Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Siti Hayinah Mawardi (Ejaan Van Ophuijsen: Siti Hajinah Mawardi; lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1906 dan meninggal di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 April 1991) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-27 dan ke-29–32. Dia adalah anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel, sedangkan keluarganya menjadi pendukung organisasi Muhammadiyah.
Hayinah menempuh pendidikan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum), Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan Fur Huischoud School (FHS). Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita. Dia tercatat lima kali menjabat sebagai ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965.
Partisipasinya dalam skala nasional adalah menjadi peserta Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Pertama bersama dengan Siti Munjiyah, yang diselenggarakan di Ndalem Jayadipuran. Munjiyah membacakan pidato dengan judul Derajat Perempuan, sedangkan Hayinah menyampaikan tentang Persatuan Manusia. Persoalan yang diusungnya berkaitan dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam penyelenggaraan kongres.
Hayinah lahir pada 1906 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia merupakan anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel. Dia dibesarkan di Kauman, yaitu kampung para santri dan kaum juragan batik yang melebur menjadi satu komunitas (Mu’arif & Setyowati, 2014).[1]
Sebagai anggota keluarga dari abdi dalem keagamaan, keluarganya secara sosio-kultural berasal dari lingkungan yang mengenal tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan kerabat keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh dan berkembang di kampung ini ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan jati diri kepribadiannya (Darban, 2000).[2]
Menurut Darban, Kauman menyebabkan dirinya “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam. Dia “akrab” dengan tradisi yang dikesankan oleh logika “feminisme mainstream” sebagai penindasan, tetapi kehidupanya tidak memperlihatkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam “ruang pribadi”, dia merupakan seorang wanita biasa, tetapi di “ruang publik” dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif (Darban et al, 2010).[3]
Selain itu, dia juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Taman Siswa, Budi Utomo, dan Wanita Katolik) sebagai salah satu wakil dari organisasi Aisyiyah (Suratmin et al, 1991).[4][5] Realitas itu memperlihatkan jika dia bisa hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi maupun kebudayaan Jawa yang mengelilinginya dikarenakan semua hal yang terus dilakukannya merupakan suatu “dialog” dengan realitas di sekelilingnya.
Menurut penjelasan dalam buku biografi para tokoh dalam Kowani I, Hayinah mulai mengenyam pendidikan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) bersama dengan Siti Zaenab, Siti Aisyah Hilal, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah pada 1913.[6] Selanjutnya, dia meneruskan di Hollands Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School[lower-alpha 1] (FHS) (Suratmin et al, 1991).[4] Setelah lulus dari FHS, dia tidak melanjutkan pendidikan formal. Dia hanya menjalankan pendidikan nonformal dari orang tua dan pengajian yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan. Namun, pengetahuan umum maupun agama yang telah diterimanya itu membuatnya dipilih sebagai anggota Aisyiyah (Mu’arif & Setyowati, 2014).[1]
Pada 1925, Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti yang berasal dari Banjarnegara. Mawardi adalah putra dari pasangan Muhammad Mufti dan Murtiyah. Dia berprofesi sebagai guru aktif di Muhammadiyah, serta menjadi ketua Majelis Pemuda pada masa kepemimpinan Mas Mansoer dan ketua Majelis Pengajaran pada masa kepemimpinan Bagoes Hadikoesoemo. Selain itu, dia juga aktif di bagian tablig dan ketua kepanduan Hizbul Wathan (HW) (Suratmin et al, 1991).[4]
Setelah menikah, Hayinah memperoleh tambahan nama suami di belakang menjadi Siti Hayinah Mawardi. Keduanya lantas tinggal di Jalan Agus Salim No. 29A, Notoprajan, Ngampilan. Mu’arif dan Setyowati (2014) mencatat bahwa kedua pasangan itu dikaruniai tujuh orang anak melalui pernikahannya, yaitu Harijadi, Rusdi, Darmadi, Parmadi, Kusnadi (meninggal saat kecil), Hartinah (meninggal saat kecil), dan Darmini.
Hayinah mulai aktif terlibat di Aisyiyah sejak 1925 atau ketika dirinya berusia 19 tahun.[6] Saat itu, dia telah memperoleh kepercayaan menjabat sebagai sekretaris hoofdbestuur (pimpinan pusat) Muhammadiyah bagian Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan.[7] Amanat tersebut dikeluarkan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta yang dipimpin oleh Ibrahim bin Fadlil (Suratmin et al, 1991).[4] Sementara itu, Suratmin juga mencatat jika Hayinah juga telah terlibat aktif dalam majalah Suara Aisyiyah sejak pertama kali diterbitkan pada 1927. Beberapa tulisannya yang dimuat dalam majalah Suara Asiyiyah adalah Kemajengan (Kemajuan), Kewajiban Kita, dan Aisyiyah Menghadapi Kenyataan (Suratmin, 1990).[8]
Lebih lanjut, Ahmad Syafi'i Ma'arif menjelaskan bahwa Hayinah memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Hal tersebut ditunjukkan dalam kongres Aisyiyah ke-21 tahun 1938 di Medan ketika dia berusaha membangkitkan semangat para anggotanya untuk menghidupkan kembali Suara Aisyiyah, yang saat itu mati suri dengan pidatonya sebagai berikut.[5]
Marilah Soeara Aisjijah itu kita hidupi betul-betul. Kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam. Siapa saja yang menghalang-halangi kaum wanita mendapatkan pendidikan adalah orang jahat dan durhaka (PP. Aisyiyah, 1940).[9][5]
Saat itu, keadaan internal Suara Aisyiyah sedang mati suri lantaran kebiasaan membaca di kalangan anggotanya sangat lemah dan rendah. Pidato itu merupakan tanda keprihatinan dari dalam dirinya yang memahami fungsi literatur bagi kemajuan manusia, terutama para anggota wanita di Aisyiyah.[5]
Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan Siti Bariyah, Siti Walidah, Siti Munjiyah, dan Siti Aisyah Hilal (Setyowati, 2011).
