Soeria Atmadja

Bupati Sumedang ke-29 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas

Soeria Atmadja

Pangeran Adipati Aria Soeria Atmadja, (11 Januari 1851  1 Juni 1921 ), adalah Bupati Sumedang ke-29 yang menjabat dari tahun 1883–1919. Ia adalah Bupati Sumedang terakhir yang mendapatkan gelar pangeran.[1] Lahir dengan nama asli Sadeli, Soeria menghabiskan masa kecilnya dengan belajar budi pekerti dan agama. Pada masa remajanya, ia mengambil magang dan belajar bahasa. Seusai magang, ia memulai kariernya sebgai kaliwon. Kemudian ia menjabat sebagai Wedana Ciawi. Setelah itu, ia menjabat sebagai Patih Sukapura.

Fakta Singkat Pangeran Adipati Aria, Bupati Sumedang ke-29 ...
Pangeran Adipati Aria
Soeria Atmadja
Thumb
Bupati Sumedang ke-29
Masa jabatan
30 Desember 1882  5 Mei 1919
Gubernur JenderalFrederik s'Jacob
Otto van Rees
Cornelis Pijnacker Hordijk
Carel Herman Aart van der Wijck
Willem Rooseboom
Johannes Benedictus van Heutsz
Alexander Willem Frederik Idenburg
Johan Paul van Limburg Stirum
Sebelum
Pengganti
Aria Kusumahdilaga
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Sadeli

(1851-01-11)11 Januari 1851
Sumedang, Hindia Belanda
Meninggal1 Juni 1921(1921-06-01) (umur 70)
Mekkah, Kerajaan Hijaz
Suami/istriRaden Ayu Radja Ningrum
AnakRaden Ayu Djogdjainten Djoebaedah
Orang tua
Sunting kotak info L B
Tutup

Pada 30 Desember 1882, Soeria diangkat sebagai Bupati Sumedang menggantikan ayahnya yang meninggal dunia dan dilantik pada tanggal 31 Januari 1883. Selama menjadi Bupati Sumedang, ia dikenal sebagai orang yang suka melakukan blusukan. Dalam masa kepemimpinannya, Sumedang mengalami kemajuan dibidang pertanian, peternakan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur dan kesenian. Karena prestasinya, ia mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda dan juga menjadi koordinator bupati di wilayah Priangan.

Soeria memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Bupati Sumedang pada tahun 1919 karena ingin pensiun. Seusai mengundurkan diri, ia menghabiskan waktunya di Sindang Taman. Pada tahun 1921, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ia meninggal dunia setibanya di Makkah dan dimakamkan di Jannatul Mu'alla. Karena prestasinya selama menjabat sebagai bupati, Pemerintah Hindia Belanda membuat lingga untuk mengenang dia.

Kehidupan awal dan keluarga

Thumb
Keluarga Soeria Atmadja

Pangeran Aria Soeria Atmadja dilahirkan di Sumedang, 11 Januari 1851 dengan nama Raden Sadeli. Ayahnya, Suria Kusumah Adinata, adalah seorang Bupati Sumedang dan ibunya bernama Raden Ayu Ratna Diningrat.[1][2] Ketika dia masih anak-anak, ayahnya mengajarkan dia tentang budi pekerti. Menginjak usia kedelapan tahun, Sadeli belajar agama kepada seorang ulama bernama K.H. Asyrofudin.[3]

Menginjak usia remaja, Sadeli mengambil kegiatan magang dan dikatakan cukup malu dengan wanita. Ia juga mempelajari bahasa asing yaitu Inggris, Prancis, dan Belanda.[3][4]

Soeria menikah dengan Raden Ayu Radja Ningrum yang juga merupakan cucu dari Raden Adipati Aria Adiwijaya. Ia memiliki satu anak perempuan yaitu Raden Ayu Djogdjainten Djoebaedah.[5][6]

