Kesunanan Giri atau Giri Kedaton (bahasa Jawa: ꧋ꦒꦶꦫꦶꦏꦣꦠꦺꦴꦤ꧀, translit. Giri Kedaton) adalah sebuah Kerajaan Islam yang terletak di Gresik, Jawa Timur dipimpin oleh penguasa yang bergelar susuhunan pada abad ke-15 hingga ke-17, setelah Giri ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram pada tahun 1636, penguasa Giri bergelar panembahan.
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Giri Kedaton ꧋ꦒꦶꦫꦶꦏꦣꦠꦺꦴꦤ꧀ Giri Kedaton | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1481–1680 | |||||||||
Wilayah Giri Kedaton terletak kurang lebih di Gresik kini | |||||||||
Ibu kota | Kedaton Giri | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Monarki Teokrasi Absolut | ||||||||
Susuhunan, Panembahan | |||||||||
• 1481–1506 | Sunan Giri | ||||||||
• 1506–1546 | Sunan Dalem | ||||||||
• 1546–1548 | Sunan Seda ing Margi | ||||||||
• 1548–1605 | Sunan Prapen | ||||||||
• 1605–1616 | Panembahan Kawis Guwa | ||||||||
• 1616–1636 | Panembahan Ageng Giri | ||||||||
• 1638–1660 | Panembahan Mas Witana Sideng Rana | ||||||||
Sejarah | |||||||||
1481 | |||||||||
1680 | |||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Waktu itu Kedaton Giri memiliki popularitas yang tinggi dikalangan intelektual Islam, sehingga banyak santri yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara datang untuk belajar ilmu agama. Karena memiliki legitimasi yang kuat, para calon sultan dari Demak, Pajang dan Mataram Awal meminta legitimasi dari Sunan Giri sebelum memangku jabatan sebagai sultan.[1] Ini terjadi karena pada masa itu, masyarakat Jawa menganut prinsip kekuasaan menurun, yakni bahwasaanya kekuasaan turun dari Tuhan[2] maka dalam hal ini, karena kekuasaannya yang unik dalam agama bagi masyarakat Jawa itulah yang membuat Sunan Giri dan lembaga Giri Kedaton diminta oleh kerajaan di Jawa kala itu untuk melegitimasi kekuasaan mereka layaknya Paus di Roma.
Kini lokasi Giri Kedaton menjadi bagian dari kompleks Makam Sunan Giri dimana Sunan Giri beserta keluarga, termasuk Sunan Prapen disemayamkan.
Awal Mula
Nama asli Sunan Giri ialah Joko Samudro.[butuh rujukan] Ketika berusia 12 tahun, Sunan Giri dibawa oleh ibu angkatnya yang bernama Nyai Ageng Pinatih untuk berguru kepada Sunan Ampel di Pondok Pesantren Ampel Denta, Surabaya.[3] Kemudian Sunan Ampel memberi ia gelar Raden Paku. Raden Paku diminta untuk melanjutkan pendidikannya ke Pasai sebelum melanjutkan pendidikan lebih jauh ke Mekkah. Disinilah ia bertemu dengan ayahnya, Maulana Ishaq.
Selama beberapa bulan, Raden Paku tinggal disana untuk belajar ilmu politik kepada ayahnya. Salah satu ilmu yang ia peroleh adalah mencari tempat strategis yang kelak dalam jangka panjang akan menjadi istana kerajaannya. Kemudian, Raden Paku dibekali segenggam tanah oleh ayahnya untuk mencari tempat dengan tanahnya yang mirip dengan segenggam tanah tersebut.[4]
Sepulang dari Pasai, ia menemui Sunan Ampel untuk membicarakan hal tersebut. Lalu Raden Paku mulai melakukan ritual tapak tilas, di gunung-gunung yang ada di Gresik. Ritual tersebut berlangsung cukup lama dan Raden Paku terus berpindah-pindah dari gunung ke gunung lainnya. Sampai ketika suatu malam ia melihat sorot cahaya ketika ia salat tahajud di Gunung Petukangan. Cahaya tersebut jatuh di puncak antara Gunung Petukangan dan Sumber.[4] Puncak tersebut adalah tempat yang dicari Raden Paku selama ini. Tanah segenggamnya juga sama dengan tanah di puncak tersebut.
