Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Mitsubishi A6M Zero adalah pesawat tempur jarak jauh yang dioperasikan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dari tahun 1940 hingga 1945. Sekutu menyebutnya "Zero" sejak Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mulai memakai pesawat ini pada tahun 1940. Nama Jepang untuk pesawat ini adalah Rei-shiki kanjō sentōki (零式艦上戦闘機 , Pesawat Tempur Kapal Induk Tipe 0). Kode resmi Sekutu adalah Zeke.
A6M "Zero" | |
---|---|
Mitsubishi A6M3 Zero di atas Kepulauan Solomon | |
Jenis | Pesawat tempur |
Pembuat | Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. |
Penerbangan perdana | 1 April 1939 |
Pengenalan | 1 Juli 1940 |
Dipensiunkan | 1945 (Jepang) |
Pengguna utama | Dinas Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Angkatan Udara Cina Nasionalis |
Dibuat | 1940–1945 |
Jumlah | 10.939 |
Varian | Nakajima A6M2-N |
Ketika baru mulai dioperasikan pada Perang Dunia II, Zero dianggap pesawat terbang berbasis kapal induk paling mumpuni di dunia, berkat daya manuver yang sangat baik dan jangkauan terbang yang sangat jauh.[1] Pada masa awal operasinya, Zero memperoleh reputasi legendaris sebagai pesawat untuk pertarungan udara, rasio bunuh 12 banding 1.[2] Namun pada pertengahan 1942, kombinasi taktik-taktik baru bersamaan mulai dipakainya peralatan yang lebih baik memungkinkan pilot Sekutu menghadapi pesawat Zero pada kedudukan lebih seimbang.[3] Dinas Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang juga sering menggunakan pesawat Zero sebagai pesawat tempur berbasis darat. Pada tahun 1943, kelemahan inheren dalam desain serta ketidakmampuan mengembangkan mesin pesawat yang lebih bertenaga membuat Zero makin kurang efektif melawan pesawat tempur musuh tipe baru yang makin mendekati daya manuver Zero, serta dilengkapi daya tembak lebih besar, pelat perisai, serta kecepatan yang lebih baik. Meski Mitsubishi A6M sudah ketinggalan zaman pada tahun 1944, Jepang tidak pernah sepenuhnya mengganti pesawat ini dengan tipe pesawat lebih baru. Pada tahun-tahun terakhir Perang Pasifik, Zero dipakai dalam operasi-operasi kamikaze.[4] Semasa Perang Dunia II berlangsung, Jepang memproduksi lebih banyak pesawat Zero dibandingkan produksi pesawat jenis lainnya.[5]
Pesawat tempur Mitsubishi A5M baru saja memasuki masa dinas pada awal 1937 ketika Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mulai mencari pesawat penggantinya. Pada Mei 1937, angkatan laut menerbitkan spesifikasi pesawat tempur baru berbasis kapal induk 12-Shi, dan menyampaikannya Nakajima dan Mitsubishi. Kedua perusahaan tersebut mulai membuat desain awal, sementara mereka menunggu persyaratan lebih terinci yang akan disampaikan beberapa bulan kemudian.
Berdasarkan pengalaman A5M di Cina, angkatan laut mengirimkan persyaratan yang diperbarui pada Oktober 1937, di antaranya mengharuskan kecepatan terbang 370 mil per jam, dan kemampuan menanjak 3.000 m (9.840 kaki) dalam 3,5 menit. Dilengkapi tanki rurut, angkatan laut menginginkan pesawat yang dapat bertahan terbang selama dua jam pada kecepatan normal, atau 6 hingga 8 jam pada kecepatan jelajah ekonomis. Persenjataan terdiri dari dua meriam 20 mm, dua senapan mesin 7,7 mm (0,303 inci), dan dua bom 30 kg atau 60 kg. Semua pesawat harus dipasangi satu set radio lengkap, ditambah radio pencari arah untuk navigasi jarak jauh. Daya manuver setidaknya harus setara dengan A5M, sementara rentang sayap harus kurang dari 12 m agar dapat digunakan di atas kapal induk. Semua spesifikasi harus terpenuhi dengan memakai mesin-mesin yang sudah ada, sekaligus berarti pembatasan pada desain secara signifikan. Mesin pesawat Zero jarang dapat mencapai 1.000 daya kuda (750 kilowatt) pada semua varian yang diproduksi.
