Cineam (aksara Sunda: ᮎᮤᮔᮦᮃᮙ᮪) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Cineam
ᮎᮤᮔᮦᮃᮙ᮪ | |
---|---|
Koordinat: 7°23′27″S 108°22′05″E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jawa Barat |
Kabupaten | Tasikmalaya |
Pemerintahan | |
• Camat | Drs. Asep Darisman |
Luas | |
• Total | 73,08 km2 (28,22 sq mi) |
Populasi | |
• Total | 33.982 jiwa |
• Kepadatan | 465/km2 (1,200/sq mi) |
Kode Kemendagri | 32.06.20 |
Desa/kelurahan | 10 |
Sejarah
Kecamatan Cineam dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1840, yang diperintah oleh seorang Rangga bernama Dirja dengan membawahi 7 Petinggi (Akuwu), yakni: Desa Cineam, Desa Garunggang (Rajadatu), Desa Situ Hapa (Rajadatu), Desa Cijulang,Desa Cikondang, Desa Ciherang (Karanglayung) dan Desa Gunung Jantra (Sirnajaya).
Pada 1860 sudah dikepalai oleh seorang Camat (Assisten Wedana) pertama yang bernama Resna, yang berada di bawah perintah Rangga Dirja. Sementara, Rangga Dirja dipindah ke Kawasen (Banjarsari) pada 1870, setelah berhasil memenuhi setor kopi ke Belanda selama 30 tahun.
Pada 1888 Onderdistrik Cineam termasuk kedalam wilayah Distrik Pasir Panjang yang terdiri dari 8 Petinggi yakni: Cineam, Garunggang, Ciherang Gunung, Cikondang, Cijulang, Gunung Jantra, Cisarua dan Citalahab.
Para Pejabat Camat Cineam
Berturut-turut pejabat Camat di Kecamatan Cineam adalah sebagai berikut:
A. Zaman Kolonial Belanda (1860 – 1942)
1. 1860: Resna
2. 1865: Sabri
3. 1870: Camat Sepuh
4. 1875: nama tidak diketahui, berasal dari Cikalong Bandung.
5. 1881: nama tidak diketahui, berasal dari Cisegel Bandung.
6. 1886: nama tidak diketahui, berasal dari Pawenang Bandung.
7. 1891: nama tidak diketahui, berasal dari Cimacan Bandung.
8. 1896: Raden Adiwilaga.
9. 1901: Nama tidak diketahui, tetapi oleh masyarakat dijuluki Camat Kelecis, berasal dari Cipongpok. Ungkapan “Kelecis” berarti mata keranjang atau suka main perempuan (Sunda: cunihin).
10. 1906: Raden Sastradiwiria, berasal dari Ciluncat (Desa Madiasari sekarang)
11. 1909: Raden Suriadiharja, berdiam di rumah dinas di Babakan (Desa Ciampanan sekarang)
12. 1912: Raden Wirahadikusumah, berdiam di rumah dinas di Babakan.
13. 1915: Raden Natadiraja, berdiam di rumah dinas di Babakan.
14. 1918: Raden Wangsanagara, berdiam di rumah dinas di Babakan.
15. 1921: Raden Kartadirja
16. 1927: Raden Ahmad Prawirasubrata
17. 1930: Raden Harun Sacakusumah
18. 1933: Raden Dodo Kartasuwanda
19. 1938: dikepalai oleh Mantri Polisi bernama Raden Anggawidjaja.
20. 1942: dikepalai oleh Mantri Polisi bernama Raden Suryadi.
B. Zaman Kolonial Jepang (1943 – 1944)
21. 1943: dikepalai oleh Mantri Polisi bernama Raden Anggeng Wiradiputra
22. 1944: dikepalai oleh Mantri Polisi bernama M. Natadiria
C. Zaman Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1945 – sekarang)
23. 1945: Raden Usman Padmakusumah
24. 1948: Raden Tirtakusumah
25. 1948: Raden Jaka Pitana
26. 1948: Nurimaba (berkebangsaan Jepang)
27. 1949: Raden Wirasasmita
28. 1949: Raden Arip
29. 1949: Raden Saleh
30. ?: Dodo Surapraja
31. ?: Raden Sanusi Sacadikusumah
32. ?: Raden Umar Said
33. ?: Raden Sujana
34. ?: Momo Surtama
35. ?: Hasan Mahfud
36. ?: Raden Atang Tajudin
37. ?: Raden Waktura Wahyo, BA
38. ?: Saeful Mikdar, BA
39. ?: Solikin, BA
40. ?: Uway Susanto, BA
41. ?: Raden Yusuf Suwitapraja
42. ?: Raden Herdadi Kadir, BA
43. ?: Samsuri
44. 1997: Ihrom Sudiawahyu, SH
45. 1998: Raden Ahmad Sudrajat, BA
46. 2000: Drs. Rony Ahmad Sahroni
47. 2001: Nana Herdiana, MM
48. 2001: Ema Soemantri, S.Sos
49. 2004: Drs. Eddy Nurmana
50. Oktober 2005 – sekarang: Drs. Nanda, Sm.Hk, MM
A. DALEM I RADEN ARIA PANDJI SUBRATA
Kadaleman Nagara Tengah didirikan sekitar tahun 1583 M, yang menjadi Dalem I adalah RADEN ARIA PANDJI SUBRATA. Pusat kadaleman berada sebelah timur Sungai Cihapitan di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya sekarang.
Batas Wilayahnya sebagai berikut:
- Sebelah Barat: Daerah Cisangkir Cibeureum.
- Sebelah Selatan: Daerah Sukakerta
- Sebelah Timur: Galuh (Batu Gajah)
- Sebelah Utara: Sungai Citanduy.
Yang sekarang menjadi Kecamatan Cineam, Kecamatan Cimaragas, Kecamatan Langkap Lancar, Manonjaya dan sebagian wilayah yang ada di Kecamatan Cibeureum. Banyaknya Rumah atau Tugu se-kadaleman Nagara Tengah waktu itu sekitar 200 rumah.
Raden Aria Pandji Subrata (Dalem I) dalam mengatur dan mengurus kadaleman Nagara Tengah di bantu oleh RADEN ANGGANAYA KUSUMAH yang di kenal dengan sebutan DALEM NAYA KUSUMAH, yang mempunyai putra:
1. RADEN ANGGAMALANG.
Raden Anggamalang adalah seorang Kyai yang pertama menyebarkan Agama Islam di wilayah Nagara Tengah. Terpilih menjadi Penghulu dan sebagai Hakim Leuwi Panereban. Sesudah meninggal dimakamkan di Pasir Abas sekarang Dusun Cikanyere dan Astananya di Dusun Darmasari (Cidarma) Desa Madiasari Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Kyai Anggamalang
2. RADEN ANGGAPRAJA.
Raden Anggapraja adalah seorang Jaksa di Galuh, pindah menjadi Jaksa di Kadaleman GaraTengah, setelah Kadaleman Galuh dan Nagara Tengah disatukan.
Makamnya di Nangerang dusun Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Raden Anggapraja
3. RADEN SUTADIWANGSA.
Raden Sutadiwangsa adalah seorang Bendahara Kadaleman khusus bagian ternak. Apabila ada rakyat yang Seba kepada Dalem berbentuk hewan seperti Kambing, Kerbau atau Sapi oleh Dalem terus diserahkan kepada Bendahara bagian ternak. Tempat Pemakamannya di Sumbang Situ Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Raden Sutadiwangsa
4. RADEN TJANDRA KUSUMAH.
Raden Tjandra Kusumah adalah seorang Sekretaris (Juru Serat) di Kadaleman Nagara Tengah, mempunyai binatang peliharaan Kera Hitam yang biasa disebut LUTUNG.
Binatang peliharaan tersebut mendiami sebuah pohon besar (Kiara) yang berada di atas tempat keluarnya mata air, yang sekarang disebut Cilutung. Bukit tempat pemakamannya disebut Cilutung yang sekarang ada diwilayah Dusun Sukabakti Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Raden Tjandra Kusumah
5. RADEN SUTAPRIA.
Raden Sutapria berkelana ke luar daerah Kadaleman Nagara Tengah yaitu ke daerah Kawasen. Menikah dengan Putri Dalem Kawasen, membuat menara Mesjid Agung yang kemudian dipindahkan menjadi Munara Mesjid Agung Manonjaya sekarang.
Pendopo Kadaleman, Mesjid Agung dan bangunan lainnya pada waktu itu tidak ada yang terbuat dari tembok tapi hanya dari kayu yang atapnya terdiri dari daun alang-alang, daun tepus yang dilapisi ijuk.
Budaya Kadaleman Nagara Tengah belum bisa untuk membuat tembok dan genting. Mesjid-mesjid banyak yang dibangun diseluruh wilayah Kadaleman. Pada waktu itu untuk menentukan hari yang dipakai sebagai Hari Raya Agama Islam, Penghulu Kyai Anggamalang menggunakan Hisab – Ruýat. Untuk menentukan hal-hal lain seperti menanam padi di huma (Tegalan) karena waktu itu belum ada sawah, untuk membuat rumah, pindah rumah, menikahkan dan lainnya, untuk menghitung tanggal dipergunakan Tahun Syaka.
Tahun Syaka dengan tahun Hijriah umumnya berbeda 1 hari. Umpamanya tahun Hijriah tanggal 15 maka tahun Syaka baru tanggal 14.
Pada waktu itu untuk menyebarkan Agama Islam sulit sekali, karena wilayah Galuh termasuk Nagara Tengah baru pindah Agama dari luar ke Agama Islam. Untuk me’ma’murkan rakyat, Dalem Nagara Tengah memerintahkan untuk menanam padi, wijen, jagung, kapas dan yang lainnya.
