Loading AI tools
Pahlawan Revolusi Kemerdekaan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Mr. Wilopo (21 Oktober 1909 – 20 Januari 1981 ) adalah Perdana Menteri Indonesia ke-7 yang menjabat pada 3 April 1952 - 30 April 1953 dan memimpin kabinet yang dikenal dengan nama Kabinet Wilopo. Kabinetnya pun pada akhirnya jatuh —sebagai akibat Peristiwa 17 Oktober 1952, karena ketidakpuasan kalangan militer terhadap debat berkepanjangan dalam parlemen sehingga tokoh-tokoh Angkatan Darat memaksa Presiden membubarkan kabinetnya.[1]
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Januari 2023) |
Wilopo | |
---|---|
Perdana Menteri Indonesia Ke-7 | |
Masa jabatan 1 April 1952 – 30 Juli 1953 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Wilopo |
Wakil PM | Prawoto Mangkusasmito |
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Ke-6 | |
Masa jabatan 1968–1978 | |
Presiden | Soeharto |
Menteri Pertahanan Indonesia Ke-6 | |
Masa jabatan 2 Juni 1953 – 30 Juli 1953 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Luar Negeri Indonesia Ke-5 | |
Masa jabatan 3 April 1952 – 29 April 1952 | |
Presiden | Soekarno |
Menteri Perburuhan Indonesia | |
Masa jabatan 20 Desember 1949 – 6 September 1950 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Mohammad Hatta |
Pendahulu Kusnan | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Purworejo, Keresidenan Kedu, Hindia Belanda | 21 Oktober 1909
Meninggal | 20 Januari 1981 71) Jakarta, Indonesia | (umur
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | PNI |
Profesi | Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
Setelah menamatkan HIS di Purworejo, Wilopo kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO di kota Magelang dengan bantuan seorang paman, Dokter Soekadi adik kandung ayahnya.[2] Kemudian Wilopo mengenyam pendidikan tingkat Algemene Middelbare School (AMS) B di Yogyakarta pada tahun 1927 dengan menerima beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda.[3] Ia sempat menjadi anggota Jong Java dan ditawari masuk Pemuda Indonesia tetapi Ia menahan diri untuk tidak aktif karena diancam oleh direktur sekolah dan takut beasiswanya dicabut oleh pemerintah kolonial.[3]
Setelah lulus dari AMS B, ia sempat melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool (TH Bandung) pada tahun 1931, namun tidak selesai karena kesibukannya mengajar di Taman Siswa di kota Sukabumi [2]. Wilopo lalu pindah ke Rechtshogeschool (RHS) te Batavia untuk kuliah jurusan hukum pada tahun 1933.[3][4] Di Jakarta, Wilopo terus memperdalam kegiatan politiknya. Sembari belajar hukum di kampusnya, ia juga aktif dalam partai dan beberapa organisasi pemuda di Jakarta. Dirinya juga bekerja sebagai pengajar di beberapa sekolah dan menjadi penulis untuk beberapa surat kabar Belanda. Banyaknya kesibukan menyebabkan dia kurang sempat mempelajari buku-buku hukum. Hal itu menyebabkan studi Wilopo yang harusnya dapat diselesaikan selama lima tahun, tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut. Beruntung pada tahun 1939 terjadi keadaan darurat menghadapi invasi Jepang ke Hindia Belanda, sehingga Dekan RHS memutuskan bahwa seluruh mahasiswa yang sudah mencapai D-II dianggap sebagai sarjana.[3]
Amir Syarifudin dilantik menjadi Perdana Menteri (PM) untuk kedua kalinya pada tanggal 3 Juli 1947. Wilopo kemudian diberi wewenang untuk mendampingi S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhuan. Sebagai Menteri Muda Perburuhan, Wilopo telah menyusun Undang-Undang Perburuhan dan Undang-Undang Kecelakaan, mengingat sejak pecahnya perang, bantuan yang diberikan pada buruh maupun korban belum memiliki kekuatan hukum yang tetap [2]. Dirinya kemudian tetap dipercaya sebagai Menteri Perburuhan saat Mohammad Hatta menjadi PM di era Republik Indonesia Serikat yang singkat.