Tim Nakajima menganggap persyaratan pesawat tempur baru itu mustahil dapat diwujudkan, dan menarik diri dari persaingan dengan Mitsubishi pada Januari 1938. Kepala perancang pesawat Mitsubishi, Jiro Horikoshi berpendapat persyaratan pesawat baru itu dapat dipenuhi, asalkan bobot pesawat dibuat seringan mungkin. Desain pesawat ini menerapkan semua kemungkinan upaya penghematan bobot. Sebagian besar dari pesawat dibuat dari logam sangat rahasia paduan aluminium 7075 yang dikembangkan oleh Sumitomo Metal Industries pada tahun 1936. Paduan aluminium itu disebut Extra Super Duralumin (ESD) yang lebih ringan dan lebih kuat dari paduan-paduan aluminium lainnya (misalnya 24S alloy) yang dipakai waktu itu. Namun ESD lebih rapuh dan rawan karat[6] Kelemahan tersebut diimbangi dengan memberi lapisan antikarat setelah pesawat selesai dibuat. Pelat perisai tidak dipasang untuk melindungi pilot, mesin, atau titik-titik kritis pada pesawat. Pesawat ini juga tidak dilengkapi tangki bahan bakar swarapat yang sudah umum pada waktu itu. Tidak adanya pelat perisai membuat pesawat Zero lebih ringan, memiliki daya manuver lebih baik, dan jangkauan terbang lebih jauh dibandingkan pesawat tempur bermesin tunggal lainnya semasa Perang Dunia II. Pesawat Zero dapat mencari sasaran hingga ratusan mil jauhnya, menantangnya untuk duel udara, dan masih dapat kembali ke kapal induk atau pangkalan yang masih ratusan mil jauhnya. Namun upaya meringankan bobot pesawat dengan tidak memasang pelat perisai menyebabkan pesawat ini mudah terbakar dan meledak bila terkena tembakan lawan.[7]
Sebagai pesawat terbang sayap tunggal dengan kantilever untuk pemasangan sayap bawah yang dilengkapi roda pendaratan dapat ditarik masuk, dan kokpit tertutup, Zero adalah salah satu pesawat termodern di dunia ketika baru selesai dibuat. Pesawat ini memiliki sayap kecepatan rendah dengan gaya angkat cukup besar dan beban sayap sangat rendah. Dikombinasikan dengan bobot yang sangat ringan, pesawat ini memiliki kecepatan stal sangat rendah, di bawah 60 kn (110 km/h; 69 mph). Keiistimewaan tersebut menjadi alasan utama pesawat Zero memiliki kemampuan manuver yang fenomenal, dan dapat mengungguli semua pesawat tempur Sekutu dari zamannya. Model-model awal dilengkapi dengan tab servo pada kedua aileron setelah para pilot mengeluh gaya kontrol menjadi terlalu berat ketika pesawat berada pada kecepatan di atas 300 kilometer per jam (190 mph). Pemasangan tab servo tidak dilanjutkan pada model-model selanjutnya setelah diketahui gaya kontrol lebih ringan menyebabkan pilot memberi tekanan berlebihan pada sayap sewaktu melakukan manuver berbahaya.[8]
Desain pesawat Zero pernah dituduh sebagai jiplakan terang-terangan dari pesawat tempur Amerika Serikat dan komponennya yang diekspor ke Jepang pada tahun 1930-an, khususnya pesawat tempur Vought V-143. Chance Vought menjual prototipe dan diagram V-143 kepada Jepang pada tahun 1937. Ketika kepadanya diperlihatkan sebuah pesawat Zero hasil sitaan pada tahun 1943, Presiden Direktur Vought Eugene Wilson mengaku, "[Aku melihat] di sebuah Vought V 142 [sic] atau pesawat yang serupa benar dengannya, buatan Jepang," sementara mesinnya jelas-jelas Chance Vought, ruang penyimpanan roda pendaratan pada pangkal sayap berasal dari Northrop, perancang-perancang Jepang bahkan menyalin stempel inspeksi dari suku cadang tipe Pratt & Whitney."[9] Meski penjualan V-143 sepenuhnya legal,[9][10] Wilson nantinya mengakui bahwa[9] konflik kepentingan dapat terjadi pada ekspor teknologi militer. Sebenarnya tidak ada hubungan signifikan antara V-143 dan Zero buatan Jepang. V-143 adalah desain pesawat gagal yang telah ditolak oleh Korps Udara Angkatan Darat Amerika Serikat dan beberapa pelanggan di luar negeri. Zero dan V-143 hanya memiliki kesamaan superfisial dalam bentuk. Tuduhan pesawat Zero sebagai hasil jiplakan terbukti meragukan.[10][11]