Di Nagara Tengah sudah ada yang disebut Jaksa, akan tetapi Ilmu kejaksaannya belum ulung (Mahir) kalau ada orang atau rakyat yang diperkarakan oleh jaksa diserahkan kepada Dalem kemudian oleh Dalem diserahkan kepada Hakim Kyai Anggamalang. Supaya diyakinkan berdosa atau tidaknya seseorang.
Tempat menghukum dilaksanakan di Leuwi Panareban Sungai Cikembang. Sekarang sekitar Jembatan Cikembang antara Cineam dan Manonjaya.
Daerah leuwi Panareban oleh orang Nagara Tengah dianggap keramat tidak boleh diganggu seperti mencari ikan.
Peninggalan: Leuwi Panareban
Cara menghukum orang yang dianggap bersalah, disuruh menyelam di leuwi Panareban sekuat-kuatnya, kalau tidak kuat pasti muncul ke permukaan air. Yang menyaksikan dapat melihat orang yang dihukum tersebut, apabila berdosa pada kulit muka dan bagian kulit pundak menjadi hitam setelah kembali ke permukaan air.
Kemudian oleh Hakim ditanya akan mengaku mempunyai dosa atau tidak. Biasanya orang tersebut langsung mengaku, kalau sudah mengaku oleh Hakim disuruh menyelam kembali, apabila muncul kepermukaan air kulit muka dan pundaknya bersih kembali seperti semula.
Kalau orang yang dihukum tidak berdosa, biasanya disuruh menyelam sampai 3 kali (Nista, Maja, Utama). Apabila muncul ke permukaan air tetap saja kulit muka dan pundaknya bersih.
Peninggalan. Astana Kyai Anggamalang
(Di Cidarma, Kp. Darmasari Ds. Madiasari Cineam)
Hakim Kyai Anggamalang sebelum melaksanakan hukuman biasa berdoá dahulu kepada Yang Maha Kuasa (Maha Agung), seumpama oraang tersebut mempunyai dosa minta ada ciri-ciri seperti yang disebut diatas. Serta Kyai Mujasmedi (Berdoá) dengan duduk diatas batu dipinggir Leuwi Panareban, maksud menentukan dosa seseorang bukan atas kemauannya sendiri tapi atas perintah Kanjeng Dalem Nagara Tengah.
Batu tempat duduk tadi disebut Batu Darma yang sekarang masih ada di pinggir Sungai Cikembang dibawah Jembatan Sungai Cikembang.
Peninggalan: Batu Darma
Sasakala Cineam
Kyai / Penghulu / Hakim Leuwi Panareban (Raden Anggamalang) mempunyai putra 7 yaitu:
1. Kyai Kapi Ibrahim
2. Kyai Abdul Rokhaniah
3. Raden Bakhorah
4. Raden Malaganata
5. Raden Ria Winata
6. Dalem Sumur
7. Nyi Raden Sisi Leri
Kemakmuran di wilayah Kadaleman Nagara Tengah tiap tahun terus meningkat.
Dalem I Raden Aria Pandji Subrata meninggal, dimakamkan di sebelah utara Sungai Cihapitan dekat dengan pohon Gembor yang oleh masyarakat sekitar disebut Dalem Gembor. Sedangkan Isterinya dimakamkan di bukit pinggir Jalan antara Sindangrasa meuju Sungai Cihapitan yang dikenal dengan Nyi Raden Dalem Cempaka karena di dekat makamnya banyak terdapat pohon Cempaka. Kedua makam tersebut sekarang ada di Dusun Sindangrasa Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.
Peninggalan: 1. Makam Aria Pandji Subrata (Dalem Gembor)
2. Makam Nyi Raden Dalem Cempaka
B. DALEM II RADEN ARIA PANTJI KUSUMAH
Sesudah meninggal Dalem Ke I maka di Kadaleman Nagara Tengah diangkat Putra Dalem Raden Aria Pantji Kusumah sebagai Dalem Ke II. Dalem yang Ke 2 dalam usaha memakmurkan rakyat sekitarnya memerintahkan kepada bawahannya
supaya mempunyai pandai besi untuk membuat perkakas pertanian sekaligus untuk membuat perkakas perang.
Dalem mendatangkan peralatan untuk pandai besi dari Galuh (Banjar). Pandai besi itu di tempatkan si daerah Sayung / Cibodas yang disebut Pasir Cidomas. Sesudah ada pandai besi masyarakat petani Nagara Tengah mudah sekali mempunyai perkakas pertanian karena s itu petani bisa tambah luas lahan pertaniannya, rakyat Nagara Tengah menjadi Nanjung (Makmur).
Para petani yang berterimakasih kepada pandai besi yang akhirnya dikenal dengan sebutan Dalem Pananjung yang artinya seorang Dalem yang membuat nanjung (Makmur) kepada rakyat dan Negara. Setelah meninggal Dalem Pananjung dimakamkan di Cibodas, sekarang berada di Dusun Pananjung Desa Karanglayung Kecamatan Karangjaya.
Peninggalan: Makam Dalem Pananjung
GUNUNG PUTRI
Zaman Kadaleman seorang Dalem biasanya mempunyai isteri lebih dari 1, isteri ke 2, ke 3, dan lainnya disebut Selir atau Parekan. Dalem Nagara Tengah menempatkan isteri Parekan di suatu Bukit yang berada di sebelah Selatan Kadaleman. Putri atau Isteri Parekan kalau disiang Hari kegiatannya membuat Kanteh dari kapas, sesudah jadi Kanteh di celup oleh kulit akar mengkudu atau sejenis tanaman yang disebut Kitarum terus di kukus lalu di jemur, sesudah kering Kanteh tersebut terus ditinun.
Bukit bekas kediaman Puteri atau isteri Parekan tersebut yang sekarang dinamakan Gunung Putri yang berada di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Pelataran Gunung Puteri
OLAH RAGA UJUNGAN
Olah Raga Ujungan merupakan olahraga seni beladiri yaitu Saling Hantam dengan perkakas sebuah rotan yang panjangnya 1 sikut yang sasarannya pada kepala, tetapi pada waktu latihan olahraga seni bela diri ujungan kepalanya memakai Tudung atau semacam topi yang terbuat dari kulit kerbau di dalamnya dilapisi sabut kelapa atau daun pisang yang sudah tua, maksudnya agar tidak terlalu sakit apabila mengenai kepala. Tutup kepala tersebut dinamakan Balakutak.
Tempat Olahraga Ujungan tersebut di sebuah Bukit yang disebut Gunung Hujung,sekarang berada di Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam. Rakyat harus bisa olahraga tersebut maksudnya untuk jaga diri kalau sewaktu-waktu ada peperangan.
Peninggalan: Pelataran Gunung Hujung
Hubungan dengan Kadaleman lain erat sekali baik dengan para Dalem yang ada di wilayah Galuh, maupun yang ada di luar seperti: Sukakerta, Sunia Wenang wilayah Sumedang.
Agama Islam selain oleh Kyai Anggamalang juga di bantu oleh Kyai Kapi Ibrahim, Kyai Abdul Rokhaniah di bantu juga oleh Kyai Kapiyudin dalam mengembangkannya. Banyak rakyat dari Kadaleman lain yang pindah kedaerah Kadaleman Nagara Tengah.
Peninggalan: Makam Kyai Abdul Rokhaniah (Putra Raden Anggamalang)
Di Komplek Kadaleman Nagara Tengah
Pinggir Jalan Cihapitan Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam
Peninggalan: Makam Raden Angganaya Kusumah / Dalem Belimbing
(Dalem Naya Kusumah Rama Kyai Anggamalang)
Di Komplek Kadaleman Nagara Tengah
Pinggir Jalan Cihapitan Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam
Ada seorang Kyai yang lolos dari daerah Sumedang, tidak sepengetahuan Dalem Sumedang menuju ke Daerah Nagara Tengah, oleh Dalem Nagara Tengah di tempatkan di pinggir Sungai Cikembang pada Tegalan yang banyak pohon Haur (Pohon Bambu yang berwarna kuning). Tempat itu yang dinamakan Haur Seah.
Kyai tersebut mendirikan sebuah Pesantren. Banyak yang datang ke Pesantren tersebut untuk menjadi Santri. Nama Kyai itu dikenal Kyai Raga Sumingkir, tidak disebut nama aslinya karena lolos dari daerah Sumedang. Raga nya Menyingkir supaya selamat dari marabahaya.
Sesudah meninggal dimakamkan di sebuah Bukit yang dikenal Makam Kyai Raga Sumingkir. Tempat tersebut termasuk daerah Dusun Sindangkarsa Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Kyai Raga Sumingkir
Supaya Jalanya Pemerintahan lebih lancar Dalem Raden Aria Pandji Kusumah mengangkat seorang Kepala Cutak setingkat Wedana yang ditempatkan di Janggala. Raden Pandji Wulung (Dalem Pandji Wulung) yang dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Daerahnya sekarang berada disekitar Kecamatan Cidolog dan Cimaragas. Kegemaranya yaitu adu ayam (Sabung Ayam). Mempunyai 2 Ayam Jago, 1 ekor bulunya kebiru-biruan (Kulawu Sentul) pada telapak kakinya ada sisik yang dinamakan Sisik Batu Lapak. Satunya lagi berbulu Jalak Harupat, pada jari kaki sebelah bawah ada sisik yang disebut Sisik Batu Rante. Tempat Sabung Ayam pada sebuah Bukit yang disebut Panyambungan dan sekarang menjadi suatu Daerah yang disebut Lembur Panyawungan.
Kepala Cutak apabila di Kadaleman Sukakerta disebutnya Umbul.
Dalem yang ada di wilayah Galuh semuanya menerima surat dari Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Sultan Mataram maksudnya:
1. Semua Dalem dengan rakyatnya yang ada di wilayah Galuh harus secepatnya masuk Agama Islam.
2. Semua Dalem yang berada di wilayah Galuh harus tunduk kepada Mataram, kalau tidak mau tunduk akan di hancurkan dengan Penyerbuan.
