Remove ads
Ritual pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Pemotongan kelamin perempuan (bahasa Inggris: female genital mutilation disingkat FGM),[lower-alpha 1] juga dikenal sebagai pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP), mutilasi kelamin perempuan, sunat perempuan, dan khitan perempuan, adalah pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita. Praktik ini umum ditemukan di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. UNICEF memperkirakan pada tahun 2016 bahwa 200 juta wanita di 30 negara (27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman) telah menjalani prosedur ini.[3]
Definisi | Didefinisikan pada tahun 1977 oleh WHO, UNICEF, dan UNFPA sebagai "penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk alasan nonmedis."[1] | ||||
---|---|---|---|---|---|
Area | Afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan pada berbagai komunitas di area ini.[2] | ||||
Jumlah | Lebih dari 200 juta perempuan di 27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman (tahun 2016).[3] | ||||
Usia | Beberapa hari setelah kelahiran sampai pubertas.[4] | ||||
Prevalensi | |||||
| |||||
|
Pemotongan kelamin biasanya dilakukan oleh penyunat tradisional menggunakan pisau dan dilakukan mulai dari beberapa hari setelah kelahiran hingga masa pubertas dan seterusnya. Di separuh negara dengan ketersediaan data di tingkat nasional, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun.[6] Cara pemotongan berbeda-beda menurut negara atau kelompok etnik, contohnya adalah penghilangan tudung klitoris dan glans klitoris; penghilangan labia bagian dalam; serta penghilangan labia bagian dalam dan bagian luar ditambah dengan penutupan vulva (infibulasi). Untuk metode infibulasi, sebuah lubang kecil disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi; vagina kelak akan dibuka untuk hubungan intim dan dibuka lebih lanjut untuk melahirkan.[7]
Menurut pengkritik pemotongan kelamin perempuan, praktik ini berakar pada ketidaksetaraan gender, upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan, dan gagasan tentang kesucian, kesopanan, dan keindahan. Pemotongan ini biasanya diprakarsai dan dilakukan oleh wanita yang menganggapnya perlu demi kehormatan dan juga atas dasar ketakutan bahwa anak perempuan yang tidak menjalani FGM akan dikucilkan secara sosial.[8] Dampak buruk terhadap kesehatan tergantung pada metode yang dilakukan, contohnya adalah infeksi berulang, kesulitan buang air kecil dan pembuangan cairan menstruasi, nyeri kronis, perkembangan kista, ketidakmampuan untuk hamil, komplikasi saat melahirkan, dan perdarahan fatal.[7] Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui sejauh ini.[9]
Komunitas internasional telah berupaya sejak tahun 1970-an untuk meyakinkan masyarakat agar tidak mempraktikkan FGM. Praktik ini telah dilarang atau dibatasi di sebagian besar negara yang masyarakatnya menerapkan FGM, meskipun peraturan yang ada acap kali diabaikan. Sejak 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan kepada para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melakukan segala bentuk FGM, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan "penandaan" tudung klitoris secara simbolis.[10] Perlawanan terhadap FGM juga dikritik, terutama dari kalangan antropolog yang mendasarkan argumen mereka pada relativisme budaya.[11]
Hingga tahun 1980-an, FGM secara luas dikenal dalam bahasa Inggris sebagai sirkumsisi (sunat) perempuan, yang menyiratkan kesetaraan dengan sunat laki-laki.[5] Sejak tahun 1929, Dewan Misionaris Kenya menyebutnya sebagai mutilasi seksual terhadap wanita, mengikuti arahan Marion Scott Stevenson, seorang misionaris Gereja Skotlandia.[12] Penyebutan praktik ini sebagai mutilasi meningkat sepanjang tahun 1970-an.[13] Pada tahun 1975, Rose Oldfield Hayes, seorang antropolog Amerika Serikat, menggunakan istilah mutilasi kelamin perempuan dalam sebuah judul artikel di jurnal American Ethnologist,[14] dan empat tahun kemudian Fran Hosken, seorang penulis feminis Austria-Amerika, menyebutnya sebagai mutilasi di Laporan Hosken: Mutilasi Kelamin dan Seksual terhadap Perempuan, karyanya yang berpengaruh.[15] Komite Inter-Afrika tentang Praktik-Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Perempuan dan Anak-Anak (IAC) mulai menyebutnya sebagai mutilasi kelamin perempuan pada tahun 1990, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengikutinya pada tahun 1991.[16] Istilah bahasa Inggris lainnya termasuk pemotongan kelamin wanita (female genital cutting, disingkat FGC) dan mutilasi/pemotongan genital wanita (female genital mutilation/cutting, disingkat FGM/C), lebih disukai oleh mereka yang bekerja bersama praktisi.[13]
Di negara-negara yang umum mempraktikkan FGM, ada banyak varian praktik yang tecermin dalam lusinan istilah, yang sering merujuk pada pemurnian.[17] Dalam bahasa Bambara, yang sebagian besar dituturkan di Mali, praktik ini dikenal sebagai bolokoli ("mencuci tangan")[18] dan dalam bahasa Igbo di Nigeria bagian timur sebagai isa aru atau iwu aru ("sedang mandi").[lower-alpha 2] Istilah lain termasuk khifad, tahur, quodiin, irua, bondo, kuruna, negekorsigin, dan kene-kene.[20] Istilah bahasa Arab yang umum untuk pemurnian memiliki akar t-h-r, yang digunakan untuk sunat laki-laki dan perempuan (tahur dan tahara).[21] FGM juga dikenal dalam bahasa Arab sebagai khafḍ atau khifaḍ.[22] Masyarakat mungkin menyebut FGM sebagai sirkumsisi "firaun" untuk infibulasi dan sirkumsisi "sunah" untuk yang lainnya.[23] Sunah berarti "jalur atau jalan" dalam bahasa Arab yang merujuk pada kebiasaan Muhammad, meskipun Muhammad tidak mewajibkan FGM.[22] Istilah infibulasi berasal dari fibula, bahasa Latin untuk jepitan; penduduk Romawi Kuno dilaporkan menggunakan jepitan yang menembus kulit depan atau labia budak wanita untuk mencegah hubungan seksual. Pembedahan infibulasi wanita kemudian dikenal sebagai sunat firaun di Sudan, dan sebagai sunat Sudan di Mesir.[24] Di Somalia, praktik ini hanya dikenal sebagai qodob ("menjahit").[25]
Tindakan FGM umumnya dilakukan oleh penyunat tradisional di rumah anak perempuan, dengan atau tanpa anestesi. Pemotongan biasanya dilakukan oleh wanita yang lebih tua. Walaupun begitu, di komunitas-komunitas tertentu, tukang cukur pria yang telah mengambil peran sebagai petugas kesehatan juga dapat melakukan pemotongan.[26][lower-alpha 3] Saat pemotong tradisional dilibatkan, kemungkinan besar alat-alat yang tidak steril akan digunakan, seperti pisau, pisau cukur, gunting, kaca, serta batu dan kuku yang diasah.[28] Menurut seorang perawat di Uganda, yang dikutip pada 2007 di jurnal The Lancet, seorang pemotong akan menggunakan satu pisau untuk hingga 30 anak perempuan sekaligus.[29] Tenaga kesehatan profesional sering kali terlibat di Mesir, Kenya, Indonesia, dan Sudan; data tahun 2008 menunjukkan 77 persen prosedur FGM di Mesir dilakukan oleh tenaga medis, sementara di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebesar 50 persen.[3][30] Pada tahun 1995, berdasarkan laporan dari wanita-wanita di Mesir, 60 persen FGM dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal, 13 persen dengan anestesi umum, dan 25 persen tanpa anestesi sama sekali (sementara dua persen lainnya tidak diketahui/tanpa keterangan).[31]
Pada 1997, WHO, UNICEF, dan UNFPA mengeluarkan pernyataan bersama yang mendefinisikan FGM sebagai "semua prosedur yang melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita baik karena alasan budaya maupun nonterapi".[13] Prosedurnya bervariasi sesuai dengan etnis dan individu yang melakukan pemotongan; pada survei tahun 1998 di Niger, para wanita merespons dengan lebih dari 50 istilah ketika ditanya apa yang telah dilakukan terhadap kelamin mereka.[17] Masalah penerjemahan diperparah oleh kebingungan wanita tentang jenis FGM yang mereka alami dan apakah mereka benar-benar telah menjalani FGM.[32] Penelitian menunjukkan bahwa respons terhadap survei tidak dapat diandalkan. Sebuah studi tahun 2003 di Ghana menemukan bahwa pada tahun 1995, empat persen wanita mengatakan mereka tidak menjalani FGM, tetapi pada tahun 2000 mengatakan mereka pernah. Di sisi lain, 11 persen wanita mengatakan sudah menjalani FGM pada tahun 1995 tetapi kemudian menampiknya pada tahun 2000.[33] Di Tanzania pada 2005, 66 persen melaporkan FGM, tetapi pemeriksaan medis menemukan bahwa 73 persen telah mengalaminya.[34] Di Sudan pada tahun 2006, banyak wanita dan gadis yang diinfibulasi merespons jawaban dengan tipe FGM yang lebih ringan.[35]
Kuisioner standar dari badan PBB berisi pertanyaan untuk perempuan mengenai apakah mereka atau anak perempuan mereka telah mengalami hal berikut: (1) pemotongan, tidak ada daging yang dibuang (pengikisan simbolis); (2) pemotongan, sebagian daging dihilangkan; (3) penjahitan untuk menutup; atau (4) tipe yang tidak ditentukan/tidak pasti/tidak tahu.[lower-alpha 4] Prosedur yang paling umum yaitu kategori "pemotongan, sebagian daging dihilangkan" dan melibatkan pengangkatan total atau sebagian glans klitoris.[36] WHO menciptakan tipologi yang lebih rinci pada tahun 1997: Tipe I–II menunjukkan seberapa banyak jaringan yang dihilangkan; Tipe III setara dengan kategori UNICEF "dijahit tertutup"; dan Tipe IV menjelaskan berbagai prosedur, termasuk pengikisan simbolis.[37]
Tipe I adalah "penghilangan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau preputium (kulup atau kulit penutup)". Tipe Ia[lower-alpha 5] hanya melibatkan pengangkatan tudung klitoris saja, yang jarang dilakukan.[lower-alpha 6] Prosedur yang lebih umum adalah Tipe Ib (klitoridektomi), yaitu penghilangan total atau sebagian glans klitoris (ujung klitoris yang terlihat) dan tudung klitoris.[1][40] Penyunat menarik glans klitoris dengan ibu jari dan telunjuknya dan memotongnya.[lower-alpha 7]
Tipe II (eksisi) adalah penghilangan total atau sebagian labia bagian dalam, dengan atau tanpa pengangkatan glans klitoris dan labia bagian luar. Tipe IIa adalah penghilangan labia bagian dalam; Tipe IIb, penghilangan glans klitoris dan labia bagian dalam; serta Tipe IIc, penghilangan glans klitoris, labia bagian dalam, dan labia bagian luar. Eksisi dalam bahasa Prancis dapat merujuk pada segala bentuk FGM.[1]
Tipe III (infibulasi atau sunat firaun), kategori "dijahit tertutup", adalah penghilangan alat kelamin luar dan penutupan luka. Labia bagian dalam dan/atau luar dipotong, dengan atau tanpa pengangkatan glans klitoris.[lower-alpha 8] Tipe III ditemukan sebagian besar di Afrika bagian timur laut, khususnya Djibouti, Eritrea, Etiopia, Somalia, dan Sudan (meskipun tidak di Sudan Selatan). Menurut studi pada tahun 2008, diperkirakan lebih dari delapan juta wanita di Afrika hidup dengan FGM Tipe III.[lower-alpha 9] Menurut UNFPA pada 2010, 20 persen wanita dengan FGM telah diinfibulasi.[43] Di Somalia, menurut Edna Adan Ismail, anak perempuan akan berjongkok di atas bangku atau tikar sementara kakinya dibuka oleh orang dewasa; anestesi lokal akan diberikan jika tersedia:
Kecepatan dan kejutan merupakan elemen yang sangat penting. Penyunat segera menjepit klitoris di antara kukunya, membidiknya, lalu memotongnya dengan tebasan. Organ tersebut kemudian ditunjukkan kepada anggota keluarga perempuan yang lebih senior, yang akan memutuskan apakah bagian klitoris yang dipotong telah cukup atau masih kurang.
