Pada masa pemerintahan Soekarno (Orde Lama) dan Soeharto (Orde Baru), pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur masyarakat Tionghoa. Selepas Reformasi, sebagian besar peraturan ini telah dihapuskan, seiring dipulihkannya hak-hak orang Tionghoa oleh hukum Indonesia.

Thumb
Contoh surat permohonan penukaran nama Tionghoa, Januari 1968

Masa Hindia Belanda

Peraturan hukum pertama yang mengatur tentang orang Tionghoa dikeluarkan pada tahun 1854 yang memberikan kewarganegaraan Hindia Belanda bagi seluruh orang Tionghoa yang lahir di wilayah Hindia. Namun, ketentuan tersebut berubah pada tahun 1892, ketika orang-orang Tionghoa digolongkan kembali menjadi "bangsa Timur Asing" (Vreemde Oosterlingen).[1] Hukum perdata Hindia, yang mengambil asas-asas hukum perdata di Belanda sesuai asas konkordansi, menganggap semua orang yang lahir di Belanda atau wilayah jajahannya sebagai warga negara Dalam ketentuan hukum perdata yang diatur oleh Burgerlijk Wetboek, orang Tionghoa diakui sebagai golongan yang terpisah.[2]

Pada tahun 1910, Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda yang telah diubah menetapkan status seluruh orang non-Eropa sebagai "kawula Belanda" (Nederlandsch onderdonen), yang berarti hak atas kewarganegaraan Belanda di luar negeri dan hak untuk diadili oleh pengadilan Eropa di Hindia. Salah satu penyebab perubahan ini adalah dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Tiongkok 1909 yang mengakui seluruh orang yang berketurunan Tionghoa sebagai warga negara Republik Tiongkok sesuai asas jus sanguinis.[3]

Masa kepemimpinan Soekarno

Pada Undang-Undang Dasar yang disahkan pada tahun 1945, warga negara Indonesia didefinisikan sebagai "orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Ketentuan ini menimbulkan "keadaan kewarganegaraan pasif"[4] bagi orang-orang Tionghoa, yang menimbulkan ketakutan bahwa Tionghoa akan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di Republik Indonesia.[3][5]

Undang-Undang Kewarganegaraan 1946

Thumb
Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri RRT Zhou Enlai berunding dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario Sastrowardoyo di Bandung, 1955.

Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan (kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948), orang-orang "bangsa Indonesia asli" dan orang di atas usia 21 tahun yang telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda ditetapkan sebagai warga negara Indonesia. Ketentuan ini menjamin hak kewarganegaraan Indonesia atas orang-orang Tionghoa yang sebelumnya berkewarganegaraan Belanda.[3]

Namun, peraturan ini menimbulkan kondisi kewarganegaraan ganda bagi banyak orang Tionghoa di Indonesia, karena banyak yang juga masih berstatus warga negara Republik Tiongkok (atau Republik Rakyat Tiongkok setelah tahun 1949). Pada bulan April 1955, Indonesia dan RRT menandatangani Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda (Agreement on the Issue of Dual Nationality between the Republic of Indonesia and the People's Republic of China) yang mengakui situasi kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan Tiongkok. Perjanjian ini kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958.

Meskipun telah terikat oleh perjanjian internasional, pandangan resmi pemerintah Indonesia pada saat itu adalah orang-orang Tionghoa perlu menentukan sendiri kewarganegaraannya; yang diberikan kewarganegaraan Indonesia hanyalah mereka yang mau melepaskan kewarganegaraan Tiongkok, karena secara resmi Indonesia tidak mengakui konsep kewarganegaraan ganda.[3][6]

Program Benteng

Pada bulan Maret 1950, pemerintah Indonesia melancarkan serangkaian program ekonomi yang bertujuan untuk mengembangkan kekuatan orang-orang Indonesia asli di dunia usaha. Kebijakan yang dikenal sebagai Program Benteng ini menjadi kebijakan resmi Kabinet Natsir, yang mendasarkan kebijakan ini pada ketentuan hasil Konferensi Meja Bundar bahwa pemerintah Indonesia berhak untuk melindungi kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".[7][8]

Pada awalnya, yang menjadi target program ini adalah perusahaan-perusahaan yang masih dikuasai oleh pengusaha Belanda. Pada tahun 1953, Kabinet Wilopo jatuh karena perdebatan yang memanas tentang kuota impor untuk perusahaan asing, di mana pemerintah dituduh mendiskriminasi para importir Tionghoa. Pada era tersebut, orang-orang Tionghoa mendominasi perekonomian di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, seperti yang dicatat oleh sejarawan Betawi Alwi Sahab.[9]

