Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Kesehatan jiwa atau kesehatan mental adalah keadaan individu sejahtera menyadari potensi yang dimilikinya, mampu menanggulangi tekanan hidup normal, bekerja secara produktif, serta mampu memberikan kontribusi bagi lingkungannya.[1] Dengan demikian, kesehatan jiwa mencakup aspek-aspek fisik, psikologis, sosial.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan jiwa yang baik adalah kondisi ketika batin berada dalam keadaan tenteram dan tenang, sehingga memungkinkan individu untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar.[2] Kesehatan jiwa dapat didefinisikan sebagai ranah yang mengurus (mengelola dan sebagainya) suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional menjadi lebih optimal. Keadaan yang memungkinkan individu menjadi sejalan dan selaras dengan keadaan orang lain.
Pendekatan terkini dalam mengelola persoalan kesehatan jiwa adalah pendekatan holisitik yang melampaui ataupun menerobos batasan psikologi klinis, medis, dan psikiatris. Hal ini disebabkan karena kesehatan jiwa merupakan pusat dari berbagai peristiwa sosial, sehingga kepentingan pengelolaan kesehatan jiwa perlu melibatkan berbagai bidang, seperti perencana wilayah, arsitek, psikolog sosial, sosiolog, antropolog atau ahli budaya, ahli filsafat sosial, pemuka agama, ekonomi, jurnalis dan pemain bisnis media, hingga pembuat kebijakan publik.[3]
Terdapat tiga teori tentang penyebab gangguan jiwa, yaitu supranatural, psikologis dan biologis.[5]
Teori mengenai penyebab-penyebab ini menjadi dasar dalam tindakan pemulihan/penyembuhan dan perlakuan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Individu yang dianggap kerasukan makhluk gaib akan diperlakukan secara berbeda dengan individu yang mengalami gangguan karena adanya ketidaksetimbangan biologis dalam tubuhnya. Juga menjadi dasar dalam perbedaan terapi yang diterima, misalnya pengusiran makhluk gaib dibandingkan pengeluaran darah pada zaman Hippokrates di Yunani kuno.[5]
Jika merunut riwayat perjalanan tiga penyebab gangguan jiwa di atas, maka sejarah kesehatan jiwa tidaklah bergerak dalam arah yang linear, namun lebih mirip sebuah lingkaran yang berulang.[5] Temuan-temuan paling modern, termasuk hasil-hasil penelitian mutakhir tentang otak dengan menggunakan teknologi terkini, cenderung menemukan jawaban dari sejumlah persoalan gangguan jiwa. Namun, tidak berarti bahwa solusi yang benar-benar sempurna telah ditemukan.[7] Meskipun sejumlah kalangan menganggapnya sebagai kendala dalam penerapan solusi (misalnya merupakan kendala dalam membangun sebuah sistem dukungan[8]) alih-alih kendala dalam penemuan gagasan yang mengarah pada solusi itu sendiri.
Kata jiwa dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta jiva yang artinya “nyawa; zat hidup, kehidupan, makhluk hidup",[9], serta "ruh manusia, ruh individual".[10][11]
Dalam bahasa Inggris jiwa disebut dengan istilah mental yang berasal dari akar kata Proto-Indo-Eropa *men- yang artinya "berpikir".[12] Akar kata tersebut juga menurunkan kata dalam Bahasa Inggris mind yang artinya "pikiran".[13] Selain itu, akar kata Proto-Indo-Eropa tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan penurunan kata men (jamak dari man) yang artinya "manusia, makhluk yang berpikir".[14]
Dari sudut pandang sejarah, kata jiwa dan mental tidak cuma erat kaitannya dengan "hidup" dan "kehidupan manusia" tetapi juga dengan "pikiran" dan esensi sebagai "manusia" itu sendiri. Dalam Bahasa Inggris, kata mental health atau kesehatan jiwa itu sendiri, dalam arti jiwa atau mental yang erat kaitannya dengan kesejahteraan batiniah manusia, mulai digunakan sejak tahun 1803.[12]
Kata mental health (kesehatan jiwa) secara historis berasal dari kata mental hygiene (sanitasi kejiwaan), yaitu semacam gerakan kesehatan jiwa yang mencoba memperbaiki kondisi-kondisi perawatan kejiwaan di Amerika Serikat,[15] setelah gerakan yang disebut terapi moral, sukses membawa wacana pembebasan pasien jiwa dari perantaian dalam berbagai rumah sakit jiwa yang ada di Eropa Barat.
René Descartes (1596-1650) adalah filsuf yang berpendapat bahwa pikiran dan tubuh adalah dua hal yang terpisah. Sehingga jika diuraikan maka akan bisa dijelaskan dengan ciri-cirinya sebagai dua hal yang berbeda seperti berikut ini:
Pendapat René Descartes di atas jelas-jelas secara telak bertolak-belakang dengan pendapat segolongan para ahli, yang dalam istilah lama disebut sebagai ranah ilmu phrenology, yang berpendapat bahwa ada kaitan yang sangat erat antara fungsi-fungsi pikiran dengan lokasi-lokasi tertentu pada area otak. Seorang dokter dari Italia yang hidup pada abad ke-19, yang bernama Biagio Miraglia (1814-1885) bukan hanya menyebutkan demikian, namun juga menyarankan bahwa klasifikasi gangguan jiwa hendaknya dibuat berdasarkan fungsi-fungsi pada area otak yang seperti itu. Temuan Paul Broca (1824-1880), seorang ilmuwan dari Perancis, mengenai kaitan antara fungsi bahasa pada manusia dengan area tertentu pada otak -- sekaligus kaitan antara gangguan dari fungsi berbahasa tersebut dengan area otak yang sama -- telah memulai terbukanya sebuah kesempatan bahwa dapat dibuat sebuah peta otak yang dapat menggambarkan secara akurat kaitan antara fungsi mental tertentu dengan lokasi-lokasi tertentu pada otak.
Seorang ilmuwan Soviet yang bernama Ivan Pavlov (1849-1936), antara tahun 1884 hingga 1886 mengadakan percobaan terhadap binatang di sebuah laboratorium di Rusia, dengan melakukan penelitian yang melibatkan faktor makanan sebagai rangsang dan pengamatan pencernaan dari binatang tersebut; yang dikombinasikan dengan berbagai faktor lainnya, seperti pemberian jenis rangsang yang tidak terduga. Sehingga ia berhasil menemukan kaitan antara perilaku binatang dengan fungsi-fungsi tubuhnya. Pavlov, sejak saat itu dianggap sebagai pelopor dalam hal penyelidikan perilaku dalam Psikologi.