Mitsubushi A6M secara universal populer dengan sebutan Zero yang diambil dari designasi pesawat Angkatan Laut Jepang untuk pesawat ini: Rei-shiki kanjō sentōki (零式艦上戦闘機 , Pesawat Tempur Kapal Induk Tipe 0). Pesawat tersebut mulai dioperasikan pada tahun 2600 tahun Jepang (tahun 1940) sehingga pesawat ini disebut Tipe 0 (Tipe Nol) yang diambil dari digit terakhir tahun pesawat ini mulai beroperasi. Di Jepang, pesawat ini populer dengan sebutan Rei-sen atau Zero-sen (零戦 ). Pilot-pilot Jepang umumnya menyebutnya Zero-sen.[12]
Huruf A pada designasi resmi untuk pesawat ini, A6M berarti pesawat tempur berbasis kapal induk. Angka 6 berarti model ke-6 yang dibangun untuk Angkatan Laut Kekaisaran, dan M untuk inisial pabrik pesawat ini, Mitsubishi.
Kode resmi Sekutu adalah "Zeke", sesuai kebiasaan memberi nama laki-laki untuk pesawat tempur Jepang, nama peremuan untuk pesawat pengebom, nama burung untuk pesawat layang militer, dan nama pohon untuk pesawat latih. Nama "Zeke" hanyalah sekumpulan pertama kode nama "orang dusun" yang diciptakan oleh Kapten Frank T. McCoy dari Tennessee. Ia menginginkan nama yang cepat, mudah diingat, dan distingtif. Ketika Sekutu mulai memakai kode untuk pesawat Jepang, secara logis McCoy memilih nama Zeke untuk Zero. Selanjutnya, dua varian dari Zero juga mendapat kode nama sendiri: Nakajima A6M2-N (versi pesawat terbang terapung dari Zero) disebut Rufe dan varian A6M3-32 awalnya disebut Hap. Setelah Jenderal "Hap" Arnold, komandan USAAF menyatakan keberatannya, Hap diganti menjadi "Hamp". Dalam pemeriksaan di Guinea Baru terhadap pesawat A6M3-32 yang berhasil dirampas, baru diketahui bahwa pesawat ini hanyalah sebuah varian dari Zero, dan akhirnya diberi nama Zeke 32.
Pesawat-pesawat Zero pertama (A6M2 pre-series) mulai beroperasi pada Juli 1940.[14] Pada 13 September 1940, pesawat-pesawat Zeros mencatat kemenangan pertama pertempuran udara-ke-udara setelah 13 pesawat A6M2 pimpinan Letnan Saburo Shindo menyerang 27 pesawat Polikarpov I-15 dan I-16 buatan Rusia milik Angkatan Udara Cina Nasionalis. Semua pesawat tempur Cina Nasional ditembak jatuh tanpa Jepang mengalami kerugian sebuah pesawat pun. Pada saat ditarik mundur setahun kemudian, pesawat Zero telah berhasil menembak jatuh 99 pesawat Cina[15] (266 pesawat menurut sumber-sumber lain).[14]
Pada saat dilancarkannya Serangan Pearl Harbor sejumlah 420 pesawat Zero aktif beroperasi di Pasifik. Model 21 basis kapal induk adalah tipe Zero yang dipakai menghadapi pesawat Amerika Serikat. Pesawat Zero model 21 memiliki jarak terbang luar biasa, sejauh lebih dari 2.600 km (1.600 mil). Pesawat ini dapat menjangkau sasaran-sasaran yang jauh dari kapal induk, lebih jauh dari kemampuan yang diharapkan sebelumnya. Zero dapat mendatangi medan pertempuran yang begitu jauh jaraknya sehingga komandan-komandan Sekutu merasakan pesawat-pesawat Zero yang datang jumlahnya lebih banyak dari jumlah sebenarnya.[16]
Pesawat Zero dengan cepat mendapat reputasi sebagai pesawat tempur yang menakutkan. Berkat kombinasi daya manuver yang luar biasa dan daya tembaknya, pesawat Zero dengan mudah dapat menyelesaikan kumpulan pesawat tempur campuran milik Sekutu yang dikirim ke Pasifik pada tahun 1941. Zero terbukti sebagai musuh yang tangguh bahkan untuk Supermarine Spitfire. Meski terbang tidak secepat pesawat tempur Inggris, pesawat Zero dapat mengecoh Spitfire dengan mudahnya, dapat terus menerus menanjak pada sudut sangat curam, dan dapat berada di udara tiga kali lipat lebih lama.[17]
