ajuan penjelasan terhadap suatu fenomena, observasi, atau masalah ilmiah Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Hipotesis (serapan dari bahasa Yunani kuno: hypothesis) atau anggapan dasar adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.[1] Dugaan jawaban tersebut merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya dengan data yang dikumpulkan melalui penelitian.
Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti.[2] Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut.[2] Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan atau menciptakan suatu gejala.[2] Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen.[2] Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.[2]
Contoh:
Apabila terlihat awan hitam dan langit menjadi pekat, maka seseorang dapat saja menyimpulkan (menduga-duga) berdasarkan pengalamannya bahwa (karena langit mendung, maka...) sebentar lagi hujan akan turun. Apabila ternyata beberapa saat kemudian hujan benar turun, maka dugaan terbukti benar. Secara ilmiah, dugaan ini disebut hipotesis. Namun, apabila ternyata tidak turun hujan, maka hipotesisnya dinyatakan keliru.
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani: hypo = di bawah;thesis = pendirian, pendapat yang ditegakkan, kepastian.[3]
Artinya, hipotesis merupakan sebuah istilahilmiah yang digunakan dalam rangka kegiatan ilmiah yang mengikuti kaidah-kaidah berpikir biasa, secara sadar, teliti, dan terarah.[3] Dalam penggunaannya sehari-hari hipotesis ini sering juga disebut dengan hipotesis, tidak ada perbedaan makna di dalamnya.[3]
Ketika berpikir untuk sehari-hari, orang sering menyebut hipotesis sebagai sebuah anggapan, perkiraan, dugaan, dan sebagainya.[3] Hipotesis juga berarti sebuah pernyataan atau proposisi yang mengatakan bahwa di antara sejumlah fakta ada hubungan tertentu.[3] Proposisi inilah yang akan membentuk proses terbentuknya sebuah hipotesis di dalam penelitian, salah satu di antaranya, yaitu penelitian sosial.[4]
Proses pembentukan hipotesis merupakan sebuah prosespenalaran, yang melalui tahap-tahap tertentu.[3] Hal demikian juga terjadi dalam pembuatan hipotesis ilmiah, yang dilakukan dengan sadar, teliti, dan terarah.[3] Sehingga, dapat dikatakan bahwa sebuah Hipotesis merupakan satu tipe proposisi yang langsung dapat diuji.[4]
Hipotesis dapat dikatakan sebagai peranti kerjateori. Hipotesis ini dapat dilihat dari teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang akan diteliti. Misalnya, sebab dan akibat dari konflik dapat dijelaskan melalui teori mengenai konflik.
Hipotesis dapat diuji dan ditunjukkan kemungkinan benar atau tidak benar atau di falsifikasi.
Hipotesis adalah alat yang besar dayanya untuk memajukan pengetahuan karena membuat ilmuwan dapat keluar dari dirinya sendiri. Artinya, hipotesis disusun dan diuji untuk menunjukkan benar atau salahnya dengan cara terbebas dari nilai dan pendapat peneliti yang menyusun dan mengujinya.
Hipotesis dalam penelitian
Walaupun hipotesis penting sebagai arah dan pedoman kerja dalam penelitian, tidak semua penelitian mutlak harus memiliki hipotesis.[6] Penggunaan hipotesis dalam suatu penelitian didasarkan pada masalah atau tujuanpenelitian.[2] Dalam masalah atau tujuan penelitian tampak apakah penelitian menggunakan hipotesis atau tidak.[2] Contohnya yaitu Penelitian eksplorasi yang tujuannya untuk menggali dan mengumpulkan sebanyak mungkin data atau informasi tidak menggunakan hipotesis.[2] Hal ini sama dengan penelitian deskriptif, ada yang berpendapat tidak menggunakan hipotesis sebab hanya membuat deskripsi atau mengukur secara cermat tentang fenomena yang diteliti,[7] tetapi ada juga yang menganggap penelitian deskriptif dapat menggunakan hipotesis.[8] Sedangkan, dalam penelitian penjelasan yang bertujuan menjelaskan hubungan antar-variabel adalah keharusan untuk menggunakan hipotesis.[9]
Fungsi penting hipotesis di dalam penelitian, yaitu:[10]
Memberikan kerangka untuk menyusun kesimpulan yang akan dihasilkan.
Satu hipotesis dapat diuji apabila hipotesis tersebut dirumuskan dengan benar.[2] Kegagalan merumuskan hipotesis akan mengaburkan hasil penelitian.[2] Meskipun hipotesis telah memenuhi syarat secara proporsional, jika hipotesis tersebut masih abstrak bukan saja membingungkan prosedur penelitian, melainkan juga sukar diuji secara nyata.[4]
Untuk dapat memformulasikan hipotesis yang baik dan benar, sedikitnya harus memiliki beberapa ciri-ciri pokok, yakni:[11]
Hipotesis diturunkan dari suatu teori yang disusun untuk menjelaskan masalah dan dinyatakan dalam proposisi-proposisi. Oleh sebab itu, hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara atas masalah yang dirumuskan atau searah dengan tujuan penelitian.
