Remove ads
penata tari Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Huriah Adam (6 Oktober 1936 – 10 November 1971 ) adalah seorang koreografer Indonesia. Ia mulai terkenal setelah pementasan tari kreasinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1968. Ia banyak menggali kekayaan tari Minang dan memadukannya dengan gerakan silat. Ia mengangkat gerakan dari tari-tari Minang seperti tari sewah, tari adau-adau, tari piring, dan tari indang. Tarian-tarian kreasi Huriah menyebar ke banyak sanggar tari Minangkabau dan sering diajarkan di sekolah-sekolah baik di Jakarta maupun di Sumatera Barat.[1]
Huriah Adam | |
---|---|
Lahir | Kota Padang Panjang | 6 Oktober 1936
Meninggal | 10 November 1971 35) Pulau Katang-Katang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat | (umur
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Penata tari |
Suami/istri | Ramudin |
Orang tua | Adam B.B. |
Keluarga | Mohammad Ichlas, Murnihati, Mohammad Jujur, Suci Hati, Rela Hati (anak) |
Selain sebagai penari, Huriah merupakan seorang pelukis dan pemahat. Beberapa lukisannya dikoleksi oleh pecinta seni, sementara hasil pahatannya yang terkenal adalah Tugu Pahlawan Tak Dikenal di Bukittinggi. Huriah baru berusia 35 tahun ketika ia meninggal dalam kecelakaan pesawat pada 10 November 1971, yang jatuh ke laut di lepas pantai Sumatera Barat.[2]
Secara anumerta, Huriah mendapatkan Anugerah Seni dari Presiden Soeharto pada 1977 dan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011.[3]
Lahir pada 6 Oktober 1936 di Padang Panjang, Huriah merupakan putri seorang ulama Minangkabau, Syekh Adam Balai-Balai. Ayahnya dikenal sebagai ulama yang memiliki minat dalam mengembangkan kesenian di Minangkabau. Madrasah Irsadin Naas (MIN), sekolah yang didirikan Syekh Adam di Padang Panjang, memiliki pelajaran kesenian dengan menghadirkan guru silat dan guru tari serta menyediakan tempat untuk latihan kesenian untuk murid-murid.[4]
Kegiatan kesenian menjadi ciri dari keluarga Syekh Adam. Ia mendukung anak-anaknya yang berminat terhadap seni. Huriah merupakan anak perempuan satu-satunya.[5] Tiga dari lima saudara Huriah Adam, yaitu Bustanul Arifin, Irsjad, dan Achyar, memilih mendalami dunia musik—bahkan Bustanil dan Irsyad walau lahir tunanetra, tetapi berhasil meraih beasiswa belajar musik di Royal Conservatory of The Hague di Brussel. Tidak seperti kebanyakan saudaranya yang mengarahkan perhatian ke bidang musik, Huriah menekuni bidang tari, seni lukis, dan seni pahat.[6][5][3]
Bagi Huriah, sosok ayah adalah pembuka jalan pengabdiannya kepada seni. Melihat bakat Huriah dalam menari, Syekh Adam melengkapi MIN yang dipimpinnya dengan pentas dan ruangan latihan khusus. Di MIN, Huriah memulai kegiatannya sejak ia masih kecil. Pada 1943, Huriah mulai mengikuti ruang-ruang pendidikan kesenian di Gedung Kebudayaan Padang Panjang yang dipimpin Muhammad Sjafei, pendiri INS Kayutanam. Di sini, ia mula-mula belajar kepada beberapa orang guru: yakni mata pelajaran melukis dengan Nurdin, seni musik dengan Ramudin, seni mematung dengan Syahbuddin, dan seni tari dengan Syofyan Naan. Ramudin yang merupakan guru musik Huriah, adalah seorang pemain biola, yang kelak menjadi suaminya.[7][5]
Setelah lulus SMP di Padang Panjang pada 1951, Huriah mulai belajar kepada guru silat dan tari tradisional Pakih Nandung. Dari Pakih Nandung, Huriah banyak menggali kekayaan tari Minang dengan gerakan dari silat. Huriah belajar selama tiga tahun kepada Pakih Nandung. Lebih dari 12 jenis tari Minang tradisional telah dipelajari dan diwarisinya dari guru yang sudah hampir mencapai usia seabad waktu itu. Di antaranya: tari sewah, tari sijundai, tari alang bentan, tari adau-adau, tari pado-pado, tari adok, tari padang, tari piring, tari sibandi-udin, dan tari gelombang. Semuanya itu dikuasainya dengan baik. Dalam diploma yang diberikan kepada Huriah Adam, Pakih Nandung memberi catatan bahwa Huriah Adam "telah mencapai nilai yang terbaik" dari seluruh siswa yang pernah diajarkannya. Huriah bersama gurunya itu kelak mengembangkan tari Minang dalam bentuk komposisi-komposisi yang mengikuti selera zaman tanpa menghilangkan motif keasliannya.[8][9][10]
