusi mengelilingi Matahari yang pada gilirannya berevolusi mengelilingi Bumi, dinisbatkan oleh Macrobius Ambrosius Theodosius (floruit 395–423 M) kepada bangsa Mesir Kuno. Ia menamakannya "Tatanan Mesir," dan mengemukakan bahwa "teori ini tidak luput dari jangkauan kepiawaian bangsa Mesir," sekalipun tidak terdapat bukti lain bahwa teori ini diketahui di Mesir Kuno.[8][9]
Pujangga Mesir di Zaman Romawi Kuno, Klemens dari Aleksandria, memaparkan beberapa gagasan tentang arti penting pengamatan astronomi bagi upacara-upacara keagamaan:
Dan sesudah Biduan majulah Juru Nujum (ὡροσκόπος), dengan membawa di tangannya horologion (ὡρολόγιον) dan foiniks (φοίνιξ), lambang-lambang nujum. Ia harus hafal seluruh isi kitab-kitab nujum Hermes, yang ada empat gulungan banyaknya. Dari kitab-kitab ini, satu kitab berisi tatanan bintang-bintang tetap yang kasatmata; satu kitab berisi kedudukan-kedudukan matahari dan bulan dan lima planet; satu kitab berisi kesejajaran-kesejajaran dan perubahan-perubahan tampilan matahari dan bulan; dan satu kitab berisi waktu-waktu terbitnya.[10]
Barang-barang bawaan juru nujum (horologion dan foiniks) adalah tali sipat dan peranti pengamatan. Benda-benda ini telah dikenali sebagai dua objek yang tersimpan di Museum Berlin; sebuah pegangan tempat menggantung tali sipat, dan sebatang pelepah palma yang pangkalnya disayat sebagai tempat melihat. Pelepah palma dipegang di dekat mata, sedangkan tali sipat dipegang dengan tangan lain, mungkin sepanjang lengan. Kitab-kitab hermetis yang disebut-sebut Klemens adalah naskah-naskah teologi Mesir, yang kemungkinan besar tidak ada sangkut pautnya dengan Hermetisisme Helenistis.[11]
Sesudah Mesir ditaklukkan oleh Aleksander Agung dan Kerajaan Wangsa Ptolemaios didirikan, tradisi astronomi pribumi Mesir berbaur dengan dengan tradisi astronomi Yunani dan tradisi astronomi Babilonia. Kota Aleksandria di kawasan Mesir Hilir menjadi pusat kegiatan ilmiah bagi seluruh dunia yang berperadaban Helenistis. Astronom Aleksandria terbesar pada kala itu adalah seorang Yunani, Eratosthenes (ca. 276-195 SM), yang menghitung ukuran Bumi, dan menghasilkan suatu prakiraan panjang keliling bola Bumi.
Setelah ditaklukkan oleh bangsa Romawi, Mesir sekali lagi tampil sebagai pusat kegiatan ilmiah bagi seluruh wilayah Imperium Romawi. Astronom terbesar kala itu adalah Klaúdios Ptolemaîos (90-168 M), seorang Mesir yang sudah terhelenisasi dari daerah Tebais di kawasan Mesir Hulu. Ia bekerja di Aleksandria dan menulis risalah-risalah mengenai astronomi, termasuk Almagestum (dari bahasa Arab: Kitab Al-Majasti), Hypotheseis Tōn Planōmenōn (Hipotesis Pergerakan Benda-Benda langit), Tetrabiblos (Empat Naskah, bahasa Latin: Quadripartitum, Empat Bab), Procheiroi Kanones (Patokan-Patokan Yang Bermanfaat), (Prasasti Kanopos), dan karya-karya tulis kecil lainnya. Almagestum adalah salah satu kitab yang paling berpengaruh dalam sejarah astronomi Barat. Dalam kitab ini, Klaúdios Ptolemaîos menjelaskan bagaimana cara memprakirakan perilaku planet-planet dengan memperkenalkan sebuah perhitungan matematis baru, ekuanta.
Segelintir matematikawan pada penghujung Zaman Kuno menulis hasil-hasil kajian mereka atas Almagestum, termasuk Pappos dari Aleksandria dan Theon dari Aleksandria beserta putrinya Hypatia. Astronomi warisan Ptolemaios dijadikan rujukan resmi ilmu astronomi Eropa Barat dan dunia Islam pada Zaman Pertengahan sampai tergeser oleh kajian-kajian Maragheh, heliosentris dan Tycho pada abad ke-16.
Sesudah ditaklukkan oleh kaum Muslim, Mesir didominasi oleh budaya Arab. Mesir tunduk di bawah pemerintahan para Khalifah Rasyidin, Bani Umayyah, dan Bani Abbas sampai dengan abad ke-10, tatkala kaum Al-Fātimiyyūn mendirikan Khilafah sendiri yang berpusat di kota Kairo. Mesir kembali tampil sebagai salah satu pusat kegiatan ilmiah, bersaing dengan Baghdad untuk menjadi kekuatan intelektual terkemuka di dunia Islam pada Zaman Pertengahan. Pada abad ke-13, kota Kairo akhirnya menggeser kedudukan Baghdad sebagai pusat intelektual dunia Islam.
Ibnu Yunus (ca. 950-1009) mengamati lebih dari 10.000 letak perlintasan Matahari selama bertahun-tahun dengan menggunakan sebuah astrolab besar bergaris tengah hampir 1,4 meter. Pengamatan gerhana yang dilakukannya masih dirujuk berabad-abad kemudian oleh Simon Newcomb dalam penelitian pergerakan Bulan, sementara hasil-hasil pengamatannya yang lain menjadi sumber inspirasi bagi topik Oblikuitas Bumi dan Pertidaksamaan Yupiter dan Saturnus dalam karya tulis ilmiah Pierre-Simon Laplace.[12] Pada 1006, Ali Ibnu Ridwan mengamati supernova 1006, yang dianggap sebagai peristiwa perbintangan paling terang dalam catatan sejarah, dan meninggalkan uraian rinci mengenai penampakan temporer bintang itu. Ia mencatat bahwa benda langit itu besarnya dua sampai tiga kali lipat ukuran Venus dan terangnya kira-kira seperempat dari intensitas cahaya bulan, dan bahwa bintang itu tampak rendah di cakrawala selatan.[13]
Astrolab Kuadran diciptakan di Mesir pada abad ke-11 atau ke-12, dan kelak dikenal di Eropa dengan nama "Quadrans Vetus" (Kuadran Lama).[14] Pada abad ke-14 di Mesir, Najm al-Din al-Misri (ca. 1325) menulis sebuah risalah berisi rincian lebih dari 100 macam peranti ilmiah dan astronomi, banyak di antaranya yang ia ciptakan sendiri.[15]
Pada abad ke-20, Farouk El-Baz dari Mesir bekerja untuk NASA dan dilibatkan dalam pendaratan di bulan yang pertama kali dengan program Apollo. Dalam program itu ia menjabat sebagai sekretaris Panitia Pemilihan Situs Pendaratan, Kepala Pemeriksa Pengamatan Visual dan Fotografi, ketua Kelompok Pelatihan Astronaut, dan membantu penyusunan rencana eksplorasi ilmiah di bulan, termasuk pemilihan situs-situs pendaratan misi-misi Apollo dan pelatihan para astronaut di bidang pengamatan dan fotografi bulan.[2]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.