Setelah klitoris dipotong dengan baik... penyunat dapat melanjutkan dengan penghilangan total labia minor dan pemotongan dinding bagian dalam labia mayor. Karena seluruh kulit di dinding bagian dalam labia mayor harus dihilangkan sampai ke perineum, tindakan ini menjadi runyam. Pada saat ini, si anak berteriak, melawan, dan mengalami pendarahan deras, yang membuat penyunat sulit untuk memegang kulit yang licin dan bagian yang harus dipotong atau dijahit bersama, hanya dengan jari dan kuku. ...
Setelah memastikan bahwa penghilangan jaringan telah cukup untuk memungkinkan penutupan kulit, penyunat menyatukan sisi-sisi labia mayor yang berlawanan dan memastikan bahwa tepian kulit yang telah dihilangkan sudah diperkirakan dengan baik. Luka sekarang siap untuk dijahit atau diberi duri. Jika jarum dan benang digunakan untuk menjahit, jahitan yang tertutup rapat akan dilakukan untuk memastikan bahwa lipatan kulit menutupi vulva dan memanjang dari mons veneris ke perineum, sehingga setelah luka sembuh, akan terbentuk jembatan jaringan parut yang benar-benar menyumbat lubang vagina.[44]
Bagian yang diamputasi bisa diletakkan di dalam kantong kecil untuk dipakai si gadis itu.[45] Lubang sebesar 2–3 mm tetap disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi.[lower-alpha 10] Vulva ditutup dengan benang bedah, atau duri agave atau akasia, dan mungkin ditutup dengan tuam dari telur mentah, rempah, dan gula. Untuk membantu pengikatan jaringan, kaki gadis tersebut diikat, sering kali dari pinggul hingga pergelangan kaki; ikatan biasanya dikendorkan setelah satu minggu dan dilepas setelah dua sampai enam minggu.[46][28] Jika lubang yang tersisa dipandang terlalu besar oleh keluarga gadis itu, prosedur ini diulangi.[25]
Vagina akan dibuka untuk hubungan seksual untuk pertama kalinya baik oleh bidan dengan pisau atau oleh suami wanita tersebut dengan penisnya.[47] Di beberapa daerah, termasuk Somaliland, kerabat perempuan dari kedua mempelai mungkin menonton pembukaan vagina untuk memeriksa keperawanan si gadis.[46] Vagina juga dibuka lebih lanjut untuk melahirkan (defibulasi atau deinfibulasi) dan ditutup kembali sesudahnya (reinfibulasi). Reinfibulasi dapat melibatkan pemotongan vagina lagi untuk mengembalikan ukuran lubang jarum seperti infibulasi pertama. Hal ini mungkin dilakukan sebelum menikah, dan setelah melahirkan, perceraian, dan kejandaan.[lower-alpha 11][48] Hanny Lightfoot-Klein mewawancarai ratusan wanita dan pria di Sudan pada 1980-an tentang hubungan seksual dengan Tipe III:
Penetrasi infibulasi pengantin wanita memakan waktu antara 3 atau 4 hari hingga beberapa bulan. Beberapa pria sama sekali tidak dapat melakukan penetrasi terhadap istri mereka (dalam penelitian saya lebih dari 15%), dan tugas tersebut sering kali diselesaikan oleh bidan dalam kondisi kerahasiaan yang luar biasa karena [kegagalan tersebut] mencerminkan secara negatif potensi [seksual] pria tersebut. Beberapa orang yang tidak mampu melakukan penetrasi terhadap istri mereka berhasil membuat mereka hamil meskipun [istri] sudah diinfibulasi; saluran vagina wanita kemudian dipotong hingga terbuka untuk memungkinkan wanita tersebut melahirkan. ... Orang-orang yang berhasil melakukan penetrasi terhadap istri mereka sering menjalankannya, atau mungkin selalu [menjalankannya], dengan bantuan "pisau kecil". Hal ini menghasilkan sobekan yang secara bertahap dicabik hingga lubangnya cukup besar untuk dimasuki penis.[49]
Tipe IV adalah "semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin wanita untuk tujuan nonmedis", termasuk menusuk, membobol, menggores, mengikis, dan kauterisasi.[1] Kategori ini juga mencakup pengikisan klitoris (sunat simbolis), pembakaran, dan dimasukannya zat ke dalam vagina untuk mengencangkannya.[50][51] Peregangan labia juga dikategorikan ke dalam Tipe IV.[52] Praktik ini umum dilakukan di Afrika bagian selatan dan timur, serta dilakukan untuk meningkatkan kenikmatan seksual bagi pria. Sejak usia delapan tahun, anak perempuan didorong untuk meregangkan labia bagian dalam mereka menggunakan tongkat dan pijatan. Gadis-gadis di Uganda diberitahu bahwa mereka mungkin mengalami kesulitan melahirkan tanpa labia yang diregangkan.[lower-alpha 12][54]
Definisi FGM dari WHO pada tahun 1995 juga meliputi pemotongan gishiri dan pemotongan angurya, yang ditemukan di Nigeria dan Niger. Istilah-istilah ini telah dihapus dari definisi WHO 2008 karena tidak cukup informasi tentang prevalensi dan konsekuensinya.[52] Pemotongan angurya adalah eksisi selaput dara, biasanya dilakukan tujuh hari setelah kelahiran. Pemotongan gishiri melibatkan pemotongan dinding depan atau belakang vagina dengan pisau atau pisau lipat, yang dilakukan sebagai respons terhadap infertilitas, persalinan yang macet, dan kondisi lainnya. Dalam sebuah penelitian oleh Mairo Usman Mandara, seorang dokter Nigeria, lebih dari 30 persen wanita dengan pemotongan gishiri ditemukan memiliki fistula vesikovaginal (lubang yang memungkinkan urin meresap ke dalam vagina).[55]
Pemotongan kelamin membahayakan kesehatan fisik dan emosional wanita sepanjang hidup mereka.[56][57] Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui sejauh ini.[9] Komplikasi jangka pendek dan panjang tergantung pada jenis FGM, apakah penyunatnya pernah menjalani pelatihan medis, serta apakah mereka menggunakan antibiotik dan instrumen bedah steril atau sekali pakai. Dalam kasus Tipe III, faktor-faktor lain yang berpengaruh meliputi seberapa kecil lubang yang tersisa untuk aliran urin dan darah menstruasi, apakah benang bedah digunakan sebagai pengganti duri agave atau akasia, dan apakah prosedur dilakukan lebih dari satu kali (misalnya untuk menutup lubang yang dianggap terlalu lebar atau membuka kembali yang terlalu kecil).[7]
Komplikasi jangka pendek yang umum ditemukan mencakup pembengkakan, pendarahan yang berlebihan, nyeri, retensi urin, dan masalah penyembuhan atau infeksi luka. Sebuah tinjauan sistematis terhadap 56 studi pada tahun 2014 menyimpulkan bahwa lebih dari satu dari sepuluh perempuan yang menjalani segala bentuk FGM, termasuk pengikisan simbolis klitoris (Tipe IV), mengalami komplikasi langsung dan risikonya meningkat pada Tipe III. Tinjauan tersebut juga menyimpulkan kurangnya pelaporan.[lower-alpha 13] Komplikasi jangka pendek lainnya termasuk perdarahan fatal, anemia, infeksi saluran kemih, septisemia, tetanus, gangren, fasciitis nekrotikan, dan endometritis.[59] Tidak diketahui berapa banyak perempuan yang meninggal akibat praktik FGM karena komplikasi mungkin tidak dikenali atau dilaporkan. Penggunaan instrumen bersama oleh para praktisi dianggap membantu penularan hepatitis B, hepatitis C, dan HIV, meskipun tidak ada penelitian epidemiologis yang menunjukkan hal ini.[60]
Komplikasi jangka panjang juga bervariasi tergantung pada jenis FGM,[7] misalnya pembentukan bekas luka dan keloid yang menyebabkan penyempitan dan penyumbatan, kista epidermoid yang dapat terinfeksi, dan pembentukan neuroma (pertumbuhan jaringan saraf) yang melibatkan saraf yang menginervasi klitoris.[61][62] Seorang gadis yang diinfibulasi mungkin disisakan lubang sekecil 2–3 mm, yang dapat menyebabkan buang air kecil yang lama, tetes demi tetes, nyeri saat buang air kecil, dan perasaan perlu buang air kecil sepanjang waktu. Urin dapat mengumpul di bawah bekas luka dan membuat area di bawah kulit terus basah, yang dapat menyebabkan infeksi dan pembentukan batu-batu kecil. Lubang disisakan dengan ukuran yang lebih besar pada wanita yang aktif secara seksual atau telah melahirkan melalui persalinan per vaginam, tetapi lubang uretra mungkin masih terhalang oleh jaringan parut. Fistula vesikovaginal atau rektovaginal dapat terbentuk (lubang yang memungkinkan urin atau feses meresap ke dalam vagina).[7][63] Hal ini dan kerusakan lain pada uretra dan kandung kemih dapat menyebabkan infeksi dan inkontinensia, nyeri selama hubungan seksual, dan infertilitas.[61] Nyeri haid sering terjadi akibat terhambatnya aliran menstruasi dan darah dapat mandek di vagina dan rahim. Penyumbatan total vagina dapat menyebabkan hematokolpos dan hematometra (ketika vagina dan uterus terisi oleh darah menstruasi).[7] Pembengkakan perut dan darah haid yang tertahan dapat menyerupai kehamilan;[63] Asma El Dareer, seorang dokter Sudan, melaporkan pada tahun 1979 bahwa seorang gadis di Sudan dengan kondisi ini dibunuh oleh keluarganya.[64]