Tamat dari INS Kayutanam, Huriah sempat hijrah ke Yogyakarta pada 1955 untuk memperdalam ilmu seninya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).[11] Namun, sebelum sempat menamatkan studinya, Huriah kembali ke Padang Panjang dan menikah dengan guru biolanya, Ramudin, tepatnya pada 1 Januari 1957.[1] Kegiatan keseniannya tidak terhenti setelah pernikahannya. Ramudin menjadi pendorong baginya dalam berkarya sesuai dengan yang dicita-citakannya.[12]
Pada 1957, Huriah menikah dengan Ramudin. Sejak menikah, ia selalu dibimbing oleh suaminya untuk latihan dan mengadakan pertunjukan. Pada 1958, ia diangkat menjadi anggota DPRD Sumatera Barat mewakili golongan seniman dan menjabat sampai 1963.[13][14]
Dalam suasana pertikaian akibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Huriah dan timnya mengadakan pertunjukkan ke segala pelosok desa di Sumatera Barat. Tim kesenian Huriah mengadakan pertunjukan untuk pertama kali pada tanggal 8 Mei 1958 di Kota Bukittinggi, empat hari setelah Angkatan Perang Republik Indonesia membebaskan Kota Padang Panjang dari pendukung PRRI.[10] Ia tercatat telah mengadakan pertunjukkan sebanyak 112 kali.[13][5]
Pada 1963, ia memimpin tim tari yang akan memeriahkan Ganefo di Jakarta sebagai perwakilan tim kesenian Sumatera Barat. Walaupun panitia Ganefo membatalkan keberangkatan, tim tari Huriah tetap datang mengikuti seleksi dan terpilih. Tim kesenian Sumata Barat yang berintikan rombongan tari Huriah Adam terpilih sebagai salah satu dari tiga daerah yang lolos dan tampil dalam Indonesia Cultural Evening di Istana Olahraga Bung Karno. Dalam pertunjukannya, tim tari Huriah membawa tiga tarian utama yakni: tari sandang pangan, tari nina bobok, dan tari nelayan. Sukses pertunjukkan Ganefo membuat tim tari Huriah mendapatkan banyak permintaan pertunjukkan di Jakarta. Namun, Huriah dan timnya memutuskan untuk pulang dulu ke Sumatera Barat.[15]
Usai penumpasan Gerakan 30 September PKI, Huriah vakum dari dunia tari. Untuk sementara, ia mengisi waktu dengan melukis sekaligus untuk mencari nafkah bagi rumah tangganya. Saat itu, Huriah sudah memiliki anak. Pada 1968, Huriah memutuskan pindah ke Jakarta. Syamsidar dalam buku Huriah Adam: Hasil Karya dan Pengabdiannya menulis, Kota Padang Panjang terlalu sempit untuk pengembangan kariernya. "Hampir tak ada yang tahu bagaimana getir hatinya waktu meninggalkan tanah kelahiran, ia merasa asing tak dimengeri bahkan seolah tak direrima oleh sementara lapisan masyarakat."[16]
Di Jakarta, Huriah mendirikan Bengkel Tari di Taman Ismail Marzuki. Pada 1970, ia mengikuti Expo '70 di Osaka, Jepang menyertai rombongan Indonesia yang dipimpin oleh Sampurno, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Direktorat Pembinaan Kesenian, Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam rombongan, ikut sebanyak 63 orang penari dari berbagai daerah, termasuk Huriah dan beberapa anggota timnya. Dalam pertunjukkan di Osaka, tim Huriah membawakan tari lilin, tari piring, dan tari payung.[16]
Di Jakarta, Huriah banyak menghasilkan karya-karya populer, di antaranya yang terkenal adalah sendratari Malin Kundang dalam tiga babak. Selain itu, ia mengkreasikan tari-tari pendek, seperti: tari payung, tari pedang, tari rebana, dan tari sepasang api jatuh cinta.[17]
Pada 1971, ia mulai menjadi pengajar tari pada mata kuliah tari untuk Akademi Teater Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang. Tugasnya mengajar di dua kota ini membuat Huriah bolak-balik naik pesawat.[5]