Sebaliknya dari hal tersebut, Sigmund Freud (1856-1939), seorang dokter dari Austria menerbitkan karya-karya yang merupakan kesimpulan dari penelitiannya terhadap pasien-pasiennya sendiri, yang mengungkapkan bahwa permasalahan kejiwaan yang abstrak disebabkan oleh hal-hal yang abstrak pula; terutama berasal dari konflik-konflik orang tersebut di masa lalu, yang ditekan sehingga menjadi konflik-konflik bawah-sadar. Freud tidak hanya menerbitkan buku-buku yang terbatas mengenai gangguan dan masalah kejiwaan, namun juga menerbitkan telaah mengenai agama, masyarakat, budaya, dan kajian mengenai kehidupan berbagai tokoh terkemuka, dengan landasan yang sama. Sehingga bisa dikatakan -- dalam hal pembicaraan mengenai kaitan antara pikiran dan tubuh ini -- Freud membangkitkan Filsafat ketimbang mengungkapkan kaitan antara hal-hal abstrak dengan hal-hal yang badaniah.
Layak diketahui dalam hal ini, Freud bukanlah seorang yang berpendidikan budaya atau ilmu abstrak lainnya, ia adalah seorang dokter (yang tentu saja banyak menemukan kaitan antara penyakit dengan hal-hal yang badaniah); yang selama kariernya sebagai peneliti terlatih untuk melakukan penelitian anatomi dan jaringan tubuh. Bahkan Jean-Martin Charcot (1825-1893) -- tokoh yang menjadi guru yang sangat ia hormati dan menjadi inspirasi awal bagi pemikiran Freud tersebut -- adalah seorang ahli anatomi sekaligus ahli neurologi kelas dunia. Maka jelas-jelas bahwa Freud mengambil penyikapan yang seperti demikian dalam Psikologi bukan disebabkan oleh terasingnya dia dari berbagai temuan ilmiah yang menautkan antara pikiran dengan tubuh. Namun memang demikianlah kesimpulannya sebagai ahli Psikologi.
Pada akhir dasawarsa 1930-an, sejumlah psikolog yang tertarik kepada masalah-masalah psikologi yang unik mendirikan sebuah mazhab Psikologi yang bernama Psikologi Humanistik sebagai reaksi terhadap apa yang dilakukan oleh Ivan Pavlov dan Sigmund Freud di atas. Aliran yang dipelopori oleh Abraham Maslow, Carl Rogers, and Clark Moustakas ini menekankan bahasan-bahasan yang mereka sebut sebagai hal-hal yang akan mengarah pada pemahaman sejati mengenai keberadaan manusia. Karya-karya mereka membahas tentang (perhatikan, semuanya adalah hal yang abstrak) diri, pemaksimalan potensi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, alam, proses menjadi manusia sejati, individualitas dan makna.
Psikologi Humanistik sering kali dianggap sebagai sebuah mazhab Psikologi yang merupakan perluasan dari sebuah aliran Filsafat yang bernama eksistensialisme, yang menekankan pengalaman manusia sebagai sudut pandangnya.
Semua yang diungkapkan di atas bukanlah hal-hal yang termutakhir. Sebuah aliran yang bernama Psikologi Kognitif, memisahkan diri dengan aliran perilaku yang dimulai oleh Ivan Pavlov di atas, karena Pavlov dan penerusnya menolak menyelidiki proses-proses mental dan bawah sadar dengan alasan bahwa dalam sebuah penelitian perilaku, pikiran dan perasaan bukanlah hal-hal yang dapat diamati secara objektif.
Aliran Psikologi Kognitif ini menganggap bahwa kaitan antara pikiran dan otak bukan hanya dapat dipelajari dan ditemukan banyak buktinya, namun juga hal tersebut dapat dipelajari untuk kemudian diterapkan pada pembuatan sebuah teknologi supermodern. Para pakar Psikologi Kognitif menganggap bahwa pikiran dan otak manusia dapat dijadikan model untuk penciptaan peranti lunak (software) dan peranti keras (hardware) komputer, dengan demikian pengetahuan Psikologi mengenai pikiran dan otak tersebut dapat dijadikan pengetahuan untuk membuat kecerdasan buatan (artificial intellligence). Sesuatu yang akhir-akhir ini sudah tampak dalam wujud yang nyatanya, bahkan dipergunakan untuk kepentingan banyak orang, misalnya untuk menganalisa penggunaan bahasa manusia pada aplikasi di media sosial.
Setelah menjadi wacana selama berabad-abad, akhirnya perjalanan panjang mengenai kaitan antara pikiran dan otak bukan hanya menemukan banyak solusi bagi permasalahan manusia itu sendiri namun menghasilkan penciptaan sebuah model yang mungkin dapat menjadi cerminan, dan dapat dijadikan refleksi, bagi diri manusia itu sendiri, sebagai pembuatnya.
Zaman Batu Baru (Neolitikum) hingga pra-modern, 6.500 SM – 1500-an M
Salah satu pengobatan dalam gangguan jiwa sejak zaman pra-sejarah hingga ke Abad Pertengahan adalah melubangi tengkorak untuk melepaskan roh jahat keluar tubuh. Fosil tertua dengan tengkorak yang dilubangi adalah fosil berusia 6.500 SM dari Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang ditemukan di Perancis. Alat untuk mengebor (membuat liang) pada tempurung kepala ini bernama trefin (Bahasa Inggris: trephine) dan operasi pelubangan tengkorak ini disebut trefinasi (Bahasa Inggris: trephination).[16]
Tengkorak dengan lubang yang demikian disimpan dan dipelihara karena dianggap memiliki tuah untuk mengusir ruh jahat. Bukti-bukti juga ditemukan yang memperkuat dugaan bahwa trefinasi tersebut dilakukan untuk mengeluarkan pecahan tulang atau gumpalan darah karena kecelakaan pada kepala, misalnya akibat kecelakaan ketika berburu, terjatuh, luka akibat binatang buas/liar, dan akibat tusukan senjata (misalnya tongkat atau tombak). Pelubangan tulang kepala ini mencakup pula tujuan pengobatan spiritual, juga diduga dilakukan untuk mengobati epilepsi, nyeri kepala, luka pada kepala, termasuk juga gangguan jiwa.
Trefinasi kemungkinan adalah metode pembedahan tertua di dunia yang didukung dengan adanya bukti-bukti arkeologis.[4] Lebih dari 1.500 tengkorak tempurung kepala dengan lubang semacam ini, yang mewakili 5 hingga 10 % dari keseluruhan fosil dari Zaman Batu Baru (Neolitikum), telah ditemukan di seluruh dunia termasuk di Eropa, Siberia, Tiongkok dan benua Amerika.[17] Banyak pasien prasejarah dan pra-modern yang menjalani metode pembedahan semacam ini terbukti mampu bertahan dan melanjutkan hidup (lihat gambar).