Namun Sekutu segera mengembangkan taktik untuk mengatasi Zero. Pesawat Zero sangat lincah, meladeni pertarungan udara tradisional dengan sebuah Zero kemungkinan akan berakhir dengan fatal. Ketika menjadi lawan Zero, pesawat sebaiknya menukik dalam kecepatan tinggi dari atas, memberondong sejumlah tembakan, lalu menanjak kembali hingga di ketinggian. (Serentetan pendek tembakan dari senapan mesin berat atau meriam sering sudah cukup untuk menjatuhkan pesawat Zero yang rapuh). Taktik "boom-and-zoom" (menembak lalu kabur) seperti ini terbukti sukses dalam Teater Cina Burma India (CBI) oleh "Flying Tigers" dari American Volunteer Group (AVG) ketika melawan pesawat terbang Angkatan Darat Jepang yang memiliki daya manuver serupa seperti Nakajima Ki-27 Nate and Ki-43 Oscar. Pilot-pilot AVG dilatih untuk memanfaatkan sebaik-baiknya keunggulan P-40 yang kukuh, bersenjata berat, secara umum lebih cepat dalam menukik dan terbang datar pada ketinggian rendah, serta kemampuan guling yang baik.[18]
Manuver penting lainnya disebut "Thach Weave" (Anyaman Thach) yang diciptakan oleh Mayor Udara John S. "Jimmy" Thach. Dua pesawat terbang dalam formasi, terpisah dengan jarak 60 m (200 kaki) satu sama lainnya. Bila ekor salah satu pesawat dikunci oleh pesawat Zero, maka dua pesawat tersebut akan terbang saling bersilangan, memotong arah terbang satu sama lainnya. Bila pesawat Zero terus mengikuti pesawat target yang dikuncinya, maka pesawat Zero itu akan berada dalam posisi tembak wingman pesawat target. Taktik ini pertama kali dipakai dengan hasil baik selama Pertempuran Midway, dan setelah itu di atas Kepulauan Solomon, dan berakibat pada tewasnya penerbang berpengalaman Jepang dalam jumlah besar. Kualitas keterampilan penerbang lawan yang harus dihadapi penerbang Sekutu makin menurun, dan akhirnya menjadi faktor penting kemenangan Sekutu. Tewasnya penerbang berpengalaman dalam jumlah besar Pertempuran Laut Karang dan Pertempuran Midway tidak dapat digantikan oleh Jepang, dan menjadi pukulan berat bagi kekuatan kapal induk Jepang.[19][20]
Sebaliknya, pesawat-pesawat tempur Sekutu memiliki desain yang kukuh dan dapat melindungi penerbangnya.[21] Penerbang jagoan Saburo Sakai menjelaskan ketangguhan pesawat-pesawat tahap awal Grumman sebagai faktor yang menghalangi diperolehnya supremasi udara oleh pesawat Zero:
Aku yakin sekali dengan kemampuanku menghancurkan pesawat Grumman itu dan memutuskan untuk menghabisi pesawat musuh itu hanya dengan senapan mesin kaliber 7,7 mm yang kumiliki. Aku menyetel meriam 20 mm pada posisi off (tembak), dan terbang mendekat. Untuk alasan yang aneh, bahkan setelah aku menghujani sekitar lima atau enam ratus rentetan langsung ke arah Grumman itu, pesawat itu tidak jatuh, tetapi terus terbang! Aku pikir ini sangat aneh--tidak pernah terjadi sebelumnya--dan aku memperkecil jarak antara pesawatku dengan pesawat musuh hingga hampir-hampir aku dapat meraihnya dan menyentuh Grumman itu. Aku terkejut melihat kemudi belok dan ekor Grumman tercabik-cabik, tampak seperti sobekan kain rombeng. Dengan pesawat dalam keadaan seperti itu, tidak heran kalau pilotnya sudah tidak lagi mampu melawan! Tapi sebuah pesawat Zero yang tertembak dengan jumlah peluru yang sama pastinya sudah jadi sebuah bola api sekarang.[22]
Setelah Lockheed P-38 Lightning, Grumman F6F Hellcat, dan Vought F4U Corsair yang lebih bertenaga tampil di medan perang Pasifik, pesawat Zero yang memakai mesin bertenaga rendah, dipaksa keras untuk mampu bersaing. Pada pertempuran dengan F6F atau F4U, satu-satunya hal positif yang dapat dikatakan mengenai Zero pada tahap perang ini adalah kemampuan manuver yang sama baiknya dibandingkan sebagian besar pesawat lawan, bila pesawat Zero itu berada di tangan pilot yang terampil.[16] Meskipun demikian, di tangan pilot mahir, Zero masih bisa mematikan.
