Loading AI tools
pahlawan nasional Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Pangeran Diponegoro atau Raden Ontowiryo (11 November 1785 – 8 Januari 1855 ) adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwana III dan seorang pahlawan nasional Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.[1]
Pangeran Diponegoro | |
---|---|
Sultan Abdul Hamid Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa | |
Kelahiran | Bendara Raden Mas Mustahar 11 November 1785 Ngayogyakarta Hadiningrat |
Kematian | 8 Januari 1855 69) Makassar, Hindia Belanda | (umur
Pemakaman | |
Pasangan | Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih, Bendara Raden Ayu Retno Madubrongto, Raden Ayu Citrawati, R.A Maduretno, R.A Ratnakumala, Raden Ajeng Supadmi, Raden Ayu Ratnaningrum,Raden Ajeng Ratnadewati |
Wangsa | Mataram |
Ayah | Sultan Hamengkubuwana III |
Ibu | R.A. Mangkarawati |
Agama | Islam |
Dikenal atas |
Sejarah mencatat Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta gulden. Sebagai konversi 1 gulden merupakan uang yang setara dengan satu gram emas sebagai persamaan, dan saat itu total pendapatan pemerintah Hindia Belanda per tahunnya adalah 2 juta gulden maka perang ini menghabiskan 10 tahun APBN Belanda dalam 5 tahun.
Perang Jawa berakhir setelah para pemimpinnya menyerahkan diri atau ditangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang ketika melakukan silaturahmi Idul Fitri atas perintah Jenderal De Kock. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhir hayatnya.
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III.[2] Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian setelah dewasa menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.[3]
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.[2] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam Babad Diponegoro di jelaskan kalau semasa kecil Diponegoro di ajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di tegal rejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.[4]
Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Dipnegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.[5]
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama asli Raden Mas Muntahar. Ia menerima nama dewasa dan gelar Bendara Raden Mas Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.[6] Pada usia itu pula Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim yang diambil dari bahasa Arab Shaykh 'Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri.[7]
Setelah ayahnya naik takhta sebagai Hamengkubuwana III, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara pada Juli 1812. Gelar Pangeran Dipanegara atau Diponegoro ini sebenarnya gelar yang lumrah diberikan kepada pangeran Jawa. Setidaknya salah seorang putra Pakubuwana I yang memberontak pada masa Perang Suksesi Jawa Kedua dan suami kedua dari putri Hamengkubuwana I yang meninggal pada 1787 pernah menyandang gelar tersebut. Gelar ini juga disandang adik Pakubuwana IV yang meninggal pada 1811. Mengingat hanya satu pangeran yang boleh menyandang gelar tertentu pada satu waktu dan gelar tersebut sudah lama tidak dipakai di Kraton Yogya sejak 1787, maka HB III menganugerahkan gelar itu pada anak tertuanya sekaligus putra kesayangannya. Diponegoro sendiri pada akhirnya mewariskan gelar tersebut ke anak sulungnya, Diponegoro II, sewaktu perjalanan ke pengasingan. Diponegoro memberikan analisis terkait makna namanya tersebut kepada pengawalnya di pengasingan, Julius Knoerle.[8][9]
"'Dipo' [dari bahasa Sankrit 'dipa'] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan [...] 'negoro' berarti suatu daerah [...] maka 'Diponegoro' berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)" (Knoerle, 'Journal', 10).