4.000 SM
Mesopotamia adalah wilayah di Asia Barat yang berada di antara (dan di sekitar) Sungai Eufrat dan Tigris (kini merupakan bagian dari wilayah yang bernama Irak). Peradaban kuna di Mesopotamia sudah menggambarkan dan mengobati sejumlah gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan pada zaman Mesopotamia dipercaya sebagai disebabkan oleh para dewa. Karena tangan merupakan simbol dari kendali atas orang lain, maka gangguan jiwa dikenal sebagai "tangan" dari para dewa tersebut. Salah satu gangguan jiwa disebut dengan istilah Qāt Ištar, yang berarti "Tangan Sang Ishtar". Yang lainnya disebut dengan istilah "Tangan Sang Shamash", "Tangan Sang Hantu", "Tangan Para Dewa" dan sebagainya.[19] Deskripsi dari penyakit-penyakit ini demikian wagunya sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk menemukan kaitannya dengan peristilahan pada masa modern.[19]
Para dokter di Mesopotamia menyimpan catatan-catatan rinci mengenai halusinasi pasien-pasien mereka dalam bentuk tablet tembikar dengan menggunakan huruf-paku (cuneiform) dan menafsirkannya sebagai hal yang memiliki makna spiritual bagi mereka. Catatan-catatan penting mengungkapkan bahwa keluarga kerajaan Elam memiliki anggota keluarga yang sering kali mengalami masalah kejiwaan.[19]
2674 SM
Huangdi Nei Jing merupakan kitab kedokteran kuna yang dianggap sebagai peletak landasan utama bagi kedokteran tradisional Tiongkok selama lebih dari 2.000 tahun. Karya ini terdiri atas dua kelompok naskah, masing-masing terdiri atas 81 bab/risalah yang berbentuk tanya-jawab antara Kaisar Kuning (Huangdi) dengan 6 menteri legendarisnya.[20]
Naskah yang pertama, yaitu Su Wen, yang dikenal sebagai bagian Pertanyaan Dasariah, mencakup landasan teoritis dari kedokteran tradisional Tiongkok beserta metode penegakkan diagnosanya. Bagian kedua, yaitu Ling Shu, mendikusikan mengenai terapi akupunktur dengan sangat rinci.[20]
Secara keseluruhan Nei Jing berdasarkan pada teori kesetimbangan internal tubuh, atau berdasarkan prinsip yin dan yang. Tubuh manusia mengandung kekuatan positif (yang) dan kekuatan negatif (yin). Keduanya merupakan elemen yang saling melengkapi dan bertentangan satu sama lain. Jika keduanya setimbang, maka individu tersebut akan sehat. Jika tidak, maka gangguan kesehatan, misalnya gangguan jiwa, akan timbul.[21]
Emosi manusia dikendalikan oleh organ internal. Saat “udara penting” (vital air) mengalir ke salah satu dari organ ini, individu akan mengalami emosi tertentu. Saat mengalir ke jantung, orang tsb akan merasakan bahagia. Saat mengalir ke paru-paru, sedih. Saat ke hati (liver), marah. Saat ke limpa, cemas. Saat ke ginjal, takut. Teori ini menyarankan orang untuk hidup dengan baik dan selaras utk menjaga pergerakan udara dalam tubuh.[21]
pada periode Dinasti Chin dan T’ang (420 – 618 SM)
Kitab Nei Jing adalah kitab biologis, akan tetapi naik daunnya Taoisme dan Buddhisme selama periode Dinasti Chin dan T’ang (420 – 618 SM) mengarah ke penafsiran religius terhadap perilaku abnormal. Angin jahat dan hantu-hantu dituduh menjadi makhluk pengganggu yang menyebabkan seseorang menjadi berperilaku tidak terkontrol dan membuatnya menjadi punya aspek emosi yang tidak sesuai dengan sekitarnya (malasuai/maladaptif). Teori religius tentang abnormalitas melemah di Tiongkok setelah periode ini.[21]
1.900 SM
Sebuah papirus Mesir yang disebut dengan nama Papirus Kedokteran Kahun (Kahun Medical Papyrus)[22][23] dari sekitar tahun 1.900 Sebelum Masehi menggambarkan bahwa perempuan dapat mengalami masalah kejiwaan karena berubahnya letak "rahim" ("kandungan", "peranakan"), yang pada peradaban Yunani kemudian disebut dengan istilah hysteria; sebuah istilah yang kemudian digunakan sebagai gangguan jiwa yang khusus terjadi pada perempuan. Rahim tersebut bisa copot dan menjadi melekat pada organ lain yang tidak seharusnya, misalnya menjadi menempel pada liver atau rongga dada, yang menjadikannya berubahnya fungsi dari yang seharusnya atau menjadikannya menghasilkan gejala-gejala yang bermacam-macam dan, kadang-kadang, menimbulkan nyeri.[24]
Untuk menyembuhkannya, penulis papirus Mesir tersebut, yang kemudian juga diadopsi oleh orang-orang Yunani, menggunakan semacam dupa (incense) agar sang "rahim" kembali kepada lokasi yang seharusnya. Orang Mesir menggunakan wangi-wangian yang menyenangkan untuk memancingnya agar mendekati sesuatu bagian tubuh dan aroma yang tidak menyenangkan untuk menjauhkannya.[24]
Sebagai landasan bagi pembahasan gagasan para filsuf dan dokter Yunani, maka bagian ini dibuka dengan keterangan mengenai Empedokles dan gagasan pemikirannya.
Empedokles (495 SM -435 SM) adalah seorang filsuf Yunani yang lahir di Pulau Sisilia,[25] berpendapat bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal melainkan terdiri dari empat unsur atau zat.[26][27][28] Empat unsur tersebut adalah air, tanah, api, dan udara.[26][29][30][27][28][31] Keempat unsur tersebut dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiiki sifat-sifat yang saling berlawanan.[29] Api dikaitkan dengan yang panas; udara dengan yang dingin. Sedangkan tanah dikaitkan dengan yang kering, sementara air dikaitkan dengan yang basah.[29]
Empedokles berpendapat bahwa semua unsur memiliki kuantitas yang persis sama.[29] Unsur-unsur itu sendiri tidak berubah, sehingga, misalnya, tanah tidak dapat menjadi air.[29] Akan tetapi, semua benda yang ada di alam semesta terdiri dari keempat unsur tersebut, walaupun berbeda komposisinya.[29] Contohnya, Empedokles menyatakan tulang tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air, dan empat bagian api.[31] Suatu benda dapat berubah karena komposisi empat unsur tersebut diubah.[31]
Hippokrates (460 SM - 370 SM) adalah tokoh medis paling berpengaruh sepanjang masa sehingga ia dianggap layak mendapatkan gelar sebagai "Bapak Kedokteran". Tulisannya yang terkenal dengan judul Corpus Hippocraticum telah membuang semua takhayul Yunani kuna mengenai penyakit dan pengobatan.[32]
Dalam kaitannya dengan kesehatan jiwa, Hippokrates, adalah penemu tipe-tipe kepribadian klasik. Teorinya tersebut berdasarkan pada gagasan pemikiran empat unsur Empedokles di atas. Menurutnya, tubuh terdiri dari empat dasar cairan (humour), yaitu darah, dahak, empedu kuning dan empedu hitam. Berbagai ragam dari kepribadian, muncul disebabkan oleh ketidaksetimbangan dalam tubuh yang berkaitan dengan cairan-cairan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang cermat dari banyak pasien, termasuk mendengarkan impian mereka, Hippokrates menggolongkan kepribadian menjadi empat macam temperamen, yaitu riang-gembira (sanguine), pemurung (melancholic), bersemangat dan gesit (choleric), serta lamban (phlegmatic).
