Loading AI tools
film Indonesia tahun 2016 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Istirahatlah Kata-Kata (bahasa Inggris: Solo, Solitude) adalah sebuah film drama biografi Indonesia tahun 2016 yang ditulis, disutradarai, dan diproduksi oleh Yosep Anggi Noen tentang aktivis dan penyair yang hilang, Widji Thukul.
Istirahatlah Kata-Kata | |
---|---|
Nama lain | Solo, Solitude |
Sutradara | Yosep Anggi Noen |
Produser | Yosep Anggi Noen Yulia Evina Bhara |
Ditulis oleh | Yosep Anggi Noen |
Pemeran | |
Penata musik | Yennu Ariendra |
Sinematografer | Bayu Prihantoro Filemon |
Penyunting | Andi Pulung Waluyo |
Perusahaan produksi | Limaenam Films KawanKawan Media Partisipasi Indonesia Yayasan Muara |
Tanggal rilis |
|
Durasi | 97 menit |
Negara | Indonesia |
Bahasa |
|
Film ini menceritakan kisah dramatis Widji Thukul, penyair yang karyanya dikenal kritis terhadap rezim Suharto di Indonesia. Ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada Juli 1996, Thukul tetap teguh dalam mengkritisi meski ada ancaman. Dia dikambinghitamkan oleh pemerintah sebagai provokator dan melarikan diri ke Pontianak dan tinggal di pengasingan selama 8 bulan.[1]
Film dibuka dengan narasi yang menerangkan tentang awal pembentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang melawan peraturan perundangan saat itu di mana ditetapkan bahwa hanya ada 3 partai yang diakui Negara. Pada kerusuhan tanggal 27 Juli 1996, PRD dan beberapa penggagasnya ditangkap serta dijadikan buron dengan tuduhan menciptakan kerusuhan dan ingin menggulingkan pemerintahan. Dari Solo, tempat tinggal Wiji Thukul dan Sipon, latar film bergeser beberapa ratus kilometer menuju Pontianak dan Sungai Kapuas. Bersama seorang dosen bernama Thomas, Thukul menumpang bersembunyi di rumahnya sambil mengakui bahwa ternyata lebih menakutkan melarikan diri dan bersembunyi seperti ini daripada terang-terangan melawan sekumpulan orang dengan senjata.
Film ini mengritik kentalnya budaya militer era Orde Baru dengan cara amat satir, cenderung lucu, dan cukup berbobot. Tokoh Udi yang digambarkan sedang mondar-mandir di kampung kecil dengan sepatu boots dan celana tentara, yang tidak pernah jelas ke mana tujuannya. Dia seperti agak memiliki gangguan jiwa dan suka menakut-nakuti warga bahwa jika ia membawa senjatanya, mereka akan ditembak. Tokoh tentara yang menjadi pelanggan tukang cukur rambut Mahmoud asal Sampang. Digambarkan, Wiji Thukul perlu mencukur rambut keritingnya untuk menyamarkan penampilan, sebelum ia beroleh identitas baru dengan nama Paul. Ketika sudah duduk siap dicukur oleh Mahmoud, mendadak ia diminta mengalah karena ada pelanggan lama berprofesi tentara yang harus didahulukan. Tentara ini dengan santai berkata bahwa merupakan sebuah kehormatan dapat mecukur rambut tentara, maka semestinya tidak perlu diminta bayaran.
Keseluruhan nuansanya yang sunyi dan introvert. Pada dunia hari ini yang ultra ekstrovert dan sungguh gegap gempita, setiap perkataan, dan puisi dan bunyi yang dipilih dengan saksama menjadi sangat langka. Wiji Thukul dulu menyuarakan perlawanan lewat karya-karya puisinya, sebagaimana Pramoedya Ananta Toer melalui tulisannya. Pada era sebelum reformasi itu, kritik lewat puisi saja sudah dianggap subversive. Orang-orang yang vokal dengan gagasan demokrasi substansi sapat dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Dan mereka yang tubuhnya bertato, bisa kena operasi petrus. Tembak di tempat karena dianggap preman yang meresahkan warga.
