Liberty Manik
komponis dan filolog Batak Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Liberty Manik (21 November 1924 – 16 September 1993 ) adalah seorang komponis dan pengajar musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Liberty Manik juga dikenal sebagai filolog Batak yang mentransliterasikan 500-an Pustaha Batak ke dalam bahasa Jerman.[3]
Dr. Liberty Manik | |
---|---|
![]() | |
Lahir | Raja Tiang Manik[1] 21 November 1924 Kuta Manik, Bataklanden, Keresidenan Tapanuli, Hindia Belanda |
Meninggal | 16 September 1993 68) Rumah Sakit Bethesda, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta | (umur
Tempat pemakaman | Taman Makam Seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta[2] |
Monumen | Monumen Dr. Liberty Manik, Kompleks Taman Wisata Iman, Sitinjo 2°44′30.25″N 98°22′33.45″E |
Nama lain | L. Manik |
Almamater | Freie Universität Berlin, Jerman |
Pekerjaan |
|
Karya terkenal |
|
Kehidupan awal
Liberty Manik lahir pada 21 November 1924 di Huta Manik, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Ia diberi nama Raja Tiang Manik, namun nama ini kemudian diubah oleh seorang pendeta pada saat pembaptisannya.[4] Ayah Liberty bernama Raja Patiham Manik, sedangkan ibunya bernama Solat boru Situmorang.
Pendidikan
- Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Sidikalang, Dairi (lulus tahun 1940)
- Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK), Muntilan, Magelang (berhenti pada 1942 karena ditutup oleh Pemerintah Kolonial Jepang)
- Pendidikan doktor musik di Freie Universität Berlin, Jerman dengan predikat magna cum laude. Disertasinya berjudul "Das Arabische Tonsystem Im Mittelalter" yang meneliti sistem nada musik Arab pada zaman Abad Pertengahan.[5]
Karier
Liberty Manik bekerja dalam bidang etnomusikologi di Jerman Barat selama 20 tahun. Pada tahun 1970, Liberty turut serta mendirikan Ikatan Komponis-Komponis Indonesia (IKKI) bersama Trisutji Kamal dan Guruh Soekarnoputra. Organisasi ini pernah terlibat dalam pertemuan komponis Asia (Asian Composers League) di Bangkok, Thailand sebelum akhirnya berhenti karena alasan administrasi. Komponis Cornel Simanjuntak tercatat sebagai anggota dalam organisasi tersebut.[6] Pada Juni 1976, Liberty kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) sebagai anggota staf Lembaga Penelitian dan Studi (LPS).[7]
Karya
Karya seni
- Mengarang lagu-lagu nasional: Satu Nusa Satu Bangsa, Desaku Yang Kucinta, Tamanku, Pantai Sepi, Di Laut, Negara Jaya.[8] Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang dikarangnya merupakan salah satu dari tujuh lagu perjuangan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai lagu wajib nasional berdasarkan Instruksi Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada tahun 1963.[9]
- Menerjemahkan dan mementaskan oratorium Mattheus Passion dan Weichnachtsoratorim karangan J.S. Bach di Yogyakarta tahun 1980-an.
- Mengarang lagu rohani: Molo Saut Ma Ho (Buku Ende No. 809), Yesus Kristus Kehidupan Dunia (Pelengkap Kidung Jemaat No. 263)[a], Kumohon Pengampunan (Pelengkap Kidung Jemaat No. 42)[b], Padamu Kami Datang[c], S'lamat Datang Kami Ucapkan[d], Karuniamu, Tuhan[e].[10]
Karya tulis
- Musik di Indonesia dan beberapa persoalannya bersama J.A. Dungga (1952)
- Das arabische Tonsystem im Mittelalter (1969)
- Batak-Handschriften (1973), buku ini berisi koleksi 501 Pustaha Batak yang tersebar di seluruh Jerman, kecuali koleksi Museum Leipzig, Museum Stuttgart Linden, dan RMG. Liberty Manik mengatalogkan dan juga memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang isi dari tiap-tiap pustaha.[11]
- Register van eigennamen in pustaha's bersama Petrus Voorhoeve (1977)
- Ketens van overlevering in pustaha's bersama Petrus Voorhoeve
- Suku Batak Dengan "Gondang Batak"-nya (1977) dalam Majalah Peninjau Tahun IV Nomor 1
Pandangan
Ringkasan
Perspektif
Liberty Manik terlibat dalam polemik kebudayaan Indonesia yang berlangsung sejak akhir tahun 1930-an hingga pertengahan tahun 1950-an. Periode ini diisi dengan perdebatan akan musik baru Indonesia. Liberty Manik bersama J.A. Dungga dan Amir Pasaribu berpihak pada pengadopsian seni musik Barat. Dalam tulisannya bersama J.A. Dungga pada 1952, Liberty mengeluhkan kurangnya karya komponis Indonesia yang bernilai seni. Mereka menolak musik tradisional sebagai gambaran masa depan musik Indonesia.[12] Sebaliknya, mereka berpandangan bahwa musik nasional Indonesia seharusnya bukan ditekankan pada aspek keaslian dan ketimuran musik itu sendiri, melainkan pada komposisi musik yang berkualitas tinggi. Sama halnya dengan Sindoedarsono Soedjojono yang mendesak para pelukis untuk menguasai teknik-teknik melukis, Liberty Manik merasa bahwa pembelajaran dan penguasaan akan teknik komposisi musik jauh lebih berguna bagi seorang musisi daripada mencari-cari corak nasional dalam musik.[13]
Liberty Manik juga berpandangan bahwa gamelan merupakan simbol ketertinggalan dan kemerosotan yang berkaitan dengan gaya hidup hedonistik kaum priayi. Musik tradisional tidak mampu lagi mengakomodasi perasaan masyarakat yang telah berubah karena situasi dunia yang penuh dinamisme, turbulensi, dan konflik. Kondisi batin masyarakat membutuhkan gaya musik baru yang mampu menggambarkan realitas yang mereka alami. Berbeda dengan Jaap Kunst, Liberty berpandangan bahwa musik yang mengandung unsur magis dan primitif tidak lagi disukai karena perasaan religius masyarakat pun telah berubah.[12] Sebagai contoh, ia menyinggung pemutaran perdana film Enam Djam di Jogja karya Usmar Ismail yang menuai komentar dari para penonton karena menggunakan musik gamelan dalam adegan peperangan alih-alih mars yang dianggap lebih menggugah.[14]
Penghargaan
Nasional
Pada 13 Agustus 1999, Liberty Manik dianugerahi tanda jasa Bintang Budaya Parama Dharma secara anumerta oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.[15] Tanda jasa ini diberikan berdasarkan Keppres No.080/TK/1999.[16]
Daerah
Sebagai pengingat atas jasa dan karya Liberty Manik, Pemerintah Kabupaten Dairi mendirikan sebuah taman monumen baginya di kawasan Taman Wisata Iman Sitinjo, Dairi. Pembangunan taman monumen ini diinisiasi oleh Bupati Dairi Sabam Isodorus Sihotang.[per kapan?] Biaya pembangunan dialokasikan dari APBD Kabupaten Dairi.[sebutkan angka] Monumen itu diresmikan pada tanggal 14 November 1997.
Catatan
- Syair lagu ini digubah oleh Liberty Manik dari lagu tradisional Batak Simalungun yang berjudul "Otik otik ma demban".
- Syair lagu ini digubah oleh Liberty Manik dari lagu tradisional Batak Pakpak yang berjudul "Kedu mo, kedu bengkuang ale".
Referensi
Pranala luar
Wikiwand - on
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.