Pengobatan yang diresepkan oleh Hippokrates dimaksudkan untuk mengembalikan kesetimbangan keempat cairan tersebut,[33] yaitu dengan cara pengeluaran darah, relaksasi, pengubahan diet, atau pengubahan tempat dan iklim. Beberapa perawatan non-medis yang diresepkan oleh Hippokrates mirip seperti yang ditentukan oleh psikoterapis modern. Hippokrates, misalnya, percaya bahwa memisahkan pasien dari keluarga malah mempersukar pemulihan kesehatan jiwa.[34]
Sumbangsih pemikiran empat cairan yang membentuk empat temperamen tersebut, dilanjutkan oleh Galen, juga seorang dokter Yunani, yang banyak menggunakan ilmu kedokteran Hippokrates.
Galen (129– sekitar 200/sekitar 216), selain melanjutkan teori Hippokrates mengenai empat cairan pembentuk empat temperamen, juga adalah penulis karya besar On the Diagnosis and Cure of the Soul's Passion, yang membahas tentang bagaimana pendekatan dan penanganan masalah psikologis.[35] Hal ini merupakan awal mula upaya Galen yang kemudian disebut sebagai psikoterapi atau "terapi wicara".
Bukunya berisi petunjuk tentang bagaimana memberikan nasihat kepada mereka yang memiliki masalah psikologis supaya mereka dapat mengungkapkan hasrat (passion) dan rahasia terdalam mereka, dan akhirnya menyembuhkan mereka dari penyakit mental. Sang terapis, biasanya adalah seorang pria dengan usia lebih tua, lebih bijak, dan telah terbebas dari hasrat tersebut.[35] Hasrat ini, menurut Galen, adalah penyebab masalah psikologis yang dialami oleh seseorang.
Plato (428/427 atau 424/423 – 348/347 SM) berpendapat bahwa gangguan jiwa muncul ketika pikiran rasional terkalahkan oleh dorongan, gairah, atau nafsu makan. Kewarasan, menurutnya, bisa kembali melalui diskusi dengan individu yang dirancang untuk memulihkan pikiran rasional yang mengatasi emosi.[34]
Aristoteles (385-323) adalah filsuf Yunani yang percaya bahwa pengetahuan hanya akan dapat diperoleh lewat penerimaan melalui panca-indera (seperti mendengar, melihat, dan mencium aroma). Aristoteles adalah filsuf Yunani yang di waktu sangat dini sudah mendahului tafsir mimpi (The Interpretation of Dreams), yang ditulis oleh Sigmund Freud mulai tahun 1900, dengan mengatakan bahwa mimpi bukanlah ilham yang diberikan oleh alam yang lebih tinggi daripada manusia namun hanyalah kejadian sehari-hari atau sesuatu yang banyak dipikirkan ketika dalam keadaan terjaga.
400 – 1500 M
Pemikiran mengenai hal-hal gaib menentukan perilaku abnormal belum mendominasi hingga abad ke-11 dan ke-15 M.[36] Perburuan terhadap para penyihir banyak dilakukan pada zaman ini karena hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap sesat menurut sudut pandang waktu itu dalam agama Kristen. Di Eropa Barat pada Abad Pertengahan ini air dianggap sebagai media pembaptisan. Maka untuk menguji apakah seseorang merupakan penyihir atau bukan caranya adalah melakukan tes tenggelam. Jika seseorang diceburkan ke sungai dan tenggelam seperti batu maka ia pun akan dibebaskan dari tuduhan. Sebaliknya jika air menolaknya maka ia akan didakwa sebagai penyihir. Selama Abad Pertengahan ada banyak orang yang didakwa sebagai penyihir, dan sebagai hukumannya adalah mereka dibakar hidup-hidup di tiang dengan disaksikan oleh masyarakat setempat.
Pembakaran di tiang terhadap para penyihir di Abad Pertengahan tidak hanya diterapkan kepada masyarakat biasa. Joan of Arc (atau nama Perancisnya, Jeanne d'Arc) (sekitar 1412 – 1431) yang merupakan pahlawan bagi bangsa Perancis karena memerangi dominasi Inggris, turut didakwa sebagai penyihir karena mengaku melihat ruh para sanctus (orang suci) yang memerintahkannya melawan kekuasaan bangsa Inggris. Ia dibakar di tiang setelah tertangkap dan diadili oleh seorang uskup yang pro-Inggris, Pierre Cauchon. Joan of Arc meninggal karena eksekusi hukumannya tersebut ketika masih berusia 19 tahun.
Kajian ilmu psikologi modern, menganggap bahwa Joan of Arc mengalami halusinasi sebagai bagian dari skizofrenia ketimbang secara rill ia memang telah diilhami secara ilahiah atau sebagai orang yang mendapatkan ilham dari ruh jahat. Sehingga semestinya ia mendapatkan dukungan untuk pemulihan alih-alih dibakar sebagai seorang yang sesat.
705 – 1030 M
Telaah ilmiah adalah salah satu kekuatan dari literasi Islam mulai abad ke-8 M. Rumah sakit jiwa pertama di dunia berdiri di Baghdad pada tahun 705. Terdapat bukti pula bahwa rumah sakit jiwa beroperasi di Kairo pada tahun 805 dan di Fez (kota yang kini berada di timur Kasablanka, Maroko) selama abad ke-8.
Salah satu dokter terkemuka dari RS Baghdad adalah Ar-Razi (865 – 925) atau Rhazes. Ia adalah seorang dokter Persia, yang merupakan salah satu dokter pertama yang menulis tentang penyakit kejiwaan dan psikoterapi. Ia adalah kepala dokter dan juga direktur di rumah sakit jiwa Baghdad. Dua dari karyanya, El-Mansuri dan Al-Hawi, mendeskripsikan pengobatan untuk penyakit kejiwaan.
Ibn-Sina (980-1030 M) atau Avicenna dalam Kitab Besar Pengobatan-nya (Qānūn fī ath-Thibb) mendeskripsikan penyakit dan pengobatan untuk insomnia, mania, vertigo, kelumpuhan, stroke, epilepsi, dan depresi. Ia adalah pelopor dalam ilmu psikosomatis.