Pemotongan kelamin meningkatkan risiko masalah kehamilan dan persalinan pada wanita, terutama pada prosedur FGM yang ekstensif.[7] Wanita yang diinfibulasi kadang mencoba membuat persalinan lebih mudah dengan mengurangi makan selama kehamilan untuk mengurangi ukuran bayi.[65] Pada wanita dengan fistula vesikovaginal atau rektovaginal, sampel urin yang jernih sulit didapatkan sehingga perawatan prenatal, seperti diagnosis pre-eklampsia, lebih sulit dilakukan.[61] Evaluasi serviks selama persalinan dapat terhalang; proses persalinan juga menjadi lama atau terhambat. Laserasi derajat tiga (sobekan), kerusakan cincin dubur, dan operasi sesar darurat lebih sering terjadi pada wanita yang diinfibulasi.[7][66]
FGM juga dapat meningkatkan kematian neonatal. WHO memperkirakan pada 2006 bahwa FGM mengakibatkan tambahan 10–20 bayi meninggal per 1.000 persalinan. Perkiraan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada 28.393 wanita yang mendatangi bangsal persalinan di 28 pusat kebidanan di Burkina Faso, Ghana, Kenya, Nigeria, Senegal, dan Sudan. Di bangsal tersebut ditemukan bahwa semua jenis FGM meningkatkan risiko kematian bayi: 15 persen lebih tinggi untuk Tipe I, 32 persen untuk Tipe II, dan 55 persen untuk Tipe III. Penyebab hal ini belum diketahui dengan jelas, tetapi dapat dihubungkan dengan infeksi kelamin dan saluran kemih, serta adanya jaringan parut. Menurut penelitian, FGM dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan perineum dan kehilangan darah berlebih pada ibu, serta peningkatan resusitasi pada bayi dan lahir mati, kemungkinan akibat fase persalinan tahap kedua (pengeluaran janin) yang panjang.[67][68]
Menurut tinjauan sistematis pada 2015, hanya tersedia sedikit informasi berkualitas tinggi tentang efek psikologis FGM. Beberapa penelitian kecil menyimpulkan bahwa wanita dengan FGM menderita gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma.[60] Perasaan malu dan terkhianati dapat berkembang ketika wanita meninggalkan budaya yang mempraktikkan FGM dan kemudian mendapati bahwa FGM tidak sesuai dengan norma di tempat tinggal baru mereka. Namun, dalam budaya yang mempraktikkan FGM, para wanita dapat memandang FGM yang mereka alami dengan bangga karena bagi mereka FGM menandakan keindahan serta menghormati tradisi, kesucian, dan kebersihan.[7] Studi tentang fungsi seksual juga tidak banyak.[60] Sebuah metaanalisis tahun 2013 dari 15 studi yang melibatkan 12.671 wanita dari tujuh negara menyimpulkan bahwa wanita dengan FGM dua kali lebih mungkin melaporkan ketiadaan hasrat seksual dan 52 persen lebih mungkin untuk melaporkan dispareunia (nyeri saat bersenggama). Sepertiga melaporkan berkurangnya perasaan seksual.[69]
Lembaga bantuan mendefinisikan prevalensi FGM sebagai persentase dari kelompok usia 15–49 tahun yang mengalaminya.[70] Angka-angka ini didasarkan pada survei rumah tangga yang mewakili tingkat nasional yang dikenal sebagai Survei Demografi dan Kesehatan (DHS), yang dikembangkan oleh Macro International dan didanai terutama oleh Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID); dan Survei Klaster Indikator Berganda (MICS) yang dilakukan dengan bantuan keuangan dan teknis dari UNICEF.[32] Survei-survei ini telah dilakukan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan di tempat lain kira-kira setiap lima tahun, masing-masing sejak tahun 1984 dan 1995.[71] Survei pertama yang bertanya tentang FGM adalah DHS 1989–1990 di Sudan bagian utara. Publikasi pertama yang memperkirakan prevalensi FGM berdasarkan data DHS (di tujuh negara) ditulis oleh Dara Carr dari Macro International pada tahun 1997.[72]
Pertanyaan kepada para wanita selama survei meliputi: "Apakah area kelamin baru saja dikikir atau dipotong tanpa menghilangkan daging? Apakah ada daging (atau sesuatu) yang dihilangkan dari area kelamin? Apakah area kelamin Anda dijahit?"[73] Kebanyakan wanita melaporkan "dipotong, sebagian daging dihilangkan" (Tipe I dan II).[74]
Tipe I adalah bentuk yang paling umum ditemukan di Mesir,[75] dan di bagian selatan Nigeria.[76] Tipe III (infibulasi) terkonsentrasi di Afrika bagian timur laut, khususnya Djibouti, Eritrea, Somalia, dan Sudan.[42] Dalam survei tahun 2002–2006, 30 persen gadis yang dipotong di Djibouti, 38 persen di Eritrea, dan 63 persen di Somalia pernah mengalami FGM Tipe III.[77] Prevalensi infibulasi yang tinggi juga ditemukan pada kalangan anak perempuan di Niger dan Senegal,[78] dan pada 2013 diperkirakan bahwa tiga persen dari kelompok usia 0–14 di Nigeria telah diinfibulasi.[79] Infibulasi sering dikaitkan dengan etnis. Di Eritrea, misalnya, sebuah survei pada tahun 2002 menemukan bahwa semua gadis suku Hedareb telah diinfibulasi, dibandingkan dengan dua persen dari suku Tigrinya, yang sebagian besar ditempatkan dalam kategori "dipotong, tidak ada daging yang dihilangkan".[17]
Sebagian besar FGM ditemukan di Afrika bagian timur ke barat dari Somalia ke Senegal, dan utara ke selatan dari Mesir ke Tanzania.[80] Angka-angka nasional dilaporkan pada 27 negara di Afrika, serta Indonesia, Irak Kurdistan, dan Yaman. Lebih dari 200 juta wanita dan gadis diperkirakan hidup dengan FGM di 30 negara tersebut.[3][81]
Konsentrasi tertinggi di antara kelompok usia 15–49 adalah di Somalia (98 persen), Guinea (97 persen), Djibouti (93 persen), Mesir (91 persen), dan Sierra Leone (90 persen).[82] Pada 2013, 27,2 juta wanita telah menjalani FGM di Mesir, 23,8 juta di Etiopia, dan 19,9 juta di Nigeria.[83] Ada konsentrasi tinggi di Indonesia, dengan praktik Tipe I (klitoridektomi) dan Tipe IV (pengikisan simbolis). Tingkat prevalensi untuk kelompok usia 0–11 di Indonesia adalah 49 persen (13,4 juta).[81] Studi yang lebih kecil atau laporan anekdotal menunjukkan bahwa FGM juga dipraktikkan di Kolombia, Yordania, Oman, Arab Saudi, dan sebagian Malaysia;[84] di Uni Emirat Arab;[3] dan di India[lower-alpha 14] oleh Dawoodi Bohra.[85][lower-alpha 15] FGM juga ditemukan di komunitas imigran di berbagai belahan dunia.[88]
Angka prevalensi untuk kelompok usia 15–19 dan lebih muda menunjukkan penurunan tren.[lower-alpha 16] Burkina Faso, misalnya, turun dari 89 persen (1980) menjadi 58 persen (2010); Mesir dari 97 persen (1985) menjadi 70 persen (2015); dan Kenya dari 41 persen (1984) menjadi 11 persen (2014).[90] Mulai tahun 2010, survei rumah tangga menanyakan kepada wanita tentang status FGM pada semua anak perempuan mereka yang masih hidup.[91] Konsentrasi tertinggi di antara anak perempuan berusia 0–14 adalah di Gambia (56 persen), Mauritania (54 persen), Indonesia (49 persen untuk 0–11), dan Guinea (46 persen).[3] Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa seorang gadis sepertiga lebih kecil kemungkinannya pada 2014 untuk menjalani FGM dibandingkan 30 tahun yang lalu.[92] Menurut sebuah studi pada 2018 yang diterbitkan dalam BMJ Global Health, prevalensi untuk kelompok berusia 0–14 tahun turun di Afrika Timur dari 71,4 persen pada 1995 menjadi 8 persen pada 2016; di Afrika Utara dari 57,7 persen pada 1990 menjadi 14,1 persen pada 2015; dan di Afrika Barat dari 73,6 persen pada 1996 menjadi 25,4 persen pada 2017.[93] Jika laju penurunan saat ini terus berlanjut, menurut UNICEF pada tahun 2014, jumlah gadis yang mengalami FGM akan tetap meningkat karena pertumbuhan populasi; mereka memperkirakan bahwa angka tersebut akan meningkat dari 3,6 juta per tahun pada 2013 menjadi 4,1 juta pada 2050.[lower-alpha 17]
Survei menemukan bahwa FGM lebih umum terjadi di daerah pedesaan, lebih jarang ditemukan pada anak perempuan dari rumah terkaya di sebagian besar negara, dan (kecuali di Sudan dan Somalia) lebih jarang terjadi pada anak perempuan yang ibunya memiliki akses ke pendidikan dasar atau menengah/tinggi. Di Somalia dan Sudan situasinya terbalik: di Somalia akses para ibu ke pendidikan menengah/tinggi disertai dengan peningkatan prevalensi FGM pada anak perempuan mereka, dan di Sudan akses ke pendidikan apa pun disertai dengan kenaikan.[95]