Karier awal

Seusai menyelesaikan magang, Sadeli mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai kaliwon[a] pada tahun 1869. Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai wedana di Ciawi pada tanggal 7 Februari 1871. Dia menjabat sebagai Wedana di Ciawi selama empat tahun.[3] Saat menjadi Wedana Ciawi, Sadeli mengubah namanya menjadi Soeria Atmadja, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan kesiapannya untuk mengemban tugas sebagai birokrat pemerintah.[8]

Pada tanggal 29 November 1875, Soeria menjabat sebagai patih Kabupaten Sukapura. Selama menjabat sebagai patih di Sukapura, ia mendapatkan gelar rangga pada tanggal 13 Januari 1879 karena kepeduliannya kepada pengembangan agama Islam dan mewakafkan tanahnya di Tasikmalaya untuk pembangunan Masjid Agung Tasikmalaya dan Pesantren Cigalontang.[3][9]

Bupati Sumedang

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Soeria bersama dengan keluarga dan pelayannya di rumah pribadinya

Sepeninggal Suria Kusumah Adinata, ada dua kandidat untuk jabatan Bupati Sumedang yaitu Raden Demang Somanagara dan Soeria. Dari kedua kandidat itu, Soeria dipilih sebagai Bupati Sumedang karena memenuhi syarat Pemerintah Hindia Belanda. Ia diangkat pada tanggal 30 Desember 1882 dan resmi dilantik menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 31 Januari 1883. Dengan menjadi bupati, dia mendapatkan gelar tumenggung.[10]

Soeria menjabat sebagai bupati Sumedang sampai dengan tanggal 5 Mei 1919 ketika dia memutuskan mengundurkan diri karena sudah tua. Jabatan bupati digantikan oleh adiknya, Aria Kusumahdilaga.[11][12] Selama menjadi bupati, Soeria Atmadja dikenal dengan kegiatan blusukan yang dilakukan olehnya ke daerah pelosok untuk mengetahui keadaan masyarakatnya. Kegiatan ini terinspirasi oleh patroli yang biasa dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Nabi Islam Muhammad. [10]

Pada tanggal 31 Agustus 1898, Soeria mendapatkan promosi gelar dari tumenggung menjadi adipati. Selanjutnya, tiga hari setelah mendapatkan penghargaan Songsong Kuning, Soeria mendapatkan gelar jabatan tambahan yaitu aria. Pada tanggal 26 Agustus 1910, Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Soeria sebagai koordinator bupati-bupati di wilayah Priangan sehingga gelar kebangsawanannya dinaikkan dari raden ke pangeran..[8]

Ekonomi

Pada tahun 1898, Soeria mendirikan Bank Priyayi di Sumedang untuk membantu masyarakat Sumedang yang terdampak dari praktik buruk lintah darat. Modal bank diperoleh dari pengumpulan sekian persen dari gaji pamong praja di Sumedang. Tiga tahun kemudian, Bank Priyayi berubah namanya menjadi Afdeeling Bank (Bank Daerah). Dalam operasionalnya, Bank Daerah memberikan kredit kepada anggotanya supaya tidak terkena jeratan rentenir. Pada tahun 1915, ia mendirikan bank desa untuk membantu petani kecil.[13]

Infrastruktur

Pada tahun 1908, Jalan Cadas Pangeran bagian bawah yang menghubungkan Bandung dan Sumedang dibangun. Di samping itu juga, kantor telepon juga dibangun pada masa kepemimpinannya untuk mempermudah komunikasi.[9] Antusias masyarakat Sumedang terhadap olah raga balap kuda membuat dia membangun lapangan balap kuda. Lapangan balap kuda tersebut sekarang bernama Kampung Pacuan Kuda Heubeul.[14] Perihal fasiltas pemerintah, ia membangun rumah asisten wedana di setiap Kawedanan dengan dana pribadinya.[15]