— Carey 2017:187
Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit.[10] Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama.[11] Gelarnya selama Perang Jawa adalah Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa yang berarti Sultan Abdul Hamid (Ngabdulkamit), Ratu Adil (Erucokro), Pemimpin Agama (Sayyidin), Penata Agama Panatagama) dan Khalifah Rasulullah (Kalifatu Rosulillah) di tanah Jawa (ing Tanah Jawa).[12]
Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai "Pangeran Ngabdulkamit". Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai 'fakir' Ngabdulkamit. Pemilihan nama Ngabdulkamit ini mungkin berhubungan dengan Abdul Hamid I, Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai 'khalifah' atau pemimpin umat Islam di seluruh dunia.[11] Setelah Perang Diponegoro, di mana banyak keluarga dan kerabat Diponegoro yang dicap sebagai pemberontak dan diasingkan oleh pemerintah Belanda, gelar kepangeranan Diponegoro dilarang diberikan kepada seluruh anggota keluarga keraton-keraton Jawa tengah bagian selatan.[13][14]
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.[15]
Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya.[15] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[16]
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwana III.[16] Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[16]
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.[17]
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Pernikahan ketujuh dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan; pernikahan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.[17][18]
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, di antaranya Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[19]
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda, meski lebih banyak menghabiskan hidup di pengasingan. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.[15]
Pangeran Diponegoro memiliki kemampuan berbahasa Jawa meski ia tak pandai menulis aksara Jawa[20], sedikit bahasa Melayu, dan sedikit bahasa Belanda. Namun, sebisa mungkin ia menghindari berbicara dalam bahasa Melayu, yang menurutnya seperti 'basa pitik' (bahasa ayam) sehingga tak ada satupun pemimpin Jawa yang ingin mendengarnya.[20] Dengan kata lain ia memandang rendah status bahasa Melayu yang saat itu digunakan untuk perdagangan dan komunikasi (lingua franca) antara orang pribumi dan orang Eropa.
Meski menjalani sebagian hidupnya di Tegalrejo, Diponegoro tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta. Ia tetap menghadiri Grebeg Maulud dan Grebed Puasa, dua upacara besar dalam tradisi Islam-Jawa.
Ia dikenal sebagai salah satu penasihat pribadi ayahnya selama ayahnya menjadi Putra Mahkota hingga diangkat sebagai Sultan HB III. HB III mendiskusikan banyak urusan dengan Diponegoro. Salah satunya saat mereka memutuskan mengangkat Danurejo IV untuk menggantikan Danurejo III yang sudah lanjut usia.[21] Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah dan Residen Inggris yang bernama John Crawfurd untuk menjadi sultan bahkan sampai dua kali. Padahal, sebagai anak laki-laki tertua ayahnya dan pangeran yang kompeten, Diponegoro layak menduduki posisi sultan. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang hanya garwa ampeyan (selir), bukan permaisuri, membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu, dia juga tidak mau menjadi sultan karena melihat posisi ayahnya sebagai sultan tetapi kurang independen karena mendapatkan tekanan di sana-sini dari Inggris dan Belanda yang memengaruhi banyak kebijakan keraton.[4]
Saat HB III wafat, adik laki-laki Diponegoro yang masih berusia 10 tahun diangkat sebagai Hamengkubuwana IV. Diponegoro sangat memperhatikan dan mengawasi pendidikan sultan muda itu. Ia sering datang dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan 'Fatih al-Muluk' (Kemenangan Raja-Raja). Diponegoro juga merekomendasi banyak teks bacaan[22] untuk adiknya. Meski demikian, HB IV bukanlah seseorang yang rajin belajar. Ia lebih suka kesenian dan berkuda ketimbang literatur Jawa.
Setelah Hamengkubuwana IV meninggal mendadak pada Desember 1822, ibunda HB IV, Ratu Ageng, dan janda HB IV, Ratu Kencono memohon Pejabat Residen Belanda, De Salis, untuk segera mengukuhkan Putra Mahkota yang baru berusia dua tahun untuk naik takhta sebagai Hamengkubuwana V sekaligus meminta Paku Alam I tidak lagi menjadi wali raja.
