Loading AI tools
salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2014 Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Hukuman mati adalah salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2014[1]. Hukuman ini berlaku untuk kasus Pembunuhan terencana, korupsi, terorisme, Narkoba, dan perdagangan obat-obatan terlarang[2]. Eksekusi Hukuman mati tersebut dilakukan oleh regu tembak Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2010 yang berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob, terutama karena kejahatan terkait pemakai dan pengedar Narkoba serta Korupsi[1][3].
Hukuman mati akan dilaksanakan setelah permohonan grasi tersangka ditolak oleh pengadilan, dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden. Di Republik Indonesia sejak Desember tahun 2014 dilaporkan bahwa Presiden Indonesia tidak memberikan grasi kepada yang telah dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena kejahatan.
Tersangka dan anggota keluarga dari tersangka akan diberitahukan mengenai hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi.[4] Biasanya, pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan.[4] Para terpidana akan dibangunkan di tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh (dan dirahasiakan) untuk dilakukan eksekusi oleh regu tembak, metode ini tidak diubah sejak tahun 1964.[5][6]
Terpidana akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan kepada Terpidana untuk duduk atau berdiri.[5] Tentara menembak jantung Terpidana dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali.[5] Jika Terpidana tidak tewas, maka diizinkan untuk menembak Terpidana di kepalanya dengan izin dari komandan regu tembak.[7]
Eksekusi hukuman mati pertama di Indonesia yang tercatat oleh data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dijatuhi kepada Oesin, yang merupakan pedagang kambing dan tukang jagal di Kota Mojokerto. Ia dieksekusi mati karena melakukan pembunuhan terhadap enam rekan bisnisnya pada tahun 1964. Oesin dieksekusi mati pada 14 September 1979.[8] Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform atau disingkat ICJR menyebutkan bahwa jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 Terrpidana. Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, di bulan Oktober 2018 hingga bulan Oktober 2019 tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah Terpidana. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu:
1) Kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%);
2) Kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%); dan
3) Kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).[9]
Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali.[10] Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:
Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo. Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi.[4]
Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik. Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto. Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, pada tahun 1974. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara. Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara Hukuman mati tanpa pengadilan.[4]
Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi. Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat.[4]
Indonesia mengakhiri moratorium hukuman mati yang berlangsung selama 4 tahun, dengan dilaksanakannya hukuman mati kepada Adami Wilson (kewarganegaraan Malawi) pada 14 Maret 2013.[19]
Daftar eksekusi di Indonesia selama dan Sejarah Indonesia (1998-sekarang):[20][21]
Tahun | Tersangka | Usia (Jenis kelamin) | Kewarganegaraan | Kasus | Lokasi |
---|---|---|---|---|---|
2016 | Freddy Budiman[21] | 39 (♂) | Indonesia | Perdagangan narkoba | Surabaya |
Seck Osmane[21] | 38 (♂) | Senegal/Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Humphrey Jefferson Ejike[21] | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Michael Titus Igweh[21] | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
2015 | Ang Kiem Soei | (♂) | Belanda | Perdagangan narkoba | Tangerang |
Marco Archer | 53 (♂) | Brasil | Perdagangan narkoba | Jakarta | |
Daniel Enemuo | 38 (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Namaona Denis | 48 (♂) | Malawi | Perdagangan narkoba | ||
Rani Andriani | 38 (♀) | Indonesia | Perdagangan narkoba | Tangerang | |
Tran Bich Hanh[22] | (♀) | Vietnam | Perdagangan narkoba | ||
Martin Anderson | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Raheem Agbaje Salaami | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Sylvester Obiekwe Nwolise | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Okwudili Oyatanze | (♂) | Nigeria | Perdagangan narkoba | ||
Zainal Abidin | (♂) | Indonesia | Perdagangan narkoba | ||
Rodrigo Gularte | 42 (♂) | Brasil | Perdagangan narkoba | ||
Andrew Chan | 31 (♂) | Australia | Perdagangan narkoba | Bali | |
Myuran Sukumaran[23] | 34 (♂) | Australia | Perdagangan narkoba | Bali | |
2014 | Tidak ada | ||||
2013 | Ademi (atau Adami atau Adam) Wilson alias Abu | (♂) | Malawi | Perdagangan narkoba | |
Suryadi Swabuana | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Jurit bin Abdullah | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Ibrahim bin Ujang | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