Sultan Mataram kala itu membuat surat bukan hanya kepada Dalem yang ada di wilayah Galuh saja tapi semua Kadaleman yang ada di Tatar Sunda.
Sang Adipati Panaekan yang menjadi Dalem Galuh segera mengirim surat ke semua Dalem yang ada di wilayah Galuh dan tetangga Kadaleman seperti: Sukakerta dan lainya untuk bermusyawarah yang bertempat di Galuh.
Waktu itu menulis surat hanya pada daun lontar memakai pisau Janggut kemudian dimasukan kedalam 1 ruas bambu terus ditutup supaya tidak kena air apabila hujan. Ruas bambu pakai Tali Slendang seperti orang kalau mau menyadap aren. Tapi sudah ada juga yang ditulis pada kulit yang tipis dengan tinta gentur untuk alat tulisnya memakai lidi Aren yang biasa menyatu dengan ijuk, untuk menyimpanya masih ruas bambu. Pada waktu yang sudah ditentukan semua Dalem yang diundang sudah datang ke Galuh, terus bermusyawarah membahas hal surat dari Sultan Mataram dengan kesimpulan sebagai berikut:
- Isi surat nomor 1 tidak jadi khawatir karena semua sudah masuk Agama Islam.
- Isi surat nomor 2, semua Dalem menolak tidak setuju harus tunduk dan harus Ulum Kumawuh (ngirim seba) tiap tahun atau Caos Upeti kepada Sultan Mataram.
Oleh karena kemauan Sultan Mataram ditolak, tentu akan marah supaya tidak terjadi Peperangan di dalam Kadaleman masing-masing harus membuat Penjagaan. Kebetulan ada 1 Sungai yang akan dijadikan sebagai tempat penjagaan serangan Mataram yaitu Sungai Cijolang, dan kalu perlu Jalan selatan pada sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel harus dijaga kemungkinan serangan Mataram ada yang memakai Jalan selatan yang datangnya ke Kawasen. Untuk Kadaleman Kawasen disarankan jangan ikut menjaga pada sebrangan Sungai Cijolang tapi jaga saja pada Sebrangan Sungai Citanduy dan Ciseel.
Yang terpilih menjadi Pemimipin penjagaan di sebrangan Sungai Cijolang adalah Sang Adipati Panaekan Dalem Galuh. Sesudah musyawarah selesai semua Dalem kembali ke Kadalemannya masing-masing.
Sekembalinya dari musyawarah di Galuh, Dalem Nagara Tengah waktu itu Raden Aria Pandji Kusumah bermusyawarah di Kadaleman yang isinya “supaya menyiapkan rakyat sebagai Prajurit Perang yang banyaknya 40 orang lengkap dengan senjatanya / peralatannya seperti: Gobang, Tombak, Tombak Cagak, Rantai besi dan lainya”. Untuk menyiapkan orang sebanyak itu sangat sulit karena orang yang dianggap mampu masih terbatas. Peralatan / perkakas perang dibuat oleh Pandai besi yang ada di Pasir Cidomas Sayung / Pananjung. Kadaleman Nagara Tengah waktu itu belum mempunyai prajurit tapi dipilih rakyat yang sekiranya mampu untuk menuju tempat peperangan.
Sampai pada waktu yang sudah ditentukan rakyat Nagara Tengah yang sebanyak 40 orang berangkat, dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya menuju ke sebrangan Sungai Cijolang. Yang akan menjaga dari semua Kadaleman sudah berkumpul Sang Adipati Panaekan sebagai pimpinan sudah tiba. Yang akan menjaga oleh sang Adipati tempatnya dibagi-bagi serta dinasihati, dikomando maju dan mundurnya kalau sudah terjadi peperangan. Waktu itu Prajurit Mataram yang memakai Jalan Selatan sudah bertemu dengan Pasukan kawasen yang sedana menjaga, terjadilah peperangan antara Mataram dan Kawasen. Tetapi peperangan tidak seimbang Prajurit Mataram terlalu banyak untuk dilawan oleh pasukan Kawasen. Pasukan Kaasen terus mundur tapi oleh prajurit Mataram terus dikejar sehingga tidak ada kesempatan untuk melaporkan kejadian pada Dalem Galuh.
Prajurit Mataram cepat menyebrang Sungai Ciseel menuju Kadaleman. Kadalem Kawasen dikurung Prajurit Mataram, Punggawa cepat lapor ke Dalem bahwa seluruh Kadaleman telah terkepung sehingga Dalem Kawasen tidak bisa lolos. Meskipun Pasukan Kawasen sedikit Dalemnya nekad untuk tidak menyerah, mau melawan membela rakyat dan Negara. Dikarenakan waktu itu Prajurit Mataram terlalu banyak serta sudah tabah dalam peperangan akhirnya Dalem Kawasen kalah dan gugur. Sesudah menyerbu Kadaleman Kawasen terus prajurit Mataram menuju Kadaleman Galuh dengan maksud yang sama. Setelah sampai di Kadaleman Galuh terjadi juga peperangan. Menurut perkiraan Sang Adipati Panaekan yang menjadi pemimpin perang pasukan Galuh tidak akan kuat untuk melawan prajurit Mataram yang lebih lengkap peralatan perangnya. Oleh sang Adipati Panaekan semua pasukan Galuh yang terdiri dari: Pasukan dari Kadaleman Galuh, Pasukan dari Kadaleman Nagara Tengahdan Pasukan Sukaketa dikomando untuk mundur meskipun diteruskan tidak ada harapan untuk menang. Pasukan Galuh mundur menuju ke seberlah barat. Pasukan Mataram mengejar tapi tidak sampai karena terhalang oleh pegunungan yang disebut Daerah Randegan Banjar. Sejarah bekas berhenti (Narandeg) pasukan Mataram.
Pasukan Galuh dengan yang lainya lari menuju barat menyebrangi Sungai Cimuntur sedangkan Pasukan Nagara Tengah – Sukakerta menyebrangi Sungai Citanduy terus maju ke arah barat daya melewati daerah Batu Gajah yang sudah termasuk wilayah Nagara Tengah. Terus menuju barat sampai disebuah tempat dan beristirahat karena kecapean. Daerah tersebut sekarang dinamakan Lembur Goler sebelah barat Cimaragas dan Beber. Sejarah bekas istirahat (Ngagoler) yang pulang dari peperangan. Sesudah istirahat dan bermalam esok harinya semua pasukan Nagara Tengah meneruskan perjalanan maju ke sebelah barat sampai di simpangan, belok ke sebelah selatan menebrangi Sungai Cikembang melewati Ranca Batu menuju Kadaleman Nagar Tengah. Sedangkan Pasukan Sukakerta terus maju ke arah barat sampai ke satu tempat, waktu itu banyak yang terluka parah oleh pasukan Mataram dan banyak juga yang meninggal waktu beristirahat di daerah tersebut. Mayatnya dikubur di daerah tersebut yang sekarang namanya Pasir Batang Karena tempat tersebut dahulunya dipakai mengubur Pasukan Sukakerta yang meninggal sepulangnya dari peperangan melawan Pasukan Mataram (jadi Babatang). Yang masih kuat semuanya kembali menuju ke Kadaleman.
Pasukan Nagara Tengah yang dipimpin oleh Kapetengan Jagabaya sudah sampai di Kadaleman terus lapor kepada Dalem bahwa semua yang kembali itu oleh Dalem Galuh yang menjadi Pimpinan perang disuruh untuk mundur sebab meskipun terus-terusan melawan tidak mungkin kuat karena pasukan Prajurit Mataram lebih banyak dan perkakas perang lebih lengkap. Diberitakan bahwa prajurit Mataram akan menjalankan serbuan-serbuan ke setiap Kadaleman malahan Kanjeng Dalem Galuh juga mau mengungsi (Mubus).
Raden Aria Pandji Kusumah Dalem Nagara Tengah setelah mendengar laporan dari Kapetengan Jagabaya waktu itu juga terus memerintahkan supaya mengadakan persiapan untuk mengungsi. Besok semua harus meninggalkan Kadaleman karena kemungkinan prajurit Mataram segera menyerbu Kadaleman Nagara Tengah. Kira-kira sekitar menjelang pajar ada utusan dari Kepala Cutak Janggala melaporkan bahwa prajurit Mataram sudah memasuki wilayah Nagara Tengah, rakyat Janggala semuanya sudah mengungsi ke sebelah selatan Sungai Ciseel yang dipimpin oleh Mbah Jagadalu, bekas mengungsi rakyat Janggala dinamakan Panyingkiran masuk wilayah Desa Jelegong Kecamatan Cidolog sekarang.
Dalem Nagara Tengah terus memerintahkan supaya meninggalkan Kadaleman, waktu itu juga semua rakyat berangkat. Diperjalanan turun hujan yang sangat lebat sekali, tapi rakyat Nagara Tengah terus meneruskan perjalanan karena takut terkejar oleh prajurit Mataram. Sesampainya di Sungai Cikembang keadaaan air sungai meluap sekali tidak mungkin segera bisa disebrangi.
Penghulu bersama Kyai yang lainya beserta rakyat yang ikut mengungsi melaksanakan Shalat Hajat meskipun dalam keadaan hujan. Tidak lama kemudian hujan reda. Dari sebelah barat ada sebatang balok kayu besar kelihatanya terbawa arus air tersangkut pada pohon Loa yang sebelahnya lagi tersangkut rumpun bambu yang berada di pinggir Sungai Cikembang. Balok kayu tersebut (Catang) dipergunakan untuk menyebrang. Yang pertama menggunakan batang kayu untuk menyebrang adalah Penghulu / Kyai yang terus diikuti smua rakyat dan semuanya selamat. Perjalanan untuk mengungsi dilanjutkan kembali.
