Loading AI tools
artikel daftar Wikimedia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Pertempuran Shanghai adalah pertempuran pertama dari 22 pertempuran besar antara Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini adalah salah satu yang paling besar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.
Pertempuran Shanghai | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua | |||||||
Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok | Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong |
Hasegawa Kiyoshi Heisuke Yanagawa Iwane Matsui | ||||||
Kekuatan | |||||||
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade, 200 pesawat terbang |
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade, 500 pesawat terbang, 300 tank, 130 kapal laut | ||||||
Korban | |||||||
~200,000 | ~70,000[1] |
Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, sering kali dikenal sebagai ”insiden”, yang membuat Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan untuk memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai bertujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang diperlukan kepada pemerintah Tiongkok untuk memindahkan industri-industri vital ke tempat yang lebih dalam, di mana pada saat yang sama berusaha mengambil simpati Kekuatan Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang bertempur di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, tempat Jepang melakukan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan kekuatan pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada akhirnya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian besar pasukan terbaik mereka, serta gagal mendapatkan intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan besar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan pikiran superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Cerita kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan cerita selanjutnya mengenai kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangkitnya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.
Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai dikenal sebagai Pertempuran Songhu (Hanzi: 淞滬會戰; Pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song berasal dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melalui Shanghai. Hu (滬) adalah singkatan untuk kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut dikenal sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変 , Dai-niji Shanhai jiken), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 adalah sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian antara dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan untuk memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berlangsung dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu saat Tentara Revolusioner Nasional berusaha menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berlangsung dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak bertempur dari bangunan ke bangunan, dengan Jepang berusaha memperoleh kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berlangsung dari 27 Oktober hingga akhir November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjepitan Jepang, dan kemudian pertempuran di jalan menuju ibu kota Tiongkok, Nanjing.
Pertempuran Shanghai adalah pertempuran besar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir seluruh wilayah Tiongkok. Terdapat beberapa penyebab pokok untuk peristiwa ini.
Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, kebanyakan pertempuran berlangsung di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang dikenal sebagai Pertempuran Beiping–Tianjin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak ingin tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan memperoleh teritori Tiongkok lebih jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melalui Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Besar (1933), dan melalui jual beli permukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo buatan Jepang. Pada saat bangkitnya Front Persatuan Kedua yang dibentuk setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap agresi Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan untuk memulai perang skala penuh dengan Jepang.
Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis berikutnya dari tentara Jepang adalah maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang berarti bahwa tentara Tiongkok harus bertahan sepanjang sumbu horisontal, untuk berusaha mengurung gerak maju musuh melalui gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang memiliki superioritas dalam hal kualitas di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang melakukan aktivitas politik di Provinsi Hebei sebagai bagian Perjanjian He-Umezu. Selain itu, kebanyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting untuk dicatat, Jepang dapat dengan mudah melakukan penguatan pasukan melalui Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya kendaraan bermotor dan jalur kereta api. Sebagian besar pasukan Tiongkok mencapai garis depan dengan berjalan kaki. Hal ini membuat penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dilakukan oleh pasukan Tiongkok.
Jika tentara Jepang berhasil melakukan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan kemudian bergerak ke timur dengan melakukan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok harus mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk antara Jerman dan Prancis yang terjadi kemudian. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur kekuatan Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena sudah tidak ada lagi tempat untuk mundur. Berdasarkan kemungkinan terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang adalah memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan cara ini, pasukan Tiongkok akan memiliki cukup ruang untuk mundur di barat daya dan mengumpulkan kekuatan kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok adalah bertempur sedapat mungkin untuk menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan untuk memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini adalah dasar dari strategi menjual ”ruang untuk waktu.”
Opini publik dan patriotisme adalah juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang untuk melangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Partai Komunis Tiongkok sebelum mengadakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangkit dari resolusi perdamain Insiden Xi'an, Chiang Kai-shek mencapai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia terlihat sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang memiliki kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya untuk mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.
Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok memerlukan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu membangun tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal kekuatan untuk melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga lebih memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang merupakan karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan untuk melakukan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, bertempur dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, tetapi akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada kekuatan militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membuat lebih banyak kelonggaran akan membuatnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, tetapi dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian besar bagi Chiang.
Chiang juga tidak dapat mencegah lepasnya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibu kota Republik Tiongkok saat itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut adalah juga kekuatan ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut adalah juga satu-satunya tempat di Tiongkok di mana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak memiliki penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang masih tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Jadi Chiang harus mempertahankan Shanghai dengan segala cara karena kota ini merupakan inti administrasi politik dan ekonominya.