Setelah mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal van der Capellen, De Salis merekomendasikan dewan perwalian yang berisi empat orang, yakni Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertanggungjawab untuk mengasuh sultan. Sementara dua pangeran ditunjuk untuk pengelolaan keraton hingga sultan cukup umur. Dua pangeran wali juga menerima pembayaran pajak pasar dan pajak gerbang cukai senilai 100 ribu dolar Spanyol setiap tahunnya secara langsung tanpa melalui Patih Danurejo IV. Patih hanya diperbolehkan mengendalikan pemerintahan jika kedua pangeran itu lalai dalam tugasnya.[23]
Tak lama setelah HB V diangkat, terjadi penghapusan sewa tanah oleh orang Eropa sehingga keraton sebagai pemilik tanah harus memberikan ganti rugi kepada para penyewa. Diponegoro dan Mangkubumi yang mengemban tugas mengelola keuangan keraton bertindak atas nama sultan untuk bernegosiasi terkait skema ganti rugi. Residen Nahuys meminta kompensasi yang sangat tinggi yang ditolak oleh kedua pangeran itu sehingga akhirnya menawarkan harga 26 ribu dolar Spanyol. Ratu Ageng memerintahkan Danurejo IV untuk menerima tawaran itu tanpa persetujuan Diponegoro dan Mangkubumi. Kompensasi yang sangat besar itu berimbas pada keuangan keraton yang menipis hingga keraton perlu meminjam uang ke Kapitan Cina dan Diponegoro dipaksa menyetujuinya. Dalam banyak urusan keraton, termasuk urusan keuangan, Ratu Ageng dan Danurejo IV cenderung mengikuti permintaan Belanda karena takut terjadi apa-apa pada HB V yang masih anak-anak. Sementara Diponegoro dipaksa memberi cap persetujuan saja dan semua hal penting diputuskan tanpa kehadirannya.[24] Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[4] Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.[25]
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[26]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.[27]
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[26]
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[28]
Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan Pakubuwana VI (PB VI)/ R.M. Sapardan, dan dibantu oleh Tumenggung Prawiradigdaya/ R.M. Panji Yudha Prawira bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten, selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kiai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana IV. Kemudian dengan diantar Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Prawiradigdaya di Gagatan. Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Maja dan Tumenggung Prawiradigdaya, Pangeran Dipanegara menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan.[29] Dukungan tersebut dideklarasikan dalam Sumpah Ati Rata (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasa 1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan (Ketoyan, Wonosegoro, Boyolali). Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat Perang Dipanegara. Tempat dilakukannya Sumpah Atirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Dinrah. Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sapadanig Urip Rila Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja.[30]
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga didukung oleh Sunan Pakubuwana VI (PB VI) dan Sunan Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di Gua Raja di lereng atas Gunung Merbabu yang masuk wilayah Sela (Sesela, nama kuno wilayah ini yang muncul di kumpulan Naskah Merapi-Merbabu, salah satunya Gita Sinangsaya[31]) dan di Alas Krendhawahana. Pertemuan-pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.[32] Usai ditangkap dan diasingkannya Pangeran Dipanegara, Belanda menangkap Mas Pajangswara juru tulis keraton yang juga orang kepercayaan Pakubawana VI (ayahanda pujangga kenamaan Ranggawarsita), yang kemudian disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengaku rahasia keterlibatan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara. Meski tidak mengakui, Belanda memfitnah bahwa Mas Pajangswara membongkar rahasia tersebut, dan dijadikan alasan untuk menangkap Pakubuwana VI yang kemudian dibuang ke Ambon pada 8 Juni 1830 dan wafat pada 2 Juni 1849.[33]
Tumenggung Prawiradigdaya, dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu Ngabehi Prawirasakti (Adimenggala) dari Kadipaten Gagatan (saat ini masuk di wilayah Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah), putra Raden Surataruna III. Ibunya, Raden Ayu Surataruna adalah putri Adipati Natakusuma (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta yang dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirasakti. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta, menjadi murid Syekh Kaliko Jipang (Syeh Kholik dari Jipang, Penghulu Besar Kraton). Ngabehi Prawirasakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Di pondok pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok pesantren Mlangi asuhan Kiyai Taptajani). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan bekalnya saat menjadi bupati pamajegan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di Gagatan bergelar R.T. Prawiradigdaya.[34][35] Pada masa Pakubuwana VI berkuasa, wilayah Gagatan meliputi Karanggede, Klego, Wonosegoro, hingga Juwangi. Menjelang Perang Jawa, Tumenggung Prawiradigdaya mempersiapkan pertemuan Pangeran Dipanegara bersama Pakubuwana VI melakukan Sumpah Ati Rata. Dalam Perang Jawa, Tumenggung Prawiradigdaya gugur dalam peperangan, dan dimakamkan di tempat pemakaman gurunya, Syekh Kalika, di Blunyah Gedhe di utara Yogyakarta.[36]