Prajurit Mataram tidak lama kemudian sampai di Kadaleman Nagara Tengah tapi ternyata sudah tidak ada siapa-siapa. Prajurit Mataram terus menyusul rakyat Nagara Tengah sampai di pinggir Sungai Cikembang, lalu menyebrang menggunakan balok kayu bekas menyebrang rakyat Nagara Tengah secara berebut maksudnya supaya bisa nyebrang. Tapi caranya tidak seperti rakyat Nagara Tengah satu persatu melainkan secara bergerombol yang akhirnya balok kayu tersebut tidak kuat menahan dan tenggelam terbawa arus air. Prajurit Mataram sebagian besar terbawa arus dan hanya sebagian kecil yang selamat. . Rakyat Nagara Tengah sesudah menyebrangi Sungai Cikembang meneruskan perjalanan ke arah barat sampai pada suatu tempat yang disebut Lembur Tembong Gunung, disana beristirahat karena waktu sudah sore.
Rakyat Nagara Tengah waktu istirahat banyak yang memegang telapak kaki dan jari-jarinya ternyata licin dan berbau amis lalu semua rakyat yang menyebrang menggunakan balok kayu tadi memegang kakinya ternyata sama, ternyata yang dipakai menyebrang di Sungai Cikembang oleh rakyat Nagara Tengah bukan balok kayu tapi seekor belut besar ( Lubang ).
Dalem Nagara Tengah waktu itu terus ikrar: “bahwa kita semua yang sudah menyebrang dengan belut besar bersumpah 7 turunan tidak akan memakan daging lubang sebab sudah menolong kepada kita semua sehingga bisa selamat tidak terkejar oleh musuh”. Yang bersumpah untuk tidak memakan daging lubang 7 turunan waktu itu adalah sekitar Tahun 1596 M.
Prajurit Mataram oleh orang Nagara Tengah disebut Bajo yaitu yang ngejarnya terus menerus. Rakyat Nagara Tengah ke esokan harinya maju ke arah selatan ke Daerah Harjawinangun dari situ terus ke arah barat disana ada hutan yang disebut leuweung Dungus. Semuanya istirahat di hutan tersebut sambil berdoa yang dipimpin oleh Kyai, tak lama kemudian datang segerombolan Menjangan (Mencek), hutan tersebut selain dipakai untuk istirahat sekaligus tempat persembunyian rakyat Nagara Tengah semuanya dikelilingi oleh menjangan tersebut sambil makan rumput. Tidak ketahuan dari kejauhan ada prajurit Mataram lewat hutan tersebut. Tidak disangka bahwa hutan yang dilewatinya dipakai bersembunyi rakyat Nagar Tengah sebab dikelilingi oleh menjangan. Prajurit Mataram tidak mendekati daerah hutan itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Lalu Dalem ikrar lagi: “Dari waktu sekarang kita semua yang ada di hutan Dungus bersumpah untuk tidak memakan daging menjangan sebab sudah menyelamatkan dari bahaya”.
Dalem Nagara Tengah mengungsi sampai ke perbatasan Galunggung (Singaparna) disana ada bangunan kecil yang diatas atapnya tumbuh sejenis tanaman yang merambat yang dinamakan Oyong. Bangunan tersebut tertutup sekali oleh daun tanaman tersebut. Dari kejauhan seolah-olah tidak kelihatan ada bangunan, disana rakyat Nagara Tengah berteduh didalamnya sebab hari itu cuacanya panas sekali. Disana tidak lupa Kyai berdoa kepada yang Maha Kuasa minta supaya diselamatkan dari kejaran musuh. Tidak jauh dari bangunan tersebut ada prajurit Mataram lewat dan tidak menyangka pada rimbunan pohon oyong tersebut dipakai bersembunyi rakyat Nagara Tengah disangkanya hanya rimbunan oyong saja. Prajurit Mataram tidak mau mendekati tempat itu sehingga rakyat Nagara Tengah selamat. Sejak waktu itu orang Nagara Tengah mengucapkan sumpah tidak akan makan oyong sebab telah menyelamatkannya.
Dalem Nagara Tengah meneruskan perjalanan mengungsinya belok sebelah utara masuk ke wilayah Tawang, suatu waktu Dalem merasa kecapean terus beristirahat disuatu bangunan ( Saung Huma ), bangunan tersebut berada di tempat yang terbuka malahan berada di pinggir jalan. Dalem istirahat dan memerintahkan kepada Kyai untuk berdoa, setelah selesai berdoa datang segerombolan burung Perkutut (Tikukur ) hinggap pada atap bangunan dan pagar halaman sambil sambil berkicau. Prajurit Mataram yang sedang mengejar ngejar Dalem Nagara Tengah maksudnya mau menyusul ke tempat bangunan tersebut tapi dari kejauhan kelihatan pada atap bangunan dan pagarnya banyak burung perkutut, sehingga menyusul akhirnya tidak jadi sebab disangkanya bangunan tersebut tidak ada penghuninya. Sejak itu pula orang Nagara Tengah mengucap sumpah tidak akan makan daging perkutut.
Berdasarkan kejadian kejadian tersebut orang Nagara Tengah timbul 4 macam sumpah:
- Satu: Sumpah tidak akan memakan daging belut besar (Lubang) sampai 7 turunan
- Dua: Sumpah tidak akan memakan daging menjangan (Mencek)
- Tiga: Sumpah tidak akan memakan oyong
- Empat: Sumpah tidak akan memakan daging burung perkutut (Tikukur)
Sumpah tersebut hanya berlaku sampai 7 (tujuh) turunan.
Prajurit Mataram kembali tapi yang menggantikanya belum datang, semua Dalem yang dikejar kejar ada kesempatan untuk bermusyawarah dan berkumpul di Ci Haursekarang ada di daerah Panumbangan Ciamis. Sesudah bermusyawarah kesimpulannya semua Dalem bersepakat untuk takluk kepada Mataram maksudnya supaya rakyat tidak jadi korban peperangan dan menurut catatan Catur Rangga bahwa kita semua harus mengalami menjadi jajahan Mataram. Selanjutnya semua Dalem membuat surat terus mengutus seorang utusan untuk mengirimkan surat ke Sultan Mataram yang isinya menyatakan Takluk.
Sesudah sampai di Mataram terus yang menjadi utusan menemui Kanjeng Sultan sambil menyerahkan surat lalu diterima oleh Sultan dan dibaca oleh Sekretaris (Juru serat ) Kesultanan didepan Sultan Mataram. Utusan tadi oleh Sultan disuruh kembali serta seluruh Dalem harus kembali ke Negaranya masing-masing. Sedangkan surat piagam dan perjanjian harus mengirim Caos Upeti nanti dikirimkan kemudian.
Nagara Tengah mengalami perang dengan Mataram pada akhir tahun 1595 M dan dikejar kejar Mataram awal Tahun 1596 M.
Dalem Nagara Tengah dikejar kejar oleh Mataram selama setengah Tahun lebih. Ketika semuanya kembali ke Kadaleman keadaan di Kadaleman sudah berbeda sekali dengan keadaan sebelum ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan banyak yang rusak seperti: Atap bocor, dimakan rayap. Selanjutnya datang surat dari Sultan Mataram ke semua Kadaleman menetapkan diantaranya Nagara Tengah jadi bawahan Mataram tiap tahun pada bulan Suro (Muharam) harus mengirim Caos Upeti kepada Mataram. Caos upeti dari Nagara Tengah yang sangat penting sekali adalah tanduk Kijang.
Dalem Galuh Sang Adipati Panaekan oleh Sultan Mataram diangkat menjadi Bupati – Wedana, sedangkan Dalem yang lainya disebut Bupati – Lurah. Hampir setiap bulan Dalem Nagara Tengah suka berburu Kijang yang tanduknya dikumpulkan untuk Caos Upeti ke Sultan Mataram. Waktu Dalem Nagara Tengah berburu Kijang ke sebelah barat Gunung Kakapa dekat Cipinaha (Batas Kadaleman Nagara Tengah dan Sukakerta). Waktu itu apabila ada kijang yang diburu oleh orang Nagara Tengah lari masuk ke Daerah Sukakerta tidak boleh terus dikejar oleh orang Nagara Tengah. Begitu juga sebaliknya. Disebuah bukit Dalem Nagara Tengah membuat tempat peristirahatan disebelah timur hulu sungai Cipinaha, tempat itu sekarang masuk ke wilayah Desa Cisarua Kecamatan Cineam.
Nyi Raden Gedeng Nagara Putri Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mau mandi di tempat pemandian di pinggir Sungai Cipinaha sendirian. Mandinya memakai rupa-rupa alat pembersih ( Pamesek ) yang terbuat dari daun-daunan yang berbau wangi.
Kebetulan pada waktu itu Dalem Sukakerta juga sedang berburu ke sebelah barat Cipinaha sampai ke Sungai Cipinaha melihat bubuk pamesek terbawa air. Dalem Sukakerta terus menelusuri Sungai tersebut menuju ke tempat pemandian yang ada di pinggir Sungai Cipinaha. Dari kejauhan terlihat ada seorang istri sedang mandi, oleh Dalem disiulan lalu istri itu menjerit ketakutan.
Dalem Nagara Tengah terkejut mendengar putrinya menjerit, lalu didekati kelihatan di sebelah bawah tempat pemandian ada seorang pria berdiri yang tiada lain adalah Dalem Sukakerta lalu oleh Dalem Nagara Tengah disapa dan dibawa ke tempat peristirahatan. Dalem Sukakerta kepada Dalem Nagara Tengah bersujud meminta maaf bahwa putrinya sampai mendadak menjerit merasa takut oleh dirinya, lalu oleh Dalem Nagara Tengah di maafkan.
Nyi Raden Gedeng Nagara tertarik oleh Dalem Sukakerta mempunyai nama asli Entol Wiraha, mereka akhirnya menikah. Dalem Sukakerta Tahun 1598 M mempunyai putra yang bernama Wira Wangsa yang menjadi Dalem terakhir di Sukakerta sebelum pindah ke Sukapura.