Menurut produser Yulia Evina Bhara, ide pembuatan film ini berawal dari inisiatif membuat mural penyair Indonesia yang ia ikuti bersama penulis Okky Madasari dan aktivis hak perempuan Tungal Pawestri.[2] Begitu dia memutuskan untuk memproduksi film tersebut, dia mempekerjakan Noen untuk memimpin proyek tersebut.[2]
Saat mengembangkan film, Noen membaca puisi Thukul dan bertemu dengan teman-temannya.[3] Penulis Mumu Aloha mengembangkan cerita sebelum Noen membuatnya menjadi skenario, setelah itu tim produksi memutuskan bahwa film tersebut akan fokus pada waktu Thukul saat diasingkan di Pontianak.[2]
Istirahatlah Kata-Kata ditayangkan perdana di Festival Film Locarno di Swiss pada 9 Agustus 2016.[4] Film ini menerima rilis teater terbatas di Indonesia beberapa bulan kemudian pada 19 Januari 2017.[2]
Menurut produser Yulia Evina Bhara, film tersebut telah mengumpulkan 51.424 penerimaan dalam bulan pertama peluncurannya di Indonesia.[2] Meskipun bukan kesuksesan komersial, Bhara mencatat bahwa jumlah tersebut mencerminkan penerimaan yang "luar biasa" dari penonton lokal untuk sebuah film independen.[2]
Dalam sebuah ulasan untuk Tirto, penulis Dea Anugrah mengkritik film tersebut karena menggambarkan Thukul sebagai seseorang yang "berpaling dari Jawa, arena utama politik dan budaya di Indonesia" sambil "bersembunyi dalam ketakutan".[5] Anugrah juga mengkritik karakter Ida yang disebutnya ngawur terhadap narasi film dan skenario filmnya sebagai "berlebihan".[5] Sementara juga memperhatikan fokus film pada ketakutan dan paranoia Thukul, Adrian Jonathan Pasaribu dari Cinema Poetica menulis bahwa "paranoia diterjemahkan dengan indah dalam tata bahasa visual film".[6] Berbeda dengan ulasan Anugrah, Pasaribu malah memuji film tersebut karena "tidak meromantisasi Thukul sebagai semacam manusia super y
yang terkadang tidak berdaya dalam perjuangannya melawan tirani dan ketidakadilan."[6]
Membahas "langkah yang sangat lambat dan kurangnya aksi dan dialog" dari film tersebut, Panos Kotzatanasi dari Asian Movie Pulse menyebut film tersebut "tidak mudah untuk ditonton", sementara juga mencatat bahwa "jika seseorang dapat mengatasi pembatasan ini" film tersebut "menemukan film yang sangat indah dan bermakna yang menyoroti manfaat 'slow cinema'.[7] Demikian pula, Clarence Tsui dari The Hollywood Reporter menyoroti "gambar surealis" dari "urutan panjang kehidupan quotidian" dari film tersebut.[8] Tsui lebih jauh membandingkan film tersebut dengan By the Time It Gets Dark karya Anocha Suwichakornpong yang "menawarkan refleksi pedih kemanusiaan yang diambil dari sejarah Asia Tenggara yang bergejolak baru-baru ini."[8]
Tahun | Penghargaan | Kategori | Penerima | Hasil |
---|---|---|---|---|
2016 | Locarno Film Festival | Filmmakers of the Present | Yosep Anggi Noen | Nominasi |
Filmfest Hamburg | Political Film Award | Istirahatlah Kata-Kata | Nominasi | |
Pacific Meridian International Film Festival of Asia Pacific Countries | Grand Prix | Nominasi | ||
QCinema International Film Festival | Pylon Award | Yosep Anggi Noen | Nominasi | |
Jogja-NETPAC Asian Film Festival | Golden Hanoman Award | Menang | ||
Festival Film Indonesia 2016 | Sutradara Terbaik | Nominasi | ||
Skenario Asli Terbaik | Nominasi | |||
2017 | Usmar Ismail Awards 2017 | Film Terbaik | Solo, Solitude | Nominasi |
Sutradara Terbaik | Yosep Anggi Noen | Menang | ||
Pemeran Utama Pria Favorit | Gunawan Maryanto | Menang | ||
Piala Maya | Aktor Utama Terpilih | Nominasi | ||
Aktris Utama Terpilih | Marissa Anita | Nominasi | ||
ASEAN International Film Festival and Awards | Special Jury Awards (Bersamaan dengan Ziarah - BW Purbanegara) | Yosep Anggi Noen | Menang | |
Asian Film Festival Barcelona | Official Section Award (Best Film) | Nominasi |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.