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.[26]. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[28]
Kiyai Maja IV (Kiayi Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochamad Khalifah, merupakan buyut Kiyai Mojo I/ RT Citrosoma (1788-1820), cucu Kiayi Mojo II, putra Kiayi Mojo III.[37] Kiayi Maja III yang dikenal sebagai Kyai Baderan I memiliki nama Iman Abdul Arif/ Ngabdul Ngarep mendapat anugerah wilayah Maja (Dk. Mojowetan, Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali) dan Baderan (saat ini masuk wilayah Sidowayah, Polanharjo, Klaten) yang saat itu masuk wilayah Pajang, bagian dari Kasunanan Surakarta. sebagai tanah perdikan dari Pakubuwana IV. Muslim Mochammad Khalifah yang kelahiran Maja meneruskan tugas ayahnya sebagai guru agama di pondok pesantren Maja, dan banyak putra dan putri dari Kraton Surakarta belajar di pesantrennya. Di kemudian hari, beliau terkenal sebagai Kiayi Maja IV.[38] Ibu Kiai Maja, yakni R.A Mursilah, adalah saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III.[39] Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Dipanegara kian erat setelah Kiai Maja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Dipanegara. Tak heran, Dipanegara memanggil Kiai Maja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[40]
Kiayi Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di Gua Selarong. Pengaruh dukungan Kiai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.[41] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.[42]
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga. Dalam penahanannya, Kiai Maja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Maja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.[42] Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.[42][43] Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak adanya kubu Kiai Maja dari pasukan Dipanegara.[42]
Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwana IV, yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[44]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya.[44]
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa".[28] Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.[28]
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.[17]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.[28]
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatera Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri. Namun ini hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[44]
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.[17] Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[45]
Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para pendamping yang sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto), Banthengwareng, Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak (Rujakgadhung).[43] Mereka para panakawan disebut juga sebagai bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi.[46]
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan sang Pangeran sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.[46]
Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.[46]
Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran menerapkan sistem pemerintahan keraton di Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian, para panawakan selalu mendampingi setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[46]
Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah tuannya.[46] Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo.[43]
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.[43]
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.[43]
Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[46]
Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830, menuliskan bahwa Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam kondisi kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria, harus berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan cukup makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan Februari 1830.[43]
Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.[17]
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta Pengalasan.[17]
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun.[17] Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.[17]
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.[17]
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[28]
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai "senjata" dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak” bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu,[26] suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[17]
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.[17]
Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[17]
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[10]
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[10]