Keamanan

Untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban, pos-pos keamanan mulai dari tingkat desa hingga kawedanan dibangun. Setiap pos-pos keamanan wajib dilengkapi bambu yang berisikan air, pasir-pasir, dan perlengkapan lainnya sebagai langkah antisipasi terjadinya kebakaran. Setiap minggunya, penjaga pos keamanan wajib melaporkan kegiatan-kegiatan pos keamanan pada rapat mingguan yang diawasi oleh Soeria.[16]

Kesehatan

Semasa kepemimpinan Soeria, vaksinasi cacar diadikan di desa-desa yang mana ini menjadi hal yang wajib bagi anak-anak dan bayi. Dia juga menganjurkan kepada masyarakat Sumedang untuk menanam obat-obatan di halaman rumah mereka.[17] Di samping itu juga, ia mendirikan tempat pengobatan rakyat di Cipanas Conggeang.[15]

Kesenian dan olahraga

Soeria menaruh perhatian yang besar kepada tari tayub (Ibing Tayuub), gamelan degung, dan seni suara. Sebagai bentuk ketertarikannya kepada seni musik, Soeria menulis lagu berjudul Lagu Sonteng. Lagu ini tidak boleh dimainkan oleh sembarang orang dan apabila ada seseorang yang berani memainkannya, ia akan kesurupan. Selama masa kepemimpinnanya, setiap hari minggu pukul 8 pagi, gamelan degung buhun dimainkan.[18][19] Ia juga mendatangkan kuda dari Sumba ke Sumedang untuk dijadikan sebagai kuda balap.[20] Pada awal abad ke-20, Sumedang sering mengadakan acara balapan kuda.[14]

Perlindungan lingkungan dan hewan

Untuk mengatasi permasalahan longsor, Soeria mengadakan reboisasi di lahan-lahan gundul. Selain itu juga, ia juga membuat hutan larangan/tertutup agar hutan tersebut dijaga kelestariannya.[16]

Selain itu juga, Soeria meminta kepada rakyat Sumedang yang tinggal di pinggir jalan untuk menamam tanaman yang kayunya bisa digunakan untuk pembangunan jembatan dan bangunan. Tidak hanya tumbuhan saja yang dilindungi, tetapi juga hewan. Untuk meningkatkan produksi tanaman aren, ia meminta kepada masyarakat untuk melindungi luwak.[6]

Pertanian

Mengingat kondisi Sumedang yang penuh dengan lereng gunung dan bukitnya curam, daerah ini kurang cocok untuk pertanian. Untuk mengatasi masalah tersebut, Soeria menginisiasikan pembangunan persawahan terasering di areal perbukitan. Persawahan terasering dibangun di seluruh Sumedang dan inisasi tersebut meningkat hasil pertanian di Sumedang.[10] Selain itu juga, ia membagikan buku Mitra Nu Tani kepada kepala desa dan mentransformasi daerah yang sebelumnya penuh dengan alang-alang menjadi kebun kentang dan sayuran.[15] Untuk mencegah kegagalan panen, program pemberantasan hama tikus dilakukan.[12]

Selain membangun persawahan terasering, Raden Soeria Atmaja juga mengimpor bibit tanaman dari Indramayu dan bibit kelapa dari Jawa Tengah dan Bali guna meningkatkan hasil pertanian. Tidak hanya itu saja, infrastruktur pertanian juga tidak luput dari perhatiannya. Pembangunan irigasi, khususnya di daerah Ujungjaya dan lumbung padi juga terjadi pada masa kepemimpinannya.[21][16][6][22]

Pada tahun 1886, Soeria melobi kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan beberapa desa miskin dari kewajiban menanam kopi dan permintaan tersebut dikabulkan.[21] Tidak hanya itu saja, dia juga memberikan tanah untuk berkebun dan sawah kepada rakyat Indramayu yang berimigrasi ke Sumedang karena paceklik.[15]