Elemen rasial pada penerapan Program Benteng memanas pada bulan Maret 1956 setelah Mr. Assaat Datuk Mudo, bekas Pejabat Presiden, menuduh bahwa orang-orang Tionghoa telah melakukan kegiatan monopolistik dalam perekonomian dan tidak membuka jalan bagi kaum pribumi untuk ikut serta. Dalam pidatonya di hadapan Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Assaat menyerukan agar adanya perlindungan khusus di bidang ekonomi bagi bangsa Indonesia asli.[10] Retorika Assaat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan gagasan keadilan ekonomi berdasarkan ras yang mengutamakan bangsa Melayu di Malaysia dengan Kebijakan Ekonomi Baru pada tahun 1971.[10]

Program Benteng akhirnya diakhiri pada tahun 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja.[11]

Undang-Undang Kewarganegaraan 1958

Pemerintah mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang baru pada tahun 1958. Pada Pasal 4, ketentuan harus memilih satu kewarganegaraan diperkuat, sehingga orang-orang Tionghoa yang otomatis memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia dan RRT dipaksa untuk memilih salah satu sebelum bulan Januari 1962. Ketidakjelasan hukum ini berlanjut sampai undang-undang ini dicabut.[3]

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959

Pada tanggal 16 November 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang "larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan". Peraturan ini pada intinya melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan eceran di bawah tingkat kabupaten, kecuali di luar ibu kota daerah.[10]

"Orang asing" yang dimaksud dalam Perpres 10/1959 ditafsirkan sebagai orang-orang Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan RRT, tanpa memedulikan apakah mereka juga memiliki kewarganegaraan Indonesia karena kondisi yang diatur oleh Undang-Undang Kewarganegaraan 1958. Dari sekitar 86,690 perdagang kecil bangsa asing yang terdaftar pada pemerintah, hampir 90 persennya adalah orang Tionghoa. Harian Waspada yang terbit di Medan memperkirakan bahwa 25,000 warung dan kios milik orang Tionghoa akan terkena imbas PP No. 10/1959;[12] sedangkan majalah Tempo memperkirakan lebiih dari setengah juta pedagang Tionghoa terdampak.[10]

Di beberapa daerah, Perpres 10/1959 diterapkan dengan kekuatan militer, mengingat Indonesia pada saat itu sedang berada di bawah darurat militer (staat van oorlog en beleg) yang diatur oleh Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957.[13] Di Cibadak, Sukabumi, terjadi pengusiran paksa yang menyebabkan bentrokan berdarah antara warga Tionghoa dan pasukan Teritorium Siliwangi.[14] Di Sumatera Utara, penegakan PP 10/1959 dibarengi dengan operasi penstabilan harga dan penyitaan bahan-bahan sandang dan pangan dari gudang-gudang yang dilakukan oleh Tim Operasi Pengawasan Ekonomi di bawah perintah Kejaksaan Agung.[12]

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memprotes keras penerapan Perpres 10/1959. Duta Besar RRT di Jakarta Huang Chen mendesak Menteri Luar Negeri Soebandrio untuk meninjau kembali penerapan peraturan tersebut, namun permintaan tersebut ditolak. Soebandrio menegaskan di hadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong bahwa Perpres 10/1959 "sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti-Tiongkok", melainkan hanya sebagai penerus dari usaha-usaha nasionalisasi terhadap perusahaan yang dimiliki oleh bangsa asing di Indonesia.[12] Menyikapi hal tersebut, radio resmi RRT dari Beijing mulai menyerukan agar orang Tionghoa di Indonesia untuk berhijrah ke Tiongkok. Sekitar 199,000 orang Tionghoa mendaftar untuk pindah, namun pada akhirnya hanya sekitar 102,000 orang yang dapat diangkut oleh kapal yang dikirimkan oleh pemerintah RRT.[15]

Orde Baru

Ketetapan MPRS Nomor 32 Tahun 1966 Tentang Pembinaan Pers

Ketetapan ini melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media massa dan nama toko/perusahaan, kecuali surat kabar Harian Indonesia.[16]

Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966

Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang proses penggantian "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" bagi orang-orang Tionghoa. Penggantian nama dilakukan sampai tanggal 31 Maret 1968, sebelum diperpanjang oleh Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1968 sampai bulan Desember 1968.[17]

Kebijakan penggantian nama ini diikuti sebagian orang-orang Tionghoa (seperti keluarga Wanandi, Salim, dan Soerjadjaja), namun ditolak beberapa tokoh lain (seperti Yap Thiam Hien dan Kwik Kian Gie).

Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967

Surat edaran ini dikeluarkan pada bulan Juni 1967 dan menetapkan penggunaan istilah "Cina" sebagai pengganti "Tionghoa" dan "Tiongkok", dengan alasan "mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia". Pramoedya Ananta Toer mengajukan bahwa hal ini disebabkan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" sudah mulai digunakan oleh Partai Komunis Indonesia sejak tahun 1948, sehingga pemerintah Soeharto merasa perlu untuk menggantikannya.[18]

Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 37/U/IN/6/1967

Instruksi tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina ini dirumuskan dari laporan Ketua Panitia Negara Perumus Kebijaksanaan Penyelesaian Masalah Cina. Peraturan ini melarang "warga negara asing Cina pendatang baru" untuk tinggal di Indonesia dengan tujuan bekerja dan berusaha, dengan perkecualian bagi anggota-anggota Korps Diplomatik dan Konsuler beserta keluarganya selama masa penugasannya di Indonesia, dan tenaga-tenaga ahli beserta istri dan anak sah di bawah umur, yang masih menjadi tanggungannya. Pasal 5 pada instruksi ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih aset milik warga negara Indonesia yang berhijrah ke RRT sebagai "modal domestic asing" yang dianggap sebagai "kekayaan nasional yang berada di tangan penduduk asing; dan oleh karena itu harus dikerahkan, dibina dan dimanfaatkan untuk kepentingan rehabilitasi dan pembangunan."[19]

Soeharto sebelumnya telah memutuskan hubungan diplomatik Indonesia dengan RRT. Instruksi ini menegaskan bahwa hubungan dengan RRT dapat dipertimbangkan lagi dengan "pertimbangan pantas tidaknya negara itu diperlakukan sebagai negara yang berdaulat dan bersahabat".

Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967

Pada bulan Desember 1967, Soeharto (kini Pejabat Presiden) menetapkan Keputusan tentang "Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing". Keputusan ini menetapkan bahwa mereka adalah "Bangsa Indonesia jang tidak berbeda dalam hak dan kewadjiban dengan Bangsa Indonesia lainnja" dan menjamin "adalah sama kedudukannja di dalam Hukum Pemerintahan dengan Bangsa Indonesia lainnja".

Keputusan Presiden ini menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses asimilasi terutama untuk mentjegah terdjadinya kehidupan seksklusif rasial" dan menganjurkan agar "nama-nama Cina" diganti sesuai peraturan sebelumnya.[20]

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967

Pada bulan yang sama, Pejabat Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi pada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri agar "tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan." Instruksi ini melarang perayaan Imlek di muka umum dan membatasi kegiatan adat istiadat orang-orang Tionghoa yang dianggap "dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar."

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969

Pada bulan April 1969, Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda dengan RRT dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga orang-orang Tionghoa yang memiliki surat kewargenegaraan ganda sesuai ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan 1958 dinyatakan tidak berkewarganegaraan jika tidak menyatakan keinginan untuk menjadi warga negara Indonesia.[21]

Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta Nomor K.898/I/A Tahun 1975

Instruksi ini dikeluarkan oleh Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Paku Alam VIII pada bulan Maret 1975, yang isinya melarang orang-orang non-pribumi Eropa dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India) untuk memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.[22]

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor X01 Tahun 1977

Instruksi rahasia yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud ini memerintahkan agar Kartu Tanda Penduduk orang-orang Tionghoa diberikan tanda khusus sebagai warga negara Indonesia berketurunan asing. Tanda ini adalah "A01".[23]

Peraturan Menteri Kehakiman Nomor JB 3/4/12 Tahun 1978

Pada bulan Maret 1978, Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja mengeluarkan peraturan yang mewajibkan "setiap warganegara yang perlu membuktikan kewarganegaraannya" untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).[24] Pada prakteknya, hampir seluruh orang Tionghoa di Indonesia diwajibkan untuk mengajukan permohonan SBKRI.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 455.2-360 Tahun 1988

Peraturan ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui kelenteng.[25]

Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996

Keputusan tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ini menghapuskan kewajiban untuk memiliki SBKRI.[26]

Reformasi

Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998

Instruksi yang dikeluarkan Presiden B.J. Habibie ini menghentikan penggunaan istilah "pribumi" dan "non pribumi" dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.[27]

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999

Instruksi yang dikeluarkan Presiden Habibie ini mempertegas pencabutan ketentuan tentang SBKRI dan memerintahan peninjauan kembali segala peraturan yang melarang atau membatasi kursus bahasa Mandarin.[28]

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000

Keputusan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid ini mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967, sehingga penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dapat dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus.

Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002

Keputusan yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri ini menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.[29]

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014

Keputusan yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967 dan mengembalikan penggunaan istilah "Tionghoa" dan "Republik Rakyat Tiongkok".[30]

Referensi

Wikiwand in your browser!

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.

Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.