Memasuki era parlementer, Wilopo yang merupakan anggota PNI diangkat menjadi Menteri Perekonomian pada tanggal 16 Juli 1951 dalam Kabinet Sukiman [5]. Sebagai Menteri Perekonomian dalam kabinet kedua ini, Wilopo dihadapkan pada masalah inflasi. Meningkatnya harga beras membuat masyarakat semakin gelisah. Dalam menghadapi hal tersebut Wilopo sebagai menteri perekonomian, mengumpulkan wakil-wakil organisasi pedagang dan pemilik penggilingan. Mereka dimintai bantuan untuk berusaha bersama pemerintah menurunkan kembali harga beras. Setelah mendengar saran dan keluhan mereka, Wilopo lantas memerintahkan Jendral Kementrian Perekonomian, Mohammad Sediono untuk mengumumkan ke seluruh Indonesia bahwa mulai tengah malam pada waktu yang telah ditentukan, tiap persediaan beras lebih dari dua bal tidak boleh dipindahkan tanpa izin, selain itu semua penggilingan beras ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah. Selain itu juga direncanakan selama dua tahun mendatang impor beras mencapai 700.000 ton. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut dalam waktu singkat harga beras menurun dari Rp 3,50 menjadi Rp2,50 per liternya.
Kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 Februari 1952. Presiden Soekarno lantas menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur untuk membentuk kabinet yang baru pada tanggal 19 Maret 1952. Keputusan ini disahkan cera resmi sesuai Keputusan Presiden no. 71 tahun 1952. Sebelum menunjuk Wilopo, Presiden telah berunding dengan Mr. Tambunan, selaku Ketua Parlemen dan parlemen menyatakan mendukung keputusan tersebut. Pada hari Kamis, 3 April 1952, Presiden melantik Kabinet Wilopo secara resmi. Dengan dilantiknya kabinet yang baru menandai berakhirnya masa kekosongan pemerintahan yang telah berlangsung selama 40 hari.
Program kerja yang diusung kabinet ini juga tidak jauh berbeda dengan program kerja dua kabinet sebelumnya. Wilopo hanya melengkapi dan menyempurnakan beberapa hal yang dianggap penting untuk dimasukan dalam program kerjanya, hal ini mengingat bahwa Indonesia yang baru saja merdeka saat itu memiliki masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan oleh satu periode kabinet saja [6].
Salah satu program kerja organisasi negara yang dikerjakan pemerintah adalah persiapan pemilu. Diadakannya pemilu diharapkan mampu membawa ketenangan politik dan kestabilan pemerintahan, mengingat jatuh bangunnya kabinet yang tidak mampu bertahan lama dalam pemerintahan. Pada masa Kabinet Wilopo inilah lahir Rancangan Undang Undang Pemilu. Kepada Parlemen, pemerintah meminta prioritas pertama kepada pembahasaan RUU ini. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 1 April 1953 Kabinet bersama Parlemen telah berhasil menyelesaikan UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu yang disahkan tanggal 4 April 1953. UU ini mengatur tentang pemilihan anggota konstituante diikuti anggota DPR. Pemilu akhirnya dilaksanakan dua tahun kemudian (Pemilu 1955).
Hal lain yang disorot dalam program kerja ini adalah otonomi daerah. Indonesia telah memiliki UU no. 2 tahun 1948 menyangkut otonomi daerah, namun permasalahan otonomi daerah ini tidak hanya sebatas permasalahan undang-undang dan peraturan saja. Masalah perkembangan politik di berbagai daerah seperti tenaga ahli, sumber keuangan dan sebagainya juga menjadi perhatian dalam menyelesaikan permasalahan otonomi daerah ini. Untuk menambah kemajuan daerah, rencana penyelengaraan pembangunan bagian-bagian luar Jawa akan didahulukan oleh pemerintah. Proyek-proyek lokal yang sudah ada, seperti proyek pembuatan jalan juga akan mendapatkan perhatian lebih, baik mengenai biaya maupun pelaksanaannya. Salah satu RUU tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan juga disiapkan oleh Kabinet Wilopo.
Masalah kemakmuran rakyat menjadi salah satu sorotan utama dalam program kerja kabinet Wilopo mengingat ketidakstabilan ekonomi dan politik yang terjadi sangat berimbas pada masyarakat. Wilopo sebagai Perdana Menteri juga melakukan banyak kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial dan lainnya guna meningkatkan kemakmuran rakyat. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Kabinet Wilopo antara lain kenaikan gaji pokok pegawai negeri sebesar 20% dan harus mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Mei. Meskipun negara sedang mengalami krisis, kenaikan gaji ini tetap diberikan namun pembagian jatah beras kepada pegawai dihentikan dan hadiah lebaran juga tidak diberikan. Pemerintah juga memonopoli peredaran beras di Indonesia karena menurunnya hasil panen dan mahalnya biaya impor beras dari luar negeri. Instansi yang mengurus soal perberasan tersebut diberi nama Badan Urusan Bahan Makanan (UBM) atau sekarang bernama Badan Urusan Logistik (BULOG).