Dia pertama kali memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946 di Yogyakarta (pimpinan Bagoes Hadikoesoemo).[10] Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia ditunjuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, dan Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, dia berturut-turut memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah (Suratmin, 1990).[8]
Selain di Aisyiyah, Hayinah juga aktif di Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), dan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) (Suratmin, 1990).[8] Jabatan terakhirnya di BP4 adalah sebagai penasihat. BP4 sendiri didirikan untuk mendampingi, menangani, dan tempat konsultasi mengenai permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Perceraian yang saat itu banyak terjadi sering kali memunculkan kerugian untuk wanita (Suryochondro, 1984).[11]
Peran Hayinah yang paling sentral adalah menjadi perwakilan dari Aisyiyah untuk mengikuti Kowani I bersama dengan Siti Munjiyah. Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 22–25 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran (Harnoko & Tashadi, 1987).[12] Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi (Blackburn, 2007).[13]
Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap-malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan subseksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan (PP. Aisyiyah, 1940).[9] Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa (Soewondo, 1984).[14]
Pada acara penyampaian pidato, Munjiyah dan Hayinah tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah membacakan pidato dengan judul Derajat Perempuan, sedangkan Hayinah menyampaikan tentang Persatuan Manusia (Suratmin, 1990).[8] Aisyiyah sendiri melalui keduanya secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain (PP. Aisyiyah, 2000).[15] Soewondo (1984) menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.[14]
Persoalan yang diusungnya berkaitan dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam penyelenggaraan kongres. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Sementara itu, upaya untuk menghadirkan persatuan dapat ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan di antara peserta kongres. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita (Suryochondro, 1984).[11]
Ketika duduk dalam kepanitiaan Kowani I, Hayinah tidak menganggap gerakan emansipasi yang diusung oleh kongres sebagai upaya menyamakan kedudukan kaum wanita dengan laki-laki. Baginya, reformasi kehidupan wanita harus ditempuh melalui jalur pendidikan dan tidak cukup hanya suwarga nunut, neraka katut (surga menumpang dan ke neraka pun ikut). Kaum wanita memang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka tidak dapat melupakan kodratnya sebagai wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).[1]
Hasil pemikirannya itu dapat ditilik dalam artikelnya berjudul Kemajuan yang diterbitkan di Suara Aisyiyah. Dia mengkritik pandangan naif dari para pengikut gerakan emansipasi yang telah melupakan budaya sendiri dan mengikuti arus budaya Barat sebagai berikut.[6]
Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Namun, sayangnya mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Karena itu, jika mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka akan menjawab, “Inikah zaman kemajuan?” Jika disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu, “Sudah maju masih disuruh menyapu”. Jika diberi tahu bahwa ada tingkat lakunya yang tidak pantas, seperti naik sepeda, potong daun dan sebagainya, mereka akan menjawab, “Kolot, kolot!” (PP. Aisyiyah, 1940).[9]
Pandangannya itu memang masih mengacu kepada nilai-nilai budaya sendiri untuk memahami arti emansipasi. Dia tidak ingin para wanita larut dalam budaya bangsa lain yang memang tidak cocok untuk budaya sendiri. Kemajuan wanita yang diinginkannya harus mengikuti atau sejalan dengan budaya bangsa sendiri.
Usulan lain yang diajukan Hayinah adalah agar kongres menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan wanita se-Hindia Timur dan menjadi perantara persatuan berbagai organisasi (Nashir, 2010).[16] Selain itu, dia juga mendorong kongres untuk mendirikan bibliotheek (gedung buku/perpustakaan) dan mengusahakan penerbitan surat kabar atau majalah untuk wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).[1] Pendapatnya lantas menjadi salah satu keputusan kongres, yaitu menyepakati pendirian dan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) (Hawari, 1979).[17] Perannya tidak berhenti sebagai peserta Kowani I, tetapi dia juga ikut aktif menjadi anggota penerbitan surat kabar “organ” PPI berjudul Istri. Dia termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan penerbitan surat kabat ini.
Setelah tidak menjabat sebagai ketua umum, Hayinah sempat menjadi Penasihat PP. Aisyiyah pada masa kepemimpinan Ahmad Badawi. Salah satu penghargaan yang diterimanya atas jasanya dalam Kowani I adalah kenang-kenangan peniti emas berbentuk bunga melati lambang Kowani pada 1972 (Hayati, 1985).[18]
Menurut catatan PP. Aisyiyah (2000), Hayinah menjelang akhir hayatnya banyak menjalankan aktivitas mengajar mengaji di rumahnya karena sudah tidak dapat melakukan aktivitas keorganisasian.[15] Dia akhirnya meninggal dunia pada 27 April 1991 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena faktor usia. Jenazahnya lantas disemayamkan di Permakaman Pakuncen.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.