Pemotongan kelamin tidak selalu merupakan upacara peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa, tapi sering dilakukan pada anak-anak yang usianya jauh lebih muda.[96] Pemotongan paling sering dilakukan tak lama setelah lahir hingga usia 15 tahun. Pada separuh negara dengan angka-angka nasional yang diketahui, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun.[4] Lebih dari 80 persen (dari pemotongan itu) berlangsung sebelum usia lima tahun di Nigeria, Mali, Eritrea, Ghana, dan Mauritania.[97] Survei Demografi dan Kesehatan 1997 di Yaman menemukan bahwa 76 persen anak perempuan mengalami FGM dalam waktu dua minggu setelah dilahirkan.[98] Persentase sebaliknya ditemukan di Somalia, Mesir, Chad, dan Republik Afrika Tengah, yaitu lebih dari 80 persen FGM dilangsungkan antara lima hingga 14 tahun.[97] Selain jenis FGM, usia juga dikaitkan dengan etnis. Di Kenya, misalnya, suku Kisi melakukan FGM pada usia sekitar 10 tahun, sedangkan suku Kamba pada usia 16 tahun.[99]
Prevalensi nasional suatu negara sering kali mencerminkan prevalensi subnasional yang tinggi pada etnis tertentu, dan bukan praktik FGM yang tersebar merata.[100] Di Irak, misalnya, FGM ditemukan sebagian besar pada orang Kurdi di Arbil (prevalensi 58 persen dalam kelompok usia 15–49 pada tahun 2011), As-Sulaimaniyah (54 persen), dan Kirkuk (20 persen), padahal prevalensi nasional negara tersebut delapan persen.[101] Praktik ini kadang-kadang merupakan penanda etnis, tetapi mungkin penerapannya berbeda di sepanjang garis perbatasan negara. Sebagai contoh, di wilayah timur laut Etiopia dan Kenya, yang berbagi perbatasan dengan Somalia, suku Somali mempraktikkan FGM pada tingkat yang sama dengan yang mereka lakukan di Somalia.[102] Namun di Guinea, semua wanita suku Fula yang disurvei pada 2012 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami FGM,[103] sementara hanya 12 persen suku Fula yang melakukannya di Chad. Di Nigeria, suku Fula adalah satu-satunya kelompok etnis besar di negara itu yang tidak mempraktikkan FGM.[104]
— Stephanie Welsh, Newhouse News Service.[105]
Dahabo Musa, seorang wanita Somali, menggambarkan infibulasi dalam sebuah puisi tahun 1988 sebagai "tiga kesengsaraan wanita": prosedur itu sendiri, malam pernikahan ketika kelamin wanita dipotong hingga terbuka, kemudian persalinan ketika kelaminnya dipotong lagi.[106] Terlepas dari penderitaan yang nyata, pada praktiknya perempuanlah yang membela dan melaksanakan FGM.[107][lower-alpha 18] Antropolog Rose Oldfield Hayes pada tahun 1975 menulis bahwa lelaki Sudan berpendidikan yang tidak ingin anak perempuan mereka diinfibulasi (lebih memilih klitoridektomi) akan mendapati bahwa gadis-gadis tersebut telah dijahit setelah mereka dibawa oleh nenek mereka untuk mengunjungi kerabat.[112] Gerry Mackie membandingkan praktik ini dengan tradisi mengikat kaki. Seperti FGM, pengikatan kaki dilakukan pada gadis-gadis muda, dilakukan kepada hampir semua gadis di tempat tradisi ini dipraktikkan, dikaitkan dengan ide-ide tentang kehormatan, kesucian, dan kepantasan pernikahan, serta "didukung dan disebarkan" oleh wanita.[lower-alpha 19]
Praktisi FGM melihat prosedur ini sebagai penanda, tidak hanya batas etnis tetapi juga perbedaan gender. Menurut pandangan ini, sunat pada laki-laki mendefeminisasi laki-laki sedangkan FGM mendemaskulinasi perempuan.[115] Fuambai Ahmadu, seorang antropolog dan anggota suku Kono di Sierra Leone, yang pada 1992 menjalani klitoridektomi sebagai orang dewasa selama inisiasi masyarakat Sande, pada tahun 2000 berpendapat bahwa persepsi "klitoris penting bagi seksualitas wanita" merupakan anggapan yang berpusat pada pria. Menurutnya, simbolisme perempuan Afrika justru berputar di sekitar konsep rahim.[114] Sementara itu, infibulasi terkait dengan gagasan tentang penutupan dan kesuburan. "Pemotongan kelamin melengkapi definisi sosial tentang jenis kelamin anak dengan menghilangkan jejak eksternal androgini," tulis Janice Boddy pada 2007. "Tubuh wanita kemudian disembunyikan, ditutup, dan darah produktifnya terikat di dalamnya; tubuh laki-laki ditunjukkan, dibuka, dan diekspos."[116]
Di komunitas yang biasa melangsungkan infibulasi, ada kecenderungan untuk menjadikan alat kelamin wanita lebih halus, kering, dan tidak berbau, dan baik wanita maupun pria mungkin menganggap vulva alami itu menjijikkan.[117] Beberapa pria tampaknya menikmati upaya menembus infibulasi.[118] Preferensi lokal untuk melakukan seks kering menyebabkan wanita memasukkan zat ke dalam vagina untuk mengurangi lubrikasi, termasuk daun, kulit pohon, pasta gigi, dan mentol gosok Vicks.[119] WHO memasukkan praktik ini dalam FGM Tipe IV, karena penambahan gesekan selama hubungan intim dapat menyebabkan laserasi dan meningkatkan risiko infeksi.[120] Karena tampilan vulva infibulasi yang halus, ada juga kepercayaan bahwa infibulasi meningkatkan higiene.[121]
Berdasarkan hasil survei, alasan yang paling sering dicetuskan oleh wanita untuk membela FGM adalah penerimaan sosial, agama, kebersihan, pelestarian keperawanan, penerimaan dalam pernikahan, dan peningkatan kenikmatan seksual pria.[122] Dalam sebuah penelitian di Sudan bagian utara yang diterbitkan pada tahun 1983, hanya 17,4 persen wanita yang menentang FGM (558 dari 3.210), dan sebagian besar juga lebih memilih eksisi dan infibulasi alih-alih klitoridektomi.[123] Sikap perempuan terhadap FGM sendiri berubah secara perlahan. Di Sudan pada 2010, 42 persen wanita yang pernah mendengar FGM mengatakan praktik ini harus dilanjutkan.[124] Dalam beberapa survei sejak 2006, lebih dari 50 persen wanita di Mali, Guinea, Sierra Leone, Somalia, Gambia, dan Mesir mendukung kelanjutan FGM, sementara di tempat lain di Afrika, Irak, dan Yaman sebagian besar mengatakan praktik FGM sebaiknya diakhiri, meskipun di beberapa negara hanya dengan selisih yang tipis.[125]
Terhadap argumen bahwa perempuan rela memilih FGM untuk anak perempuan mereka, UNICEF menyebut praktik tersebut "konvensi sosial yang ditegakkan sendiri"; dalam kata lain, keluarga-keluarga sering kali merasa harus mengikuti kebiasaan FGM agar anak perempuan mereka tidak dikucilkan.[127] Ellen Gruenbaum melaporkan bahwa di Sudan pada tahun 1970-an, gadis-gadis kelompok etnis Arab yang disunat akan mengejek gadis-gadis Zarma yang tidak disunat dengan panggilan Ya, Ghalfa! ("Hei, kotor!"). Gadis-gadis Zarma akan menjawab Ya, Mutmura! (Mutmara adalah lubang penyimpanan biji-bijian yang terus-menerus dibuka dan ditutup, seperti wanita infibulasi). Meskipun melemparkan penghinaan kembali, gadis-gadis Zabarma akan bertanya kepada ibu mereka, "Kenapa sih? Tidakkah kita memiliki pisau cukur seperti orang-orang Arab?"[128]
Perempuan sering kali tidak mengaitkan dampak negatif FGM dengan prosedur itu sendiri akibat kurangnya informasi dan juga karena mereka yang menyunat mengecilkan hubungan sebab-akibat yang ada. Lala Baldé, presiden sebuah perkumpulan wanita di Medina Cherif, sebuah desa di Senegal, mengatakan kepada Mackie pada tahun 1998 bahwa ketika gadis-gadis jatuh sakit atau meninggal, hal itu dikaitkan dengan roh jahat. Ketika diberi tahu tentang hubungan sebab-akibat antara FGM dengan kesehatan yang buruk, Mackie menulis, para wanita itu merasa hancur dan menangis. Ia berpendapat bahwa survei mengenai dukungan terhadap FGM yang dilakukan sebelum dan sesudah informasi ini disampaikan akan menunjukkan hasil yang berbeda.[129] Organisasi nirlaba Amerika Serikat, Tostan, yang didirikan oleh Molly Melching pada tahun 1991, memperkenalkan program pemberdayaan masyarakat di beberapa negara yang berfokus pada demokrasi setempat, literasi, dan pendidikan tentang layanan kesehatan, yang memberi perempuan pemahaman untuk membuat keputusan sendiri.[130] Pada tahun 1997, dengan mengikuti program Tostan, Malicounda Bambara di Senegal menjadi desa pertama yang meninggalkan FGM.[131] Pada Agustus 2019, 8.800 komunitas di delapan negara telah berjanji untuk meninggalkan FGM dan pernikahan anak.[lower-alpha 20]
Pemotongan kelamin perempuan dilakukan oleh banyak kelompok agama: beberapa orang Kristen, beberapa Muslim, beberapa orang Yahudi Etiopia, dan agama-agama tradisional Afrika tertentu.[133] Beberapa survei menunjukkan luasnya kepercayaan, khususnya di Mali, Mauritania, Guinea, dan Mesir, bahwa FGM merupakan persyaratan agama.[134] Gruenbaum berpendapat bahwa praktisi FGM mungkin tidak membedakan antara agama, tradisi, dan kesucian, sehingga sulit untuk menafsirkan data.[135]