Peternakan dan Perikanan

Peternakan juga diperhatikan oleh Soeria. Ia mendatangkan sapi dari Madura dan Benggala ke Sumedang untuk memajukan sektor peternakan. Berkat upayanya, peternakan Sumedang mengalami kemajuan terpesat kedua di daerah Priangan setelah Kabupaten Bandung dan petani-petani lebih memilih sapi dibandingkan kerbau sebagai hewan kerja mereka.[13] Selain itu, ia juga mengimpor Sapi ongole dari Sumba untuk meningkatkan sektor peternakan.[23] Sapi ongole dibagikan kepada warga desa yang terpilih dan digunakan tidak hanya sebagai hewan ternak saja, tetapi juga untuk membajak sawah. Berkat kebijakan impornya, jumlah hewan ternak di Sumedang meningkat dari 1000 hewan pada 1883 menjadi 5400 pada 1918.[24]

Soeria membuat regulasi untuk keberlangsungan produksi ikan air tawar. Ia mengeluarkan aturan agar lobang jala tidak digunakan untuk menangkap ikan-ikan berukuran kecil dan juga melarang penggunaan racun untuk menangkap ikan.[9]

Pendidikan

Pada masa kepemimpinan Soeria, sekolah-sekolah mulai berdiri di Sumedang. Pada tahun 1907, sekolah desa dengan lama belajar tiga tahun mulai tersedia di Sumedang. Tujuh tahun berselang, sekolah lanjutan mulai ada di Sumedang untuk murid sekolah desa yang berprestasi. Pada tahun 1915, HIS pertama di Sumedang didirikan.[18] Di samping itu juga, ia suka memberikan hadiah kepada siswa yang berprestasi dan penghargaan kepada guru.[25]

Demi memajukan sektor pertanian, Pangeran Suria Atmaja mendirikan sekolah tani bernama Landbouwschool Bojongseungit pada tahun 1913 di atas tanah seluas 4,3 ha yang diwakafkannya. Seusai sekolah tani ini diresmikan, Soeria mendonasikan uangnya sejumlah ƒ3000 sebagai modal awal sekolah. Ia juga menyuruh siswa sekolah pertanian untuk menanam tanaman yang hasilnya dibeli olehnya. Setelah dibeli, ia membagikan bibit tanaman tersebut kepada masyarakat.[9][26] Sekolah tani ini sekarang bernama Universitas Winaya Mukti Sumedang.[16]

Aktivitas lainnya

Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Soeria dan Raden Mas Tumenggung Ario Koesoemodipoetro, Bupati Panarukan, sebagai anggota komite investigasi penyebab turunnya kesejahteraan di Pulau Jawa dan Madura pada bulan November 1902.[27] Di samping itu juga, ia juga menjadi salah satu pendiri organisasi yang bernama Asosiasi untuk Pengembangan Peternakan di Hindia Belanda pada tanggal 28 Mei 1906.[28]

Soeria juga berkontribusi terhadap perkembangan Tahu sumedang. Pada sebuah kunjungan kerja ke Tegalkalong, ia mencium aroma bau sedap dari sebuah toko kecil milik Ong Bun Keng. Ia langsung menghampiri toko tersebut dan menemukan aroma sedap itu berasal dari tahu yang sedang digoerang oleh Ong. Soeria mencicipi tahu tersebut dan mengatakan tahunya akan laku keras karena enak. Sejak kunjungannya, penjualan tahu bungkeng meningkat dan menjadi semakin populer.[29]

Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang. Selama pengasingannya di Sumedang, Soeria memercayai K.H. Sanusi untuk merawat Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Dien tinggal bersama Sanusi selama satu tahun. Disamping itu juga, ia juga menanggung segala keperluan Cut Nyak Dien karena menolak pemberian dari pemerintah.[30]

Pensiun dan kematian

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Pangeran Soeria Atmadja di dalam kereta untuk naik haji

