From Wikipedia, the free encyclopedia
Fatahillah, Fadhillah Khan, Falatehan (ejaan orang Portugis)[2]:433, Tubagus Pase atau Pangeran Jayakarta I adalah laksamana Cirebon dan tokoh penyebar Islam yang dikenal karena memimpin penaklukan Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mengganti namanya menjadi Jayakarta. Penaklukkan ini adalah salah satu misinya untuk menyebarkan Islam ke wilayah Kerajaan Sunda di Jawa Barat dan membantai orang sunda di sunda kalapa serta mencegah bangsa Portugis membentuk benteng disana.[3]
Asy-Syaikh Fadhillah Khan Fatahillah | |
---|---|
Sultan Cirebon ke-2 {{{order}}} | |
Dalam jawatan 1568–1570 | |
Didahului oleh | Sunan Gunung Jati |
Digantikan oleh | Panembahan Ratu I |
Peribadi | |
Kelahiran | Fadhillah Khan Tidak diketahui Samudera Pasai[a] |
Kematian | 1570 M |
Agama | Islam |
Anak | |
ParentRalat ungkapan: Aksara tanda baca "[" tidak dikenali |
|
Era | Penyebaran Islam di Nusantara, Kolonialisme Portugis di Indonesia |
Mazhab akidah | Sunni |
Dikenali dengan |
|
Pemimpin Islam | |
Pendahulu | Maulana Muhammad Al-Maghribi |
Pengganti | Maulana Yusuf |
Nama Falatehan pertama kali disebutkan oleh João de Barros dalam seri bukunya yang berjudul Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia). Ia melaporkan bahwa salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan muslim di bawah pimpinan Fatahillah dan membunuh semua laskar Portugis di kapal tersebut.[4]
Barros mencatat bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Fatahillah pergi ke Mekkah untuk mempelajari agama Islam, dan setelah dua atau tiga tahun lalu kembali ke Pasai. Karena masih diduduki oleh Portugal, Fatahillah melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa, ke Jepara, dan mengabdikan diri kepada sultan Demak di sana. Merasa puas atas pengabdiannya, Raja memberikan seorang adiknya kepada Fatahillah untuk diperistri.[5] Graaf dan Pigeaud menganggap bahwa raja Jepara yang dimaksud adalah Raja Demak ketika itu, Sultan Trenggana.[6]:112-3
Setelah mengabdi pada Sultan Trenggana, Fatahillah lalu berangkat ke Cirebon untuk mempersiapkan angkatan laut Demak dalam perang melawan kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin prabu Surawisesa. Selama di Cirebon, ia menikah dengan putri Sunan Gunung Jati bernama Ratu Ayu.[7] Ia juga mengemban peran untuk mengislamkan daerah pesisir utara seperti Banten, dan diberi dukungan 2.000 orang prajurit dan pembantu oleh sultan. Dengan dukungan pasukan muslim itulah Fatahillah menaklukkan pelabuhan Sunda (Kalapa dan Banten).[8] Adolf Heuken berpendapat bahwa peristiwa terdamparnya armada Duarte Coelho di pantai Kalapa terjadi pada akhir November 1526,[9]:66, 76 jadi penaklukan Fatahillah atas Kalapa mungkin terjadi pada pertengahan bulan November itu.
Sejarawan seperti Hoesein Djajadiningrat,[10] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud,[6]:111-13,[11]:11, Slamet Muljana,[12]:101-2, 223-34 dan Adolf Heuken[13]:96-7 berpendapat bahwa Fatahillah dan mertuanya Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Setelah mengabdikan diri ke Demak, pada sekitar 1524–1525 Fatahillah dengan sokongan sekitar 1500 prajurit menyerbu dan mengalahkan Banten, pelabuhan penting Kerajaan Sunda yang beragama Hindu, serta menguasainya sebagai raja bawahan Sultan Demak. Tahun-tahun berikutnya (1526–1527) Fatahillah menyerang dan menundukkan Sunda Kalapa, serta mencegah tentara Portugis yang hendak mendirikan benteng di wilayah Sunda. Setelah berkuasa hampir 30 tahun, pada sekitar 1552 Fatahillah meninggalkan Banten menuju Cirebon; dan menyerahkan kekuasaannya atas Banten kepada puteranya, Maulana Hasanuddin. Fatahillah kemudian tinggal sebagai penguasa dan pemuka agama di Cirebon sampai dengan wafatnya, hingga kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.[6]:111-15
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).
Menurut Saleh Danasasmita, Fatahillah masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya, Zainul Alam Barakat, adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat, India.
Ketika Sunan Gunung Jati wafat di tahun 1568, Fatahillah menjadi sultan Kesultanan Cirebon dimana ia berperan sebagai kepala pemerintahan di Pakungwati selama 2 tahun antara tahun 1568 sampai ia wafat di tahun 1570.[14] Setelah ia wafat, Fatahillah dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati di komplek pemakaman Astana Gunung Sembung yang sekarang terletak di Kec. Gunungjati, Kab Cirebon.[15] Takhta Kesultanan Cirebon selanjutnya diwariskan kepada Zainul Arifin, cicit Sunan Gunung Jati yang bergelar Panembahan Ratu.[16]
Maulana Fatahillah bin Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Zainal Alam Barakat bin Jamaludin Al-Husaini bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Al-Amir Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi Shahib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani bin Muhammad Shohibus Saumah bin Alawi bin Ubaidillah Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib.
Untuk menghormati jasa-jasanya dalam mempertahankan Sunda Kelapa dari cengkraman Portugis, Pemerintah Republik Indonesia menjadikan ia sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.[perlu rujukan]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.