Di Afrika timur laut, FGM telah ada sejak zaman pra-Islam, tetapi praktiknya telah dikaitkan dengan Islam karena agama ini menitikberatkan kesucian wanita.[lower-alpha 21] Menurut laporan UNICEF pada 2013, setidaknya 10 persen wanita Muslim di 18 negara Afrika pernah mengalami FGM, dan di 13 negara di antaranya, angkanya naik menjadi 50–99 persen.[137] Praktik FGM tidak disebutkan dalam Al-Qur'an,[138] sementara beberapa hadis da'if (lemah) memuji FGM sebagai tindakan "mulia" (makrumah) tetapi tidak diharuskan.[139][lower-alpha 22] Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, sedangkan mazhab Syafi'i mewajibkan FGM dengan memotong kulit penutup glans klitoris.[140] Pada tahun 2007, Dewan Tertinggi Penelitian Islam Universitas Al-Azhar di Kairo memutuskan bahwa FGM "tidak memiliki dasar dalam hukum Islam inti atau ketentuan parsialnya".[141][lower-alpha 23] Di sisi lain, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa FGM merupakan tindakan makrumah dan ibadah yang dianjurkan, walaupun MUI juga menyatakan bahwa khitan perempuan hanya dapat menghilangkan penutup glans klitoris saja dan tidak boleh memotong seluruh klitoris.[143]
Dalam agama Kristen, tidak ada penyebutan FGM dalam Alkitab.[lower-alpha 24] Misionaris Kristen di Afrika termasuk pihak yang pertama yang menentang FGM,[145] tetapi komunitas Kristen di Afrika mempraktikkannya. Pada 2013, UNICEF mengidentifikasi 19 negara Afrika dengan setidaknya 10 persen wanita dan gadis Kristen berusia 15 hingga 49 tahun yang menjalani FGM;[lower-alpha 25] di Niger, 55 persen wanita dan gadis Kristen menjalani FGM, dibandingkan dengan dua persen pada Muslim.[147] Sementara itu, satu-satunya kelompok Yahudi yang diketahui mempraktikkan FGM adalah Yahudi Etiopia. Yudaisme mensyaratkan sunat pada pria tetapi tidak mengizinkan FGM.[148] FGM juga dipraktikkan oleh kelompok animisme, terutama di Guinea dan Mali.[137]
Tetapi jika seorang pria ingin tahu bagaimana caranya hidup, ia harus melafalkannya [mantra magis] setiap hari, setelah dagingnya digosok dengan b3d [zat yang tidak diketahui] dari seorang gadis yang tidak disirkumsisi ['m't] dan serpihan dari kulit [šnft] dari seorang pria botak yang tidak disirkumsisi.
—Dari sebuah sarkofagus Kerajaan Pertengahan Mesir, s. 1991–1786 SM.[149]
Asal usul FGM tidak diketahui. Gerry Mackie menduga bahwa, karena distribusi FGM timur-barat dan utara-selatan di Afrika bertemu di Sudan, infibulasi mungkin dimulai di sana sejak peradaban Meroë (sekitar 800 SM – 350 M), sebelum kebangkitan Islam, untuk meningkatkan keyakinan akan status keayahan seseorang.[150] Menurut sejarawan Mary Knight, Mantra 1117 (sekitar 1991–1786 SM) dari Teks Peti Mati Mesir Kuno dapat merujuk pada hieroglif mengenai seorang gadis yang tidak disunat ('m't):
Mantra ini ditemukan di sarkofagus Sit-hedjhotep, sekarang di Museum Mesir, dan berasal dari Kerajaan Pertengahan Mesir.[149][lower-alpha 26] Usulan sunat pada seorang gadis Mesir, Tathemis, juga disebutkan pada papirus Yunani, dari 163 SM, di British Museum: "Beberapa saat setelah ini, Nephoris [ibu Tathemis] menipu saya, karena khawatir bahwa saat itu adalah waktu bagi Tathemis untuk disunat, seperti kebiasaan di antara orang-orang Mesir."[lower-alpha 27]
Pemeriksaan mumi tidak menunjukkan bukti FGM. Mengutip ahli patologi Australia Grafton Elliot Smith, yang memeriksa ratusan mumi pada awal abad ke-20, Knight menulis bahwa daerah kelamin mumi mungkin menyerupai FGM Tipe III karena selama mumifikasi, kulit labia luar ditarik ke arah anus untuk menutupi celah pudendal, mungkin untuk mencegah pelanggaran seksual. Knight juga menyatakan bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah FGM Tipe I atau II telah dilakukan karena jaringan lunak telah memburuk atau dihilangkan oleh pembalsem.[153]
Ahli geografi Yunani Strabo (sekitar 64 SM – 23 M) menulis tentang FGM setelah mengunjungi Mesir sekitar 25 SM: "Ini adalah salah satu kebiasaan yang dijalankan dengan semangat yang begitu besar oleh mereka [orang Mesir]: untuk membesarkan setiap anak yang dilahirkan dan untuk melakukan sirkumsisi [peritemnein] pada laki-laki dan memotong [ektemnein] perempuan ..."[154][lower-alpha 28][lower-alpha 29] Filo dari Aleksandria (sekitar 20 SM – 50 M) juga menulis referensi tentang hal itu: "orang Mesir, akibat kebiasaan negara mereka, menyunat pemuda-pemudi yang sudah bisa menikah di usia empat belas (tahun), ketika laki-laki mulai mendapatkan benih, dan perempuan memiliki aliran menstruasi."[157] Disebutkan secara singkat dalam sebuah karya yang dikaitkan dengan tabib Yunani Galenus (129 – sekitar 200 M): "Ketika [klitoris] sangat menonjol pada wanita muda mereka, orang Mesir menganggap pantas untuk memotongnya."[lower-alpha 30] Tabib Yunani lainnya, Aetios dari Amida (pertengahan abad ke-5 hingga pertengahan ke-6 M), menuliskan lebih banyak detail dalam buku 16 dari Enam Belas Buku tentang Kedokteran, mengutip keterangan dokter Philomenes. Prosedur ini dilakukan jika klitoris, atau nymphê, tumbuh terlalu besar atau memicu hasrat seksual ketika bersentuhan dengan pakaian. "Mengenai hal ini, tampaknya pantas bagi orang Mesir untuk menghilangkannya sebelum menjadi sangat membesar," tulis Aëtius, "terutama ketika para gadis hendak menikah":
Operasi dilakukan dengan cara ini: Mintalah gadis tersebut duduk di kursi sementara seorang pemuda berotot berdiri di belakangnya meletakkan tangannya di bawah paha gadis itu. Mintalah pemuda membentangkan dan memegang kaki dan seluruh tubuh gadis. Penyunat berdiri di depan dan memegang klitoris dengan forseps bermulut lebar di tangan kirinya dan merentangkannya ke luar, sementara dengan tangan kanan, ia memotongnya pada titik di samping penjepit forseps. Adalah hal yang pantas untuk menyisakan bagian yang tidak dipotong, yang berukuran seperti lapisan di antara lubang hidung, sehingga pemotongan hanya mengambil bagian yang berlebih; seperti yang saya katakan, bagian yang akan dihilangkan adalah pada titik tepat di atas penjepit forseps. Karena klitoris merupakan struktur yang menyerupai kulit dan dapat meregang berlebihan, jangan memotong terlalu banyak, karena fistula kemih dapat terjadi akibat pemotongan yang terlalu dalam.[159]
Area kelamin kemudian dibersihkan dengan spons, bubuk kemenyan arab, dan anggur atau air dingin, dan dibungkus dengan perban linen yang dicelupkan ke dalam cuka, sampai hari ketujuh ketika kalamin, kelopak mawar, lubang kurma, atau "bubuk kelamin yang terbuat dari tanah liat yang dipanggang" dapat diberikan.[160]
Terlepas dari asal-usul praktik FGM, infibulasi telah dikaitkan dengan perbudakan. Mackie mengutip misionaris Portugis João dos Santos, yang pada 1609 menulis tentang sebuah kelompok di dekat Mogadishu yang memiliki "keinginan untuk menjahit perempuan mereka, terutama budak mereka yang masih muda untuk membuat mereka tidak dapat dibuahi, yang membuat para budak ini dijual lebih mahal, baik untuk kesucian mereka dan untuk meningkatkan kepercayaan yang diberikan oleh tuan mereka". Oleh sebab itu, Mackie berpendapat, "praktik yang terkait dengan perbudakan perempuan yang memalukan, menjadi lambang kehormatan".[161]
Dokter kandungan di Eropa abad ke-19 dan Amerika Serikat menghilangkan klitoris untuk mengobati kegilaan dan masturbasi.[163] Seorang dokter Inggris, Robert Thomas, mengusulkan klitoridektomi sebagai obat untuk nimfomania pada tahun 1813.[164] Pada tahun 1825, jurnal The Lancet mendeskripsikan sebuah klitoridektomi yang dilakukan pada tahun 1822 di Berlin oleh Karl Ferdinand von Graefe pada seorang gadis berusia 15 tahun yang melakukan masturbasi secara berlebihan.[165]