Disebabkan kurangnya mesin pesawat bertenaga tinggi dan masalah dalam pengembangan model-model pengganti yang direncanakan, Zero terus diproduksi hingga tahun 1945. Total produksi A6M kira-kira 10.449 buah pesawat (3.879 oleh Mitsubishi dan 6.570 oleh Nakajima).[23]
Pihak militer Amerika Serikat menemukan sejumlah besar karakteristik khas A6M setelah mereka menemukan kembali spesimen pesawat Zero dalam keadaan sebagian besar masih utuh di Pulau Akutan, Kepulauan Aleut. Pesawat tersebut diberi nama Zero Akutan karena ditemukan di Pulau Akutan. Dalam penyerangan di atas Dutch Harbor, 4 Juni 1942, sebuah pesawat tempur A6M terkena tembakan dari darat. Setelah mengalami kebocoran oli, Sersan Satu Udara Tadayoshi Koga mendarat darurat di Pulau Akutan, kira-kira 20 mil timur laut Dutch Harbor. Pesawatnya terjungkir di tanah berlumpur. Koga tewas seketika akibat cedera kepala, tetapi pesawatnya yang relatif tidak mengalami kerusakan ditemukan lebih dari sebulan kemudian oleh sebuah tim penyelamatan dan dikapalkan ke Pangkalan Udara Angkatan Laut North Island, tempatnya menjalani uji terbang. Pesawat A6M yang sudah diperbaiki tidak hanya menunjukkan kekuatannya, namun juga defisiensi dalam desain dan kinerja.[21][24]
Menurut evaluasi para pakar, pesawat Zero Akutan hanya berbobot kira-kira 2.360 kg (5.200 pon) dalam keadaan terisi penuh, hanya sekitar setengah dari bobot pesawat tempur Angkatan Laut Amerika Serikat. Pesawat itu "dibangun bagaikan sebuah jam yang sangat bagus"; Zero dibangun dengan paku keling kepala terbenam, dan bahkan senapan-senapan dibenamkan pada sayap. Panel instrumen adalah sebuah "keajaiban dari kesederhanaan ... tanpa instrumen berlebih-lebihan yang membingungkan [pilot]." Hal yang paling mengesankan bagi para pakar adalah badan pesawat dan sayap yang dibangun sebagai satu kesatuan, tidak seperti metode orang Amerika yang membangunnya secara terpisah lalu menyambungnya. Metode Jepang lebih lambat, namun menghasilkan struktur sangat kuat dan daya manuver jarak dekat yang lebih baik.[21]
Kapten Eric Brown, Kepala Pilot Uji Angkatan Laut Kerajaan Bersatu mengingat bahwa dirinya sangat terkesan dengan pesawat Zero selama melakukan uji terbang Zero Akutan. "Aku kira aku belum pernah menerbangkan sebuah pesawat tempur yang dapat menandingi kemampuan berbelok pesawat Zero itu. Zero adalah pesawat paling jagoan di antara pesawat jagoan, sekaligus pesawat terbaik di dunia hingga pertengahan 1943."[2] Pilot uji Amerika Serikat merasakan kemudi pesawat Zero "sangat ringan" pada 320 kilometer per jam (200 mph), namun makin berat pada kecepatan tinggi (di atas 348 km/jam atau 216 mil/jam) untuk melindungi terhadap kegagalan sayap.[25] Pada manuver kecepatan tinggi, Zero tidak dapat menandingi pesawat Sekutu, dan rendahnya batas kelajuan (VNE) membuat pesawat ini mudah diserang ketika menukik. Meskipun tetap stabil walaupun ringan, pesawat ini dirancang semata-mata untuk menyerang, lebih mementingkan kemampuan terbang jarak jauh serta kemampuan manuver dan daya tembak, namun mengorbankan perlindungan terhadap pilotnya. Sebagian besar pesawat Zero tidak memiliki tangki swarapat atau pelat perisai.[21]
Prototipe pertama A6M1 selesai pada Maret 1939, ditenagai oleh mesin Mitsubishi Zuisei 13 berkekuatan 580 kW (780 hp) yang dipasangi propeler berbilah dua. Pesawat pertama kali terbang pada 1 April, dan lulus uji terbang dalam jangka waktu sangat pendek. Pada September 1939, pesawat prototipe sudah diserahterimakan kepada pengujian angkatan laut sebagai Pesawat Tempur Kapal Induk A6M1 Tipe 0, hanya dengan satu-satunya perubahan berupa penggantian propeler dari propeler berbilah dua menjadi propeler berbilah tiga untuk mengatasi masalah getaran.