Ia dijuluki Sunan Giri karena membangun sebuah pesantren Giri yang didirikan pada tahun 1478, di puncak gunung tersebut. Dalam bahasa Sanskerta, gunung diterjemahkan sebagai giri.[butuh rujukan] Giri Kedaton didirikan oleh Sunan Giri, seorang anggota Walisongo, pada tahun 1481.[5]
Babad ing Gresik menyebut pesantren Giri sebagai "kerajaan Giri" dan dipimpin oleh Raden Paku, dengan mengangkat dirinya sebagai "Raja Pendhita" dan bergelar Prabu Satmita. H. J. de Graaf dan Samuel Wiselius juga menyebut pesantren Giri sebagai "Kerajaan Ulama" (Geestelijke Heeren).[6]
Masa Keemasan
Giri Kedaton mengalami masa keemasan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Kekuasaan Sunan Giri (sebagai gelar penyandang kekuasaan) pada waktu itu dapat disejajarkan dengan kekuasaan Paus di Roma bagi Eropa pada Abad Pertengahan. Hampir semua peristiwa penting yang menyangkut perubahan kepemimpinan di pusat kerajaan Islam pada waktu itu harus dilakukan di Giri Kedaton, tidak hanya sekadar sekolah agama, tetapi juga menjadi sebuah kedatuan yang meiliki kekuatan politik.
Misalnya, Sunan Prapen yang dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya, sultan Pajang pertama. Ia juga menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui kekuasaan Pajang sebagai kelanjutan Kesultanan Demak.
Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan antara Panembahan Senopati raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.
Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap ada raja Islam yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.
Penaklukkan oleh Mataram
Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung menghendaki agar Giri Kedaton tunduk sebagai daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah pimpinan Panembahan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram. Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Rupanya mereka masih takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak ada lagi.
Sultan Agung pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bangkit karena Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Panembahan Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri, di mana Sunan Giri adalah murid Sunan Ampel.
Perang akhirnya dimenangkan oleh Mataram atas penaklukkan Giri sekitar tahun 1636. Panembahan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.
Sejak saat itu wibawa Giri pun memudar. Pengganti Panembahan Kawis Guwa tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri. Gelar ini memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri Kusuma.
Kemunduran
Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I (putra Sultan Agung). Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.
Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II datang ke Kadilangu untuk menemui Panembahan Natapraja salah satu sosok sesepuh keturunan Sunan Kalijaga yang dianggap bijaksana dan kuat serta memiliki pasukan yang siap membantu Amangkurat II, selain itu Amangkurat juga bersekutu dengan VOC untuk melancarkan aksi pembalasan.
Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta berhasil menghimpun dukungan dan kekuatan yang akhirnya dapat menghancurkan pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling akhir adalah Giri Kedaton.
Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh Panembahan Natapraja dari Adilangu dan juga didukung oleh VOC yang membantu Amangkurat II. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan setelah berduel melawan Panembahan Natapraja. jumlah Pasukan Adilangu (pasukan Natapraja) hanya sedikit namun dapat memporak porandakan pasukan Giri Kedaton.
Peristiwa ini tercatat dalam Babad Trunajaya-Surapati:[7]
30. Kang wadya nom-anom gusis akatha ingkang palastra wong kumpeni ake longe langkung duka sri nalendra arsa ngawaki yuda myang Pangeran Adilangu Panembahan Natapraja. Umatur dhateng narpati sampun âge mangsah yuda yen maksi ingkang mangkene sigra Pangran Natapraja sampun nyandhak talempak mara sarwi nguwu-uwu he Singasari mandhega.
32. Sira Raden Singasari anguwu-uwu tan mirsa pan wus wuru pangamuke Panembahan Natapraja mara saking ing ngarsa pan sampun dulu-dinulu Raden Singasari mojar.
33. La sira wong apa iki wus dhawuk paksa sudira lungaa aja neng kene apa nganti deksesempal Pangeran Natapraja angandika manis arum e panten sira nututa.