Perdana Menteri Wilopo juga menyiapkan beberapa kebijakan guna meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Kebijakan tersebut diantaranya menurunkan pajak ekspor dan menghapus sistem “sertifikat” yang sebelumnya diadakan untuk menaikkan pendapatan negara dengan mengorbankan barang ekspor bernilai tinggi. Jumlah barang ekspor juga ditingkatkan dengan cara memulai pembangunan pabrik-pabrik di bidang industri seperti Pabrik Semen di Gresik atau Pabrik Pemintalan di Cilacap untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di lain pihak, kebijakan impor juga di revisi. Contohnya dengan cara menaikkan pajak terhadap barang-barang non esential dan mewajibkan para importer membayar uang muka sebesar 40 persen. Hal ini dapat menjadi alat penyaring barang-barang import yang masuk ke Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kabinet ternyata tidak benar-benar mampu menyelamatkan keadaan Indonesia dari krisis ekonomi. Indonesia harus menghadapi keadaan pahit yakni jatuhnya harga komoditi ekspor di pasaran dunia semasa perang Korea. Pajak ekspor yang sebelumnya merupakan sumber pendapatan mengalami penurunan mencapai jumlah Rp 2,610 milyar, sehingga kabinet Wilopo mengalami defisit sebesar Rp 4 milyar. Pemerintah harus mengeluarkan tindakan drastis dalam pengeluaran negara. Salah satunya adalah menghentikan kenaikan pendapatan para menteri dan pejabat tinggi lainnya. Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 1952-1953 diajukan ke DPR. Usul UU Anggaran Negara Tahun 1952/1953 diajukan secara berangsur mulai tanggal 13 Desember 1952 sampai 17 September 1953. Pengajuan RAPBN ini juga dikarenakan defisit anggaran belanja tahun 1952 yang mencapai 4 milyar rupiah. Akhirnya dengan menggunakan hak Budgetnya, parlemen ikut menggariskan kebijaksanaan yang akan ditempuh pemerintah.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarakan Kabinet Wilopo terhitung sukses karena kebijakan-kebijakan tersebut dapat menyelamatkan bangsa dari krisis pangan dan keadaan ekonomi yang serba tidak menentu pada saat itu. Menurut Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, bahwa keberhasilan yang terpenting dari kabinet ini adalah dibidang ekonomi. Menurunya tindakan-tindakan yang diambil Wilopo untuk menghadapi keseimbangan neraca pembayaran adalah sangat baik.4
Salah satu aspek penting untuk dapat membuat atau melakukan kebijakan dari pemerintah adalah terjaminnya keamanan dan ketertiban. Sinergi antara pemerintah dan pihak militer harusnya menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan gangguan keamanan yang masih sering terjadi saat itu. Namun sayangnya, bidang militer jugalah yang nantinya menjadi salah satu penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo saat demonstrasi oleh pihak militer pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Meskipun demikian pemerintah tetap mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Kebijakan untuk menghapus SOB (Staat van Oorlog en Beleg), suatu peraturan keadaan darurat perang yang dibuat oleh pemerintahan Belanda pada masa Hindia Belanda, juga dilakukan menyusul tidak adanya masalah yang terlalu berat karena antara parlemen dan pemerintah mnghendaki penghapusan keadaan SOB tersebut. Pemerintah tidak akan mencabut status SOB tersebut sekaligus melainkan secara bertahap. Hal ini dilakukan karena dalam menghapuskan status SOB tersebut diperlukan persiapan yang panjang, seperti harus ada ketentuan bahwa pihak-pihak sipil dan polisi telah siap untuk menerima pemindahan tanggung jawab. Semua tawanan SOB akan dibebaskan kecuali mereka yang terbukti bersalah. Mengingat dalam penangkapan tahanan SOB sering dilakukan tanpa bukti yang kuat. Pemerintah juga akan membuat UU yang baru mengenai keadaan darurat perang sebagai pengganti peraturan SOB yang merupakan warisan dari Hindia Belanda. SOB sendiri dilaksanakan oleh Pemerintahan Natsir untuk meredam protes dan pemogokan yang dilancarkan PKI serta kelompok pendukungnya seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) dan SOBSI.