2012 | Tidak ada | ||||
2011 | Tidak ada | ||||
2010 | Tidak ada | ||||
2009 | Tidak ada | ||||
2008 | Amrozi bin Nurhasyim | (♂) | Indonesia | Terorisme | Bali |
Imam Samudra | (♂) | Indonesia | Terorisme | Bali | |
Huda bin Abdul Haq alias Mukhlas | (♂) | Indonesia | Terorisme | Bali | |
Rio Alex Bulo alias Rio Martil | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Tubagus Yusuf Maulana alias Usep | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Sumiarsih | (♀) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Sugeng | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Ahmad Suradji | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Samuel Iwuchukuwu Okoye | (♂) | Nigeria | Narkotika | ||
Hansen Anthony Nwaliosa | (♂) | Nigeria | Narkotika | ||
2007 | Ayub Bulubili | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | |
2006 | Fabianus Tibo | (♂) | Indonesia | Kerusuhan | Poso |
Marinus Riwu | (♂) | Indonesia | Kerusuhan | ||
Dominggus Dasilva | (♂) | Indonesia | Kerusuhan | ||
2005 | Astini Sumiasih | (♀) | Indonesia | Pembunuhan | |
Turmudi | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
2004 | Ayodya Prasad Chaubey | (♂) | India | Perdagangan narkoba | Sumatera Utara |
Saelow Prasad | Thailand | Perdagangan narkoba | Sumatera Utara | ||
Namsong Sirilak | Thailand | Perdagangan narkoba | Sumatera Utara | ||
2003 | Tidak ada | ||||
2002 | Tidak ada | ||||
2001 | Gerson Pande | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Nusa Tenggara Timur |
Fredrik Soru | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Nusa Tenggara Timur | |
Dance Soru | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Nusa Tenggara Timur | |
2000 | Tidak ada | ||||
1999 | Tidak ada | ||||
1998 | Adi Saputra | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Bali |
1997 | Tidak ada | ||||
1996 | Tidak ada | ||||
1995 | Chan Tian Chong | Indonesia | Narkotika | ||
Karta Cahyadi | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Jawa Tengah | |
Kacong Laranu | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | Sulawesi Tengah | |
1994 | Tidak ada | ||||
1993 | Tidak ada | ||||
1992 | Sersan Adi Saputro | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | |
1991 | Azhar bin Muhammad | (♂) | Indonesia | Terorisme | |
1990 | Satar Suryanto | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | |
Yohannes Surono | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
Simon Petrus Soleiman | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
Noor alias Norbertus Rohayan | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
1989 | Tohong Harahap | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | |
Mochtar Effendi Sirait | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
1988 | Abdullah Umar | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, aktivis Islamisme) | |
Bambang Sispoyo | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, aktivis Islamisme) | ||
Sukarjo | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
Giyadi Wignyosuharjo | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
1987 | Liong Wie Tong alias Lazarus | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | |
Tan Tiang Tjoen | (♂) | Indonesia | Pembunuhan | ||
Sukarman | (♂) | Indonesia | Subversif (politik, kasus 1965) | ||
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat sering kali melakukan protes atas praktik hukuman mati di Indonesia. Juru Bicara Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Rupert Colville menyampaikan kekecewaannya saat Indonesia melaksanakan eksekusi mati pada tanggal 29 April 2015 karena "Indonesia tegas memberlakukan eksekusi mati bagi pelaku tindak kejahatan narkoba, di sisi lain RI turut mengajukan permohonan agar warganya yang terancam hukuman mati bisa diselamatkan".[24] Menjelang rencana pemerintah untuk melakukan eksekusi mati pada tanggal 29 Juli 2016, eksekusi ketiga di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,[25] Kepala HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan hukuman mati terhadap terpidana kasus perdagangan narkotika karena "meningkatnya pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sangat mengkhawatirkan" dan "tidak adil bagi hak asasi manusia".[26]
Sehubungan dengan rencana eksekusi tanggal 29 Juli 2016, Uni Eropa dalam keterangan tertulisnya juga meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati terhadap 14 terpidana yang akan dieksekusi dan meminta Indonesia untuk bergabung dengan sekitar 140 negara lain yang telah sepenuhnya menghapuskan praktik eksekusi mati. Menurut keterangan tertulis tersebut, "Hukuman mati merupakan pidana yang kejam dan tidak manusiawi, yang tidak menimbulkan efek jera terhadap tindak kejahatan, serta merendahkan martabat manusia."[27] Rafendi Djamin, Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menyampaikan bahwa, "Jokowi tidak seharusnya menjadi algojo terproduktif dalam sejarah Indonesia belakangan ini."[25] Sementara Ken Matahari, Staf Amnesty International di Sydney, menyatakan argumennya untuk mendukung penghapusan mati di Indonesia sembari membandingkan Singapura yang masih menerapkan hukuman mati dengan Hongkong yang telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1983. Ia menyampaikan penelitian dari Universitas Hawaii tahun 2010 yang menyatakan bahwa kedua negara tersebut, yang sangat memiliki kemiripan dalam banyak hal, memiliki tingkat pembunuhan yang sangat serupa.[2]