Setelah tidak lagi menjadi bupati, Soeria memilih untuk menghabiskan masa pensiunnya di Sindang Taman dan mendapatkan uang pensiun tahunan sebesar ƒ5400 dari pemerintah.[6][31] Pada bulan Maret 1920, koran De Preangerbode melaporkan bahwa Soeria mendirikan koperasi beras yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Sumedang.[32] Selain itu juga, ia mengirimkan surat kepada Johan Paul van Limburg Stirum yang mengungkapkan kekesalannya terhadap pergerakan Sarekat Islam yang menurutnya berkelakuan melewati batas dan menggunakan nama Islam untuk menipu orang lain. Ia juga mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang memperbolehkan H.O.S Tjokroaminoto menjadi anggota Volksraad.[33]

Pada tahun 1921, Soeria merilis sebuah buku yang berjudul Ditiung Memeh Hujan.[2] Di dalam bukunya, menyarankan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan pelatihan senjata kepada rakyat agar bisa dilibatkan dalam usaha mempertahankan negara dari serangan luar.[34]

Pada bulan Februari 1921, ia bersama dengan istri dikabarkan akan menunaikan ibadah haji. Ia berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 7 April.[33] Ia tiba di Jeddah dengan kondisi kesehatan yang memburuk dan tinggal di Konsul Belanda selama tiga hari. Setelah itu, ia pergi menuju ke Mekkah dengan mobil. Ia tiba Mekkah pada malam hari dengan kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Ia meninggal dunia pada tanggal 1 Juni.[35]

Kabar kematian Soeria baru terkirim ke telingah Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 7 Juni 1921. Kemudian pemerintah menyampaikan informasi kematian Soeria kepada keluarganya.[33] Jasadnya dimakamkan di Ma’la. Meninggalnya Soeria di Mekkah membuatnya mendapatkan julukan Pangeran Mekkah.[36]

Penghargaan

Ringkasan
Perspektif
Thumb
Peresmian monumen untuk mengenang Pangeran Soeria Atmadja oleh Dirk Fock

Berkat jasa dan prestasinya sebagai Bupati Sumedang, Soeria mendapatkan penghargaan-penghargaan yaitu:[8]

  • De Groote Goulden Star (bintang emas) - diberikan pada 21 Agustus 1891
  • Thumb Orde van Oranje Nassau (perwira) - diberikan pada 27 Agustus 1903
  • Songsong Kuning (payung kuning) - diberikan pada 26 Agustus 1905
  • Thumb Orde van den Nederlandschen Leeuw (kesatria) - diberikan pada 17 September 1918

Masyarakat Sumedang menjuluki Soeria sebagai pangeran sempurna.[37]

Untuk mengenang jasa Soeria, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah monumen berbentuk lingga di tengah kota Sumedang. Monumen tersebut diresmikan pada tanggal 25 April 1922 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock.[36]

Di samping itu juga, pemerintah kota Bandung juga mengubah nama yang terletak di bagian selatan kota yaitu Jalan Grooten Tegallegaweg menjadi Jalan Pangeran Sumedangweg pada tanggal 23 Agustus 1922. Perubahan nama jalan tersebut mengundang reaksi protes dari Partai ISDV dan Sarekat Islam. Mereka menganggap perubahan nama jalan ini sebagai bentuk penghinaan meningat Bandung Selatan adalah kawasan pendukung SI dan Soeria menentang gerakan tersebut. Meskipun begitu, nama Pangeran Sumedangweg tetap dipertahankan hingga tahun 1950 ketika pemerintah kota memutuskan untuk mengubah nama Jalan Pangeran Sumedangweg menjadi Jalan Telaga.[33]

Pada tahun 2021, diadakan haul untuk mengenang seratus tahun kematian Pangeran Soeria Atmadja.[17]

Karya tulis

  • Ditiung Méméh Hujan (Sedia Payung Sebelum Hujan). 1921

Catatan

  1. Kaliwon adalah pemimpin daerah pedesaan yang jabatannya dibawah bupati.[7]

Referensi

Bibliografi

Wikiwand - on

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.