Pagi 10 November 1971, Huriah berencana pulang berlebaran di kampung halamannya, Padang Panjang. Menggunakan pesawat, Huriah menurut rencana akan berangkat dengan pesawat Garuda, tetapi sesampai di Bandar Kemayoran, penerbangan pesawat Garuda dibatalkan dan Huriah menyetujui pindah pesawat ke Merpati. Dalam perjalanan menuju Bandara Tabing di Padang, pesawat yang ditumpanginya jatuh di Samudra Hindia. Huriah hilang bersama 68 orang di dalam pesawat.[2]
Sepanjang hidupnya, Huriah banyak menulis sajak-sajak.[18] Beberapa bulan sebelum akhir hayatnya, ia berkata kepada rekannya, "Aku tak ingin mati dikubur. Aku ingin mati hilang begitu saja."[19] Dalam sajaknya bertanggal 24 Maret 1963, Huriah menulis, "Tempat terakhir takkan dapat dicari. Tempat yang begitu nyaman sejuk. Berjuta makhluk berusaha mencari."[2]
Sepeninggal Huriah, namanya diabadikan untuk bengkel tari di Taman Ismail Marzuki. Yayasan Pembina Pembangunan Sumatera Barat di bawah pimpinan Nelly Adam Malik, istri Adam Malik membuka "beasiswa Huriah Adam" yang diberikan kepada "putri-putri Minang yang berbakat dan ingin meneruskan pendidikannya di bidang seni tari".[8]
Pada Mei 1977, Presiden Soeharto menyematkan penghargaan Anugerah Seni untuk Huriah atas jasa-jasanya di bidang kesenian. Huriah dianggap menjalankan amanah MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 Bab III tentang Kebudayaan pada Pasal 12 yang berbunyi, "Perkembangan kebudayaan nasional Indonesia supaya mengarahkan pembinaan kesatuan kebudayaan Indonesia yang bersumber pada kebudayaan daerah, daerah yang bermacam ragam dan kaya raya, serta dapat menerima kebudayaan daerah luar, yang bersifat memperkaya dan mempertinggi kebudayaan nasional."[20]
Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Bintang Budaya Parama Dharma untuk Huriah.[3]
Tari ciptaan Huriah didasarkan pada gerak pokok tari dan pencak Minang asli.[21] Anasir-anasir tari Minang disesuaikan dan diisi dengan unsur tari daerah lain seperti Jawa, Bali, Palembang, dan tari-tarian daerah lainnya hingga menuju tari nasional. Ia mengolah tari agar mudah dimengerti, selalu indah geraknya dan dapat disesuaikan dengan cita-cita "Satu Bangsa dan Satu Kebudayaannya". Asimilasi ini bermaksud memperkaya dan memperindah tari nasional dengan kombinasi serta diiringi biola sebagai selingan rabab. Demikianlah tari-tari daerah yang pada umumnya tertidur nyenyak dibangunkannya kembali dengan menyesuaikan teori dengan panggilan zaman.[22]
Ketika Tanah Air dilanda oleh semacam kelatahan mencari apa yang disebut "Kepribadian Nasional", Huriah Adam pernah menyusun konsep sepanjang 28 halaman folio yang diberi judul "Membina Pribadi". Konsep ini pernah dikirim kepada Presiden Sukarno tetapi tidak pernah dipublikasikan. Di dalamnya, ia menuangkan pikiran terutama tentang seni dan kepribadian nasional.[23][3]
Tiga tari Huriah dipertunjukkan dam pertunjukkan Indonesia Cultural Evening yang merupakan rangkaian acara Ganefo di Istana Olahraga Bung Karno pada 1963. Ketiga tari tersebut merupakan tari kreasi yakni: tari nina bobok, tari nelayan, dan tari sandang pangan
Tari nina bobok menggambarkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Ketika kesibukan kerja, seorang ibu harus menghentikan pekerjaan yang tengah mereka hadapi untuk meninabobokkan anaknya. Selanjutnya, tari gotong royong atau tari nelayan menampilkan gerakan silat utamanya gerakan tangan, kaki, dan mata untuk melukiskan kehidupan nelayan yang mencari ikan dengan pukat dan menikmati hasilnya secara bersama-sama. Tari ini dibawakan oleh enam orang terdiri dari laki-laki dan wanita yang memakai celana dan baju silat. [24]
Adapun tari sandang pangan memperlihatkan kehidupan petani mulai dari turun ke sawah, mencangkul, menyemai benih, menutupnya dengan tanah, membajak, menguil, dan bertanam. Para petani menyabit padinya, mengirik, menampi, memisahkan antara yang beras dengan yang hampa, memasukannya ke dalam kerung, dan setelah kering diikit untuk segera dibawa pulang. Tari ini dibawakan oleh tujuh orang perempuan. Sebelumnya, tari sandang pangan telah dipentaskan di Festival Tarian Seluruh Indonesia di Bandung pada 1960 dan dinyatakan sebagai pemenang terbaik kedua.[25]