Ketika angkatan laut sedang menguji dua prototipe pertama, mereka menyarankan agar prototipe ketiga dipasangi mesin Nakajima Sakae 12 berkekuatan 700 kW (940 hp). Mitsubishi sebetulnya memiliki mesin sendiri pada kelas ini yang diberi nama Kinsei, sehingga mereka agak enggan memakai produk Sakae. Meskipun demikian, ketika A6M2 pertama selesai pada Januari 1940, tenaga ekstra mesin Sakae terbukti mendorong kinerja Zero jauh di atas spesifikasi orisinal.
Versi baru ini begitu menjanjikan sehingga angkatan laut membangun 15 buah pesawat yang langsung dikirim ke Cina sebelum uji terbang selesai. Pesawat-pesawat tersebut tiba di Manchuria pada Juli 1940, dan diterjunkan dalam pertempuran di atas Chungking pada bulan Agustus. Di langit atas Chungking, mereka terbukti bukan tandingan untuk Polikarpov I-16 dan I-153 yang sebelumnya pernah merepotkan A5M yang digunakan saat itu. Pada suatu pertarungan udara, 13 pesawat Zero menembak jatuh 27 pesawat I-15 dan I-16 hanya dalam tiga menit, tanpa korban satu pun di pihak pesawat Jepang. Setelah mendengar laporan keberhasilan Zero, angkatan laut dengan segera memesan A6M2 agar diproduksi sebagai Pesawat Tempur Kapal Induk Tipe 0 Model 11. Namun di Amerika Serikat, laporan mengenai kinerja Zero terkena penyaringan. Sebagian besar pejabat militer Amerika Serikat menolak laporan tentang keunggulan pesawat Zero. Mereka beranggapan Jepang mustahil dapat membangun pesawat seperti itu.
Setelah baru saja serah terima 65 buah pesawat pada November 1940, perubahan lebih jauh dilakukan di alur produksi, yakni diperkenalkannya ujung sayap lipat agar pesawat ini dapat masuk di kapal induk pesawat. Hasilnya berupa Model 21 yang nantinya menjadi versi paling banyak diproduksi pada awal perang. Ketika alur produksi beralih ke model terbaru, Mitsubishi sudah berhasil menyelesaikan 740 buah pesawat Model 21, dan Nakajima berhasil menyelesaikan 800 buah pesawat. Dua versi lainnya dari Model 21 dibuat dalam jumlah kecil, Nakajima memproduksi pesawat terbang terapung A6M2-N "Rufe" (berdasarkan Model 11 dengan bagian ekor yang sedikit dimodifikasi), serta pesawat latih dua kursi A6M2-K yang seluruhnya berjumlah 508 pesawat hasil produksi Hitachi dan Arsenal Udara Angkatan Laut Sasebo.
Pada akhir 1941, Nakajima memperkenalkan Sakae 21 yang dipasangi supercharger dua kecepatan untuk kinerja lebih baik di ketinggian. Mesin juga ditingkatkan menjadi 840 kW (1,130 hp). Rencana-rencana juga dibuat untuk memasang mesin baru untuk pesawat Zero secepat mungkin.