Tugas lain bagi Wilopo dan pemerintahnnya yang sangat berat adalah menangani masalah angkatan perang yang pada waktu itu masih sangat heterogen. Pemerintah terus mengusahakan menggabungkan beragam kesatuan angkatan perang dalam sebuah kesatuan yang homogen yang diperlukan oleh negara yang modern. Selain itu karena desakan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi anggaran dana dalam Kementerian Pertahanan. Namun, karena gangguan keamanan yang terjadi seperti Pemberontakan Andi Aziz dan munculnya Republik Maluku Selatan membuat pemerintah sulit melakukan demobilisasi dan peremajaan Angkatan Perang.
Program Kabinet Wilopo dalam bidang perburuhan dititik beratkan pada usaha melengkapi UU Perburuhan. UU ini bertujuan meningkatkan derajat buruh guna menjamin proses Produksi Nasional. Kemakmuran buruh dapat memengaruhi produktivitas buruh. Produktivitas buruh yang baik dapat meningkatkan produksi nasional dan memperbesar income guna memperbaiki kesejahteraan rakyat. Politik upah yang digunakan pemerintah juga tidak hanya melihat kebutuhan para buruh saja. Tindakan-tindakan di lapangan seperti jaminan sosial, perumahan buruh, tanggungan-tanggungan kecelakaan sakit, pensiunan dan lain sebagainya harus melihat kekuatan dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, pemerintah juga harus memperhatikan keadaan ekonomi negara agar tidak sampai terjadi inflasi.
Dalam menangani masalah buruh yang sering melakukan pemogokan, pemerintah menggunakan UU Darurat no. 16 tahun 1951. UU ini mengganti Peraturan Pelarangan Mogok dari pihak Militer yang sebelumnya digunakan. Namun, pada masa Kabinet Wilopo, tidak banyak terjadi pemogokan seperti sebelumnya. Sejak awal, pemerintahan Wilopo sudah membina hubungan baik dengan pihak buruh. Contohnya adalah sikap serikat-serikat buruh yang membantu pemerintahan dengan mengakhiri pomogokan buruh di lingkungan Pekerjaan Umum di Jawa Tengah. Selain itu, pihak buruh dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang berjumlah 30.000 orang juga membatalkan pemogokan.
Kebijakan lain yang dilakukan kabinet Wilopo adalah pemindahan tenaga kerja dari Jawa menuju wilayah perkebunan di luar pulau Jawa. Menurut Instruksi Menteri Perburuhan 8 Januari 1951 No. 90/51, pemerintah akan mengakomodasi dan menjamin semua kebutuhan buruh termasuk keselamatan dan penghidupan buruh yang dipindahkan.
Bidang pendidikan menjadi salah satu sektor yang dikerjakan Kabinet Wilopo. Pemerintah sadar bahwa pendidikan menjadi pondasi terpenting dalam pembangunan bangsa ke depannya. Usaha-usaha yang dilakukan Wilopo adalah meningkatkan kualitas dan kesejahteraan para pengajar di sekolah. Kemendikbud memperjuangkan kedudukan para guru sekolah daerah agar setingkat dengan pegawai negeri dalam tingkatan yang sama. Di samping itu, guru partikelir (swasta) juga diberi kesempatan dikirim ke luar negeri untuk mengikuti program "visitorship", "fellowship" dan “scholarship". Pendirian sekolah-sekolah partikelir juga dilegalkan dalam pasal 13 UU No. 4 Tahun 1950. Sedangkan mengenai jaminan pemerintah terhadap hak-hak sekolah partikelir tersebut ditetapkan dalam pasal 14. Hal ini menjadi salah satu langkah pemerintah untuk mendukung inisiatif masyarakat dalam memberikan sumbangan langsung terhadap pendidkan. Semua UU menyangkut pendidikan masih menggunakan UUD Sementara tahun 1950 sehingga bantuan dana terhadap institusi pendidikan baik milik negara atau swasta masih sangat minim.
Masalah besar lain yang dihadapi adalah tingginya angka buta huruf di Indonesia. Pemerintah bersama masyarakat ikut melakukan program dalam upaya meningkatkan angka melek huruf di Indonesia. Salah satunya dengan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). PBH dilakukan di setiap daerah sampai ke tingkat desa. Program PBH yang diberikan tidak hanya berkutat pada urusan baca tulis, namun juga memberikan pengetahuan umum lainnya. Standar Perguruan Tinggi juga diperhatikan. Pemerintah mengeluarkan pedoman yang menetapkan bahwa mulai tahun ajaran baru, proses perkuliahan diberikan dalam bahasa Indonesia, sedangkan dosen-dosen asing menggunakan bahasa Inggris.