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.[10]
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.[10]
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.[47]
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.[47]
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.[47]
Sewaktu di Unggaran dalam perjalanannya ke Batavia menuju tempat pengasingan dengan dikawal oleh perwira Belanda, Pangeran Diponegoro berbicara cukup panjang dengan Kapten Roeps (dalam bahasa Jawa) tentang berbagai hal mengenai negosiasi yang baru terjadi dan mengatakan bahwa mendapat kesan kalau dalam negosiasi itu dia tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Jenderal De Kock, mereka akan mengizinkan dia kembali ke pegunungan (Banyumas) tanpa dihalang-halangi. Ini merujuk pada janji yang konon diberikan secara lisan kepada Pangeran Diponegoro dalam negosiasi damai awal di Remokamal (Banyumas) pada 16 Februari 1830 oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwira Belanda yang bertangung jawab atas negosiasi tersebut. Cleerens seakan berjanji kepada Pangeran Diponegoro bahwa Sang Pangeran akan diizinkan untuk kembali ke Pegunungan Banyumas seandainya negosiasi dengan Jenderal De Kock di Magelang tidak membuahkan hasil yang memuaskan baginya. Jaminan ini diabaikan oleh Jenderal De Kock ketika dia menahan Pangeran Diponegoro, tetapi Pangeran Diponegoro kemudian secara tidak langsung mengingatkan Cleerens melalui sepucuk surat yang dikirimkannya dari Makasar pada 14 Desember 1835.[48]
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro ditempatkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditahan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[26]
Pangeran Hendrik yang ayahnya kelak menjadi Raja Willem II (1840-49) menulis dalam buku hariannya saat bertemu dengan Pangeran Diponegoro saat dalam penggasingannya di Benteng Rotterdam, pada 7 Maret 1837. Didalamnya dia mengkritik cara pihak Belanda, khususnya Jenderal De Kock, memperlakukan Diponegoro karena memiliki dampak politik yang sangat buruk di daerah Hindia Belanda:[49]
Jika suatu hari kita menghadapi sebuah kondisi yang tidak diharapkan, yaitu terjadi sebuah perang lagi di Jawa, dimana salah satu diantara kita, entah pihak kita atau orang Jawa akan kalah, tentunya tidak akan ada lagi satu pun pemimpin mereka yang sudi bernegosiasi dengan kita. Saya yakin bahwa penyebab kampung Boonjol di Sumatra menolak untuk menyerah tidak lain disebabkan oleh apa yang diucapkan salah seorang pemimpin orang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol): "Jika saya bersedia datang untuk berunding dengan Belanda, saya yakin akan diperlakukan seperti Diponegoro." Namun, cukuplah tentang ini semua
Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara pelukis Indonesia yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif Bustaman, dengan pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan peristiwa tanggal 28 Maret 1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro", sedangkan Pienaman melukisnya sebagai "Penyerahan Diponegoro".[50]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika berada di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan judul "Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro). Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada Raja Belanda, Willem III.[50]
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah,[50] menunjukkan perlawanan,[51] dan tegar, meskipun para pengikutnya terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.[52]
Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi kanan dengan bendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan pasrah,[50] meskipun tergambarkan tidak menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan berwibawa.[52] Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.[51] Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De Kock yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi tawanan dan penguasa.[51]
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, dan Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan Pangeran Joned dan Ki Sodewa terbunuh dalam peperangan.
Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[15] Berakhirnya Perang Jawa juga merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Bagi sebagian kalangan di Kesultanan Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton. Namun, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dimiliki Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.[53]
Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, tetapi Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Setelah beberapa tahun di Manado , ia dipindahkan ke Makassar pada Juli 1833 di mana ia ditahan di dalam Fort Rotterdam karena Belanda percaya bahwa penjara tidak cukup kuat untuk menampungnya. Terlepas dari status tahanannya, istrinya Ratnaningsih dan beberapa pengikutnya menemaninya ke pengasingan dan dia menerima pengunjung terkenal termasuk Pangeran Henry Belanda yang berusia 16 tahun pada tahun 1837. Diponegoro juga menyusun manuskrip tentang sejarah Jawa dan menulis otobiografinya, Babad Dipanegara, selama pengasingannya.