Dalem Nagara Tengah terus memajukan perekonomian rakyat, pandai besi di Cidomas terus ditingkatkan. Dalem Nagara Tengah kalau berburu kijang biasanya ke sebelah barat Kadaleman. Ada sebuah hutan yang terkelilingi oleh Sungai Cihapitan dan Sungai Ciriri. Di dalam hutan tersebut ada seekor kijang jantan yang dinamakan si Wulung. Kijang tersebut menjadi pengasuh kijang-kijang yang lainya. kalau diburu atau di tombak tidak mempan dan bisa menghilang, kadang-kadang suka bersembunyi ke dalam Goa Batu Kapur yang ada di atas Sungai Cihapitan. Goa tersebut namanya Goa Wulung (Guha Wulung ) sebab suka dipakai bersembunyinya kijang yang disebut si wulung. Disebelah barat hutan itu terdapat dataran hulu sungai (Wahangan ) yang dihapit oleh bukit yang bermuara ke Sungai Ciriri. Di sebelah timur daerah tersebut terbendung oleh batu besar yang datar sehingga airnya menjadi dalam (Leuwi). Dari tempat itu keluar mata air yang besar meskipun musim kemarau panjang airnya tidak surut dan kalau musim hujan airnya tidak keruh / kotor. Mata air itu biasa dipakai tempat minum kijang dari mana-mana. Kijang datang mencari air (Neang Cai ) maksudnya untuk minum di mata air itu, malahan si Wulung juga suka datang minum di tempat itu. Pada batu besar ada 2 telapak kaki si Wulung yang depan sebab si Wulung apabila minum tempatnya tidak berpindah pindah. Kalau ada kijang yang sakit atau luka sedang diburu atau tersangkut kena batu kalau sudah minum dan berendam di tempat itu sembuh kembali. Sebelah utara dari tempat keluarnya mata air tadi ada bukit luas dan datar, tanahnya subur, rumputnya hijau dan banyak terdapat kijang oleh Dalem Nagara Tengah Raden Aria Pandji Kusumah mata air dan bukit itu di beri nama Cineang sebab banyak kijang datang mencari air.
Daerah itu yang sekarang dinamakan Cineam tepatnya di Kampung Cineam Rt 15 Rw 05 Desa Cineam Kecamatan Cineam.
Peninggalan. Pusaka Cineam
Leuwi Cineang (Leuwi Tempat Kijang Mencari Air Minum)
(Sekarang Tepatnya Kolam Bapak Juada)
Tanduk Kijang hasil buruan dari Cineang biasa di pakai oleh Dalem Nagara Tengah untuk membayar Caos Upeti pada Sultan Mataram. Hutan tempat berburu kijang Dalem dibuat Kebun Kijang diberi nama Hutan Wanalapa. Daerah itu disebelah utara Sungai Ciriri, di sebelah timur dan sebelah selatan Sungai Cihapitan, di sebelah barat dataran Sungai Cipinang, sekarang hutan tersebut jadi daerah Wanalapa, Cikanyere, Negla barat, dan Negla timur.
Untuk menjaga keamanan kebun kijang supaya tidak keluar dari hutan tersebut di pagar, Dalem Nagara Tengah mengangkat Jagabaya yang disebut Dalem Citatah. Tempat kediamanya sebelah barat kebun kijang tersebut tidak jauh dari Sungai Ciriri. Dalem Citatah mempunyai sumur di pinggir Sungai Ciriri pada batu hasil menata dan airnya keluar dari sela-sela batu. Setelah meninggal dimakamkan di Daerah yang sekarang bernama Dusun Mekarmulya Desa Cineam Kecamatan Cineam.
Peninggalan. Makam Dalem Citatah
Sultan Mataram Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Angabehi Sutawijaya Tahun 1601 M diganti oleh Masjolang. Nagara Tengah masih tetap bawahan Mataram. Tahun 1602 M Kyai Anggamalang diganti oleh Kyai Kapi Ibrahim. Anggamalang masih tetap jadi Hakim Leuwi Panareban, kediamanya sebelah selatan leuwi Panareban yang di sebut Cidarma. Oleh karena di Nagara Tengah belum ada Jaksa yang Mahir perkara hukuman, masih tetap memakai Hakim Adat ditenggelamkan di leuwi Panareban. Penghulu Raden Kyai Kapi Ibrahim mempunyai putra 6:
1. Kyai Kapi Ibrahim II
2. Raden Nursajim
3. Kyai Kapiyudin
4. Raden Nursamid
5. Raden Anggawinata
6. Mas Kalimudin
Penghulu dengan Kyai terus menyebarkan Agama Islam di daerah Kadaleman Nagara Tengah. Pada waktu itu kalau memerlukan Al’Quran sangat susah untuk mendapatkanya, harus mencari ke Cirebon, Banten, Demak, ada yang sampai ke Surabaya. Tahun 1611 M Raden Aria Pandji Kusumah meninggal dimakamkan di Nagara Tengah dekat pusat Kadaleman (Kampung Nyengkod Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam).
Peninggalan: Makam Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem ke II)
C. Dalem III Raden Aria Kusumah
Sebagai penggantinya adalah Raden Aria Kusumah (Dalem Nagara Tengah ke III) sepeninggalnya Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem ke II) oleh Raden Aria Kusumah (Dalem ke III) cara-cara mengurus Negara diteruskan terutama masalah pertanian untuk kemakmuran rakyat, jadi Kadaleman Nagara Tengah tetap subur makmur sehingga tidak merasa susah apabila harus membayar Caos Upeti kepada Sultan Mataram karena brang yang diperlukan semuanya ada.
Penyebaran Agama Islam oleh Penghulu dan Kyai dilaksanakan dengan menggunakan Seni Terbang, Angklung, dan Dog-dog. Sebagai alat penghibur anak-anak kalau digusaran dan sunatan, diramaikan supaya merasa gembira sehingga anak-anak yang belum digusaran atau di sunat menjadi tertarik. Zaman dahulu anak perempuan biasa di gusaran, kalau anak laki-laki di gusaran dan disunat
Kegiatan olahraga ujungan masih terus dilaksanakan tempatnya di Gunung Hujung. Tiap tahun biasa memilih orang yang terkuat dari rakyat Kadaleman. Pandai besi di Sayung terus berjalan supaya petani mudah mendapatkan perkakas pertanian, pertukangan kayu supaya mudah mendapatkan perabotnya seperti: baliung, tatah, pasak besi dan lainya. waktu itu belum ada yang disebut sugu, gergaji, atau rimbas.
Untuk mejaga keamanan Negara Kadaleman Dalem mengangkat Jagabaya Dalem Paganjuran yang ditempatkan di sebelah selatan kedeiaman Kyai Raga Sumingkir. Dalem Paganjuran setelah meninggal dimakamkan di daerah yang sekarang bernama Kamung Sindang Karsa Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Paganjuran
Untuk memajukan daerah Dalem Aria Kusumah mengangkat Kepala Cutak / Wedana yang disebut Dalem Sumur. Dinamai Dalem Sumur karena mempunyai Sumur yang airnya bersih sekali, meskipun kemarau panjang sumur tersebut tidak pernih kering. Rakyat banyak yang menggunakan Sumur tersebut.
Dalem Sumur mempunyai putra 7 yaitu:
1. Raden Kertamanggala
2. Raden Dipamerta
3. Raden Padamanggala
4. Raden Kyai Alinudin
5. Raden Wirakusumah
6. Raden Raksakusumah
7. Raden Puspa Santana (Raden Derpa Santana)
Raden Puspa Santana (Raden Derpa Santana), menjadi Petinggi Cinangsi Rajadatu.
Dalem Sumur setelah meninggal dimakamkan didaerah yang sekarang disebut Dusun Pusaka Mukti (Pecahan dari Dusun Garunggang). Desa Rajadatu Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Dalem Sumur
Tahun 1613 M Sultan Mataram diganti oleh Sultan Agung, Nagara Tengah masih tetap jadi bawahan Kesultanan Mataram. Tiap tahun masih harus membayar Caos Upeti.
Pada waktu itu yang jadi bawahan Kesultanan Mataram ada sebagian yang keadaan Kadalemannya sengsara sekalipun hanya untuk membayar Caos Upeti. Tidak seperti Kadaleman Nagara Tengah yang subur makmur. Raden Aria Kusumah (Dalem Nagara Tengah ke III) meninggal dan dimakamkan di Cilutung, (sekarang disebut Kampung Sukabakti yang sekarang sebagai pecahan dari Kampung Sindangrasa Desa Ciampanan Kecamatan Cineam.
Peninggalan: Makam Raden Aria Kusumah (Dalem ke III)
Merupakan Dalem Terakhur di Kadaleman Nagara Tengah
GARATENGAH
Menurut perintahnya dari Sang Adipati Panaekan yang menjadi Penasihat Dalem (Sesepuh) di wilayah Galuh sesudah meninggal Dalem Raden Aria Kusumah (Dalem III) di Nagara Tengah tidak boleh mengangkat lagi Dalem, karena Kadaleman Galuh akan disatukan dengan Kadaleman Nagara Tengah.
Untuk pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah, maksudnya supaya ringan dalam membayar Caos Upeti kepada Kesultanan Mataram karena Galuh waktu itu perekonomiannya sedang ada kemunduran. Untuk membereskan segala hal kepada Sultan Mataram Sang Adipati Panaekan yang bertanggungjawab. Mendengar rencana Sang Adipati Panaekan orang Nagara Tengah merasa tidak enak sebab yang akan menjadi Dalem bukan orang Nagara Tengah tapi dari Galuh, sedangkan pusat Kadaleman akan di tempatkan di Nagara Tengah. Keadaan Kadaleman Nagara Tengah meskipun Dalem sudah meninggal keadaanya subur makmur repeh rapih serta aman (Hirup Gusti Waras Abdi ). Timbul kehebohan-kehoban antara rakyat Nagara Tengah dengan rakyat Galuh.