Sakae model baru agak lebih berat dan agak panjang karena dipasangi supercharger yang memindahkan titik berat terlalu jauh ke depan pada badan pesawat lama. Kesulitan tersebut diperbaiki dengan memotong dudukan mesin sepanjang 20 cm, memundurkan mesin agak ke arah kokpit. Perubahan ini berdampak pada pengurangan kapasitas tangki bahan bakar utama (letaknya d belakang mesin) dari 518 liter menjadi 470 liter.
Satu-satunya perubahan besar lainnya adalah pada sayap yang disederhanakan dengan tidak lagi dipasangi ujung sayap yang dapat dilipat seperti pada Model 21. Perubahan tersebut mengubah penampilan pesawat ini, cukup drastis hingga pesawat ini mendapat kode baru dari Amerika Serikat, Hap. Nama ini berumur pendek karena diprotes oleh komandan USAAF Jenderal Henry "Hap" Arnold yang bernama sama, dan kode untuk pesawat ini diganti menjadi "Hamp". Tidak lama sesudah itu, Amerika Serikat menyadari bahwa pesawat ini hanyalah sebuah Zero model baru. Kedua sayap juga memuat kotak amunisi lebih besar, berisi 100 rentetan peluru untuk setiap senapan 20 mm.
Perubahan pada sayap berdampak lebih besar pada kinerja pesawat daripada perkiraan semula. Ukuran sayap yang lebih kecil menyebabkan pesawat dapat berguling dengan lebih baik, dan gaya seret yang lebih rendah menjadikan kecepatan tukik dapat dipercepat menjadi 670 km/jam (420 mph). Pada sisi negatifnya, kemampuan manuver berkurang, dan jangkauan terbang juga berkurang akibat berkurangnya gaya angkat dan tangki bahan bakar lebih kecil. Jangkauan terbang yang lebih pendek terbukti sebagai keterbatasan yang signifikan semasa kampanye Solomon 1942.
Serah terima Model 32 dimulai April 1942, tetapi model ini hanya diproduksi dalam jangka waktu pendek. Total hanya 343 buah pesawat yang diproduksi.
Sebagai upaya memperbaiki kekurangan dari Model 32, dibuat versi baru dengan sayap lipat Model 21, tangki bahan bakar di dalam sayap dan pilon untuk sebuah drop tank (tangki bahan bakar cadangan) pada kedua belah sayap. Oleh karena itu, kapasitas bahan bakar meningkat menjadi 570 liter (137 US galon) pada model ini, sehingga jangkauan jarak yang lebih pendek pada model sebelumnya dapat ditingkatkan,
Badan pesawat berasal dari Model 32 dan mesinnya juga tetap sama. Versi ini disebut angkatan laut sebagai Model 22, sementara Mitsubishi menyebutnya A6M3a. Model baru ini mulai diproduksi pada Desember 1942, dan total 560 buah pesawat berhasil diproduksi. Mitsubishi juga membuat beberapa pesawat uji yang disebut A6M3b (model 22b) untuk dievaluasi, dilengkapi dengan persenjataan meriam 30 mm Tipe 5.
Beberapa A6M3 Model 22 yang dibangun pada akhir masa produksi memiliki sayap serupa dengan model berikutnya, yakni ujung sayap bundar dan lebih pendek seperti dipasang pada A6M5 Model 52. Pesawat A6M3 Model 22 dari akhir masa produksi kemungkinan adalah model transisi, paling sedikit ada sebuah pesawat jenis ini yang dipotret di Rabaul-Timur pada pertengahan 1943.