Hipotesis harus dinyatakan secara jelas, dalam istilah yang benar dan secara operasional. Aturan untuk, menguji satu hipotesis secara empiris adalah harus mendefinisikan secara operasional semua variabel dalam hipotesis dan diketahui secara pasti variabel independen dan variabel dependen.
Hipotesis menyatakan variasi nilai sehingga dapat diukur secara empiris dan memberikan gambaran mengenai fenomena yang diteliti. Untuk hipotesis deskriptif berarti hipotesis secara jelas menyatakan kondisi, ukuran, atau distribusi suatu variabel atau fenomenanya yang dinyatakan dalam nilai-nilai yang mempunyai makna.
Hipotesis harus bebasnilai. Artinya nilai-nilai yang dimiliki peneliti dan preferensi subyektivitas tidak memiliki tempat di dalam pendekatan ilmiah seperti halnya dalam hipotesis.
Hipotesis harus dapat diuji. Untuk itu, instrumen harus ada (atau dapat dikembangkan) yang akan menggambarkan ukuran yang valid dari variabel yang diliputi. Kemudian, hipotesis dapat diuji dengan metode yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengujinya sebab peneliti dapat merumuskan hipotesis yang bersih, bebas nilai, dan spesifik, serta menemukan bahwa tidak ada metodepenelitian untuk mengujinya. Oleh sebab itu, evaluasi hipotesis bergantung pada eksistensi metode-metode untuk mengujinya, baik metode pengamatan, pengumpulan data, analisis data, maupun generalisasi.
Hipotesis harus spesifik. Hipotesis harus bersifat spesifik yang menunjuk kenyataan sebenarnya. Peneliti harus bersifat spesifik yang menunjuk kenyataan yang sebenarnya. Peneliti harus memiliki hubungan eksplisit yang diharapkan di antara variabel dalam istilah arah (seperti, positif dan negatif). Satu hipotesis menyatakan bahwa X berhubungan dengan Y adalah sangat umum. Hubungan antara X dan Y dapat positif atau negatif. Selanjutnya, hubungan tidak bebas dari waktu, ruang, atau unit analisis yang jelas. Jadi, hipotesis akan menekankan hubungan yang diharapkan di antara variabel, sebagaimana kondisi di bawah hubungan yang diharapkan untuk dijelaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, teori menjadi penting secara khusus dalam pembentukan hipotesis yang dapat diteliti karena dalam teori dijelaskan arah hubungan antara variabel yang akan dihipotesiskan.
Hipotesis harus menyatakan perbedaan atau hubungan antar-variabel. Satu hipotesis yang memuaskan adalah salah satu hubungan yang diharapkan di antara variabel dibuat secara eksplisit.
Tahap-tahap pembentukan hipotesis pada umumnya sebagai berikut:
Dasar penalaran ilmiah ialah kekayaan pengetahuan ilmiah yang biasanya timbul karena sesuatu keadaan atau peristiwa yang terlihat tidak atau tidak dapat diterangkan berdasarkan hukum atau teori atau dalil-dalil ilmu yang sudah diketahui.[3] Dasar penalaran pun sebaiknya dikerjakan dengan sadar dengan perumusan yang tepat.[3] Dalam proses penalaran ilmiah tersebut, penentuan masalah mendapat bentuk perumusan masalah.[3]
Hipotesis pendahuluan atau hipotesis preliminer (preliminary hypothesis).[4]
Dugaan atau anggapan sementara yang menjadi pangkal bertolak dari semua kegiatan.[4] Ini digunakan juga dalam penalaran ilmiah.[3] Tanpa hipotesis preliminer, pengamatan tidak akan terarah.[4]Fakta yang terkumpul mungkin tidak akan dapat digunakan untuk menyimpulkan suatu konklusi, karena tidak relevan dengan masalah yang dihadapi.[3] Karena tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam penelitian, hipotesis priliminer dianggap bukan hipotesis keseluruhan penelitian, namun merupakan sebuah hipotesis yang hanya digunakan untuk melakukan uji coba sebelum penelitian sebenarnya dilaksanakan.[4]
Dalam penalaran ilmiah, di antara jumlah fakta yang besarnya tak terbatas itu hanya dipilih fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis preliminer yang perumusannya didasarkan pada ketelitian dan ketepatan memilih fakta.[3]
Pembentukan hipotesis dapat melalui ilham atau intuisi, dimana logika tidak dapat berkata apa-apa tentang hal ini.[3] Hipotesis diciptakan saat terdapat hubungan tertentu di antara sejumlah fakta.[3] Sebagai contoh sebuah anekdot yang jelas menggambarkan sifat penemuan dari hipotesis, diceritakan bahwa sebuah apel jatuh dari pohon ketika Newton tidur di bawahnya dan teringat olehnya bahwa semua benda pasti jatuh dan seketika itu pula dilihat hipotesanya, yang dikenal dengan hukum gravitasi.[3]
