Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kadi atau Qadi (bahasa Arab: قاضي) adalah seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.[1]
Islam tidak pengenal adanya pemisahan masalah agama maupun yang berkaitan dengan hukum, sehingga kadi berperan dalam penegakan aturan bagi setiap muslim. Kadi selalunya identik dengan orang yang alim (yang mempunyai pengetahuan agama Islam) dan mesti merupakan seorang muslim laki-laki yang sudah merdeka serta melewati masa pubertas.
Hakim secara etimologi merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu hakim, yang berarti orang yang memberi putusan atau diistilahkan juga dengan kadi.1 Hakim juga berarti orang yang melaksanakan hukum, karena hakim itu memang bertugas mencegah seseorang dari kedzaliman2 . Kata hakim ini dalam pemakaiannya dipersamakan dengan kadi yang berarti orang yang memutus perkara dan menetapkannya.
Selain itu, kadi juga merujuk kepada seseorang yang bertugas memastikan rukun-rukun pernikahan serta mahar dalam urusan perkawinan secara Islam. Di samping tanggungjawabnya menikahkan suami-istri, kadi juga berperan untuk memastikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkawinan tersebut telah sesuai dengan peraturan yang ada.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata hakim berarti orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah) . Sedangkan menurut Undang-Undang Peradilan Agama, Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan serta mengusahakan seberapa dapat jangan sampai putusan yang akan dijatuhkan memungkinkan timbulnya perkara baru. Putusan harus tuntas dan tidak menimbulkan ekor perkara baru,
Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tau akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Diharapkan hakim sebagai orang yang bijaksana, aktif dalam pemecahan masalah. Kiranya asas hakim aktif itu sesuai dengan aliran pikiran tradisioanal Indonesia, undang-undang No. 4 tahun 2004 mengharuskan hakim aktif karena yang dituju dalam pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terlaksananya negara hukum Republik Indonesia.Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak-pihak luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan demi terselenggarakannya negara hukum (pasal 3 ayat 3 UU No. 4 tahun 2004). Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan,
Tugas hakim tidak hanya berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan sampai pada pelaksanannya. Dalam perkara perdata, hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat 2 UU no 4 tahun 2004). Hakim tidak boleh menolak untuk memerikasa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memerikasa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1 UU No.4 tahun 2004).5 Memang pada hakekatnya dari seorang hakim hanya diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu hakim harus memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya[2].
Dalam memutuskan perkara, ada buku pedoman yang selalu digunakan oleh hakim agama Indonesia yaitu diantaranya:
Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
Dalam sejarahnya, hukum materil yang digunakan oleh peradilan agama mengalami pasang surut, pasalnya hukum material adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqih, yang sudah barang tentu rentan dengan perbedaan, terlebih bangsa Indonesia yang telah lama dijajah oleh bangsa lain yang bukan hanya berpengaruh pada politik pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga agama.
Hukum materil peradilan agama selama ini (pada masa lalu) bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama' masa lalu yang dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut disatu sisi dan adanya kesamaan di sisi lain, telah dikelurkan UU No. 1946 adb UU No. 23 tahun 1954 yang mengatur hukum perkawinan, talak dan rujuk. Undang-undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro peradilan agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No.54 tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Bagi pemerintah, lantaran ini masih dianggap belum ada kepastian hukum, makanya pada 2 Januari 1974 pemerintah mengesahkan UndangUndang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan kemudian di susul dengan Peraturan Pemerintah (PP) no 28 tahun 1977 tantang perwakafan tanah milik, yang merupakan titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf masih diluar hukum terulis, sehingga masih banyak terjadi perbedaan putusan oleh pengadilan agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar hukumnya dari kitab fiqih yang berbeda meskipun kitab-kitab rujukan telah dibingkai dalam 13 kitab di atas.
Walaupun UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang di dalamnya mengatur peradilan agama disahkan sejak anggal 17 Desember 1970, namun secara riil pengadilan agama sesuai dengan undang-undang tersebut baru berjalan setelah adanya SKB (Surat Keputusan Bersama) antara Mahkamah Agung dan Menteri Agama No 01,02,03, dan 04, tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Sedangkan hukum materialnya masih bersekat pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan sebagian tercantum dalam UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sebagaimana sifatnya, fiqih itu sangat toleran terhadap hukum yang berkembang disekelilingnya, dengan kata lain fiqih sangat toleran terhadap situasi dan kondisi yang melingkupi, sehingga lahir kaidah: AlHukmu yaduru ma'a Ilatihi Wujudan Wa Adaman, bahwa hukum itu akan beredar sesuai dengan ada atau tidaknya alasan, kemudian Ibnu Qoyyim mengemukakan kaidah yang semakna, yaitu: hukum berubah dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Namun pada sisi lain negara-negara muslim juga memberlakukan hukum Islam dalam peraturan perundang-undanganya.
Yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam menyelesaikan perkara di pengadilan agama menyangkut bidang:
Ada mekanisme tertentu yang sering diterapkan oleh para hakim untuk memutuskan perkara, selain yang tertera dalam hukum acara pengadilan agama, dalam ijtihadnya seringkali hakim hanya menggunakan hukum materiel berupa KHI sebagai acuan memutuskan perkara meskipun bersifat fakultatif.
Kegiatan hakim perdata menjadi model dalam penemuan hukum, karena hakim perdata lebih luas ruang geraknya daripada hakim pidana. Penerapan hukum harus didahului dengan aktivitas penemuan hukum lazim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau penegak hukum lainnya yang diberi tugas menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang kongkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada istilah “penemuan hukum”, karena istilah penemuan hukum seakanakan hukumnya sudah ada, sedangkan dalam menentukan hukum terhadap suatu peristiwa hukum, justru tidak ada ketentuan hukumnya harus dilakukan penemuan hukum melalui ijtihad hakim, sehingga hukumnya ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut Ada dua aliran dalam penemuan hukum.
Oleh karena itu, hakim harus tunduk pada pembentukan UU. Kedudukan hakim hanyalah corong UU dan peradilan hanyalah suatu bentuk silogisme. UU merupakan premis mayor, peristiwanya yang konkrit merupakan premis minor, dan putusan hakim perupakan konkluisnya.
Untuk mengetahui prosedur penemuan hukum, maka harus mengetahui tahap-tahap pemeriksaan perkara perdata, dalam upaya melakukan penemuan hukum, maka perististiwa itu harus diarahkan kepada undang-undangnya agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwa yang konkrit. Sedangkan undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit tersebut.
Metode penemuan hukum maupun metode penerapan hukum dalam ilmu hukum umum tersebut diatas dikaitkan dengan metode penemuan hukum (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq al-hukm) dalam hukum Islam tampak jauh berbeda metode yang dipergunakan. Sebagai gambaran umum tentang metode dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu negera menurut hukum Islam telah dikemukakan oleh para juris Islam (fuqoha’) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode penafsiran maupun dari struktur bahasanya. Sehingga dirumuskan metode sebagaimana dimuat dalam karya mereka yang disebut ushul fiqh.
Di dalam ilmu ushul fiqh, dirumuskan metode untuk memahami hukum Islam dan untuk memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). Sarjana modern sepakat bahwa Imam Syafi’i (Muhammad Idris Asy- Syafi’i) mempunyai jasa besar sebagai pendiri atau guru arsitek ushul fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul kemudian.
Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakkan oleh Imam Mujatahid (Malik bin Anas, 714-795 M, abu Hanifah, 699-767 M, Muhammad Idris As-Syafi’I, 767-819, Ahmad bin Hanbal, 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakan untuk menemukan hukum dan penerapan hukum, maupun meberlakukan hukum dalam suatu negara. Metode yang dijelaskan secara rinci dalam ushul fiqh menurut Tahrir Mahmood merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya, yaitu metode musawati mazhahib al-Fiqh (equality of the schools of Islamic law), istihsan (juristic equality), masalih al-mursalah (public interest), siyasah syari’ah (legislative policy of the state), istidlal (juristic reasioning), taudi’ (legislation), tadwin (codivication).
Suatu perintah undang-undang untuk melakukan perdamaian atau menyelesaikan perkara dengan damai ADR (Alternative Dispute Resolution), maupun hakim mediator yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung RI dalam Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tidak lain maksud dan tujuannya di samping untuk pembatasan kasasi secara substantif dan prosessual, juga agar penyelesaian sengketa hukum berakhir dengan damai. Penyelesaian perkara dengan damai adalah inti dari metode murslah maupun istihsan.
Namun persoalannya, dalam banyak kasus, terutama sengketa di pengadilan banyak para pihak setalah sidang, banyak yang tidak merasa legowo (menerima putusan apa adanya), karena dianggap belum mencapai taraf adil. Sehingga usai sidang acap kali terjadi pertengkaran antara penggugat dan tergugat yang masih menyimpan rasa diberi ketidakadilan dalam kasus tersebut. Jadi kesan istihsan jauh dari kasus tersebut.
Mengenai ijtihadnya, hakim agama se Indonesia ketika memutuskan perkara, hakim agama menggunakan ijtihad istinbathi yaitu ijtihad yang dilakukukan berdasarkan pada nash-nash syari’at dalam menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.