Designasi A6M4 diberikan kepada dua pesawat A6M2 yang dipasangi mesin Sakae dilengkapi supercharger turbo eksperimental yang didesain untuk ketinggian tinggi. Desain, modifikasi, dan uji terbang kedua prototipe pesawat ini adalah tanggung jawab Arsenal Teknik Udara Udara Angkatan Laut Pertama (第一海軍航空廠 ) di Yokosuka, dan berlangsung pada tahun 1943. Kekurangan paduan aluminium yang sesuai untuk memproduksi supercharger turbo dan pemipaannya menyebabkan berbagai bocoran pada pipa-pipa yang menyebabkan kebakaran dan kinerja rendah. Sebagai akibatnya, pengembangan selanjutnya A6M4 dibatalkan. Namun program ini berhasil menyediakan data berguna untuk desain-desain pesawat pada masa depan, dan dapat mempercepat produksi A6M5 yang lebih konvensional dan sedang dalam pengembangan oleh Mitsubishi.[26]
Model 52 dinilai sebagai varian paling efektif.[27] Model ini dikembangkan untuk menghadapai pesawat F6F Hellcat dan F4U Corsair Amerika Serikat yang lebih bertenaga, dan lebih unggul terutama pada mesin dan persenjataan.[14] Varian ini merupakan pembaruan sederhana dari A6M3 Model 22 dengan ujung sayap tidak terlipat dan lebih pendek, dan kulit sayap yang lebih tebal untuk memungkinkan peningkatan kecepatan tukik, ditambah sistem buang yang disempurnakan. Sistem buang Model 52 menggunakan jajaran empat pipa buang eyektor untuk meningkatkan daya dorong, tampak menyembul ke arah belakang pada kedua sisi badan pesawat bagian depan.
Subvarian Model 52:
A6M5 memiliki kecepatan maksimum 540 km/jam (340 mph) dan bisa mencapai ketinggian 8.000 m (26.250 kaki) dalam 9 menit, 57 detik. Varian lainnya berupa pesawat terbang malam A6M5d-S (modifikasi untuk pertempuran malam, dipersenjatai dengan satu meriam 20 mm Tipe 99, condong ke belakang ke arah kokpit pilot) dan A6M5-K "Zero-Reisen" (model l22) tandem versi pesawat terbang latih yang juga diproduksi oleh Mitsubishi.
Model 53c sama dengan A6M5c, tetapi dilengkapi tangki sayap swarapat dan mesin Nakajima Sakae 31a yang memakai pendorong mesin campuran air-metanol.
Model 62 serupa dengan A6M6 tetapi dimaksudkan untuk serangan kamikaze.
Model 64 serupa dengan A6M6 tetapi mesin Sakae (saat itu sudah tidak diproduksi lagi) digantikan oleh mesin Mitsubishi Kinsei 62 berkekuatan 1.560 hp (1.164 kW), 60% lebih bertenaga dari A6M2.[14] Penggantian mesin ini berakibat pada modifikasi besar-besaran pada penutup mesin dan hidung pesawat. Pipa pemasukan udara pada karburator lebih besar dan panjang seperti pada Nakajima B6N Tenzan, dan sebuah spinner besar dipasang, seperti pada Yokosuka D4Y Suisei dengan mesin Kinsei 62. Penutup mesin yang lebih besar berarti senapan mesin tidak dapat lagi dipasang pada badan pesawat, namun persenjataan model ini tidak berubah dibandingkan Model 52 Hei (2 x meriam 20 mm; 2 x senapan mesin 13 mm/.51 inci). Selain itu, Model 64 dimodifikasi untuk dapat membawa dua drop tank (tangki cadangan) kapasitas 150 L (40 US gal) pada kedua sisi sayap. Sebuah bom seberat 250 kg (550 pon) dipasang di bagian bawah badan pesawat. Dua prototipe selesai dibuat pada April 1945, tetapi kekacauan situasi industri di Jepang pada akhir perang menyebabkan program ambisius memproduksi 6.300 pesawat Model 64 tidak dapat dilaksanakan.[14][28]
Beberapa pesawat tempur Zero selamat dari perang. Pesawat asli dan replikanya disimpan di Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Australia, RRT, dan Selandia Baru. Sebuah A6M2-21 (V-173) asal rongsokan perang sekarang disimpan di Australian War Memorial di Canberra. Pesawat tersebut diketahui pernah diterbangkan oleh Saburo Sakai di Lae, Papua Nugini.
Pesawat A6M3 milik Commemorative Air Force ditemukan dari Lapangan Terbang Babo, Papua Nugini pada tahun 1991. Pesawat ini direstorasi sebagian dengan suku cadang dari beberapa A6M3 di Rusia sebelum dibawa ke Amerika Serikat untuk restorasi. Pesawat ini diregistrasi ulang pada tahun 1998 dan dipamerkan di Museum of Flying, Santa Monica, California. Mesin yang dipasang adalah Pratt & Whitney R1830.[29]
Data dari The Great Book of Fighters[25]
Ciri-ciri umum
Kinerja
Persenjataan
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.