Tari lain Huriah Adam yakni tari payung yang melukiskan pengantin baru yang tengah berbulan madu, tari barabah yang menggambarkan seekor burung barabah, dan tari sekapur sirih menampilkan gerakan penyambutan tamu dengan menyadaeh sirih kepada tamu. Tari sekapur sirih dibawakan lima orang perempuan dengan pakaian adat baju kurung dan tikuluak tanduk.[26] Tari terakhir yang diciptakan Huriah adalah tari sepasang api dan tari sijundai. Tari sijundai pernah dibawakan oleh Sukmawati Soekarnoputri.[27]
Selain tari, Huriah menciptakan sendratari Malin Kundang yang menjadi salah satu koreografi terakhir yang diciptakan Huriah Adam. Gerakannya mengombinasikan gerak Minang dan gerak balet. Sendratari ini pertama kali dipentaskan pada di Taman Ismail Marzuki, Jakarta sebelum dipentaskan di Padang Panjang dan Padang, Sumatera Barat.[28]
Huriah telah menghasilkan belasan karya sebagai pelukis. Kebanyakan karya lukisnya mengambil tema keindahan alam Sumatera Barat seperti pemandangan Lembah Anai, Tabek Patah, Danau Singkarak, Danau Maninjau, dan Bukit Kapur di Padang Panjang.[29] Sebagai pemahat, hasil karyanya adalah Tugu Pahlawan Tak Dikenal di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Tugu ini dikerjakannya saat ia sudah memiliki empat orang anak. Pelatakan batu pertamanya dilakukan pada 15 Juni 1963 oleh A. H. Nasution dan diresmikan pada 20 Mei 1965.[30]
Huriah dianggap sebagai seorang pemberontak, mendobrak tradisi-tradisi yang terlalu ketat di lingkungan masyarakat daerahnya, Minangkabau. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau, seorang perempuan dipandang tidak pantas menari di depan umum.[13] Kritik-kritik yang ditujukan sebagian masyarakat Minang terhadap tari ciptaan Huriah dihadapinya dengan sadar dan konsekuen.[31] "Kalau dia seorang Bali, Jawa, Sunda, itu biasa. Tapi, dia seorang Minang," ujar Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Djajakusuma mengungkapkan kekaguman kepada Huriah.[32]
Majalah Aneka Minang edisi Januari 1972 menulis, "nasib yang dialami oleh Huriah Adam sama dengan nasib seniman-seniman besar lainnya. Ia baru dibicarakan dan dihargai orang setelah wafat." Di tangan Huriah, tari Minang menjadi satu bagian yang berarti dalam pengayaan budaya nasional.[8]
Syamsidar dalam buku Huriah Adam: Hasil Karya dan Pengabdiannya menulis Huriah sebagai "sosok pemimpin yang rela mengorbankan haknya untuk anak buahnya". Ia ikhlas mengerjakan tugas berat bahkan rela tidak menerima haknya demi mewujudkan satu kerja sama. "Kalau grupnya dapat uang setelah mengadakan pertunjukkan, maka uang itu 100% untuk anak buahnya, dibagi-bagi menurut kepandaian anak buahnya." Huriah baru mau menerima haknya dari karya yang dikerjakannya secara pribadi seperti dalam melukis dan memahat.[33] Dalam bergaul, Huriah dapat memimpin "orang buta untuk menghembuskan lesung, orang pincang untuk menumbuk padi, dan orang tuli untuk meletuskan meriam" layaknya pepatah Minang.[33]
Pelukis Maria Cui mengenang Huriah sebagai "perempuan yang sederhana, tidak terikat kepada kebendaan, sangat terbuka, dan berjiwa sosial".[34] Sukmawati Soekarnoputri yang pernah membawakan tari sijundai karya Huriah melihat sosoknya sebagai "perempuan yang gigih menjalankan prinsip dan keinginannya". Dalam pandangannya, Huriah telah menjadi bagian dari perkembangan seni budaya nasional pada umumnya.[35]
Sardono W Kusumo mengatakan penampilan Huriah merupakan "pantulan dari kepercayaan diri yang kuat". Untuk pribadinya, Sardono menyebut Huriah termasuk "orang yang radikal dan sanggup berdiri dalam kesenian itu sendiri".[36]
Huriah merupakan ibu bagi lima orang anak, yakni Muhammad Ikhlas, Murniati, Muhammad Jujur, Sucihati, dan Relahati.[37]
Berikut tari-tari yang diciptakan dan dipentaskan oleh Huriah Adam:[38]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.