Shanghai adalah kota kosmopolitan serba ada, tempat penanaman modal serta aset dari banyak kekuatan internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis. Secara tradisional, Kekuatan Barat tidak ingin mengutuk agresi Jepang ke Tiongkok karena situasi Eropa dan agenda politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, kekuatan ekonomi terbesar, dan Britania Raya, kekuatan kolonial terbesar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa tindakan penyimpangan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.
Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jenderal Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Perjanjian Sembilan-Kekuatan tidak lebih daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berharap bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok harus bersiap untuk bertempur sendirian setidaknya untuk dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan situasi internasional apapun.
Chiang dan para penasihatnya agak percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah bertempur dan memaksa Jepang untuk tidak bergerak maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menempatkan pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim untuk tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai diawasi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak memiliki cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok harus mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang untuk mundur menuju pantai sebelum mereka sempat melakukan penggabungan.
Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, dibuat untuk mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik untuk memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) antara Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) antara Wuxi dan Jiangyin, berada dalam posisi untuk melindungi jalan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut selesai. Namun pelatihan personel yang diperlukan untuk mempertahankan posisi dan mengoordinasi pertahanan belumlah selesai saat perang pecah.
Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, meliputi provinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang lebih jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boikot terhadap produk-produknya yang berdampak serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kepentingan komersial Jepang berada di kota tersebut.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak untuk meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan warga negara Jepang dari kemungkinan konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi angkatan darat secara konsisten menolak untuk bekerja sama hingga awal Agustus. Salah satu alasannya adalah bahwa angkatan darat tidak berharap hadir di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa tindakan semacam itu akan menciptakan kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang berbatasan langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak ingin mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Angkatan Darat Jepang juga tidak berharap menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan kekuatan asing lain yang hadir di wilayah tersebut. Komando Angkatan Darat Jepang juga memiliki opini yang sangat rendah mengenai kemampuan bertempur Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya bertempur dengan tentara Jepang yang jauh lebih superior.
Oleh sebab itu, Jepang berharap mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, untuk menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Angkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah untuk menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, tempat perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi angkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan keinginannya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal angkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jenderal tersebut menegaskan bahwa front Shanghai harus menjadi tanggung jawab mutlak Angkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Angkatan Darat menyetujui keinginan angkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.
Militer Jepang yakin dapat mengatasi kekuatan Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang memiliki garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan memiliki sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang dikenal sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai akibat dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang memiliki banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan kebanyakan darinya digunakan untuk keperluan militer. Markas besar marinir Jepang berada di dekat pabrik tekstil, dan terdapat lebih dari delapan puluh tempat mendudukkan meriam dan bungker dari berbagai macam jenis di seluruh kota. Armada Ketiga Jepang juga memiliki kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melalui Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan jumlah tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.
Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berusaha masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang bermarkas di dekat lapangan terbang militer. Hingga kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang meminta maaf atas aksi Oyama, karena jelas sebuah tindakan intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang ada di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang adalah penghinaan terhadap Angkatan Darat Jepang, dan situasi akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain untuk tindakan agresi Jepang, tidak jauh berbeda dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menempatkan pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.
Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan besar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan besar tidak berharap berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu aktivitas ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bertemu untuk terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa keinginan Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak adalah tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Akhirnya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi sudah tidak mungkin dan tidak ada alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.
Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil antara Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut hingga pukul 4, ketika markas besar Jepang memerintahkan kapal-kapal angkatan laut Armada ke-3, yang ditempatkan di Sungai Yangtze dan Huangpu untuk membuka tembakan terhadap posisi Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong untuk memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, angkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan kekuatan daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap agresi Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.
Rencana awal Zhang Zhizhong adalah mengejutkan Jepang dengan serangan berkekuatan besar dan menekan mereka hingga Sungai Huangpu, kemudian memblokade pantai untuk mencegah kesempatan Jepang melakukan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu antara Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas besar Jepang dekat Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, di mana komando angkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan selesai dalam waktu 1 minggu. Namun operasi ini menjadi kacau saat pasukan bertempur tanpa gerak maju di luar Permukiman Internasional Shanghai. Jepang kemudian memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati kedudukan meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang ada di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan hilang dengan cepat.
Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya untuk menguasai jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah jalan berhasil dikuasai, pasukan Tiongkok segera membangun blokade kantung pasir dan mengatur tembakan agar pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun kemudian Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang ada di jalan-jalan besar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat untuk menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.