Sang Adipati Panaekan berusaha supaya jangan terjadi berontak dengan saudara sampai ada kejadian yang menjadi korban jiwa.usahanya Sang Adipati Panaekan Rakyat bisa reda terus aman.
Tahun 1618 M Sang Adipati Panaekan pindah dari Galuh ke Nagara Tengah, mulai waktu itu Nagara Tengah disebut Garaterngah. Di Galuh tidak ada lagi Dalem, wilayah Kadaleman Garatengah jadi luas sebab Galuh disatukan dengan Nagara Tengah. Sang Adipati Panaekan masih tetap jadi Bupati Wedana sebagai Penasihat Dalem di Wilayah Galuh. Sang Adipati Panaekan mempunyai dua pengiring yaitu:
1. Raden Pandji Boma
2. Ki Bagus Kalintu
Tempatnya disebuah bukit sebelah utara Sungai Cikembang. Sang Adipati mempunyai Pasanggrahan untuk tempat berhenti kalau mengadakan perjalanan dari Galuh ke Garatengah atau dari Garatengah ke Galuh. Kalau kita melihat dari pesanggrahan tersebut ke sebelah utara terlihat dari sebuah tempat yang sekarang disebut Panenjoan.
Sebelah bawah Pesanggrahan ada semacam kolam kecil yang airnya jernih sekali meskipun kemarau panjang airnya tidak kering.
Sebelah selatan Sungai Cikembang, diatasnya ada sebuah rawa (Ranca ) kecil ditengahnya ada sebuah batu, ranca itu disebut Ranca Batu. Sebelah atas ranca tersebut ada sebuah Kampung yang disebut Ranca Batu. Kampung tersebut kemudian disebut Ranca Datu. (Pada bulan Oktober 1923 dipakai sebagai nama Desa yang disebut Desa Rajadatu.
Sang Adipati Panaekan biasa suka berburu kijang sampai ke muara Sungai Cigerentel (Pamarican), ke Sungai Ciseel, sebelah selatan Ciparay. Temapat berburu kijang Sang Adipati Panaekan disebut hutan (Leuweung Panaekan). Waktu itu yang menjadi Jaksa di Galuh ialah Raden Anggapraja orang NagaraTengah. Tahun 1618 pindah ke Garatengah jadi Jaksa. Leuwi Panareban tempat menghukum du bubarkan tidak dipakai lagi untuk mencari orang yang berdosa, ikannya bisa diambil. Kyai Anggamalang sejak itu berhenti tidak jadi Hakim Leuwi Panareban lagi.
Kyai Anggamalang sesudah berhenti jadi Hakim Leuwi Panareban kediamanya tidak memilih pindah ke Garatengah tapi tetap di Cidarma. Sesudah meninggal dimakamkan pada sebuah bukit yang tanahnya merah yang disebut Pasir Abang. Di Kampung Cikanyere waktu itu ada seorang penyadap Aren namanya Abas, orang tersebut kalau mencari kayu bakar tidak berani sampai ke bukit yang tanahnya merah tersebut malahan oleh Abas orang lain pun tidak diperbolehkan untuk mengambil kayu bakar pada bukit itu. Yang akhirnya Pasir Abang tersebut diberi nama Pasir Abas.
Sebagai Catatan:
-Tahun 1915 ke Kecamatan Cineam ada seorang Kalasir (Yang biasa menetapkan nomor – persil dan nama Blok tanah), oleh orang Cikanyere Pasir Abang diusulkan supaya diberi nama Blok Pasir Abas.
-Sejak itu Bukit (Pasir) yang dipakai Makam Raden Kyai Anggamalang disebut Pasir Abas.
Sang Adipati Panaekan mempunyai isteri 3 dan mempunyai putra 11, diantara isteri yang ada di daerah Kertabumi yaitu Kakanya Dalem Kertabumi. Oleh Sang Adipati Panaekan isteri yang di Kertabumi tidak kebagian waktu (Kilir). Oleh sebab itu dia marah dan minta tolong kepada Dalem Kertabumi supaya Suaminya (Sang Adipati Panaekan) di bunuh karena sudah tidak pernah datang (kilir). Semula Dalem Kertabumi idak mau menerima dan tidak bersedia disuruh untuk membunuh Sang Adipati Panaekan, karena oleh kakanya terus-terusan diminta akhirnya Dalem Kertabumi menyanggupi untuk membunuhnya.
Pada suatu waktu Sang Adipati Panaekan kembali dari daerah Galuh menuju ke Garatengah sesampainya di Sungai Citanduy pada penyebrangan ada Dalem Kertabumi yang sengaja mencegat Sang Adipati Panaekan.
Dalem Kertabumi tidak berpikir lagi setelah melihat bahwa yang mau menyebrang itu Sang Adipati Panaekan langsung saja ditusuk memakai keris. Sang adipati Panaekan rubuh dan meninggal, mayatnya dan keris dihanyutkan ke Sungai Citanduy dan nyangkut di Muara Sungai Cimuntur. Kemudian dimakamkan di Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciamis.
Kedua pengiring Sang Adipati Panaekan terus berangkat ke Garatengah melaporkan bahwa di Sungai Citanduy SangAdipati Panaekan ada yang membunuh menggunakan keris. Raden Pandji Boma dan Ki Bagus Kalintu bersama Rakyat Garatengah berangkat menuju ke tempat yang dipakai membunuh Sang Adipati Panaekan, sampai ke tempat yang dituju mayatnya sudah tidak ada hanyut di Sungai Citanduy. Bekas Pesanggrahan Sang Adipati Panaekan bersama pengiringnya sekarang oleh masyarakt di anggap sebagai keramat. Pasir itu akhirnya jadi Kampung yang diberi nama Lembur Panaekan sampai sekarang. Tepatnya di Kampung Panaekan Desa Ancol Kecamatan Cineam. Terdapat yang disebut sebagai Paesan atau Astana Sang Adipati Panaekan.
Tahun 1625 Dalem Garatengah diganti oleh Raden Dipati Imbanagara. Dalem itu oleh Sultan Mataram ditunjuk dijadikan Bupati Wedana, jadi penasihat Dalem diwilayah Galuh menggantikan Sang Adipati Panaekan.
Dipati Imbanagara mempunyai isteri bernama Nyi Gedeng Adi Larang (Putra Sunan Bandu Jaya) Sumedang larang, Sumedang. Mempunyai putra 2 bernama:
1. Mas Bongsar atau Raden Jayanagara (Raden Yogaswara)
2. Raden Angganata
Dipati Imbanagara mendapat perintah dari Sultan Mataram untuk mengusir Kompeni / Belanda yang akan menjajah Pulau Jawa, yang markasnya di Yogyakarta. Dari Garatengah tidak dipinta prajurit, yang diperintah harus mengirimkan prajurit hanya dari Dalem Dipati Ukur. Tetapi dari Garatengah juga ada yang mau ikut berangkat ke medan perang yaitu Tumenggung Wirasuta (Tahun 1628 – 1629).
Sesudah sampai pada waktu yang ditentukan yaitu Tahun 1628 Dalem Dipati Imbanagara disuruh untuk menyiapkan perbeklan dan dikirimkan ke daerah Tawang yang sekarang menjadi Kota Tasikmalaya. Kemudian pada Tahun 1629 mengirim kembali perbekalan tapi diperjalanan dirampok (Dikaraman) oleh Kompeni banyak yang dibakar maksud Belanda supaya prajurit Sultan Mataram tidak mempunyai perbekalan (Makanan).
Sesudah Sultan Mataram (Sultan Agung) perang melawan kompeni di yogyakarta Dalem Dipati Ukur mempunyai maksud ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Mataram, kepada Belanda tidak mau takluk terus mengajak Dalem Garatengah sampai ke Dalem yang ada di Sumedang untuk ikut denganya.
Dalem Garatengah setuju lepas dari bawahan Sultan Mataram, kemauan Dipati Ukur supaya cepat-cepat mengadakan pemberontakan, tapi maksudnya sudah tercium dan ketahuan oleh Sultan Mataram bahwa Dipati Ukur dan Dipati Imbanagara malah mengajak Dalem Sumedang akan mengadakan pemberontakan pada Sultan Mataram. Sultan Mataram sangat marah kepada Dipati Ukur dan kepada Dipati Imbanagara, terus memerintahkan prajurit dan para ponggawanya supaya Dipati Imbanagara dihukum mati dipenggal lehernya dan kepalanya dibawa ke Mataram, sebab Dipati Imbanagara mau berontak ke Mataram.
Utusan yang diperintah oleh Sultan Mataram sudah berangkat menuju Garatengah. Sampai di daerah Garatengah, waktu itu Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke wilayah kampung-kampung yang ada disebelah utara Sungai Citanduy, dia tidak menyangka bahwa akan dihukum mati oleh utusan dari Mataram.
Utusan Mataram menanyakan kepada Patih dimana Dipati Imbanagara oleh Patih dijawab bahwa Dalem Dipati Imbanagara sedang berkeliling ke Daerah Galuh. Tidak lama kemudian utusan Mataram terus menyusul dan bertemu dengan Dipati Imbanagara. Utusan Mataram tidak berpikir panjang lagi bahwa yang bertemu itu adalah Dipati Imbanagara langsung dibunuh pada waktu itu juga lehernya dipenggal, kepalanya ditempatkan pada Endul yang akan di setorkan ke Sultan Mataram. Sedangkan badanya tergeletak di tempat itu bersimbah darah. Utusan Mataram langsung pulang membawa kepala Dalem Imbanagara.
Patih Garatengah bermusyawarah dengan Jagabaya Paganjuran maksudnya mau menyusul takut Dalem Dipati Imbanagara ketahuan oleh utusan Mataram, padahal kenyataanya Dalem Dipati Imbanagara waktu itu sudah terbunuh.