Abad ke-12 M
Mulai abad ke-12 banyak kota di Eropa menyediakan tempat penampungan bagi orang dengan gangguan jiwa.[37] Rumah sakit - rumah sakit mulai mengadakan ruangan untuk mempertunjukkan perilaku abnormal. Perawatan sering kali dipaksakan dengan kekerasan. Salah satu bangunan yang sangat terkenal yang seperti demikian adalah Bedlam, yang telah menerima pasien gangguan jiwa sejak tahun 1377. Kondisi perlakuan di dalamnya sangat buruk, pasien dipertontonkan untuk bayaran sejumlah uang. Pasien sering kali dikekang dengan rantai dan juga mendapatkan "perlakuan" fisik secara kasar lainnya sebagai bagian dari "pengobatan". Hal ini dilakukan karena adanya dasar pemikiran bahwa orang dengan gangguan jiwa telah kehilangan akal sehatnya sama sekali sebagai manusia, sehingga dianggap tidak lagi mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan dengan demikian martabatnya disetarakan dengan binatang. Perlakuan buruk seperti ini berlanjut hingga akhir abad ke-19.
Di Amerika Serikat, Benjamin Rush percaya (yang kemudian terbukti salah) bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh terhambatnya peredaran darah, atau oleh karena terlalu berlimpahnya penerimaan yang diterima oleh panca-indera, oleh karena itu ia mengobati orang dengan gangguan jiwa dengan beberapa alat yang dimaksudkan untuk melancarkan peredaran darah ke otak, antara lain kursi putar dan kursi penenang. Rush juga menyarankan terapi air, terapi uap, serta jaket kekang (straightjacket). Meskipun teorinya tersebut salah, dan beberapa alat yang diciptakannya dianggap sangat stigmatif jika dipandang dari sudut pandang kesehatan jiwa mutakhir, namun Rush berhasil menyerukan pentingnya perbaikan dalam perawatan kejiwaan di negara bagian Pennsylvania pada waktu itu, yang juga mampu membuatnya membangun rawat inap dengan kondisi yang lebih baik pada tahun 1792.
Abad ke-18 hingga abad ke-20
Terapi moral atau dalam Bahasa Perancisnya traitement moral, adalah sebuah istilah yang secara umum dinisbatkan kepada Philippe Pinel (1745–1826) daripada tokoh-tokoh yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena istilah ini dibuat oleh kepala Rumah Sakit Jiwa La Bicêtre di Paris, Perancis, tersebut.
Pinel lebih banyak menganggap bahwa alasan dari dilakukannya terapi moral adalah karena kewajiban moral, yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh keluarga Tuke di Inggris, yang berlandaskan pada alasan keagamaan, dan berbeda dengan pendapat William A.F. Browne (1805–1885) di Skotlandia, yang melandaskan dirinya pada latar biologis. Secara umum, istilah terapi moral yang dibuat oleh Pinel telah telah dipergunakan dalam makna yang bervariasi di Perancis dan secara internasional, baik oleh para tokoh yang sezaman dengan Pinel maupun pada masa setelahnya.
Mantan-pasien Jean-Baptiste Pussin dan istrinya Margueritte Pussin, dan dokter Philippe Pinel dianggap sebagai pelopor kondisi yang lebih manusiawi dalam perawatan di asilum di Perancis. Sejak dasawarsa 1780-an Pussin dirawat-inap di Rumah Sakit Jiwa La Bicêtre, yang merupakan sebuah asilum di Paris, bagi pasien laki-laki. Pada tahun 1792 (yang tercatatkan secara resmi pada tahun 1793), Pinel menjadi pimpinan para dokter di Bicetre. Pussin menunjukkan kepada Pinel bahwa mengetahui kondisi pasien berarti mereka dapat dikelola dengan simpati dan sikap baik sebagaimana juga pemberian wewenang dan hak pengendalian diri yang lebih besar kepada para pasien tersebut.
Pada tahun 1797, untuk pertama kalinya Pussin membebaskan para pasien dari perantaian mereka dan menangguhkan hukuman-hukuman fisik, meskipun jaket ketat (straitjacket) masih dapat dipergunakan. Para pasien diperbolehkan untuk bergerak secara bebas di pelataran rumah sakit, dan ruang bawah-tanah yang gelap digantikan dengan ruangan-ruangan yang diterangi oleh sinar matahari dan berventilasi baik.
Pendekatan Pussin dan Pinel dilihat sebagai keberhasilan yang luar biasa, dan kelak mereka membawa reformasi yang sama pada Rumah Sakit di Paris untuk pasien perempuan yang bernama La Salpetrière. Salah satu murid Pinel, dan penggantinya sebagai pimpinan para dokter kemudian, Jean Esquirol (1772–1840), mendirikan 10 Rumah Sakit Jiwa yang baru yang beroperasi dengan prinsip utama yang sama.
Terapi moral ini kelak menemukan momen yang sangat pentingnya ketika Dorothea Dix (1802–1887) di Amerika Serikat menyaksikan sangat banyaknya kondisi yang teramat buruk dalam rawat-inap kejiwaan, yang menyebabkannya tidak hanya mengkritik dengan sangat lantang mengenai hal itu, namun juga mendirikan 32 Rumah Sakit yang menerapkan konsepnya mengenai kesehatan jiwa yang lebih baik.
Seiring dengan industrialisasi, asilum bertambah jumlahnya dan ukuran bangunan-bangunannya diperbesar. Terkait dengan hal ini adalah pengembangan sistem pengelolaannya, sehingga memungkinkan para pasien rawat-inap untuk dikumpulkan dalam jumlah banyak. Pada akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, asilum-asilum semacam ini, yang pada umumnya berada di luar kota, telah menjadi sangat menurun kualitas perawatannya. Ruangan-ruangannya yang penuh-sesak dengan para pasien menjadi permasalahan yang umum ditemui di banyak asilum. Sebagai contoh data, pada tahun 1827 rata-rata jumlah penghuni setiap asilum di Inggris Raya (Britania) adalah 166 orang, yang bertambah menjadi 1.221 orang pada tahun 1930.
Prinsip-prinsip dari terapi moral yang menggaungkan perawatan yang baik dan bersifat kekeluargaan, menjadi terabaikan. Teknik-teknik pengobatan yang semula manusiawi menjadi jatuh kualitasnya menjadi hanya sebuah lembaga tanpa pertimbangan pikiran serta hanya menjalankan rutinitas belaka, dengan struktur di dalamnya yang otoriter alih-alih bersikap ramah terhadap para pasien.