Praktik hukuman mati di Indonesia juga sering mendapat kecaman dari negara-negara lain, khususnya negara-negara di Eropa.[28] Beberapa negara yang pernah menentang praktik eksekusi mati di Indonesia misalnya Belanda,[28] Inggris,[29] Australia, dan Brasil.[30] Terkait rencana eksekusi mati yang akan dilaksanakan pemerintah pada tanggal 29 Juli 2016, Inggris menyampaikan kekecewaan tambahan karena menerima laporan yang menyatakan bahwa empat terpidana yang akan dieksekusi sebelumnya telah "disiksa dan mengalami kelalaian peradilan".[29]
Beragam tokoh politik maupun praktisi masyarakat menyuarakan ketidaksetujuannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie dengan tegas menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Katanya, "Saya berkeyakinan bahwa orang lahir, ketemu jodohnya, meninggal, ditentukan oleh Allah. Jadi saya tidak mau, tidak berhak menentukan (hukuman mati)."[31] Soedomo, Menkopolkam RI ke-3, mendukung dihapuskannya hukuman mati karena tidak didasarkan pada Pancasila.[32] Todung Mulya Lubis berpendapat kalau "belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa hukuman mati memberikan efek jera".[31] Muhammad Hafiz, Pejabat Direktur Eksekutif Human Rights Working Group di Jakarta, menganggap bahwa eksekusi mati tanggal 29 Juli 2016 merupakan "bukti kemunduran rezim ini dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM)". Padahal, menurut Tri Agung Kristanto dari Kompas, Indonesia sangat menghargai HAM sejak reformasi tahun 1998, yang salah satunya ditandai dengan "memasukkan ketentuan terkait HAM" pada Pasal 28 UUD 1945.[32]
Sejumlah akademisi dari berbagai disiplin ilmu di dalam negeri tercatat mengemukakan penolakan secara terbuka terhadap eksekusi mati di Indonesia. Beberapa dari antara mereka misalnya Profesor Sulistyowati Irianto, Antonius Cahyadi dan Frans Supiarso dari Universitas Indonesia, Beni Juliawan dari Universitas Sanata Dharma, Robertus Robet dari Universitas Negeri Jakarta, serta Ahmad Sofian dari Universitas Bina Nusantara. Secara umum, para akademisi tersebut menyimpulkan kalau praktik hukuman mati tidak efektif untuk mengatasi kejahatan dan tidak memberikan "efek jera" yang diharapkan. Profesor Sulistyowati mengajak semua pihak untuk lebih memikirkan hak seseorang untuk hidup,[33] dan Frans berharap agar pemerintah "menempatkan belas kasih dan pengampunan di atas segalanya".[34]
Antonius dan Ahmad menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati merupakan sarana penyaluran "balas dendam" oleh negara tanpa menghasilkan dampak apapun pada korban kejahatan.[35][36] Dan karenanya, menurut Profesor Sulistyowati, praktik ini "mewariskan budaya balas dendam pada generasi penerus kita".[33] Ahmad juga menyampaikan kalau praktik ini telah dimanfaatkan oleh mereka yang memang ingin dihukum mati karena ideologi yang mereka anut.[35] Ahmad, Antonius, dan Robet, menegaskan kalau pelaksanaan hukuman mati lebih mengakomodir kepentingan politis daripada kepentingan korban dan hukum,[35][36] bahkan "digunakan sebagai instrumen sosial dan politik untuk memamerkan kekuasaan".[37] Bagi Robet dan Frans, praktik hukuman mati merupakan salah satu praktik dari zaman "purba" yang diterapkan oleh negara di zaman modern.[34][36]
Robet dan Beni berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya didasarkan pada hasil survei oleh beberapa lembaga,[34] yang hasilnya bahkan "tidak kredibel".[33] Beni mengklaim bahwa survei itu hanya dilakukan di 17 provinsi tetapi laporannya menyebutkan 33 provinsi, sehingga ia merasakan adanya kejanggalan.[33]
Tokoh-tokoh dari komunitas keagamaan turut menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie menyampaikan agar praktik hukuman mati di Indonesia kelak dihapuskan, karena ia memandangnya tidak sesuai dengan sila pertama dan kedua Pancasila serta menghimbau "agar umat Islam di Indonesia tidak menafsirkan tradisi hukum pidana di Alquran dan hadis secara harfiah".[31] Ketua Syarikat Bantuan Hukum Komunitas Advokat Syariah Irfan Fahmi mengatakan, "Sikap seorang Muslim menolak perbudakan mestinya dibarengi pula dengan menolak hukuman mati. Karena hak hidup dan hak tidak diperbudak termasuk kualifikasi hak asasi manusia (HAM)."[38] Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia sekaligus Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo menegaskan penolakannya atas praktik hukuman mati karena terdapat potensi kesalahan dalam sistem hukum yang dibuat oleh manusia. Menurutnya, "Tidak ada sistem hukum yang sempurna. Dan kita semua tahu peradilan di manapun bisa sesat."[39] Hal senada disampaikan oleh Romo Franz Magnis Suseno, seorang budayawan dan rohaniwan Katolik, yang menyatakan bahwa "sistem yudisial kita belum terjamin kejujurannya. Jika seseorang mati dengan putusan lembaga yang belum terjamin, bagaimana itu[?]" Ia mengklaim bahwa pelaksanaan hukuman mati di Tiongkok tidak memberikan efek jera.[40] s
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.