Patih dan Dalem Paganjuran berangkat menyusul utusan dari Mataram dikarenakan dari Garatengah menyusulnya terlambat sehingga utusan Mataram sudah pergi, jalanya ke sebelah utara Sungai Citanduy. Dari kejauhan terlihat oleh orang Garatengah bahwa yang didepanya itu adalah utusan Mataram terus dikejar maksudnya mau merebut Endul yang dipakai untuk menyimpan kepala Dipati Imbanagara. Utusan Mataram hanya sedikit sedangkan orang Garatengah yang mengejar jumlahnya banyak lantaran dibantu oleh rakyat dari Kampung yang dilewatinya.
Orang Garatengah yang dipimpin oleh Jagabaya Dalem Paganjuran terus mengejar, sudah diketahui bahwa utusan Mataram akan terkejar langsung saja kepala Dalem Dipati Imbanagara dilemparkan ke Sungai Citanduy sedangkan Endulnya dibawa mau disetorkan ke Mataram.
Utusan Mataram kabur tidak berani melawan orang Garatengah yang begitu banyak. Utusan Mataram setelah sampai terus melapor ke Sultan bahwa pekerjaanya telah dilaksanakan. Dipati Imbanagara ketemunya di daerah Galuh. Ditempat itu dibunuhnya, kepalanya dimasukan pada Endul, karena dari Galuh ke Mataram sangat jauh sudah barang tentu kepala Dipati Imbanagara akan bau, berdasarkan musyawarah utusan langsung saja dilemparkan ke Sungai Citanduy supaya jangan ketemu oleh rakyat Galuh dan orang Garatengah. Sebagai saksi ini saja Endul bekas membawa kepala Dipati Imbanagara yang masih ada rambut sedikit yang menempel pada darah sampai kering. Laporan utusan Mataram diterima oleh Sultan.
Kemudian setelah utusan Mataram pergi kepala Dipati Imbanagara yang di lemparkan ke Sungai Citanduy oleh orang yang biasa menyelam (Palika ) dicari sampai ke dasar Sungai Citanduy tapi tidak ketemu. Lama kelamaan air di Sungai Citanduy tercium bau busuk (Biuk ), sehingga nama Sungai tempat mencari kepala Dipati Imbanagara diberi nama Leuwi Biuk.
Sedangkan badan Dipati Imbanagara disimpan ditempat yang luas dan terbuka (Lenglang) tempat itu sekarang dinamakan Bolenglang. Peristiwa itu terjadi pada Tahun 1636. jenajah Dipati Imbanagara yang tanpa kepala dimakamkan disuatau tempat yang kemudian diberi nama Gegembung yang artinya Badan Tanpa Kepala.
Daerah tersebut ada disebelah timur Kota Ciamis sekarang. Setelah Diapati Imbanagara meninggal sementara Pemerintahan di Kadaleman Garatengah dijalankan oleh Patih Raden Wiranagara. Pada waktu itu yang berhak untuk menggantikan Dalem Dipati Imbanagara adalah Mas Bongsar tapi usianya baru 13 tahun, sehingga diwakilkan kepada Patih.
Patih Raden Wiranagara mempunyai maksud untuk menjadi Dalem, timbul kebencian pada Mas Bongsar yang mempunyai hak jadi Dalem menggantikan ayahnya.
Nyi Geseng Adi Larang ibunya Mas Bongsar sudah mengetahui bahwa putranya dibenci oleh Patih. Lalu menyuruh salah seorang pegawai Kadaleman supaya Mas Bongsar harus segera diungsikan dari Garatengah tapi tanpa sepengetahuan orang lain. Pada suatu waktu kebetulan cuaca cerah dan terang bulan Mas Bongsar oleh pegawai itu malam hari dibawa lolos ke suatu tempat yang disebut Lembur Pawindan dan dititipkan kepada seorang petani yang tinggi ilmunya (Jembar Pangabisa ) yang di butuhkan oleh semua rakyat.
Mas Bongsar harus diakui anak, namanya juga sementara harus diganti, serta dipinta untuk dididik Agama Islam dan menulis Tulisan Jawa. Semua keadaan di Kadaleman garatengah oleh pegawai tadi kepada petani tadi diterangkan supaya dimengerti dan petani itu harus bisa memegang segala rahasia. Mas Bongsar di Pawindan dididik berbagai macam ilmu jikalau dikemudian hari ada kemungkinan harus memimpin Kadaleman. Petani yang didiami Mas Bongsar, dia adalah orang Galuh yang masih keturunan Raden Galuh, keturunanya masih dekat dengan Dipati Imbanagara. Kurang lebih 3 tahun lamanya Mas Bongsar diungsikan ke Pawindan.
Ke Garatengah datang utusan Mataram menanyakan Mas Bongsar masih hidup atau sudah meninggal, kalau masih hidup dimana sekarang, kalau sudah meninggal dimana kuburanya. Sultan Mataram ingin mengetahui apabila masih hidup Mas Bongsar mau diangkat jadi Dalem garatengah menggantikan Bapaknya.
Sebab dari bukti – bukti yang dikumpulkan kemudian, akhirnya Mataram menyadari kekeliruanya dan timbul penyesalan karena Dipati Imbanagara ternyata sama sekali tidak bersalah, dan menyadari bahwa Dipati Imbanagara menjadi korban pitnah yang tidak pernah dilakukanya.
Patih mendengar dari utusan Mataram bahwa Mas Bongsar akan di angkat jadi Dalem Garatengah merasa menyesal sekali sebab cita-cita ingin menjadi Dalem tidak akan terlaksana. Waktu itu oleh Patih dijawab, bahwa Mas Bongsar sudah 3 Tahun lamanya lolos dari Garatengah tidak tahu ke mana perginya, dicari ke mana mana tidak ketemu. Padahal Patih itu tidak pernah memerintahkan rakyat harus mencari Mas Bongsar.
Patih dan utusan dari Mataram terus menemui Ibu Mas Bongsar, menanyakan ke mana lolosnya, sekarang ada dimana, ini ada utusan dari Mataram maksudnya ingin membuktikan Mas Bongsar masih ada di Garatengah, kalau tidak ada ke mana perginya harus dicari sampai ketemu kalau masih hidup oleh Sultan mau dijadikan Dalem di Garatengah sebagai pengganti Ayahnya.
Ibunya Mas Bongsar mendengar perkataan utusan Mataram kaget dengan rasa gembira bercampur dengan rasa takut. Gembira karena putranya mau diangkat jadi Dalem, sedangkan was-was nya takut putranya ditelaspati (Dibunuh) seperti Ayahnya. Akhirnya Ibunya Mas Bongsar berkata kepada Patih dan utusan Mataram, tunggu paling lama 1 minggu akan mengutus pegawai Kadaleman barangkali ketemu mau dicari apabila masih ada. Terus Ibunya mengutus pegawai untuk menjemput Mas Bongsar serta menjelaskan maksud dan tujuan utusan dari Mataram, malah harus bersama-sama Petani yang didiaminya untuk mengantarkan ke Garatengah. Selanjutnya pegawai Kadaleman berangkat ke Pawindan mau menjemput Mas Bongsar, sampai di Pawindan kebetulan Mas Bongsar sedang ada. Pegawai memberi tahu maksud dijemput itu karena ada utusan dari Kanjeng Sultan Mataram oleh pegawai itu dijelaskan ke Mas Bongsar dan kepada Petani yang didiaminya maksud dan tujuan sehingga harus pulang dahulu ke Garatengah.
Mas Bongsar mendengar perkataan pegawai sebagai utusan Ibunya sama perasaan seperti Ibunya tadi, gembira bercampur rasa takut. Gembira karena akan diangkat jadi Dalem sedangkan rasa takut (was-was) kemungkinan akan dibunuh seperti ayahnya. Pegawai kembali dari Pawindan bersama Mas Bongsar dan petani yang didiaminya, sampai di Garatengah oleh Ibunya dirangkul ditangisi karena rasa rindu. Sesudah rasa kerinduan terkabul dengan disaksikan oleh utusan dari Mataram, oleh Patih, dan oleh Jagabaya Dalem Paganjuran bahwa betul-betul Mas Bongsar yang datang, Putra Dipati Imbanagara Dalem Garatengah.
Mas Bongsar oleh utusan Mataram diberi tahu bahwa dia bakal diangkat oleh Sultan Mataram jadi dalem garatengah. Kemudian utusan Mataram memberi tugas kepada Patih, kepada Jagabaya Dalem Paganjuran serta kepada rakyat menitipkan Mas Bongsar untuk dijaga, karena takut ada yang menganiaya, siapa saja yang berani menganiaya kepada Mas Bongsar kata utusan Mataram bahwa Sultan Mataram akan menjatuhkan hukuman serta keluarga yang menganiaya bakal disuruh untuk pergi dari wilayah Garatengah (Ditudung ). Sesudah beres memerintah, utusan Mataram kembali sesampainya di Mataram langsung melapor ke Sultan bahwa Mas Bongsar masih ada dalam keadaan hidup di Garatengah. Semua laporan utusan diterima oleh Sultan serta kemudian utusan Mataram disuruh berangkat kembali ke Garatengah maksudnya membri tahu kepada Mas Bongsar, Patih, dan Jagabaya dalem Paganjuran dan Ibunya bahwa Mas Bongsar harus ikut ke Mataram swekarang juga mau diangkat jadi Dalem. Ibunya menyiapkan persiapan perbekalan yang sekiranya cukup untuk dijalan sampai kembali ke Garatengah. Sampai waktu yang telah ditentuka Mas Bongsar, utusan Mataram, Patih, petani Pawindan, Jagabaya Dalem Paganjuran, berangkat menuju Mataram dengan membawa segala perbekalan yang disimpan pada tempat yang disebut Sumbul. Sampai di Mataram utusan melapor kepada Sultan bahwa Mas Bongsar sudah terbawa dan sampai.