Pengujian hipotesis
Artinya, mencocokkan hipotesis dengan keadaan yang dapat diamati[3] dalam istilah ilmiah hal ini disebut verifikasi(pembenaran).[3] Apabila hipotesis terbukti cocok dengan fakta maka disebut konfirmasi.[3]Falsifikasi(penyalahan) terjadi jika usaha menemukan fakta dalam pengujian hipotesis tidak sesuai dengan hipotesis. Bilamana usaha itu tidak berhasil, maka hipotesis tidak terbantah oleh fakta yang dinamakan koroborasi (corroboration).[3] Hipotesis yang sering mendapat konfirmasi atau koroborasi dapat disebut teori.[3]
Apabila hipotesis itu benar dan dapat diadakan menjadi ramalan (dalam istilah ilmiah disebut prediksi), dan ramalan itu harus terbukti cocok dengan fakta.[3] Kemudian harus dapat diverifikasikan/koroborasikan dengan fakta.[3]
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji secara empiris.[12] Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis.[12] Hipotesis ini, diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.[12] Pernyataan hubungan antara variabel, sebagaimana dirumuskan dalam hipotesis, hanya merupakan dugaan sementara atas suatu masalah yang didasarkan pada hubungan yang telah dijelaskan dalam kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah penelitian.[12] Sebab, teori yang tepat akan menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban sementara atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalam penelitian.[12] Dalam penelitian kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti menguji hipotesis yang diturunkan dari teori.[12]
Agar teori yang digunakan sebagai dasar penyusunan hipotesis dapat diamati dan diukur dalam kenyataan sebenarnya, teori tersebut harus dijabarkan ke dalam bentuk yang nyata yang dapat diamati dan diukur.[12] Cara yang umum digunakan ialah melalui proses operasionalisasi, yaitu menurunkan tingkat keabstrakan suatu teori menjadi tingkat yang lebih konkret yang menunjuk fenomena empiris atau ke dalam bentuk proposisi yang dapat diamati atau dapat diukur.[12] Proposisi yang dapat diukur atau diamati adalah proposisi yang menyatakan hubungan antar-variabel.[12] Proposisi seperti inilah yang disebut sebagai hipotesis.[12]
Jika teori merupakan pernyataan yang menunjukkan hubungan antar-konsep (pada tingkat abstrak atau teoritis), hipotesis merupakan pernyataan yang menunjukkan hubungan antar-variabel (dalam tingkat yang konkret atau empiris).[12] Hipotesis menghubungkan teori dengan realitas sehingga melalui hipotesis dimungkinkan dilakukan pengujian atas teori dan bahkan membantu pelaksanaan pengumpulan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian.[12] Oleh sebab itu, hipotesis sering disebut sebagai pernyataan tentang teori dalam bentuk yang dapat diuji (statement of theory in testable form), atau kadang-kadang hipotesis didefinisikan sebagai pernyataan tentatif tentang realitas (tentative statements about reality).[12]
Oleh karena teori berhubungan dengan hipotesis, merumuskan hipotesis akan sulit jika tidak memiliki kerangka teori yang menjelaskan fenomena yang diteliti, tidak mengembangkan proposisi yang tegas tentang masalah penelitian, atau tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan teori yang ada.[13] Kemudian, karena dasar penyusunan hipotesis yang reliabel dan dapat diuji adalah teori, tingkat ketepatan hipotesis dalam menduga, menjelaskan, memprediksi suatu fenomena atau peristiwa atau hubungan antara fenomena yang ditentukan oleh tingkat ketepatan atau kebenaran teori yang digunakan dan yang disusun dalam kerangka teoritis.[12] Jadi, sumber hipotesis adalah teori sebagaimana disusun dalam kerangka teoritis. Karena itu, baik-buruknya suatu hipotesis bergantung pada keadaan relatif dari teori penelitian mengenai suatu fenomena sosial disebut hipotesis penelitian atau hipotesis kerja.[12] Dengan kata lain, meskipun lebih sering terjadi bahwa penelitian berlangsung dari teori ke hipotesis (penelitian deduktif), kadang-kadang sebaliknya yang terjadi.[12]
Terdapat tiga alasan utama yang mendukung pandangan ini, di antaranya:<ref>(Inggris) Fred N. Kerlinger. 1995. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 30
(Inggris) Creswell, John W. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Second Edition. California: Sage Publication, page. 73