Pertimbangan mengenai pembiayaan secara cepat menggantikan idealisme. Asilum/rumah sakit jiwa tidak lagi merupakan sesuatu yang mencerminkan suasana keluarga dalam sebuah rumah seperti yang disarankan oleh gerakan terapi moral, namun menjadi sangat menurun kualitas suasananya menjadi serba-terabaikan dan minimalis. Menjadi ada penerapan yang sangat kuat dalam hal keamanan, penahanan, dinding-dinding yang tinggi, pintu-pintu yang selalu tertutup, pengasingan dari masyarakat, dan pengekangan secara fisik. Tercatat dalam sejarah bahwa hanya ada kegiatan terapeutik yang sangat sedikit, obat lebih dianggap sebagai menjalankan kepentingan administratif saja, serta hanya untuk menangani gejala-gejala yang sifatnya fisik alih-alih merupakan sebuah terapi untuk gangguan kejiwaan.[38] Harapan akan munculnya kondisi-kondisi untuk perawatan kejiwaan yang lebih baik telah terhancurkan sama sekali karena kondisi-kondisi yang demikian.
Pada pergantian abad ke-20, banyak rumah sakit menjadi sangat mirip dengan gudang penyimpanan.[39] Setelah abad ke-20 berjalan barulah ada perbaikan dalam hal kualitas di berbagai rumah sakit - rumah sakit tersebut. Kondisi pada rumah sakit swasta dengan tarif yang lebih mahal pada umumnya lebih baik. Hingga waktu tersebut, para pasien yang kurang mampu tidak akan dimasukkan ke rumah sakit swasta tersebut, namun akan ditempatkan dalam bangunan yang besar, penuh-sesak, dan secara fisik terasing dari masyarakat, yang tidak menawarkan pengobatan apapun.
Clifford Beers (1876-1943), salah satu orang dengan gangguan jiwa yang pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa dengan kualitas yang buruk seperti itu, menulis A Mind that Found Itself (1908), yang menggugah banyak orang untuk mengubah kondisi-kondisi dalam perawatan kejiwaan yang semacam itu. Pada masa-masa inilah lahir sebuah istilah yang disebut sebagai mental hygiene (sanitasi jiwa) yang merupakan istilah yang kelak berkembang menjadi kesehatan jiwa.[40]
Mulai abad ke-19
Pada tahun 1845, psikiater Jerman Wilhelm Griesinger (1817–1868) menerbitkan buku patologi dan terapi gangguan jiwa, yang menyajikan argumen sistematis bahwa semua gangguan jiwa bisa dijelaskan dalam cakupan penyakit otak.[41] Pada tahun 1883, salah satu pengikut Griesinger, Emil Kraepelin (1856–1926), juga menerbitkan buku ajar yang menekankan pentingnya kelainan pada otak tehadap gangguan jiwa. Kraepelin juga mengembangkan penggolongan gangguan jiwa yang menjadi dasar bagi panduan di era modern.
Pada tahun 1896 Kraepelin menemukan istilah dementia praecox (kemunduran pikiran di usia dini) yang menjadi dasar bagi konsep skizofrenia yang ditemukan (1908) oleh Eugene Bleuler (1857-1939). Dalam karyanya Dementia Praecox, or Group of Schizophrenias,[44] Bleuler membantah Kraepelin bahwa perjalanan penyakit ini selalu memburuk seiring berjalannya waktu, meskipun ia juga berpendapat selaras dengan Kraepelin bahwa ada hal-hal dalam skizofrenia yang berlandaskan biologis. Risalah Bleuler yang diperluas dari waktu ke waktu alih-alih disimpulkan dan diringkasnya, telah menimbulkan kerancuan penafsiran di mata para pembacanya mengenai makna harfiah skizofrenia itu sendiri.[45] Tafsiran-tafsiran media massa pada masa-masa awal gangguan ini mulai ramai dibicarakan di Amerika Serikat telah menyebabkan pemahaman bahwa skizofrenia itu berarti kepribadian yang terbelah (dari Bahasa Yunani schizo- "terbelah" dan phren yang artinya "pikiran") alih-alih terpisah-pisahnya proses-proses pikiran, perasaan, dan perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Bleuler kemudian.[46]
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang paling banyak diperdebatkan di sepanjang masa. Meskipun pengetahuan secara umum mengerucut dan membuahkan kesimpulan akan gangguan dengan jenis yang tidak lebih dari 5 macam [yaitu subtipe paranoid, hebefrenik, katatonik, sengkarut (disorganized), dan tidak terbedakan]. Namun perdebatan ilmiah di balik semua itu selama seabad lebih hingga saat ini tidak menggambarkan kondisi yang demikian.[45] Skizofrenia, hingga saat ini, adalah salah satu misteri dalam kesehatan jiwa yang terus menjadi pertanyaan dengan jawaban yang tidak tertuntaskan, meski teknologi tinggi untuk pendeteksian masalah biologis otak telah jauh lebih maju dibandingkan ketika Kraepelin pertama kali menerbitkan risalah kedokterannya mengenai gangguan ini.[7]
Kelak pada penerbitan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM 5) oleh Asosiasi Psikiater Amerika (APA) pada tahun 2013, macam-macam jenis skizofrenia tersebut dihapuskan, karena dianggap tidak menggambarkan pengelompokan alamiah dari penyakit skizofrenia tersebut. Katatonia yang semula merupakan subtipe dari skizofrenia dijadikan sebuah penggolong penyakit yang lebih luas, alih-alih sebuah jenis penyakit yang berada di bawah judul skizofrenia.[47]
Mulai akhir abad ke-18
Jean-Martin Charcot (1825–1893), neurolog terkemuka yang menjadi kepala rumah sakit La Salpetrière di Paris pada masa ini, menentang pendapat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan pada otak. Charcot terkesan dengan kasus hysteria[48] yang berakar pada gangguan psikis. Hal itu menjadikannya sebagai peneliti terkemuka dalam hal perilaku abnormal disebabkan oleh gangguan psikis.
Salah satu murid Charcot, Sigmund Freud (1856–1939), percaya bahwa sebagian besar sisi kehidupan manusia tersembunyi dalam wilayah bawah sadar. Bersama Josef Breuer (1842–1925), ia kemudian menemukan bahwa pasien yang bicara secara bebas ketika dihipnosis akan mengalami pelepasan emosi yang akan mengurangi beban dari gangguan yang dialaminya. Breuer dan Freud kemudian menerbitkan sebuah publikasi yang menjadi dasar dari psikoanalisis (analisa jiwa) yang menekankan aspek bawah sadar pada kehidupan manusia.