Program kerja luar negeri menjadi isu yang sensitif selama era Kabinet Wilopo. Kejatuhan Kabinet Soekiman sebelumnya bermula saat Menteri Luar Negeri, Achmad Soebardjo melakukan pertemuan rahasia dengan Duta Besar AS untuk Indonesia Merle Cochran guna melakukan negosiasi soal Mutual Security Act (MSA), program bantuan Amerika Serikat untuk membantu negara-negara miskin berkembang dan menahan penyebaran komunisme. Pertemuan ini dianggap masyarakat dan anggota DPRS membuat Indonesia menarik diri ke Blok Barat sehingga melanggar asas politik bebas aktif Indonesia. Perselisihan ini diperburuk oleh sifat rahasia perundingan antara Soebardjo dan Cochran. Soebardjo kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai menteri luar negeri.
Pemerintahan Wilopo kemudian berusaha untuk melakukan perubahan terhadap program MSA tersebut. Namun, negosiasi tentu berjalan alot. Indonesia menghendaki bahwa bantuan ini tidak melanggar asas politik bebas aktif Indonesia, sedangkan Pemerintah AS tetap ingin mempertahankan perjanjian yang sudah dibuat dengan Soebardjo sebelumnya. Akhirnya, Bantuan MSA dapat dirubah menjadi bantuan teknis dan ekonomis kepada Indonesia melalui Technical Cooperation Administration (TCA). Keputusan kongres Amerika Serikat untuk memberikan bantuan Amerika kepada Indonesia melalui TCA dan tidak melalui M.S.A ini disebabkan TCA tidak bersifat bantuan militer. Dana-dana TCA berasal dari dana-dana untuk kemajuan internasional. Selain kepada Indonesia bantuan tersebut juga diberikan pada bangsa-bangsa Asia lainnya. Dengan demikian, di atas kertas program TCA tidak melanggar asas politik bebas aktif yang dianut Indonesia.
Masalah pembebasan Irian Barat juga menjadi salah satu persoalan yang dihadapi Wilopo. Pemerintah terus memperjuangkan Irian Barat agar masuk ke dalam wilayah RI. Guna memperjuangkan cita-cita yang sudah ada sejak kabinet pertama tersebut, Pemerintahan Kabinet Wilopo menempuh jalan perundingan sama seperti sebelumnya. Namun tidak ada kemajuan yang nyata dalam penyelesaian kasus ini.
Kabinet Wilopo jatuh usai memerintah selama satu tahun dua bulan. Pergolakan sosial ekonomi dan tekanan dari pihak oposisi membuat Wilopo harus meletakkan jabatannya. Namun salah satu penyebab utama jatuhnya Kabinet Wilopo adalah Peristiwa 17 Oktober 1952. Kebijakan Wilopo yang ingin menyederhanakan satuang Angkatan Perang dan mutasi para panglima dianggap sebagai campur tangan terhadap militer. Kolonel Bambang Supeno mengirim surat kepada Wilopo, Menhan Hamengkubuwono IX serta parlemen yang berisi protes dan tuntutan untuk mengganti A. H. Nasution dari posisi KASAD. Puncaknya saat anggota parlemen yang dipimpin Manai Sophiaan membentuk mosi yang bertujuan membentuk panitia yang terdiri dari anggota parlemen dan wakil pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di tubuh Angkatan Perang.
Demonstrasi akhirnya pecah dan pada tanggal 17 Oktober 1952, massa bergerakan menuju gedung DPR dan kemudian menuju Istana Merdeka. Demonstrasi ini menuntut dibubarkannya parlemen yang dianggap tidak representatif, secepatnya diadakan pemilihan umum dan segera mengadakan pembersihan-pembersihan dalam kementerian-kementerian. Menghadapi ribuan massa yang masuk ke halaman Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa ia tidak dapat memenuhi tuntutan massa karena ia bukanlah pemimpin yang otoriter.
Setelah peristiwa tersebut, timbul sejumlah reaksi yang akhirnya membuat kabinet ini tidak dapat bertahan lebih lama. Posisi A.H. Nasution sebagai KSAD kemudian digantikan oleh Bambang Sugeng serta beberapa pejabat di Kementerian Pertahanan juga akhirnya mengundurkan diri. Perpecahan di dalam parlemen antara PNI dan Masyumi dengan PSI juga membuat Wilopo akhirnya meletakkan jabatannya.
Beberapa jabatan yang pernah dipercayakan kepada Wilopo:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.