34. Ya ta Raden Singasari bramantya anggeget waja arsa narajang sedyane tinadhahan ing talempak la iya tadhahira apan wus amlas amlaku ing Pangeran Natapraja.
35. Mapan sampun angemasi maksi angawet lathinya curiga pan maksi lengket astanya lawan ukiran datan kena winengkang gawok sedaya kang ndulu gebeg-gebeg Ambrai mulat
36. Ya ta si Pangeran Giri ingaturaken babandan mapan sampun dipunlawe Pangeran Giri wus peja Ki Kalamunyeng ika apan ta wiyos pinundhut sri narendra nulya bubar
Terjemahannya:
30. Wadya bala yang muda-muda habis, banyak sekali yang tewas, orang kumpeni pun banyak berkurang. Maka lebih marahlah Sang Raja, dan ingin maju perang sendiri. Tetapi Pangeran Adilangu Panembahan Natapraja menahan.
31. Berkata kepada Sang Raja: "Janganlah tergesa-gesa maju perang, bila keadaan masih begini." Dan Pangeran Natapraja kini telah memegang senjatanya; mendekati medan laga sambil berseru: "Hai, Singasari, berhentilah!"
32. Tetapi Raden Singasari tak mendengar seruan itu, karena mengamuknya sudah seperti mabuk. Panembahan Natapraja mendekati dari depan. Kini mereka sudah saling berhadapan dan Raden Singasari berkata:
33. "Kamu ini orang apa! Sudah tua bangka mau berperang! Pergi saja dari sini; kalau tidak kutarik lepaslah kaki tanganmu." Pangeran Natapraja berkata dengan manis dan lembut: "Hai, anakku, tunduk sajalah!"
34. Maka Raden Singasari mendengar itu, makin marahlah sambil mendetakkan gigi, maksudnya mau menerajang, tetapi seranganya ditangkisdan sekaligus dibalas, dan balasan Pangeran Natapraja tak dapat terelakkan.
35. Maka gugurlah Raden Singasari; sudah tewas, masih tetap menggigit bibir, dan kerisnya tetap lengket di tangan, ukiran kens tetap tergenggam, tak dapat dilepaskan. Semua yang melihat, sangat heran, dan "Admiral" pun bergeleng-geleng.
36. Dan Pangeran Giri kini telah dihadapkan sebagai tawanan. Kemudian dihukum mati dengan jerat leher dan tewaslah Pangeran Giri. Adapun keris Kyai Kalamunyeng telah diambil oleh raja dan Sang Raja lalu berangkat
Pasca kejadian tersebut Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dimusnahkan. Sejak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.
Daftar Susuhunan Giri
Berikut ini adalah daftar para penguasa Kesunanan Giri. Setelah penaklukkan Mataram pada tahun 1636, Kesunanan Giri mengalami kemunduran, karena wilayah Giri ketika itu tidak lagi menjadi kerajaan merdeka alias menjadi Vasal maka gelar sunan kemudian diubah menjadi panembahan.
Nama | Gelar Regnal | Tahun Menguasai[8] | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sunan Giri, Raden Paku, Muhammad Ainul Yaqin | Sunan Giri I | 1481–1506 | ||||||
Sunan Dalem, Maulana Zainal Abidin Ali Sumodiro | Sunan Giri II | 1506–1546 | ||||||
Sunan Seda ing Margi | Sunan Giri III | 1546–1548 | ||||||
Sunan Prapen, RM. Pratikal | Sunan Giri IV | 1548–1605 | ||||||
Giri menjadi vassal Mataram | ||||||||
Panembahan Kawis Guwa | Panembahan Kawis Guwa | 1605–1616 | ||||||
Panembahan Ageng Giri | Panembahan Ageng Giri | 1616–1636 | ||||||
Panembahan Mas Witana Sideng Rana | Panembahan Mas Witana Sideng Rana | 1638–1660 | ||||||
Pangeran Puspa Ita | Pangeran Puspa Ita | 1660–1680 |
Catatan kaki
Daftar pustaka
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.