Mulai abad ke-19
Ilmuwan amerika, John B. Watson (1878–1958) menolak menyelidiki pikiran dan perasaan sebagai latar dari berbagai permasalahan psikologis, karena menurutnya pikiran dan perasaan bukanlah sesuatu yang bisa diamati. Watson hanya melakukan penelitian pada hal-hal yang konkret pada makhluk hidup misalnya perbuatan manusia yang kasat mata atau sekresi kelenjar dalam tubuh hewan sebagai respon dari sesuatu.[49]
Watson adalah orang yang percaya bahwa berbagai masalah kejiwaan hanya timbul dari proses penyesuaian dengan sesuatu yang diterima dari sekitarnya. John Watson kemudian mendirikan behaviorisme, sebuah mazhab psikologi yang tidak percaya pada adanya jiwa, dan yakin bahwa diri manusia hanyalah sebuah kotak yang bereaksi terhadap segala rangsang dari luar.
John Watson terkenal dengan ucapannya:
Berikan padaku selusin bayi sehat yang tanpa cacat, dan dunia yang bisa aku bentuk, maka aku akan jamin mereka akan jadi ahli apapun yang diinginkan – dokter, pengacara, saudagar, bahkan pengemis dan pencuri, tanpa peduli pada apapun bakat, kecenderungan, kemampuan, dan ras dari leluhurnya.[49]
Meskipun para ilmuwan behaviorisme kadang-kadang tidak sepakat dengan para ilmuwan dari aliran ilmu jiwa lain yang juga berlandaskan pada aspek biologis, namun secara keseluruhan behaviorisme adalah salah satu penyumbang utama dalam ilmu kesehatan jiwa yang berlandaskan pada fisik.
Mulai 1950
Pada tahun 1950 ditemukan Thorazine (chlorpromazine), obat yang terbukti dapat menyembuhkan halusinasi pada orang dengan gangguan jiwa. Memungkinkan banyak sekali pasien yang telah tinggal lama di rumah sakit menjadi dipulangkan. Temuan Thorazine telah menginspirasi banyak ilmuwan untuk menemukan banyak obat kesehatan jiwa yang lain. Dan telah meyakinkan banyak orang bahwa gangguan pada otak memang memiliki peranan dalam terbentuknya gangguan jiwa, serta juga telah memperkuat keteguhan banyak orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya, bahwa gangguan jiwa ternyata dapat dipulihkan, sehingga mereka dapat kembali hidup di masyarakat.
Mulai 1950-an
Pada tahun 1950-an, sejumlah psikolog menentang behaviorisme dan lebih percaya bahwa ada proses dalam diri manusia antara rangsang dan respon. Sejak tahun 1970-an ilmu psikologi mulai menitikberatkan pada studi kognisi (daya pikir) manusia yang lebih dalam daripada apa yang dilakukan oleh John B Watson dan kawan-kawan.
Di kemudian hari, penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan kognitif terhadap daya pikir manusia ini kelak menimbulkan kesimpulan-kesimpulan bahwa daya pikir manusia itu mirip komputer. Sebagai akibatnya maka kesimpulan-kesimpulan dari penelitian ini dijadikan sebagai landasan pembuatan peranti lunak (software) dan peranti keras (hardware) yang merupakan tiruan dari pikiran dan otak manusia tersebut. Teknologi ini kini dinamakan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang kini sudah merupakan sebuah wujud nyata.
Kecerdasan buatan pada masa pasca-modern ini, banyak digunakan sebagai pengganti manusia, karena mereka dapat berpikir selayaknya manusia dengan kecepatan yang berlipat-lipat. Uji dengan permainan (game) yang dilakukan di berbagai negara terhadap kecerdasan buatan ini, telah menunjukkan bahwa hasil penelitian paduan antara psikologi dan teknologi-tinggi ini dapat bersaing dengan manusia yang merupakan para pemain game yang sangat berpengalaman.
Mulai dasawarsa kedua abad ke-21, kecerdasan buatan mulai banyak diterapkan kepada berbagai aplikasi yang sifatnya publik, misalnya asisten daring (online assistant) dalam telepon genggam, serta menjadi memungkinkan dibuatnya mobil yang dapat menyetir sendiri (self-driving cars). Kecerdasan buatan juga telah digunakan untuk meraih lalu-lintas pengguna (traffic) yang lebih tinggi pada aplikasi web media sosial.
Mulai 1960-an
Sekitar tahun 1960, gerakan besar dan kuat yang bernama gerakan hak-hak pasien muncul yang berpendapat bahwa pasien jiwa dapat pulih secara penuh atau hidup lebih memuaskan jika mereka terintegrasi dengan masyarakat, dan hidup dengan dukungan dari masyarakat. Banyak dari pasien ini membutuhkan dukungan yang lebih, tapi itu dapat dilakukan oleh pusat terapi di sekitar mereka daripada dalam rumah sakit yang besar dan impersonal. Di Amerika Serikat, gerakan kesehatan jiwa komunitas secara resmi dideklarasikan oleh Presiden John F. Kennedy sebagai “pendekatan baru” dalam perawatan kesehatan jiwa dengan diundangkannya The Community Mental Health Act of 1963.[50]
Beberapa jenis fasilitas terapi yang berbasis komunitas dibuat pada waktu ini, yang kemudian dinamakan pusat kesehatan jiwa komunitas. sering kali mencakup pekerja sosial, terapis, dan dokter yang memimpin perawatan. Rumah antara menawarkan lingkungan yang mendukung bagi mereka yang keluar dari rumah sakit tapi belum siap untuk tinggal di masyarakat. Pusat kegiatan di siang hari memungkinkan orang dengan gangguan jiwa untuk menerima terapi di siang hari dengan terapi keterampilan dan rehabilitatif, tapi tetap pulang ke rumah pada malam hari.[50][51] Diberlakukannya The Community Mental Health Act of 1963 membawa perubahan yang sangat dramatik dalam perawatan kesehatan jiwa.[51]
Dalam gerakan pembelaan terhadap orang dengan gangguan jiwa, para pengalam (orang-orang yang mengalami gangguan jiwa) menyebut diri mereka ke dalam dua istilah yang berbeda. Yang pertama menyebut diri mereka sebagai penyintas kesehatan jiwa (mental health survivors), karena mereka kecewa terhadap psikiatri dan kesehatan jiwa dalam beberapa hal. Mereka adalah individu-individu yang telah selamat (survived) dari pengobatan psikiatrik. Sementara yang menyebut dirinya sebagai konsumen kesehatan jiwa (mental health consumers) menganggap dirinya masih merupakan pengguna layanan sistem kesehatan jiwa.[8]
Pasien kesehatan jiwa dari abad ke-19 mulai melakukan upaya-upaya untuk melakukan perubahan terhadap hukum dan kebijakan. Sebagai contoh, mulai tahun 1868, Elizabeth Packard, pendiri Anti-Insane Asylum Society, menerbitkan rangkaian buku dan pamflet yang menggambarkan pengalaman-pengalamannya di asilum Illinois di mana suaminya dirawat-inap di sana.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, beberapa dasawarsa berikutnya, Clifford W. Beers, mendirikan National Committee on Mental Hygiene, yang kemudian menjadi National Mental Health Association. Beers mencoba mencari cara untuk meningkatkan kondisi-kondisi buruk dari orang-orang yang menerima layanan psikiatrik publik, terutama mereka yang dirawat-inap di rumah sakit jiwa. Bukunya, A Mind that Found Itself (1908), menggambarkan pengalamannya akan penanganan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Karya Beers telah memicu kesadaran khalayak luas terhadap tanggung jawab yang lebih besar untuk perawatan dan pengobatan orang dengan gangguan jiwa.