Kanjeng Sultan Mataram sudah mengetahui Mas Bongsar sampai di Mataram terus menasihati dan berbicara bahwa dia akan di lantik dan diangkat jadi Dalem Garatengah. Waktu itu juga Mas Bongsar diangkat oleh Sultan Mataram menjadi Dalem Garatengah, sekitar Tahun 1639 waktu itu Mas Bongsar baru berumur 13 Tahun. Sesudah selesai pelantikan Mas Bongsar jadi Dalem Garatengah oleh Sultan Mataram semuanya kembali ke Garatengah, dan diperjalanan selamat tidak ada halangan apa-apa. Selama menjadi Dalem Mas Bongsar sama sekali belum dapat melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. Ia terus menerus dikhianati oleh anak buahnya sendiri, terutama oleh Patih. Sehingga ia pernah mengalami penderitaan pahit. Akan tetapi cobaan yang bertubi-tubi itu selalu dapat diatasinya. Kemudian hari akhirnya pihak Mataram berhasil membongkar kedok si penghianat kepada Mas Bongsar. Orang yang selama ini berkhianat tidak lain adalah Patih Wiranagara sendiri yang pernah menjadi perwalian atas nama Mas Bongsar (Patih yang pernah bercita-cita ingin menjadi Dalem di Garatengah). Patih Wiranagara ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum keputusan hukuman itu dijalankan Mas Bongsar yang berbudi Luhur itu menyatakan pemberian maafnya kepada Patih Wiranagara. Sikap Luhur Mas Bongsar itu telah menimbulkan kekaguman Sultan Mataram. Patih Wiranagara hukumanya hanya disuruh pergi dari wilayah Garatengah oleh Mas Bongsar. Oleh karena itu Sultan Mataram (Sultan Agung) berkenan memberikan gelar kehormatan kepadanya yaitu Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara atau yang disebut Raden Yogaswara. Nama Imbanagara sendiri dipakai menjadi nama Kadaleman atau Kabupaten yang diperintah oleh Mas Bongsar.
Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara (Mas Bongsar) setelah menjadi Dalem perwalianya sementara diserahkan kepada Jagabaya Dalem Paganjuran, setelah dewasa menikah dengan putra Rangga Gempol dari Sumedang yang bernama Nyi Ayu Ibariah. Setelah 5 Tahun jadi Dalem Garatengah mempunyai maksud untuk memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah, dikarenakan kalau mengadakan hubungan ke tetangga Kadaleman menjadi susah jalanya (Belot jalan ) ditambah sudah ada 2 kali kejadian 2 Dalem yang mati dibunuh yaitu Sang Adpati Panaekan dan Dipati Imbanagara.
Kemudian mengadakan musyawarah di Kadaleman Garatengah kesimpulannya mupakat, terus Mas Bongsar melaporkan maksud dan tujuanya ke Sultan Mataram meminta ijin akan memindahkan Pusat Kadaleman Garatengah. Oleh Sultan Mataram diberi ijin malah di beri petunjuk serta diberi saran kalau mau pindah bagaimana kalau ke Kertajaga Binangaun.Mas Bongsar terus kembali dari Mataram sambil melihat-lihat daerah yang akan dijadikan sebagai Pusat Kadaleman yaitu daerah Kertajaga Binangun. Mau membuktikan keadaan tempat di kertajaga cocok atau tidaknya untuk dijadikan pusat Kadaleman. Tetapi setelah dibuktikan kurang cocok sebab masih rumit jalan. (Belot). Terus berangkat dengan pengiringnya menuju daerah Pataruman (Banjar). Terlihatnya cocok sekalai kalau Pataruman dijadikan Pusat Kadaleman Garatengah, untuk hubungan dengan Kadaleman tetangga mudah tidak rumit jalan. Namun sayang keadaan tanahnya masih terlalu lembah, masih sering kebanjiran dari sungai Citanduy dan luas daerah rawa-rawanya.
Kalau waktu itu banjar dijadikan pusat Kadaleman, yang mendiami rawa-rawa yang terkenal dengan nama Nyi Dewi Mayang Cinde akan mengakibatkan semua orang terjangkit penyakit Demam yang mendiami tempat itu. Oleh orang tua yang disebut Nyi Dewi Mayang Cinde itu zaman sekarang disebut Nyamuk Malaria yang bisa menimbulkan dan menularkan penyakit Demam Malaria.
Mas Bongsar kemudian mencari tempat kesebelah utara Sungai Citanduy mencari tempat bekas pada waktu mengungsi. Diaerah tersebut beristirahat dan bermalam, tidak lama kemudian mendapat petunjuk dari yang Gaib bahwa harus menuju ke salah satu tempat yang disebut Barumay sebelah selatan Gunung Ardilaya sebelah utara Sungai Citanduy.
Petunjuk itu oleh Mas Bongsar dilaksanakan, sampai di Barumay terus tempat itu ditelusuri kenyataan tempat tersebut cocok sekali kalau dipakai sebagai Pusat Kadaleman Garatengah.
Sekembalinya ke Garatengah terus bermusyawarah dengan rakyat merencanakan pemindahan Pusar Kadaleman Garatengah ke Barumay, segala keperluan dibarumay sudah dipersiapkan. Kemudian pada hari Selasa Kliwon tanggal 14 Mulud Tahun 1564 Syaka, Tanggal 12 Bulan Juni Tahun 1642 M Kadaleman Garatengah dipindahkan ke Barumay ( Imbanagara ).
Sementara waktu ada di Barumay masih disebut dengan nama Kadleman Garatengah. Kemudian Sultan Mataram mengubah nama Kadaleman harus diganti jangan Garatengah, hasil mupakat semua Kadaleman Garatengah namanya diganti menjadi Kadaleman Imbanagara. Sejak itu Cineang ada dibawah Kadaleman Imbanagara. Membawa nama Dalem Dipati Imbanagara sebagai penghormatan.
GERET TENGAH
a. -Kadalemanya disebut: Nagaratengah
Zaman Dalemnya: 1. Raden Aria Pandji Subrata (Dalem I)
Tahun 1583 – 1591 M.
2. Raden Aria Pandji Kusumah (Dalem II)
Tahun 1591 – 1611 M.
3. Raden Aria Kusumah (Dalem III)
Tahun 1611 – 1618 M.
b. -Kadalemanya disebut: Garatengah
Setelah Galuh disatukan dengan Nagaratengah dan Pusat Kadalemanya berada di Nagaratengah. Yang memimpin Kadaleman yaitu:
1. Sang Adipati Panaekan (1618 – 1625 M)
2. Diapti Imbanagara (1625 – 1636 M)
3. Mas Bongsar (Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara – Raden Yogaswara)
Tahun 1636 M.
c. -Kadalemanya disebut: Geret tengah
Setelah Kadaleman Garatengah pindah ke Imbanagara Tahun 1642 M,
Oleh Raden Adipati Pandji Aria Jayanagara (Raden Yogaswara). Bekas Kadaleman Nagaratengah – Garatengah yang sampai sekarang disebut Geret tengah.
Di Geret tengah setelah kepindahan Pusat Kedaleman ke Imbanagara suasananya menjadi sepi karena penghuninya banyak yang pindah dari tempat itu. Seperti diantaranya Raden Malangganata (Embah Malang), dan Kyai Kapi Ibrahim II pindahnya ke daerah Tembong Gunung Harjawinangun) daerah Manonjaya sekarang.
Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin serta Raden Anggawinata pindahnya ke daerah yang disebut Wanalapa sekarang.
Kyai Kapiyudin membuat Pesantren disebelah utara Sungai Cihapitan. Setelah meninggal Kyai Kapiyudin dimakamkan di daerah Kembang Gadung Kampung Negla Desa Cijulang Kecamatan Cineam berdekatan dengan Makam Kyai Kapi Ibrahim.
Peninggalan: Makam Kyai Kapi Ibrahim dan Kyai Kapiyudin
Putra penghulu Kyai Abdul Rokhaniah yang bernama Raden Subakerta dan Isterinya Nyi Raden Tiru setelah Ayahnya meninggal dari Geret Tengah pindah ke daerah yang disebut Babakan sekarang.
Setelah meninggal Raden Subakerta dan Nyi Raden Tiru dimakamkan di Lebak Lipung masuk Dusun Kertaharja Desa Ciampanan Kecamatan Cineam sekarang.
Peninggalan: Makam Raden Subakerta (Putu Kyai Anggamalang)
Peninggalan: Makam Nyi Raden Tiru (Mantu Kyai Abdul Rokhaniah)
Sedangkan saudara Raden Subakerta yang bernama Raden Subamanggala tidak ikut pindah ke babakan tapi pindah ke daerah Cisangkir wilayah Cibeureum.
Di Geret Tengah tidak ada ciri-ciri bekas Negara seperti Arca atau Tembok bekas Pendopo sebab bukan bekas Kerajaan. Tapi hanya bekas Kadaleman bangunanya tidak ad yang terbuat dari tembok tapi waktu itu membuat Kadaleman dari Kayu.
Setelah itu di Imbanagara yang memimpinya bukan Dalem lagi tetapi menjadi Bupati Galuh. Tanpa didampingi oleh Wali, peristiwa yang bersejarah itu dalam perkembangan Kabupaten Ciamis dengan wilayah kekuasaanya sekarang. Sehubungan dengan itu pula berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain Hari Jadi Kabupaten Ciamis jatuh pada Tanggal 12 Juni Tahun 1642.
Tahun 1815 adalah masa pemerintahan Bupati Wiradi Kusumah yang waktu itu pernah terjadi pemindahan ibu kota Kabupaten Galuh dari daerah Imbanagara ke Cibatu Ciamis
Sedangkan perubahan Nama Galuh menjadi Ciamis dilakukan pada Tahun 1916 oleh R.T.G. Sastrawinata yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Bupati Galuh yang ke 16 dan memerintah sekitar Tahun 1914 – 1935.
Pranala luar
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.