Isaac Baker Brown, seorang ginekolog Inggris, presiden Perhimpunan Medis London dan salah satu pendiri Rumah Sakit St. Mary pada tahun 1845, percaya bahwa masturbasi, atau "iritasi tidak wajar" pada klitoris, menyebabkan histeria, iritasi tulang belakang, kejang, kebodohan, mania, dan kematian.[166] Karena itu ia "mulai berupaya untuk menghilangkan klitoris setiap kali ia memiliki kesempatan untuk melakukannya", seperti yang tersurat dalam obituarinya.[162] Brown melakukan beberapa klitoridektomi antara 1859 dan 1866.[162] Di Amerika Serikat, J. Marion Sims mengikuti jejak Brown dan pada tahun 1862 memotong leher rahim wanita dan menghilangkan klitorisnya, "untuk menghilangkan kondisi gugup atau histeris seperti yang direkomendasikan oleh Baker Brown".[167] Ketika Brown menerbitkan pandangannya dalam Mengenai Ketersembuhan Beberapa Bentuk Tertentu dari Kegilaan, Epilepsi, Katalepsi, dan Histeria pada Wanita (1866), dokter di London menuduhnya melakukan perdukunan dan mengeluarkannya dari Perhimpunan Kebidanan London.[168]
Kemudian pada abad ke-19, A. J. Bloch, seorang ahli bedah di New Orleans, menghilangkan klitoris seorang gadis berusia dua tahun yang dilaporkan melakukan masturbasi.[169] Menurut sebuah artikel tahun 1985 di jurnal Obstetrical & Gynecological Survey, klitoridektomi dilakukan di Amerika Serikat pada 1960-an untuk mengobati histeria, erotomania, dan lesbianisme.[170] Dari pertengahan 1950-an, James C. Burt, seorang ginekolog di Dayton, Ohio, melakukan perbaikan episiotomi yang tidak standar setelah melahirkan dengan menambahkan lebih banyak jahitan untuk membuat lubang vagina menjadi lebih kecil. Dari tahun 1966 hingga 1989, ia melakukan "operasi cinta" dengan memotong otot pubokoksigeus wanita, memosisikan ulang vagina dan uretra, dan melepas tudung klitoris, sehingga membuat area kelamin mereka lebih sesuai, dalam pandangannya, untuk hubungan seksual dalam posisi misionaris.[171] "Perempuan secara struktural tidak memadai untuk melakukan hubungan intim," tulisnya; ia mengatakan akan mengubah mereka menjadi "tikus kecil yang bersemangat".[172] Pada 1960-an dan 1970-an, ia melakukan prosedur ini tanpa persetujuan sambil memperbaiki episiotomi dan melakukan histerektomi dan operasi lainnya; Burt mengatakan bahwa ia telah melaksanakan praktik tersebut terhadap 4.000 wanita pada tahun 1975.[171] Setelah menerima banyak keluhan, ia diminta pada tahun 1989 untuk berhenti mempraktikkan kedokteran di Amerika Serikat.[173]
Pisau kecil di sarungnya
Supaya mereka bertarung dengan gereja,
Waktunya telah tiba.
Sesepuh (dari gereja)
Ketika Kenyatta datang
Anda akan diberikan pakaian wanita
Dan Anda harus memasak makanan untuknya..
— Dari Muthirigu (1929), dansa-tari Kikuyu yang melawan penentangan gereja terhadap FGM.[174]
Misionaris Protestan di Afrika Timur Britania (sekarang Kenya) mulai berkampanye menentang FGM pada awal abad ke-20, ketika Dr. John Arthur bergabung dengan Misi Gereja Skotlandia (CSM) di wilayah suku Kikuyu yang merupakan kelompok etnis utama negara itu. Sebagai penanda etnis yang penting, praktik FGM dikenal oleh Kikuyu sebagai irua untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Praktik FGM di kalangan suku Kikuyu melibatkan eksisi (Tipe II) untuk anak perempuan dan penghilangan kulup untuk anak laki-laki. Perempuan Kikuyu (irugu) yang tidak disunat merupakan orang buangan.[175]
Jomo Kenyatta, sekretaris jenderal Asosiasi Pusat Kikuyu dan kemudian Perdana Menteri Kenya yang pertama, menulis pada tahun 1938 bahwa, bagi Kikuyu, penerapan FGM adalah "conditio sine qua non dari seluruh ajaran hukum kesukuan, agama, dan moralitas". Pria atau wanita Kikuyu yang pantas tidak akan menikah atau melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak disirkumsisi, tulisnya. Tanggung jawab seorang wanita terhadap sukunya dimulai dengan inisiasinya. Usia dan tempatnya di dalam sejarah suku dapat ditilik kembali ke hari tersebut, dan kelompok gadis yang menyertai pemotongannya dinamai sesuai dengan peristiwa terkini, sebuah tradisi lisan yang memungkinkan Kikuyu melacak orang dan peristiwa yang terjadi ratusan tahun yang lalu.[176]
Dimulai dengan CSM pada tahun 1925, beberapa gereja misionaris menyatakan bahwa FGM dilarang untuk orang Kristen Afrika; CSM mengumumkan bahwa orang Afrika yang mempraktikkannya akan diekskomunikasi, yang mengakibatkan ratusan orang pergi atau diusir.[177] Pada tahun 1929, Dewan Misionaris Kenya mulai menyebut FGM sebagai "mutilasi seksual wanita", dan sikap seseorang terhadap praktik itu menjadi ujian kesetiaan, baik ke gereja-gereja Kristen maupun ke Asosiasi Pusat Kikuyu.[178] Perselisihan itu mengubah FGM menjadi titik fokus gerakan kemerdekaan Kenya; periode 1929–1931 dikenal dalam historiografi negara itu sebagai kontroversi sunat perempuan.[179] Ketika Hulda Stumpf, seorang misionaris Amerika yang menentang FGM di sekolah khusus perempuan yang ia bantu jalankan, dibunuh pada tahun 1930, Edward Grigg, Gubernur Kenya, mengatakan kepada Kantor Kolonial Inggris bahwa si pembunuh telah mencoba untuk menyunatnya.[180]
Ada beberapa penentangan dari perempuan Kenya sendiri. Di Karatina, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka Ngo ya Tuiritu ("Perisai Gadis Muda") menyurati Dewan Penduduk Asli Nyeri Selatan pada tanggal 25 Desember 1931: "Kami dari Ngo ya Tuiritu mendengar bahwa ada laki-laki yang berbicara tentang sunat perempuan, dan kami heran karena mereka (laki-laki) tidak melahirkan dan merasakan rasa sakit dan bahkan beberapa mati dan bahkan yang lain menjadi tidak subur, dan penyebab utamanya adalah sunat. Karena itu, masalah sunat tidak boleh dipaksakan. Orang-orang ditangkapi seperti domba; seseorang harus dibiarkan memutuskan dengan caranya sendiri apakah setuju untuk disunat atau tidak tanpa pendiktean terhadap tubuhnya sendiri."[181]
Di tempat lain, dukungan untuk praktik FGM dari wanita sangat kuat. Pada tahun 1956 di Meru, Kenya bagian timur, ketika dewan tetua pria (Njuri Nchecke) mengumumkan larangan terhadap FGM pada tahun 1956, ribuan anak perempuan saling memotong alat kelamin masing-masing dengan pisau cukur selama tiga tahun ke depan sebagai simbol pembangkangan. Gerakan itu kemudian dikenal sebagai Ngaitana ("Aku akan menyunat diriku sendiri"), karena untuk menghindari menyebut nama teman-teman mereka, gadis-gadis itu berkata mereka telah memotong diri mereka sendiri. Sejarawan Lynn Thomas menganggap periode ini signifikan dalam sejarah FGM karena para korbannya juga merupakan pelakunya.[182] FGM akhirnya dilarang di Kenya pada tahun 2001, meskipun praktik ini terus berlanjut, dilaporkan akibat dorongan dari wanita yang lebih tua.[183]
Salah satu kampanye penentangan FGM paling awal dimulai di Mesir pada 1920-an, ketika Perhimpunan Dokter Mesir menyerukan larangan.[lower-alpha 31] Kampanye paralel juga berlangsung di Sudan yang dijalankan oleh para pemimpin agama dan wanita Inggris. Infibulasi dilarang di sana pada tahun 1946, tetapi aturan tersebut tidak populer dan diabaikan.[185][lower-alpha 32] Pemerintah Mesir melarang infibulasi di rumah sakit yang dikelola pemerintah pada tahun 1959, tetapi memungkinkan klitoridektomi parsial jika orang tua memintanya.[188]
Pada tahun 1959, PBB meminta WHO untuk menyelidiki FGM, tetapi WHO menjawab bahwa FGM bukan masalah medis.[189] Kaum feminis mengangkat masalah ini sepanjang tahun 1970-an.[190] Dokter dan feminis Mesir Nawal El Saadawi mengkritik FGM dalam bukunya, Wanita dan Seks (1972); buku ini dilarang di Mesir dan El Saadawi kehilangan pekerjaannya sebagai direktur jenderal kesehatan masyarakat.[191] Ia melanjutkan pembahasan ini pada sebuah bab, "Sirkumsisi Gadis-Gadis", dalam bukunya, Wajah Tersembunyi Hawa: Wanita di Dunia Arab (1980), yang menggambarkan klitoridektominya sendiri ketika ia berusia enam tahun:
Saya tidak tahu apa yang telah mereka potong dari tubuh saya, dan saya tidak berusaha mencari tahu. Saya hanya menangis dan memanggil ibu saya untuk meminta bantuan. Tetapi kejutan terburuk dari semua ini adalah ketika saya melihat sekeliling dan mendapati ibu saya berdiri di samping saya. Ya, itu memang dia, saya tidak mungkin salah, dia ada di situ, tepat di tengah-tengah orang asing ini, berbicara dan tersenyum kepada mereka, seolah-olah mereka tidak ikut serta dalam penjagalan putrinya hanya beberapa saat yang lalu.[192]