Pada dasawarsa 1940-an, sekelompok mantan pasien jiwa mendirikan We Are Not Alone (WANA). Tujuan dari pendiriannya adalah untuk membantu mereka yang kesulitan kembali dari rawat-inap rumah sakit ke masyarakat. Upaya mereka mengarah kepada pendirian Fountain House, sebuah layanan rehabilitasi psikososial bagi orang-orang yang meninggalkan rumah sakit jiwa.
Pada dasawarsa tahun 1950-an terlihat adanya kemunculan dan menyebarluasnya penggunaan operasi otak (lobotomy) dan terapi kejut-listrik (electro-convulsive therapy). Ini telah dikaitkan dengan munculnya kepedulian yang sangat kuat dan perlawanan yang berlandaskan pada moralitas, efek samping yang membahayakan, atau penyalahgunaan.
Menuju dasawarsa 1960-an, obat-obatan psikiatrik menjadi menyebar-luas penggunaannya, yang menyebabkan kontroversi berkaitan dengan efek samping yang merugikan serta penyalahgunaannya. Juga terlihat adanya jalinan-jalinan kelompok pengalam gangguan jiwa yang menjauhi berbagai rumah sakit jiwa besar untuk beralih ke layanan yang berbasis masyarakat, yang kadang-kadang memperteguh para pengguna layanannya, meskipun layanan yang berbasis masyarakat sering kali kurang memadai.
Pada awal tahun 1960-an, gerakan pengalam kejiwaan secara vokal mulai mengubah klaim-klaim dan praktek-praktek fundamental yang dianggap salah dalam kesehatan jiwa. Awal dari gerakan konsumen kesehatan jiwa sering kali dinisbatkan kepada Howard Geld, or Howie the Harp, dan pendirian Insane Liberation Front di Portland, Oregon, pada tahun 1969. Banyak para penggagas lokal mengikuti untuk mendirikan, kebanyakan dari pendirian-pendirian lokal tersebut merupakan partisipasi langsung dari Howie sendiri. Sebagian besar berhutang kepada kefasihannya yang menyuarakan alternatif terhadap cara-cara pengobatan-pengobatan konvensional, dan menunjukkan keberhasilan dalam penggunaan pusat layanan yang dijalankan oleh rekan-sebaya (peer-operated service centers). Koalisi dari program-program semacam ini mengadakan pertemuan secara tahunan.
MindFreedom International dan World Network of Users and Survivors of Psychiatry juga telah memainkan peranan yang penting dalam gerakan penyintas kesehatan jiwa.
Pada dasawarsa 1970-an, gerakan perempuan dan gerakan hak-hak disabilitas telah mulai tumbuh. Dalam konteks ini para mantan pasien kesehatan jiwa mulai mengorganisasikan kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan utama memperjuangkan hak-hak pasien atas rawat-paksa, stigma dan diskriminasi[52], dan sering kali untuk mempromosikan layanan yang dijalankan oleh rekan-sebaya sebagai alternatif terhadap sistem kesehatan jiwa yang konvensional.
Tidak seperti layanan yang dijalankan oleh profesional kesehatan jiwa, yang biasanya berlandaskan pada model medis, layanan berbasiskan rekan-sebaya memegang prinsip bahwa individu-individu yang memiliki pengalaman yang mirip dapat membantu diri mereka sendiri dan juga membantu para penyintas lain melalui kegiatan swa-bantu dan dukungan yang saling menguntungkan (mutual support). Banyak dari individu yang mengelola kelompok-kelompok awal ini mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai penyintas kesehatan jiwa. Kelompok-kelompok mereka mengambil nama seperti Insane Liberation Front and Network Against Psychiatric Assault. Mereka melihat sistem kesehatan jiwa sebagai bersifat melemahkan diri mereka.
Pada dasawarsa 1980-an, individu-individu yang menganggap dirinya sebagai konsumen dari layanan kesehatan jiwa telah memulai mengelola kelompok-kelompok advokasi/kelompok swa-bantu dan menjalankan layanan yang dikelola oleh rekan-sebaya. Ketika berbagi tentang tujuan-tujuan dari gerakan-gerakan awal ini, konsumen tidak melakukan upaya-upaya untuk menghapuskan sistem kesehatan jiwa konvensional, yang mereka percaya sebagai masih dibutuhkan, namun mereka mencari cara untuk melakukan reformasi terhadapnya. Kelompok-kelompok konsumen menyemangati anggota-anggota mereka untuk mempelajari sebanyak mungkin mengenai sistem kesehatan jiwa sehingga mereka mampu untuk meraih akses menuju layanan dan pengobatan terbaik yang tersedia. Penerima layanan kesehatan jiwa menuntut kendali atas pengobatan dan mulai memiliki pengaruh terhadap sistem kesehatan jiwa di masyarakat. Mereka sering kali mempromosikan model pemulihan (recovery model) yang lebih memiliki ruang untuk pilihan-pilihan personal, alih-alih model medis (medical model) yang menganggap bahwa kebutuhan dari satu pengalam ke pengalam yang lainnya dianggap sama.
Apakah mereka menyebut diri mereka sebagai penyintas ataupun konsumen, para pengalam kejiwaan telah memulai sebuah perubahan yang sama. Dan jika dilihat dalam rangkaian sejarah kesehatan jiwa secara keseluruhan, maka wacana yang mereka lakukan telah menciptakan dialog dalam kerangka waktu, antara para penyembuh dan orang yang disembuhkan yang sifatnya paternalistik yang telah dimulai sejak zaman pra-sejarah, menjadi sebuah dialog di mana suara-suara para pengalam merupakan pertimbangan yang tidak boleh dilupakan gaungnya.
Meskipun Sejarah Kesehatan Jiwa merupakan jalan yang berliku-liku dan tidak setara perkembangannya dari satu tempat ke tempat lain. Namun bagi orang-orang yang terdampak langsung oleh gangguan jiwa, setidaknya secara global diri dan riwayat mereka sebagai bagian paling utama dalam Sejarah Kesehatan Jiwa, akhirnya telah dipulihkan.
Pengalam gangguan jiwa adalah bagian penting dalam Sejarah Kesehatan Jiwa yang tidak boleh dilupakan hak dan peranannya, kapanpun dan di manapun ia berada.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.