Pada 18 Agustus, Chen Cheng mencapai garis depan untuk mendiskusikan situasi dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di bagian utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 mencapai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan posisi lebih lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infanteri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak berguna ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan kemudian terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Saat pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan lebih dari 90 perwira dan seribu personel.
Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 melakukan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardmen laut dan melakukan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang berarti bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, harus diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir untuk menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis depan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu hingga ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota harus tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara posisi garis depan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, hingga situasi di tempat lain membuatnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini lebih lanjut.
Pada 14 Agustus, skuadron udara Angkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu warga sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi besar. Angkatan Udara Republik Tiongkok yang masih muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Angkatan Udara untuk meningkatkan moral penduduk Tiongkok. Kekuatan udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal angkatan laut Jepang. Dari 15 hingga 18 Agustus, kekuatan udara Tiongkok bertempur dengan angkatan udara Jepang yang secara kuantitas lebih superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok bertempur di udara dengan mengerahkan seluruh pesawat tempurnya, dengan sebagian di antaranya adalah pesawat tempur bekas yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesulitan dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang memiliki industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan mudah digantikan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok untuk memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, jumlah yang kira-kira hampir setengah dari keseluruhan kekuatan angkatan udara Tiongkok.
Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat diselesaikan dengan cara perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal untuk melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah meluas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok untuk bekerja sama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pengeboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.
Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggung jawab dalam melaksanakan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membuat cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha mendapatkan senjata yang berkemampuan menembus bungker-bungker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang berakibat pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya mengadakan konferensi pers, baik untuk wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol adalah Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri akhirnya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun jumlah tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih objektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.
Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, hingga 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berlangsung di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai hingga kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir tempat Jepang melakukan pendaratannya.
Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berharap, kota-kota pesisir ini dapat dengan mudah didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menempatkan Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, baik dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan seluruh garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri untuk menghadapi pasukan Jepang yang baru saja melakukan pendaratan setelah pembombardiran.
Hingga dua minggu selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh angkatan udara serta hampir tanpa keberadaan angkatan laut. Tiongkok harus membayar sangat mahal untuk pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu hingga hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada saat pertempuran sedang mereda saja. Lebih lagi, daerah pesisir yang berpasir membuat sulit membangun benteng pertahanan yang kukuh. Banyak parit yang longsor saat hujan. Tiongkok harus berlomba dengan waktu dalam membangun dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesulitan logistik juga berarti sulit untuk mengangkut material pertahanan ke garis depan. Pasukan Tiongkok sering kali mengambil material untuk pertahanan dari puing-puing reruntuhan bangunan. Namun, Tiongkok tetap terus berusaha bertempur walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berusaha bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Biasanya Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat angkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari saat Tiongkok melakukan serangan balasan.
Serangan dan serangan balik berlangsung hingga akhir Agustus, saat kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang masih tersisa untuk mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya untuk bertahan hingga titik darah penghabisan. Serangan artileri Jepang membuat sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari bangunan ke bangunan. Pada 6 September Baoshan jatuh. Seluruh batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam aksi ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.
Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil posisi bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, tetapi merupakan titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Keberhasilan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian harus dipertahankan berapa pun harganya. Untuk pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang lebih dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.
Pembantaian besar-besaran yang terjadi membuat pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang biasanya dimulai saat fajar dengan pengeboman udara yang terpusat, diikuti dengan pelepasan balon pengamat untuk menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa untuk dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infanteri Jepang kemudian dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang kemudian juga akan menemani infanteri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.
Pertahanan Tiongkok sulit untuk dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam untuk memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Saat fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang lebih sedikit untuk mengurangi korban jiwa yang diakibatkan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok kemudian akan muncul dari posisi belakang untuk menghadapi musuh saat ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri berhenti.
Meskipun memiliki keunggulan jumlah pasukan, mempertahankan Luodian adalah ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang memiliki sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam posisi pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif hingga Jepang praktis menguasai Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan untuk mempertahankan setiap inci persegi dari wilayah kota hingga titik darah penghabisan. Taktik ini membuat makin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng mencapai lebih dari 50 persen. Di akhir September, Tiongkok sudah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.
Pada 1 Oktober, atas nasihat komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan memperluas pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober untuk menaklukkan pemerintahan Tiongkok untuk mengakhiri perang. Pada saat ini, Jepang menaikkan jumlah pasukannya di wilayah Shanghai hingga lebih dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis depan telah bergeser lebih jauh ke selatan hingga tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang adalah menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang merupakan penghubung komunikasi pasukan Tiongkok antara pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.
Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok harus menyerahkan posisi mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu untuk menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang adalah vital untuk mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Untuk ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang masih tersisa dan dapat diselamatkannya untuk mempertahankan Dachang.
Pertempuran antara kedua pihak berlangsung maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September hingga 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat berpindah tangan hingga lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi akhirnya tiba untuk bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok kemudian melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan merebut kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang menggunakan sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom untuk operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur hingga menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya hingga laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok mencapai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berlangsung hingga 25 Oktober, saat Dachang akhirnya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak memiliki pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.
Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok untuk mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei untuk mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Perjanjian Sembilan-Kekuatan sedang berlangsung di Brussels untuk sebuah kemungkinan intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan berkumpul kembali untuk bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.
Rencana awal Chiang adalah bertempur di area selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, kekuatan pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Kekuatan kebanyakan satuan tinggal setengah kekuatan awal, sehingga sebuah divisi hanya memiliki kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada saat ini, tentara Tiongkok membutuhkan antara 8 hingga 12 divisi untuk mengimbangi kekuatan tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng untuk melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok untuk meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur untuk menaikkan moral pasukannya, tetapi demikian situasi memang sudah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melintasi Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok sudah berada dalam batas daya tahan.
Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah merumuskan rencana untuk melakukan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, untuk melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan antara akhir Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang untuk mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kemungkinan pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di akhir Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang ada di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membuat Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan mudah di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya berjarak 40 km dari tepian Sungai Suzhou, tempat pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.
Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jenderal Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Area Army = CCAA) dibentuk dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo untuk menyerang Nanjing. CCAA kemudian diatur ulang dan Letnan Jenderal Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit untuk ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:
Nanjing adalah ibu kota Tiongkok dan penaklukkannya adalah sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan saksama harus dilakukan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai bertujuan untuk menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan baik pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan harus menanamkan dalam pikiran untuk tidak melibatkan warga negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam masalah dan memelihara hubungan dekat dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.
Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit untuk ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status lebih tinggi daripada Jenderal Iwane Matsui, yang secara resmi adalah panglima tertinggi, tetapi jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka memiliki otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jenderal Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.
Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.
Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir seluruh kesatuan melintasi jarak 400 km dalam waktu kira-kira satu bulan. Dengan mengasumsikan bahwa penaklukan ibu kota Tiongkok akan menjadi titik balik menentukan dalam perang, terdapat keinginan kuat menjadi di antara yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]
Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di jalan menuju Nanjing, dan seperti biasanya jumlah mereka jauh lebih banyak. Semakin dekat Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan kualitasnya.[10]
Pendaratan Jepang di Jinshanwei berarti bahwa tentara Tiongkok harus mundur dari front Shanghai dan berusaha untuk lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berharap Perjanjian Sembilan Kekuatan (Nine-Power Treaty) dapat menghasilkan sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bergerak menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan akhir untuk mencegah Jepang mencapai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok sudah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bergerak menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok bertempur dengan sisa tenaga mereka dan garis depan berada di ambang keambrukan.
Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang memiliki peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi saat mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berharap dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok kemudian bergerak menuju Garis Xicheng, yang kemudian terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan merupakan garis terakhir pertahanan antara Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua minggu. Namun begitu, pertempuran terus berlangsung tanpa henti di jalan menuju ibu kota Tiongkok dan pertempuran berikutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.
Di awal Desember, pasukan Jepang telah mencapai pinggiran Kota Nanjing.
Meskipun Pertempuran Shanghai adalah yang pertama dari 22 pertempuran besar antara Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek untuk mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya menghasilkan akibat yang signifikan. Pada saat perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya kekuatan militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan merupakan petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan konsep perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan baik dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di antara jumlah ini, sekitar 80.000 adalah divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta angkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang untuk mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat antara 1929 hingga 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangkit dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin merupakan divisi terbaik di antara divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan kekuatan hanya 7000 personel, dengan 3000 di antaranya adalah rekrutan baru untuk menggantikan para veteran yang hilang. Kehancuran kekuatan militernya juga memaksa Chiang mempercayai jenderal-jenderal non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan kekuatan militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Akibatnya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya jumlah personel tempur terbaik Tiongkok juga membuat rencana dan eksekusi operasi militer berikutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang untuk membangun sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan untuk Pertempuran Shanghai.
Alasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membuat mereka berada di ambang kehancuran, adalah harapan akan adanya intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian besar tercurah ke situasi di Eropa. Selain itu, kebanyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit harapan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada akhirnya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk akal bagi mereka membantu Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek harus mencurahkan segalanya untuk memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik antara Tiongkok dan Jepang yang terjadi adalah perang skala besar, bukan kumpulan ”insiden” yang tidak berkaitan seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek harus memerintahkan pasukan-pasukannya untuk bertempur sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berharap komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat membantu Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.
Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat merumuskan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan merupakan anggota Liga, sementara Britania Raya dan Prancis enggan untuk menantang Jepang. Di antara semua kekuatan besar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat bertindak lebih karena tidak terlibat situasi Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang bertempur dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini memiliki efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak memiliki keinginan untuk berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan untuk menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif untuk mengadakan rapat Konferensi Perjanjian Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang agresi Jepang karena Perjanjian Sembilan Kekuatan merupakan hasil dari Konferensi Angkatan Laut Washington pada 1922.
[[Berkas:Shanghai1937KMT chiang kai shek.jpg|jmpl|ka|140px|Generalissimo Chiang Kai-shek di garis depan.] Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa harapan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai untuk membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, situasi pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang memperoleh hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok harus mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Perjanjian Sembilan Kekuatan baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya untuk bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng untuk mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian untuk mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis depan untuk meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai adalah kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok harus bertempur dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur untuk memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tak bernama sepanjang jalan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi akhirnya dilangsungkan di Brusel. Saat kekuatan barat sedang bersidang untuk menengahi situasi, pasukan Tiongkok berusaha berdiri untuk terakhir kalinya dan menaruh semua harapan pada intervensi barat untuk dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.
Konferensi berjalan berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dilakukan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, kekuatan barat, termasuk Amerika Serikat, masih mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak ada hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang melakukan pendaratan amfibi di Jinshanwei untuk mengepung pasukan Tiongkok yang masih bertempur di wilayah perang Shanghai. Chiang masih menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Perjanjian Sembilan Kekuatan dan memerintahkan pasukannya untuk terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari kemudian pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan untuk mundur dari keseluruhan front Shanghai untuk melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup untuk memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur akibat pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini berakibat langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Perjanjian Sembilan Kekuatan bersidang untuk yang terakhir kalinya untuk selanjutnya ditangguhkan hingga waktu yang tidak ditentukan, tanpa menghasilkan tindakan-tindakan apa pun yang dapat menghentikan agresi Jepang. Dalam laporannya, Jenderal Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan kebanyakan kampanye Shanghai, strategi militer sering kali tergantikan oleh strategi politik. Adalah tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh harapan pada intervensi asing, memaksa pasukan untuk melakukan pengorbanan berlebihan di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa memerlukan bantuan asing dan harus berkorban hanya untuk membuktikan kapasitas mereka dalam bertempur dan bertahan. Di akhir pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya untuk menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, harapan akhir akan adanya intervensi barat tidak pernah ada.
Berkenaan dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai membeli cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok untuk memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibu kota Tiongkok semasa perang. Kesulitan dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pengeboman Jepang, berarti bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini merupakan inti industri masa perang, yang sangat berguna khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Jalan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai untuk memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas untuk memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang untuk waktu” membuktikan kebergunaannya.
Pertempuran Shanghai adalah sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh berarti bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan ketetapan hati Tiongkok untuk tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek untuk bertahan sampai mati sangat membuat lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya untuk dua minggu saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan agar tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu untuk melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah berbeda jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan lebih panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik adalah melibatkan kekuatan barat ke dalam perang dengan memperoleh simpati melalui perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berlangsung selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan hingga perubahan-perubahan situasi internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan seluruh pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus bertempur untuk delapan tahun berikutnya hingga Jepang akhirnya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Prancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam minggu.
Lebih jauh lagi, Pertempuran Shanghai adalah contoh pertama tentara-tentara provinsial mau bekerja sama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, bertempur untuk penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka bertempur saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga bertempur dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini adalah dorongan moral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban besar yang diakibatkan oleh Tiongkok dan kesulitan penaklukan menyebabkan pasukan Jepang melakukan Pembantaian Nanjing sebagai tindakan balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan ketetapan hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan mudah dan kemudian memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan bertubi-tubi dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” adalah bukti kebulatan tekad Tiongkok untuk meneruskan perang dan bertempur hingga titik darah penghabisan.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.