Kesehatannya Menurun karena usia tua. Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, tetapi mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[53]
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di kampung jera. Kampung jera atau kampung pemakaman berada di lokasi kampung Melayu. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di samping makam Pangeran Diponegoro.[53]
Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi (macapat atau puisi tradisional Jawa/tembang) setebal 1.170 halaman folio, yang menceritakan sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram), yang dituturkan langsung oleh Pangeran Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis sejak Mei 1831 hingga Februari 1832 ketika sang Pangeran diasingkan di Manado. Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon (tanpa tanda baca) dan aksara Jawa. Namun, naskah asli Babad Dipanagara, menurut sejarawan Peter Carey, sudah hilang. Yang ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional dan di Rotterdam, Belanda.[54]
Babad Dipanagara kemudian diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada Juni 2013 sebagai Memori Dunia (Memory of the World (MOW)), yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan budaya.[55]
Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah Primbon, yakni tentang pengaruh Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan Jawa.[54]
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Naga Siluman. Keris terakhir tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, tetapi ditemukan di Belanda dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.[56]
Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Naga Siluman dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[57] Dalam dokumen kesaksian dalam Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran Diponegoro.[58] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Naga Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi museumnya tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di Museum Volkenkunde, Leiden.[59]
Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lodewijk van Gorkom menginformasikan bahwa Keris Pangeran Diponegoro tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan meminta untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985, meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan keberadaan keris tersebut, tetapi ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[60]
Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.[61]
Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[61]
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada tahun 2015.[62]
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.[26] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang, memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal J.C Baud selama 181 tahun.[62]
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya. Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, tetapi dua buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[62]
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan perang.[62]
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya dan tali kuda, yang masih tersimpan di Belanda.[59]
Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.[60]
Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap mohor, yaitu cap yang digunakan untuk menandatangi surat yang sah darinya. Yang tertera dalam cap mohornya ialah:
Dalam Arab Pegon:
اڠکڠ سنوهن کڠجڠ سلطان عبد الحامد ڠيرچکر كبير المؤمنين سيد ڤنتاݢام خليفه رسول الله ص ايڠ تنه جاوي
Dalam Latin: Ingkang Sinuhun Kan(g)jeng Sultan Abdul Hamid Ngerucakra Kabir al-Mukminin Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah s[aw.] ing Tanah Jawi[63]
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, Stadion Diponegoro, dan Kodam IV/Diponegoro. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat sebagai penghargaan, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No 87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[64][65]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Dalam film Pahlawan Goa Selarong (1972), Diponegoro diperankan oleh Ratno Timoer. Sementara dalam salah satu episode sinetron Lorong Waktu, Diponegoro diperankan oleh Andra PSP dan dipanggil sebagai "Om Dip" oleh Zidan.[66]
Sosok Diponegoro juga dimunculkan dalam novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (2019) karya Salim A. Fillah
Pelukis Modern tersohor Indonesia, S. Sudjojono (1913-1985), pernah melukis kekalahan Belanda dalam pertempuran di desa Kejiwan (antara Kalasan dan Prambanan) pada 9 Agustus 1826 dalam sebuah gambar cat minyak yang mengedepankan figur Diponegoro berserban serta berbaju putih dan Mayor Sollewijn berberewok merah.[67] Gambar berjudul "Pasukan kita yang dipimpin Pangeran Diponegoro" (1979) dijual di Sotheby's Hongkong pada 6 April 2014 dengan harga yang cukup menghebohkan, yaitu 7,5 juta dolar AS, lukisan tersebut memecahkan rekor untuk karya pelukis Asia Tenggara,[68] dalam catatan katalognya, lukisan tersebut dibuat sebagai ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenang pahlawan yang telah gugur dan sebagai bentuk keprihatinannya kepada bangsa yang terjebak dalam pertarungan pengaruh asing dan cita-cita revolusioner di kala itu. Lukisan tersebut, dalam laman Sotheby's tertulis, berubah menjadi sebuah kritik sosial tentang kekuatan iman manusia di tengah tirani politik dan emosional dengan memberikan gambaran kesejajaran antara penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia.[69]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.