Pada tahun 1975, Rose Oldfield Hayes, seorang ilmuwan sosial Amerika, menjadi akademisi perempuan pertama yang menerbitkan tulisan terperinci tentang FGM, dibantu oleh kemampuannya untuk berdiskusi langsung dengan wanita di Sudan. Artikelnya di jurnal American Ethnologist menyebutnya "mutilasi alat kelamin wanita" dan bukan sunat wanita, yang membuat artikel tersebut mendapatkan perhatian akademis yang lebih luas.[193] Edna Adan Ismail, yang saat itu bekerja di Kementerian Kesehatan Somalia, membahas konsekuensi kesehatan FGM pada tahun 1977 dengan Organisasi Demokrasi Wanita Somalia.[194][195] Dua tahun kemudian, Fran Hosken, seorang feminis Austria-Amerika, menerbitkan Laporan Hosken: Mutilasi Kelamin dan Seksual terhadap Wanita (1979),[15] yang untuk pertama kalinya menyajikan data secara global. Ia memperkirakan bahwa 110.529.000 wanita di 20 negara Afrika telah mengalami FGM.[196] Data tersebut spekulatif tetapi sejalan dengan survei selanjutnya.[197] Hosken menggambarkan FGM sebagai "tempat latihan untuk kekerasan pria", dan ia menuduh praktisi FGM wanita "berpartisipasi dalam penghancuran kelompok mereka sendiri".[198] Pemilihan bahasa tersebut mengakibatkan keretakan antara feminis Barat dan Afrika; Wanita Afrika memboikot sesi yang menampilkan Hosken selama Konferensi Dunia tentang Wanita di Kopenhagen pada Juli 1980.[199]
Pada tahun 1979, WHO menggelar seminar "Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Wanita dan Anak-anak" di Khartoum, Sudan, dan pada tahun 1981, juga di Khartoum, 150 akademisi dan aktivis menandatangani ikrar untuk melawan FGM setelah acara lokakarya yang diadakan oleh Asosiasi Ilmiah Babikar Badri untuk Studi Wanita (BBSAWS), "Sunat Perempuan Memutilasi dan Membahayakan Wanita - Lawanlah!" Lokakarya BBSAWS lainnya pada tahun 1984 mengundang komunitas internasional untuk menuliskan pernyataan bersama untuk PBB.[200] Pernyataan tersebut merekomendasikan bahwa "tujuan semua wanita Afrika" seharusnya adalah pemberantasan FGM dan bahwa, untuk memutuskan hubungan antara FGM dan agama, klitoridektomi sebaiknya tidak lagi disebut sebagai sunah.[201]
Komite Inter-Afrika tentang Praktik-Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Perempuan dan Anak-Anak, yang didirikan pada 1984 di Dakar, Senegal, menyerukan diakhirinya praktik tersebut, seperti yang dilakukan Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia PBB di Wina pada tahun 1993. Konferensi tersebut mencantumkan FGM sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita dan menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia alih-alih sekadar masalah medis.[202] Sepanjang 1990-an dan 2000-an, pemerintah di Afrika dan Timur Tengah mengesahkan undang-undang yang melarang atau membatasi FGM. Pada tahun 2003, Uni Afrika meratifikasi Protokol Maputo tentang hak-hak perempuan yang mendukung penghapusan FGM.[203] Pada 2015, undang-undang yang membatasi FGM telah disahkan di setidaknya 23 dari 27 negara di Afrika yang mempraktikkan FGM, meskipun beberapa di antaranya tidak sampai melarang.[lower-alpha 33]
Pada bulan Desember 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan FGM dalam resolusi 48/104, Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, dan sejak 2003 mensponsori Hari Anti-Sunat Wanita Sedunia, yang diadakan setiap 6 Februari.[207][208] Pada tahun 2003, UNICEF mulai mempromosikan pendekatan norma sosial berbasis bukti, yang menggunakan ide-ide dari teori permainan tentang bagaimana masyarakat mencapai keputusan tentang FGM dan didasarkan pada karya Gerry Mackie perihal penghapusan praktik pengikatan kaki di Tiongkok.[209] Pada tahun 2005, Pusat Penelitian Innocenti UNICEF di Firenze menerbitkan laporan pertamanya tentang FGM.[27] UNFPA dan UNICEF meluncurkan program bersama di Afrika pada 2007 untuk mengurangi FGM sebesar 40 persen pada kelompok usia 0–15 dan menghilangkannya dari setidaknya satu negara pada 2012, misi yang tidak terwujud dan yang kemudian mereka gambarkan sebagai tidak realistis.[210][lower-alpha 34] Pada tahun 2008, beberapa badan PBB mengakui FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia,[212] dan pada 2010 PBB meminta para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melaksanakan prosedur tersebut, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan pengikiran simbolis.[10] Pada tahun 2012, Majelis Umum menerbitkan resolusi 67/146, "Mengintensifkan upaya global untuk menghilangkan pemotongan kelamin wanita".[213]
Imigrasi menyebarkan praktik FGM ke Australia, Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Utara, yang semuanya melarang atau membatasi praktik tersebut hanya untuk orang dewasa yang mau melakukannya.[214] Swedia melarang FGM pada 1982 melalui Undang-Undang Pelarangan Pemotongan Kelamin Perempuan dan menjadi negara barat pertama yang melakukannya.[215] Beberapa negara yang pernah menjadi penjajah, termasuk Belgia, Inggris, Prancis, dan Belanda, mengesahkan undang-undang baru atau menegaskan bahwa aturan mengenai FGM termasuk dalam cakupan undang-undang yang ada.[216] Pada 2013, undang-undang yang melarang FGM telah disahkan di 33 negara di luar Afrika dan Timur Tengah.[204]
Di Amerika Serikat diperkirakan 513.000 wanita dan gadis mengalami atau berisiko mengalami FGM pada tahun 2012.[217][218][lower-alpha 35] Seorang wanita Nigeria berhasil melawan perintah deportasi pada Maret 1994. Ia meminta "suaka budaya" dengan alasan bahwa putrinya (yang merupakan warga negara Amerika) masih muda dan mungkin akan mengalami FGM jika ia dipulangkan ke Nigeria.[220][221][222] Pada tahun 1996, Fauziya Kasinga dari Togo menjadi orang pertama yang secara resmi diberikan suaka untuk melarikan diri dari FGM.[223] Pada tahun yang sama, Undang-Undang Federal tentang Pemotongan Kelamin Wanita melarang FGM yang dilakukan atas dasar nonmedis terhadap anak di bawah umur, dan pada tahun 2013 Undang-Undang Transportasi untuk Pemotongan Kelamin Perempuan melarang orang membawa anak ke luar negeri untuk melakukan FGM.[217] Pada tahun 2006, pelaku FGM untuk pertama kalinya dijatuhi hukuman di Amerika Serikat; Khalid Adem yang berasal dari Etiopia dihukum sepuluh tahun akibat kekerasan dan kekejaman terhadap anak-anak setelah memotong klitoris putrinya yang berusia dua tahun dengan gunting.[224] Seorang hakim di pengadilan tingkat federal memutuskan pada 2018 bahwa Undang-Undang 1996 tidak konstitusional, dengan alasan bahwa FGM adalah "kegiatan kriminal lokal" yang harus diatur oleh negara bagian, bukan oleh kongres; ia membuat putusan tersebut dalam kasus yang terkait dengan anggota komunitas Dawoodi Bohra di Michigan yang dituduh melakukan FGM.[225] Dua puluh empat negara bagian memiliki undang-undang yang melarang FGM pada 2016.[217] American Academy of Pediatrics turut menentang semua bentuk praktik FGM, termasuk penusukan kulit klitoris.[lower-alpha 36]
Kanada menggolongkan FGM sebagai bentuk persekusi pada Juli 1994 setelah negara itu memberikan status pengungsi kepada Khadra Hassan Farah, yang melarikan diri dari Somalia untuk menghindari FGM terhadap putrinya.[227] Pada tahun 1997, Pasal 268 Undang-undang Pidana Kanada diamendemen untuk melarang FGM kecuali jika "orang tersebut setidaknya berusia delapan belas tahun dan tidak ada kerusakan fisik yang diakibatkannya".[204][228] Sampai Juli 2017, belum ada orang yang dijerat dengan pasal ini. Pejabat Kanada menyatakan keprihatinannya bahwa ribuan gadis Kanada berisiko menjalani "pemotongan saat liburan", ketika gadis-gadis tersebut dibawa ke luar negeri untuk menjalani prosedur FGM, tetapi tidak ada angka pasti untuk hal ini hingga tahun 2017.[229]
Menurut Parlemen Eropa, 500.000 wanita di Eropa telah menjalani FGM hingga Maret 2009.[230] Di Prancis, hingga 30.000 wanita diperkirakan mengalaminya pada 1995. Menurut Colette Gallard, seorang penasihat keluarga berencana, ketika FGM pertama kali ditemukan di Prancis, reaksinya adalah bahwa orang Barat tidak boleh ikut campur. Sikap tersebut baru berubah setelah kematian dua gadis pada tahun 1982, salah satunya masih berusia tiga bulan.[231][232] Pada tahun 1991, pengadilan Prancis memutuskan bahwa Konvensi Terkait Status Pengungsi menawarkan perlindungan kepada para korban FGM; keputusan itu mengikuti permohonan suaka dari Aminata Diop yang melarikan diri dari prosedur FGM di Mali.[233] Praktik ini dilarang oleh beberapa pasal Undang-undang Pidana Prancis yang terkait dengan luka-luka yang menyebabkan mutilasi permanen atau penyiksaan.[232][234] Tuntutan perdata pertama dilayangkan pada tahun 1982,[231] dan penuntutan pidana pertama pada tahun 1993.[227] Pada tahun 1999, seorang wanita dihukum delapan tahun penjara karena melakukan FGM pada 48 anak perempuan.[235] Pada 2014, lebih dari 100 orang tua dan dua praktisi telah dituntut dalam lebih dari 40 kasus pidana.[232]
Hingga 2011, sekitar 137.000 wanita dan gadis yang tinggal di Inggris dan Wales lahir di negara-negara tempat FGM dipraktikkan.[236] Praktik FGM pada anak-anak atau orang dewasa dilarang oleh Undang-undang Larangan Sunat Perempuan 1985.[237] Undang-undang ini digantikan oleh Undang-undang Pemotongan Kelamin Perempuan 2003 dan Undang-undang Larangan Pemotongan Kelamin Perempuan (Skotlandia) 2005, yang menambahkan larangan mengadakan FGM di luar negeri untuk warga negara atau penduduk tetap Inggris.[238][lower-alpha 37] Komite PBB tentang Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) pada Juli 2013 meminta pemerintah Britania Raya untuk "memastikan implementasi penuh dari undang-undang tentang FGM".[240] Tuntutan pertama dilayangkan pada tahun 2014 terhadap seorang dokter dan seorang pria lainnya; dokter tersebut menjahit kembali seorang wanita yang diinfibulasi setelah sebelumnya membukanya untuk persalinan. Keduanya dibebaskan pada tahun 2015.[241]
Para antropolog menuduh para penentang FGM melakukan imperialisme budaya, sedangkan mereka sendiri dikritik akibat pandangan relativisme moral mereka dan juga karena mereka dianggap gagal membela gagasan hak asasi manusia yang universal (berlaku seantero jagad).[243] Pakar antropologi Vicki Kirby mengkritik upaya menentang FGM sebagai suatu bentuk reduksionisme biologis yang gagal mempertimbangkan konteks budaya FGM di berbagai negara.[244]
Orang Afrika yang keberatan dengan cara penentang FGM menyampaikan kritiknya menghadapi risiko dicap sebagai pembela praktik tersebut. Ahli teori feminis Obioma Nnaemeka, yang sangat menentang FGM, berpendapat pada 2005 bahwa penggantian nama menjadi mutilasi kelamin perempuan telah menghasilkan makna tersirat mengenai "budaya Afrika dan Muslim yang barbar" dan peran Barat dalam memberantasnya.[245] Menurut profesor hukum Uganda Sylvia Tamale, penolakan Barat terhadap FGM pada mulanya berasal dari tindakan menghakimi yang berlandaskan pada nilai Yahudi-Kristen bahwa praktik seksual dan keluarga Afrika (yang tidak hanya meliputi FGM tetapi juga seks kering, poligini, mahar, dan perkawinan levirat) perlu dikoreksi.[246] Ada pula ahli yang menyoroti voyeurisme dalam tindakan memperlakukan tubuh perempuan seolah sebagai objek pameran. Contohnya meliputi penggunaan gambar vulva wanita setelah FGM atau gadis yang menjalani prosedur FGM.[247] Foto-foto pemenang penghargaan Pulitzer tahun 1996 yang menampilkan seorang gadis Kenya berusia 16 tahun yang menjalani FGM diterbitkan oleh 12 surat kabar Amerika, tanpa persetujuannya untuk difoto dan juga tanpa izin untuk diterbitkan di media massa.[248]
Debat ini menyoroti ketegangan antara antropologi dan feminisme; antropologi berfokus pada toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda, sementara feminisme mencurahkan perhatian pada persamaan hak untuk perempuan. Menurut antropolog Christine Walley, literatur anti-FGM umumnya menggambarkan perempuan Afrika sebagai korban kesadaran palsu yang membuat mereka berpartisipasi dalam penindasan mereka sendiri. Pandangan semacam ini didukung oleh kaum feminis pada 1970-an dan 1980-an, termasuk Fran Hosken, Mary Daly, dan Hanny Lightfoot-Klein.[249] Hal ini mendorong Asosiasi Antropolog Prancis untuk memberikan pernyataan pada tahun 1981, pada puncak perdebatan awal mengenai FGM, bahwa "[pandangan] feminisme tertentu membangkitkan kembali kesombongan moralistik kolonialisme zaman dahulu".[190] Hingga saat ini, praktik FGM masih berlangsung, dengan pro-kontra masing-masing, belum ada kebijakan yang mengatur, namun para pembela hak perempuan menolak pelaksanaan FGM dengan dalih otoritas terhadap tubuh personal.
Nnaemeka berpendapat bahwa pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa tubuh wanita terus menerus menjadi sasaran "pelecehan dan penghinaan", termasuk di Barat.[250] Beberapa penulis telah melihat kemiripan antara FGM dengan prosedur kosmetik.[251] Ronán Conroy dari Royal College of Surgeons di Irlandia menulis pada 2006 bahwa prosedur kosmetik pada kelamin "mendorong kemajuan" FGM karena wanita seolah diajak untuk menganggap keragaman alamiah sebagai suatu kecacatan.[252] Antropolog Fadwa El Guindi membandingkan FGM dengan pembesaran payudara, yang dianggap telah menomorduakan fungsi keibuan payudara dan menomorsatukan kenikmatan seksual pria.[253] Tokoh feminis Prancis Benoîte Groult mengemukakan pendapat yang serupa pada tahun 1975. Ia mengatakan bahwa FGM dan bedah kosmetik adalah praktik yang seksis dan patriarkal.[254] Sementara itu, antropolog medis Carla Obermeyer berpendapat pada tahun 1999 bahwa FGM mungkin dianggap penting dalam konteks sosial seperti halnya rhinoplasti dan sunat pada pria.[255] Sebagai contoh, meskipun sudah dilarang pada tahun 2007, wanita Mesir yang menginginkan FGM untuk anak perempuan mereka menginginkan prosedur tajmeel amalyet (bedah kosmetik) untuk menghilangkan jaringan kelamin yang dianggap berlebih.[256]
Prosedur kosmetik seperti labiaplasti dan pengurangan tudung klitoris termasuk dalam definisi FGM menurut WHO, yang dirumuskan untuk menghindari upaya untuk mengakali definisi tersebut, tetapi WHO mencatat bahwa praktik elektif ini umumnya tidak dianggap sebagai FGM.[lower-alpha 38] Beberapa undang-undang yang melarang FGM, seperti di Kanada dan AS, hanya melindungi anak di bawah umur, tetapi beberapa negara, seperti Swedia dan Inggris, melarang FGM terlepas ada tidaknya persetujuan dari wanita itu sendiri. Swedia, misalnya, melarang operasi "pada organ seksual wanita bagian luar dengan maksud untuk memutilasinya atau menghasilkan beberapa perubahan permanen lain padanya, terlepas dari apakah persetujuan telah diberikan atau tidak untuk operasi tersebut".[215] Ginekolog Birgitta Essén dan antropolog Sara Johnsdotter berpendapat bahwa undang-undang tersebut dirumuskan seolah membedakan antara alat kelamin Barat dan Afrika, dan menganggap hanya perempuan Afrika (seperti mereka yang menginginkan reinfibulasi setelah melahirkan) yang tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri.[258]
Filsuf Martha Nussbaum berpendapat bahwa masalah utama FGM adalah bahwa kebanyakan FGM dilakukan pada anak-anak dengan menggunakan kekuatan fisik. Menurut Nussbaum, tekanan sosial dan kekuatan fisik memiliki perbedaan dari segi moral dan hukum, seperti halnya rayuan berbeda dengan pemerkosaan. Ia berpendapat lebih lanjut bahwa literasi perempuan di negara-negara yang menerapkan FGM umumnya lebih buruk dibandingkan negara-negara maju, dan hal ini menyulitkan mereka untuk memilih berdasarkan pengetahuan yang cukup.[259][260]
Beberapa ahli berpendapat bahwa hak anak-anak tidak hanya dilanggar oleh FGM tetapi juga oleh perubahan kelamin terhadap anak interseks, yang dilahirkan dengan anomali yang kemudian "dikoreksi" atas pilihan dokter.[261] Berbagai argumen telah dikemukakan bahwa sunat laki-laki yang tidak dilakukan atas dasar medis (seperti yang dipraktikkan oleh umat Muslim, Yahudi, dan beberapa kelompok Kristen) juga melanggar hak-hak anak. Secara global sekitar 30 persen pria berusia di atas 15 tahun disunat; dari jumlah tersebut, sekitar dua pertiganya adalah Muslim.[262] Setidaknya setengah dari populasi pria di Amerika Serikat disunat,[263] sementara sebagian besar pria di Eropa tidak.[264] Organisasi-organisasi medis besar di dunia memiliki berbagai pandangan dari yang menganggap "sunat pilihan pada bayi laki-laki dan anak-anak mengandung risiko yang signifikan dan tidak memberikan manfaat medis", hingga yang meyakini bahwa "prosedur ini memiliki sedikit manfaat kesehatan yang melebihi risikonya yang kecil".[265] American Academy of Pediatrics merekomendasikan pada tahun 2012 agar sunat pria hanya dilakukan oleh "praktisi terlatih dan kompeten ... menggunakan teknik steril dan manajemen nyeri yang efektif".[263]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.